Di ruang tunggu, Dimas merasa seperti disiksa oleh waktu yang berjalan lambat. Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan ia hanya bisa memikirkan hal terburuk. Teringat saat-saat indah bersama Rita, tawa dan senyumnya, serta janji yang pernah ia ucapkan untuk selalu melindungi istrinya. Namun kini, perasaan bersalah menghantam keras. Dimas hanya bisa berdoa dalam hati, berharap agar Tuhan memberi kesempatan kedua.Sementara itu, di ruang operasi, dokter memulai proses caesar darurat. Suasana begitu tegang. Pisau bedah dengan hati-hati membelah lapisan perut Rita, dan saat rahim terbuka, bayi yang masih sangat kecil muncul, berjuang untuk hidup. Dokter bedah mengangkat bayi itu dengan cepat. "Bayi berhasil dikeluarkan, tapi sangat prematur. Cepat siapkan inkubator di NICU," perintahnya.Bayi mungil itu langsung dibawa oleh tim neonatal, masih dalam keadaan lemah. Mereka menyiapkan segala perlengkapan untuk mendukung pernapasan dan menjaga suhu tubuhnya. Di ruangan yang terpisah, Rita m
n itu. "Kamu mau ngomong apa, Sayang? Apa tidak sebaiknya kamu istirahat dulu? Kamu ini masih lemah. Nanti saja kalau sudah lebih baikan," kata Dimas khawatir.Rita menggeleng lemah, meringis kesakitan ketika tubuhnya mencoba bergerak sedikit. “Nggak, Mas… aku harus bicara sekarang. Aku takut tidak punya waktu lagi...” jawab Rita dengan suara yang semakin pelan."Hush... jangan ngomong yang aneh-aneh. Kamu pasti sembuh, Rita. Nggak ada yang perlu kamu takutkan," balas Dimas, mencoba menyemangati istrinya, meski hatinya ikut waswas.Namun, Rita tetap bersikeras. “Mas, tolong... panggil Dinda sekarang. Aku nggak mau menunggu lagi,” pintanya lagi, suaranya penuh dengan rasa mendesak meski tubuhnya sangat lemah.Dimas merasa terpojok. Dia tidak ingin Rita memaksakan diri, tapi dia juga tidak bisa mengabaikan keinginannya. Akhirnya, setelah diam sejenak, Dimas mengalah. "Baik, aku akan panggil Dinda. Tapi kamu janji ya, kalau sudah capek atau kesakitan, kamu langsung istirahat. Jangan mema
Namun, tiba-tiba tubuh Rita mengejang, seperti tersentak oleh rasa sakit yang luar biasa. Monitor detak jantung yang semula berbunyi stabil mulai berbunyi tak menentu, seolah-olah sedang berlomba dengan waktu. Dinda terkejut, melihat tubuh Rita yang sekarat di depannya.“Rita…! Rita!!” teriak Dinda panik, memanggil namanya, berharap Rita akan membuka matanya lagi. Air matanya mengalir deras, jatuh di atas tangan Rita yang perlahan mulai kehilangan kehangatannya.Dimas, yang mendengar suara teriakan Dinda di luar, segera berlari masuk. “Rita?! Rita!!” Dimas berteriak, matanya membelalak melihat kondisi istrinya yang semakin parah. Dia langsung berlari ke arah Rita, mengguncang bahunya dengan cemas. "Sayang, bertahan! Bertahanlah, tolong!"Dokter dan perawat bergegas masuk, mendorong Dinda dan Dimas ke samping. “Maaf, kami harus menangani pasien!” ujar salah satu dokter sambil segera memeriksa keadaan Rita. Tim medis mulai bekerja cepat, menyiapkan alat-alat darurat untuk menyelamatkan
Bayi itu tampak begitu kecil, terbaring tenang di dalam inkubator dengan berbagai alat medis yang membantunya bertahan. Dinda berdiri di balik kaca, menatap bayi itu dengan mata yang berkaca-kaca. "Ternyata laki-laki," gumamnya pelan, menahan perasaan yang sulit ia definisikan. "Akhirnya, keluarga Hartono punya penerus laki-laki juga... walaupun lahir bukan dari rahimku."Kata-kata itu terucap dengan getir. Ada perasaan tak terelakkan yang menghantui Dinda—kenapa bukan dia yang memberi Dimas seorang anak, kenapa bukan dia yang bisa menjadi ibu dari penerus keluarga Hartono. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dari perasaan yang menghimpit dadanya."Kenapa, Tuhan…," ucapnya lirih, hampir tak terdengar. "Kenapa Kau menghukumku seperti ini? Apakah ini balasan atas semua yang pernah kulakukan pada Anisa? Apakah aku dihukum menjadi wanita mandul karena dosa-dosa masa laluku?"Air mata mengalir tanpa bisa dicegah, tapi Dinda tidak menghapusnya. Dia menatap bayi laki-laki it
“Ibumu benar, Dimas” Pak Hartono memulai dengan suara yang tenang, namun tegas. “Sekarang yang paling penting adalah kamu urus dulu pemakaman Rita. Dan kamu jangan lupa untuk kabari Anisa juga.”Dimas tertegun sejenak mendengar nama itu, namun kemudian ia mengangguk pelan. “Baik, Pa. Dimas akan urus semuanya. Kalau begitu Dimas pamit dulu,” ucapnya, sambil bangkit dari sofa. Kedua orang tuanya mengangguk, memberi izin. Namun, di balik persetujuan itu, ada keheningan yang berat—seperti beban yang terasa semakin menekan di dada mereka.Saat Dimas melangkah pergi, suasana di ruang tamu terasa mencekam. Siska, dengan raut wajah yang penuh ketidakpuasan, memutar bola matanya. Ia menatap ayahnya dengan tatapan sinis dan dingin.“Papa kenapa sih masih peduli dengan Anisa? Dia kan sudah bukan bagian dari keluarga kita lagi. Kita sudah tidak ada urusan lagi sama dia,” kata Siska dengan suara yang kental dengan amarah yang dipendam lama.Pak Hartono menatap putrinya yang keras kepala dengan soro
“Dinda, bagaimana kabarmu?” tanya ibu mertua Dinda dengan suara pelan namun penuh perhatian. “Maafkan mama ya... baru bisa ikut jenguk ke sini, karena kami sibuk mengurus pemakamannya Rita.”Dinda tersenyum lemah. “Tidak apa-apa, Ma. Dinda mengerti kok, pasti banyak yang mama harus urus.”“Kamu seharusnya pulang dan gantian jaga anak itu, biar kamu bisa istirahat Mama tahu kamu pasti sangat lelah. Kamu tidak harus terus-terusan menjaga bayi ini sendirian," ucap ibu Dimas penuh perhatian.Namun Dinda menggeleng perlahan. “Tidak apa-apa, Ma. Dinda tidak keberatan kok untuk menjaga bayi ini sendirian. Dinda sudah bertekad untuk menjaga bayi ini. Karena ini juga sudah menjadi bagian dari tanggung jawabku sekarang.”Ibu mertua Dinda terdiam sejenak, lalu tersenyum bangga melihat betapa besar hati menantunya. “Kamu benar-benar luar biasa, Dinda,” katanya sambil mengusap lembut tangan Dinda. Dia tak pernah menyangka bahwa Dinda masih bisa membuka hatinya seluas ini. setelah semua yang telah
"Ma, aku mohon... tolong jangan sebut Rita seperti itu. Dia sudah tiada, dan dia tidak layak diperlakukan seperti ini. Aku mohon, Ma... hormati dia, jangan panggil dia gundik!" Dimas berbicara dengan penuh emosi, namun juga harap.Ibu Nuri mendengus keras, wajahnya memerah karena kemarahan. "Apa yang salah dari kata-kataku? Kalau bukan gundik, apa namanya wanita yang merayu suami orang? Yang sudah menghancurkan pernikahan anakku?"Dinda yang sejak tadi berusaha tenang dan menahan diri, akhirnya tak bisa tinggal diam lagi. Dengan suara yang lebih keras daripada biasanya, ia memotong perdebatan itu. “Ma! Dinda mohon hentikan semua ini! Kita lagi berada di rumah sakit, jangan buat keributan di sini!” Seru Dinda dengan nada tegas.Semua orang terdiam mendengar Dinda berbicara dengan nada seperti itu, termasuk ibunya. Dinda kemudian melanjutkan, dengan suara yang sedikit bergetar, “Dan, Dinda setuju dengan Dimas. Tolong, Ma... jangan sebut Rita seperti itu lagi. Apa pun yang sudah terjadi,
Sore harinya, bayi Dimas akhirnya diperbolehkan pulang. Bayi mungil itu tampak nyaman dalam gendongan Dinda, yang tak pernah bosan menatap wajah polosnya. Tidak ada sedikit pun rasa benci atau dendam di matanya saat ia memandangi bayi tersebut. Malam itu, di kamar mereka, Dimas dan Dinda menyiapkan tempat tidur bayi. Dimas sebenarnya sudah menyarankan agar mereka membuatkan kamar terpisah untuk bayi itu, tapi Dinda menolak mentah-mentah."Sayang, apa kamu yakin kita tidak sebaiknya menaruh bayi ini di kamar lain saja? Biar kamu bisa istirahat lebih tenang," tanya Dimas dengan lembut.Dinda menggeleng, tersenyum tipis. "Tidak, Dimas. Aku tidak ingin jauh-jauh dari anak ini. Aku ingin selalu bersamanya," jawab Dinda mantap.Dimas tersenyum lega. Ada rasa bahagia yang tak bisa ia sembunyikan. Dinda, dengan segala kebaikan hatinya, menerima anaknya dengan tulus. Ia merasa bersyukur memiliki istri seperti Dinda. "Oh iya, Sayang, apa kamu sudah punya nama untuk anak kita ini?" tanya Dimas.