n itu. "Kamu mau ngomong apa, Sayang? Apa tidak sebaiknya kamu istirahat dulu? Kamu ini masih lemah. Nanti saja kalau sudah lebih baikan," kata Dimas khawatir.Rita menggeleng lemah, meringis kesakitan ketika tubuhnya mencoba bergerak sedikit. “Nggak, Mas… aku harus bicara sekarang. Aku takut tidak punya waktu lagi...” jawab Rita dengan suara yang semakin pelan."Hush... jangan ngomong yang aneh-aneh. Kamu pasti sembuh, Rita. Nggak ada yang perlu kamu takutkan," balas Dimas, mencoba menyemangati istrinya, meski hatinya ikut waswas.Namun, Rita tetap bersikeras. “Mas, tolong... panggil Dinda sekarang. Aku nggak mau menunggu lagi,” pintanya lagi, suaranya penuh dengan rasa mendesak meski tubuhnya sangat lemah.Dimas merasa terpojok. Dia tidak ingin Rita memaksakan diri, tapi dia juga tidak bisa mengabaikan keinginannya. Akhirnya, setelah diam sejenak, Dimas mengalah. "Baik, aku akan panggil Dinda. Tapi kamu janji ya, kalau sudah capek atau kesakitan, kamu langsung istirahat. Jangan mema
Namun, tiba-tiba tubuh Rita mengejang, seperti tersentak oleh rasa sakit yang luar biasa. Monitor detak jantung yang semula berbunyi stabil mulai berbunyi tak menentu, seolah-olah sedang berlomba dengan waktu. Dinda terkejut, melihat tubuh Rita yang sekarat di depannya.“Rita…! Rita!!” teriak Dinda panik, memanggil namanya, berharap Rita akan membuka matanya lagi. Air matanya mengalir deras, jatuh di atas tangan Rita yang perlahan mulai kehilangan kehangatannya.Dimas, yang mendengar suara teriakan Dinda di luar, segera berlari masuk. “Rita?! Rita!!” Dimas berteriak, matanya membelalak melihat kondisi istrinya yang semakin parah. Dia langsung berlari ke arah Rita, mengguncang bahunya dengan cemas. "Sayang, bertahan! Bertahanlah, tolong!"Dokter dan perawat bergegas masuk, mendorong Dinda dan Dimas ke samping. “Maaf, kami harus menangani pasien!” ujar salah satu dokter sambil segera memeriksa keadaan Rita. Tim medis mulai bekerja cepat, menyiapkan alat-alat darurat untuk menyelamatkan
Bayi itu tampak begitu kecil, terbaring tenang di dalam inkubator dengan berbagai alat medis yang membantunya bertahan. Dinda berdiri di balik kaca, menatap bayi itu dengan mata yang berkaca-kaca. "Ternyata laki-laki," gumamnya pelan, menahan perasaan yang sulit ia definisikan. "Akhirnya, keluarga Hartono punya penerus laki-laki juga... walaupun lahir bukan dari rahimku."Kata-kata itu terucap dengan getir. Ada perasaan tak terelakkan yang menghantui Dinda—kenapa bukan dia yang memberi Dimas seorang anak, kenapa bukan dia yang bisa menjadi ibu dari penerus keluarga Hartono. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dari perasaan yang menghimpit dadanya."Kenapa, Tuhan…," ucapnya lirih, hampir tak terdengar. "Kenapa Kau menghukumku seperti ini? Apakah ini balasan atas semua yang pernah kulakukan pada Anisa? Apakah aku dihukum menjadi wanita mandul karena dosa-dosa masa laluku?"Air mata mengalir tanpa bisa dicegah, tapi Dinda tidak menghapusnya. Dia menatap bayi laki-laki it
“Ibumu benar, Dimas” Pak Hartono memulai dengan suara yang tenang, namun tegas. “Sekarang yang paling penting adalah kamu urus dulu pemakaman Rita. Dan kamu jangan lupa untuk kabari Anisa juga.”Dimas tertegun sejenak mendengar nama itu, namun kemudian ia mengangguk pelan. “Baik, Pa. Dimas akan urus semuanya. Kalau begitu Dimas pamit dulu,” ucapnya, sambil bangkit dari sofa. Kedua orang tuanya mengangguk, memberi izin. Namun, di balik persetujuan itu, ada keheningan yang berat—seperti beban yang terasa semakin menekan di dada mereka.Saat Dimas melangkah pergi, suasana di ruang tamu terasa mencekam. Siska, dengan raut wajah yang penuh ketidakpuasan, memutar bola matanya. Ia menatap ayahnya dengan tatapan sinis dan dingin.“Papa kenapa sih masih peduli dengan Anisa? Dia kan sudah bukan bagian dari keluarga kita lagi. Kita sudah tidak ada urusan lagi sama dia,” kata Siska dengan suara yang kental dengan amarah yang dipendam lama.Pak Hartono menatap putrinya yang keras kepala dengan soro
“Dinda, bagaimana kabarmu?” tanya ibu mertua Dinda dengan suara pelan namun penuh perhatian. “Maafkan mama ya... baru bisa ikut jenguk ke sini, karena kami sibuk mengurus pemakamannya Rita.”Dinda tersenyum lemah. “Tidak apa-apa, Ma. Dinda mengerti kok, pasti banyak yang mama harus urus.”“Kamu seharusnya pulang dan gantian jaga anak itu, biar kamu bisa istirahat Mama tahu kamu pasti sangat lelah. Kamu tidak harus terus-terusan menjaga bayi ini sendirian," ucap ibu Dimas penuh perhatian.Namun Dinda menggeleng perlahan. “Tidak apa-apa, Ma. Dinda tidak keberatan kok untuk menjaga bayi ini sendirian. Dinda sudah bertekad untuk menjaga bayi ini. Karena ini juga sudah menjadi bagian dari tanggung jawabku sekarang.”Ibu mertua Dinda terdiam sejenak, lalu tersenyum bangga melihat betapa besar hati menantunya. “Kamu benar-benar luar biasa, Dinda,” katanya sambil mengusap lembut tangan Dinda. Dia tak pernah menyangka bahwa Dinda masih bisa membuka hatinya seluas ini. setelah semua yang telah
"Ma, aku mohon... tolong jangan sebut Rita seperti itu. Dia sudah tiada, dan dia tidak layak diperlakukan seperti ini. Aku mohon, Ma... hormati dia, jangan panggil dia gundik!" Dimas berbicara dengan penuh emosi, namun juga harap.Ibu Nuri mendengus keras, wajahnya memerah karena kemarahan. "Apa yang salah dari kata-kataku? Kalau bukan gundik, apa namanya wanita yang merayu suami orang? Yang sudah menghancurkan pernikahan anakku?"Dinda yang sejak tadi berusaha tenang dan menahan diri, akhirnya tak bisa tinggal diam lagi. Dengan suara yang lebih keras daripada biasanya, ia memotong perdebatan itu. “Ma! Dinda mohon hentikan semua ini! Kita lagi berada di rumah sakit, jangan buat keributan di sini!” Seru Dinda dengan nada tegas.Semua orang terdiam mendengar Dinda berbicara dengan nada seperti itu, termasuk ibunya. Dinda kemudian melanjutkan, dengan suara yang sedikit bergetar, “Dan, Dinda setuju dengan Dimas. Tolong, Ma... jangan sebut Rita seperti itu lagi. Apa pun yang sudah terjadi,
Sore harinya, bayi Dimas akhirnya diperbolehkan pulang. Bayi mungil itu tampak nyaman dalam gendongan Dinda, yang tak pernah bosan menatap wajah polosnya. Tidak ada sedikit pun rasa benci atau dendam di matanya saat ia memandangi bayi tersebut. Malam itu, di kamar mereka, Dimas dan Dinda menyiapkan tempat tidur bayi. Dimas sebenarnya sudah menyarankan agar mereka membuatkan kamar terpisah untuk bayi itu, tapi Dinda menolak mentah-mentah."Sayang, apa kamu yakin kita tidak sebaiknya menaruh bayi ini di kamar lain saja? Biar kamu bisa istirahat lebih tenang," tanya Dimas dengan lembut.Dinda menggeleng, tersenyum tipis. "Tidak, Dimas. Aku tidak ingin jauh-jauh dari anak ini. Aku ingin selalu bersamanya," jawab Dinda mantap.Dimas tersenyum lega. Ada rasa bahagia yang tak bisa ia sembunyikan. Dinda, dengan segala kebaikan hatinya, menerima anaknya dengan tulus. Ia merasa bersyukur memiliki istri seperti Dinda. "Oh iya, Sayang, apa kamu sudah punya nama untuk anak kita ini?" tanya Dimas.
Dengan sekejap, Dimas memukul wajah pria botak tersebut dengan satu tinju keras yang membuatnya terhuyung jatuh ke tanah. Pria gondrong yang melihat temannya dipukul langsung naik pitam.“Kurang ajar kau!” teriak pria gondrong, lalu mencoba menyerang Dimas dengan tinjunya. “Berani-beraninya kau ikut campur urusan kami!”Namun, Dimas yang sudah terlatih dalam bela diri, dengan sigap menepis pukulan itu. Dengan gerakan cepat, Dimas memutar tubuhnya dan melayangkan tendangan ke perut pria gondrong, membuatnya terjatuh ke tanah dengan keras. Pria botak yang sudah bangun mencoba menyerang Dimas lagi, tapi sekali lagi, Dimas dengan mudah memukulnya hingga terkapar.Perkelahian berlangsung sengit, tapi Dimas, dengan keterampilannya, berhasil mengatasi keduanya. Para preman akhirnya tergeletak di tanah, meringis kesakitan.“Ampun... mas, ampun!” pria gondrong memohon sambil memegangi perutnya yang kesakitan. “Jangan pukuli kami lagi, mas! Kami janji, kami nggak akan ganggu wanita ini lagi.”D
Namun, Mr. Lee mengangkat tangan, menghentikan Daniel. “Cukup. Saya juga akan memberi tahu kepada semua mitra bisnis kami di China tentang apa yang sudah terjadi hari ini. Saya ingin mereka tahu betapa bobroknya integritas Prawira Group.”Daniel tampak seperti dihantam badai. Wajahnya merah padam, tetapi kali ini bukan karena amarah, melainkan karena ketakutan. “Tuan Lee, tolong… tolong jangan lakukan itu. Anda tahu apa artinya bagi perusahaan kami jika reputasi kami hancur di pasar China. Kami tidak akan bisa bertahan. Saya mohon, beri kami kesempatan untuk memperbaiki kesalahan ini.”Mr. Lee menatapnya dengan dingin. “Kesempatan? Kesempatan itu Anda sudah sia-siakan ketika Anda memutuskan untuk bermain kotor. Saya tidak peduli berapa besar perusahaan Anda. Bagi kami, kejujuran adalah segalanya.”Setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya, Mr. Lee meraih koper itu dan menyerahkannya kembali kepada Daniel. “Ambil u
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Ruang konferensi besar di sebuah hotel bintang lima di pusat kota dipenuhi oleh perwakilan dari dua perusahaan besar, Aditya Corporation dan Prawira Group, serta para eksekutif dari Techno Guard, perusahaan teknologi nomor satu di Asia. Atmosfer di ruangan itu tegang, penuh dengan harapan, ambisi, dan strategi tersembunyi.Adrian duduk di barisan depan bersama timnya, mengenakan jas hitam yang rapi, dengan tatapan penuh keyakinan. Di sebelahnya, Satya dengan percaya diri memegang tumpukan dokumen presentasi yang baru saja selesai dipaparkan. Adrian menepuk bahu Satya pelan. "Kerja bagus. Presentasimu tadi sempurna. Semua poin yang aku ingin sampaikan berhasil kau jabarkan dengan jelas," ucapnya.Satya tersenyum lega. "Terima kasih, Pak Adrian. Semoga ini cukup untuk memenangkan kepercayaan mereka."Di sisi lain ruangan, Daniel duduk santai di kursinya dengan senyum sinis. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, sesekali melirik ke
"Risiko?" Daniel menyambar dengan nada dingin, memotong kalimat pria itu sebelum selesai. "Risiko terbesar buatku adalah jika kalain semua gagal mendapatkan tender itu. Dan aku tidak akan mentolerir kegagalan lagi. Kalian tahu betapa malunya aku ketika Adrian memenangkan tender terakhir?!" Suaranya meninggi di akhir kalimat, membuat manajer itu menunduk dalam-dalam, takut untuk menjawab.Daniel menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. "Kalian pikir Adrian lebih pintar dariku? Tidak! Dia hanya lebih licik, lebih oportunis dan kebetulan lebih beruntung dari ku. Tapi kali ini, kita akan menunjukkan siapa yang sebenarnya memegang kendali." Dia berhenti sejenak, matanya menatap jauh ke jendela besar di belakang ruangan, mengamati gemerlap lampu kota yang seolah menertawakannya."Adrian pikir dia sudah bisa mengalahkanku dan akan terus berada di atas," gumam Daniel, lebih kepada dirinya sendiri. Kemudian dia berbalik menghadap timnya lagi, menambahkan dengan n
Anisa dan Siska saling berpandangan, ekspresi keduanya sama-sama penuh rasa penasaran. Kedatangan Dirga yang tiba-tiba membuat mereka bertanya-tanya."Kamu memangnya ada janji sama Dirga, Sis?" tanya Anisa, matanya menyipit seolah mencoba membaca pikiran adiknya.Siska menggeleng pelan. "Tidak, aku nggak punya janji apa-apa sama dia."Anisa mengerutkan kening, berpikir keras. "Terus, kenapa ya dia datang ke sini? Ada urusan apa kira-kira?" ucapnya sambil memiringkan kepala, jelas tak puas dengan jawaban Siska.Tiba-tiba, sebuah pemikiran melintas di benak Anisa, membuatnya tersenyum menggoda. "Jangan-jangan dia suka sama kamu, Sis! Makanya dia datang menemuimu kesini" celetuk Anisa dengan nada menggoda.Siska langsung merona, wajahnya memerah. "Apaan sih, Nis? Jangan ngomong yang aneh-aneh deh." Dia mencoba menutupi rasa malunya dengan memalingkan wajah. "Aku lagi nggak mau punya hubungan sama pria dulu. Karena aku masih trauma sama hubuganku dengan Reza."Anisa tersenyum lembut, mele
"Maafkan Mama, Nisa... Mama nggak pernah bermaksud membuat kalian merasa berbeda. Mama selalu berusaha adil, tapi mungkin Mama salah cara. Kalau sampai hubungan kalian jadi seperti ini, Mama ikut merasa bersalah."Anisa tersenyum lemah, mencoba menenangkan ibunya. "Mama, jangan salahkan diri Mama sendiri. Siska hanya perlu waktu untuk menyadari semua itu. Aku yakin nanti dia akan mengerti kalau perhatian Mama dan Papa selama ini bukan untuk membandingkan, tapi karena Mama ingin yang terbaik buat kami berdua."Adrian menimpali, mencoba mengalihkan suasana. "Sebaiknya kita berdoa saja. Semoga kejadian ini menjadi pelajaran buat Siska, supaya dia sadar kalau perlakuannya selama ini terhadap Anisa itu salah." Dia memeluk Anisa lebih erat, lalu mencium puncak kepalanya penuh kasih.Anisa mengangguk pelan. "Semoga saja, Mas. Aku cuma ingin dia sadar, kalau semua orang menyayanginya."Di sudut ruangan, Dirga berdiri diam, memperhatikan dari kejauhan. Tangannya terlipat di depan dada, tapi ma
Tak lama kemudian, suara langkah cepat terdengar. Dirga mendongak, melihat wajah-wajah yang familiar. Anisa tiba bersama keluarganya—Adrian, Dimas, serta kedua orang tua mereka. Wajah mereka dipenuhi kekhawatiran."Dirga! Apa yang sebenarnya terjadi pada Siska?" tanya Anisa panik, langsung mendekati Dirga. Tangannya menggenggam lengan Dirga erat.Dirga menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. "Siska mengalami luka tembak. Dia masih berada di dalam, Anisa. Dokter masih berusaha menyelamatkan nyawanya. ""Tertembak?!" Anisa menjerit kecil, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Wajahnya langsung pucat. "Siapa yang melakukannya, Dirga? Bagaimana ini bisa terjadi?!"Adrian yang berdiri di belakangnya memasang wajah tegang. "Ya, Dirga. Tolong jelaskan pada kami. Apa yang sebenarnya terjadi?"Dirga mengangguk, berusaha menjelaskan semuanya sejelas mungkin meski hatinya sendiri masih terguncang. "Tadi, Siska diculik oleh dua orang pria suru
KAU HARUS MATI, SISKA!" Lina berteriak histeris.Sebelum siapa pun sempat bergerak, suara tembakan menggema di ruangan itu. Peluru itu meluncur cepat, dan semua terasa seperti berjalan lambat. "DOR!"Peluru itu menghantam perut Siska, membuat tubuhnya terhempas ke belakang. Siska jatuh ke lantai dengan tangan yang mencengkeram perutnya. Darah segera mengalir membasahi pakaiannya. "Ahh!" Siska mengerang kesakitan, tubuhnya menggeliat saat rasa nyeri yang luar biasa menyerangnya."SISKA!" Dirga berteriak panik, langsung berlari ke arahnya. Sementara polisi lainnya bereaksi cepat, menundukkan Lina dan menjatuhkannya ke lantai. Pistol yang dia genggam terlepas dari tangannya, dan dia menjerit seperti orang kesetanan. "Dia harus mati! Dia pantas mati!" Lina terus meronta meski tangannya sudah diborgol dengan kuat.Dirga berlutut di samping Siska, wajahnya penuh dengan kecemasan. "Siska, bertahanlah! Tolong, jangan tutup matamu! Bantuan medis sedang dalam perjalanan!" Dia menekan luka di pe
Kedua pria suruhan Lina yang sejak tadi diam mulai saling melirik. Pria gondrong itu akhirnya memberanikan diri berbicara, meski suaranya bergetar. "Bos... maaf, ini kayaknya sudah di luar kesepakatan kita. Kita cuma disuruh bawa wanita ini ke sini. Kalau urusan ngebunuh, kita nggak mau ikut campur."Lina langsung berbalik ke arah mereka, matanya penuh dengan api kemarahan. "Diam kalian! Dari awal kalian membawa dia ke sini saja, kalian sudah ikut campur. Dan jangan lupa, kalian sudah kubayar mahal. Jadi sekarang, lakukan perintahku, atau aku akan memastikan kalian tidak akan bisa lari dari ini!"Pria botak mulai berkeringat dingin. "Tapi, Bos... ini bukan pekerjaan kita. Kita nggak pernah ngelakuin hal seperti ini sebelumnya. Kalau ini ketahuan, kita bisa kena masalah besar."Lina mendesah kesal, lalu mengambil amplop lain dari tasnya dan melemparkannya ke meja di depan mereka. "Dengar baik-baik. Kalau kalian membantuku menghabisinya, aku akan bayar kalian dua kali lipat dari yang su
Wanita itu menatap Siska dengan pandangan dingin, matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dijelaskan—antara kebencian, kepuasan, dan mungkin dendam yang membara. Dirga mengamati semua itu dengan hati yang semakin dipenuhi kegelisahan."Siapa dia sebenarnya? Apa hubungannya dengan Siska? Kenapa dia sampai tega melakukan ini?" pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui Dirga.Ia mencoba mengatur napasnya yang semakin berat, menanti saat yang tepat untuk bertindak, sementara kepalanya terus memutar berbagai kemungkinan. Di saat itu juga, suara sirene yang samar mulai terdengar di kejauhan, memberikan secercah harapan dalam situasi yang mencekam.Dirga merapat ke sisi rumah kosong itu, bersembunyi di bawah jendela yang retak. Ia menahan napas, berharap mendengar atau melihat apa yang sedang terjadi di dalam. Dari celah kecil di jendela, ia bisa melihat wanita cantik itu berdiri angkuh, sementara kedua pria suruhan membungkuk hormat di hadapannya.Wanita itu menyerahkan amplop cokelat yang