Sore harinya, bayi Dimas akhirnya diperbolehkan pulang. Bayi mungil itu tampak nyaman dalam gendongan Dinda, yang tak pernah bosan menatap wajah polosnya. Tidak ada sedikit pun rasa benci atau dendam di matanya saat ia memandangi bayi tersebut. Malam itu, di kamar mereka, Dimas dan Dinda menyiapkan tempat tidur bayi. Dimas sebenarnya sudah menyarankan agar mereka membuatkan kamar terpisah untuk bayi itu, tapi Dinda menolak mentah-mentah."Sayang, apa kamu yakin kita tidak sebaiknya menaruh bayi ini di kamar lain saja? Biar kamu bisa istirahat lebih tenang," tanya Dimas dengan lembut.Dinda menggeleng, tersenyum tipis. "Tidak, Dimas. Aku tidak ingin jauh-jauh dari anak ini. Aku ingin selalu bersamanya," jawab Dinda mantap.Dimas tersenyum lega. Ada rasa bahagia yang tak bisa ia sembunyikan. Dinda, dengan segala kebaikan hatinya, menerima anaknya dengan tulus. Ia merasa bersyukur memiliki istri seperti Dinda. "Oh iya, Sayang, apa kamu sudah punya nama untuk anak kita ini?" tanya Dimas.
Dengan sekejap, Dimas memukul wajah pria botak tersebut dengan satu tinju keras yang membuatnya terhuyung jatuh ke tanah. Pria gondrong yang melihat temannya dipukul langsung naik pitam.“Kurang ajar kau!” teriak pria gondrong, lalu mencoba menyerang Dimas dengan tinjunya. “Berani-beraninya kau ikut campur urusan kami!”Namun, Dimas yang sudah terlatih dalam bela diri, dengan sigap menepis pukulan itu. Dengan gerakan cepat, Dimas memutar tubuhnya dan melayangkan tendangan ke perut pria gondrong, membuatnya terjatuh ke tanah dengan keras. Pria botak yang sudah bangun mencoba menyerang Dimas lagi, tapi sekali lagi, Dimas dengan mudah memukulnya hingga terkapar.Perkelahian berlangsung sengit, tapi Dimas, dengan keterampilannya, berhasil mengatasi keduanya. Para preman akhirnya tergeletak di tanah, meringis kesakitan.“Ampun... mas, ampun!” pria gondrong memohon sambil memegangi perutnya yang kesakitan. “Jangan pukuli kami lagi, mas! Kami janji, kami nggak akan ganggu wanita ini lagi.”D
Keesokan harinya, Dimas kembali datang ke rumah Rita untuk memenuhi janjinya. Hatinya terasa hangat saat membayangkan bisa membantu Rita, meski ia tak tahu bagaimana caranya. Namun, ketika sampai di depan rumah, pemandangan yang ia saksikan membuat darahnya mendidih. Seorang wanita dengan wajah angkuh berdiri di depan pintu, dikelilingi oleh dua pria berbadan besar. Di hadapan mereka, Rita terlihat bersimpuh di lantai, tangisnya pecah dengan suara lirih."Bu Rohma, saya mohon beri saya waktu lagi. Saya pasti akan melunasi hutang-hutang ayah saya," ujar Rita dengan suara parau.Wanita yang dipanggil Bu Rohma hanya tertawa kecil, sinis. "Waktu?" tanyanya mengejek. "Aku sudah memberimu dua bulan untuk melunasi semuanya, tapi lihat dirimu sekarang. Sampai saat ini pun kamu belum bisa membayarnya," ucapnya dengan nada penuh kemenangan.Rita menunduk, air matanya jatuh di tanah. "Tapi kali ini saya janji, saya akan melunasinya. Beri saya waktu sampai minggu depan, Bu," pintanya penuh harap,
Setelah kejadian membantu Rita melunasi hutangnya, Dimas memutuskan untuk menjaga jarak. Bukan karena ia tidak peduli, tetapi karena ia menghormati istrinya dan tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman. Dia merasa sudah melakukan hal yang tepat dengan membantu Rita menyelesaikan masalahnya. Namun, suatu hari, di bawah terik matahari yang menyengat dan di tengah kemacetan jalan raya, Dimas melihat sosok yang tak asing."Itu bukannya Rita?" gumam Dimas dalam hati saat melihat wanita itu tampak kelelahan menjajakan dagangannya di trotoar. Dia merasa iba. "Kasihan sekali, dia harus bekerja seperti ini... Sebaiknya aku temui saja dia," pikirnya lagi.Setelah memarkirkan mobilnya di emperan toko, Dimas langsung turun dan menghampiri Rita. "Rita... apa kabar? Kelihatannya daganganmu belum laku semua," sapanya dengan nada ramah.Rita yang tadinya sibuk dengan dagangannya, terkejut melihat Dimas. "Eh... Dimas. Kabarku baik, kok. Iya, hari ini kebetulan sepi, jadi dagangannya belum laku semua," j
“Dimas? Ada apa malam-malam begini?” tanyanya heran, sedikit khawatir.Dimas berdiri di ambang pintu dengan ekspresi lelah dan sedikit canggung. "Maaf, Rita. Aku nggak bermaksud mengganggu mu. Mobilku mogok di jalan, dan ponselku mati. Aku cuma butuh ngecas sebentar, biar bisa telepon bengkel dan kabari rumah," jelas Dimas dengan suara lemah.Rita memandang Dimas yang tampak kelelahan. Meski merasa sedikit canggung, dia tahu Dimas membutuhkan bantuan. “Oh... ya, nggak apa-apa. Masuk saja,” ucap Rita sambil mempersilakannya masuk.Dimas melangkah masuk dengan hati-hati, melihat sekeliling rumah kecil itu. “Terima kasih, Rita. Maaf sudah merepotkan mu,” ucapnya dengan suara yang sedikit rendah.Rita hanya tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Dimas. Kamu tunggu di sini ya, aku cas dulu ponselmu." Dia mengambil ponsel Dimas dan mulai mencolokkannya ke stopkontak.Setelah itu, Rita kembali dengan segelas air putih. "Ini, minum dulu biar segar," ucapnya sambil menyodorkan gelas itu.Dimas mener
“Maksudmu apa bicara seperti itu, Dimas? Aku tidak mengerti?” tanya Rita, suaranya terdengar gemetar. Matanya menatap lurus ke arah Dimas, penuh dengan kebingungan dan ketakutan.Dimas menatapnya dengan tatapan serius, seolah mencoba menemukan keberanian di balik kata-katanya. "Aku akan bertanggung jawab... Aku akan menikahimu," ucapnya tegas, tapi di dalam hatinya, kalimat itu terasa begitu berat."Apa?" Rita terkejut, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Kalau kamu menikahiku, bagaimana dengan istrimu? Tidak mungkin kan kau akan menceraikannya?" sambungnya, suaranya meninggi. Wajahnya penuh dengan keraguan, dan hatinya mulai dipenuhi rasa takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya.Dimas terdiam. Kata-kata Rita seperti pukulan yang menghantamnya keras. Ia tahu bahwa apa yang dikatakan Rita benar, tapi di saat yang sama, hatinya penuh dengan dorongan untuk memperbaiki kesalahan yang telah ia buat. Namun, bagaimana? Bagaimana mungkin ia bisa memperbaiki semua i
"Ya Tuhan... kenapa dua garis...?" bisiknya, napasnya semakin berat. Panik mulai menyelimuti dirinya, membungkus hatinya dengan ketakutan yang pekat. Rita menjatuhkan tubuhnya ke lantai kamar mandi, alat tes kehamilan itu tergeletak di sebelahnya. Ia tidak bisa mempercayai kenyataan ini, perasaan takut dan bingung memenuhi kepalanya."Aku harus memastikannya ke dokter... iya, aku harus ke rumah sakit," katanya pelan, mencoba mengendalikan kekacauan di pikirannya. Dengan tangan yang masih gemetar, ia berusaha merapikan penam
Dimas menatapnya, wajahnya berubah serius. “Ada apa, Rita? Apa hal penting yang mau kamu sampaikan padaku? Katakan saja, jangan takut.” Suaranya terdengar tenang, namun ada kegelisahan dalam tatapannya.Rita menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya. “Aku… aku hamil…” ucapnya tiba-tiba, begitu lirih namun jelas terdengar.Dimas terkejut, tubuhnya seakan membeku. Berita itu seperti guntur yang menyambar di siang hari, tak terduga dan menghentikan pikirannya. Rita melihat reaksinya, semakin cemas. “Dimas… Dimas… apa kamu baik-baik saja? Apa kamu marah?” tanyanya, khawatir.Dimas tersadar dari keterkejutannya. Ia berusaha tersenyum untuk meyakinkan Rita dan meraih tangannya dengan lembut. “Aku tidak marah, Rita,” ucapnya dengan suara tenang. “Justru… aku sangat bahagia. Aku sudah lama menantikan seorang anak dalam hidupku,” katanya dengan wajah penuh harapan.Rita terdiam, terkejut oleh reaksi Dimas yang begitu berbeda dari apa yang ia bayangkan. “Jadi… apa yang aka
Ketegangan Memuncak di Aditya CorporationDi aula besar Aditya Corporation, suasana semakin panas. Para karyawan berbisik-bisik, saling bertanya-tanya mengenai keberadaan Adrian yang hingga kini belum juga muncul.Di deretan kursi depan, Satya duduk dengan wajah cemas. Pak Benny, yang duduk di sebelahnya, menoleh mendekat dan berbisik pelan, "Pak Satya, bagaimana? Apakah Bapak sudah bisa menghubungi Pak Adrian?"Satya menggeleng, napasnya terdengar berat. "Belum, Pak. Dari tadi nomornya tidak bisa dihubungi. Saya sudah coba berulang kali."Pak Benny mengerutkan kening, semakin khawatir. "Apa Bapak sudah coba menghubungi Pak Aditya?""Sudah, Pak. Kata beliau, Pak Adrian sudah berangkat dari tadi pagi menuju ke kantor. Tapi anehnya, sampai sekarang belum juga sampai," jawab Satya, suaranya memantulkan kegelisahan.Pak Benny mulai gelisah, melihat ke sekeliling aula yang mulai dipenuhi bisik-bisik khawatir dari para karyawan. "Kalau begitu, kem
Hari yang dinantikan tiba—hari penyerahan jabatan di kantor, dan Adrian tampak penuh percaya diri. Seperti biasa, Anisa, istrinya, menyiapkan segala keperluan suaminya dengan telaten. "Mas, sarapannya sudah siap. Ayo, kita sarapan sama-sama," panggil Anisa dari ruang makan, melihat Adrian masih berdiri di depan cermin, sibuk memasang dasinya."Iya, sayang. Sebentar lagi, tinggal pasang dasi ini saja. Nanti aku ke meja makan," jawab Adrian sambil tersenyum."Baik, Mas. Kalau begitu, aku lihat Alisha dulu ya. Aku mau bangunin dia. Siapa tahu, dia mau sarapan bareng Papa," ujar Anisa sebelum berlalu.Adrian mengangguk ringan. Setelah dasinya rapi, ia turun ke ruang makan, di mana Aditya, ayahnya, sudah menunggu sambil membaca koran pagi."Pagi, Pa," sapa Adrian sembari menarik kursi dan duduk di hadapan ayahnya."Pagi, Nak. Bagaimana? Sudah siap untuk hari ini?" tanya Aditya, menurunkan korannya dan menatap putranya penuh harap."Tentu, Pa. Aku sudah mempersiapkan semuanya dengan matang.
Reza langsung menegang. "Apa? Tidak mau. Aku bukan OB. Kalau kamu mau kopi, suruh saja OB untuk membuatkan," balasnya tegas, mencoba mempertahankan sisa harga dirinya.Namun, Dendi tidak kehabisan akal. Dengan wajah penuh kepura-puraan, ia berkata, "Oh, OB kita sedang sibuk semua. Lagi ada masalah ruangan bocor, jadi mereka semua dikerahkan ke sana.""Tetap saja aku tidak mau. Itu bukan jobdesk-ku!" ucap Reza dengan suara yang mulai meninggi.Dendi tersenyum licik. "Oooh, jadi kamu tidak mau? Baiklah, nanti aku akan buat laporan kalau kamu melawan perintah atasan. Akan ku buat seolah-olah kamu tidak mau bekerja sama. Kau tahu apa akibatnya, kan? Kamu bisa dipecat, Reza. Apalagi sekarang posisimu sudah sangat lemah di perusahaan ini."Reza terdiam. Dalam hati, ia menahan luapan emosinya. "Sialan! Orang-orang di perusahaan ini sekarang semua berani melawanku. Kalau aku tidak mengiku
Reza hanya menoleh sekilas, tanpa berkata apa-apa, dan mengangguk dengan malas. Nindi berjalan di depan, memimpin langkah. Sepanjang perjalanan, beberapa karyawan lain yang mengenal Nindi berusaha bertanya tanpa suara. Dengan hanya menggerakkan bibir, mereka bertanya, "Kenapa Pak Reza?"Nindi, yang sudah terbiasa membaca gerakan mulut rekan-rekannya, hanya menjawab singkat, "Nanti aku ceritakan." Mereka pun mengangguk, sambil memandang Reza dengan penuh tanda tanya.Setelah beberapa menit, mereka tiba di bagian produksi. Nindi berhenti di depan sebuah meja sempit yang diletakkan di pojok ruangan. Di atas meja itu, hanya ada sebuah buku besar yang tampak usang dan tumpukan berkas yang menjulang seperti menara."Ini meja saya? Apa tidak salah?!" ucap Reza terkejut. Ia memandang meja itu seolah-olah melihat sesuatu yang sangat hina. "Dan... di mana laptop saya untuk bekerja?"N
Keesokan Pagi di Aditya CorporationPagi itu, Adrian berdiri di depan jendela ruangan Satya, memandang ke luar dengan tatapan tajam. Sinar matahari yang menerobos kaca tidak mampu mengusir dinginnya suasana di dalam ruangan. Di belakangnya, Pak Beni duduk dengan ekspresi tegas, bersiap menghadapi apa yang sudah direncanakan Adrian."Bagaimana, Pak Beni? Apa Anda sudah siap?" tanya Adrian, suaranya datar namun tegas."Saya sudah siap, Pak Adrian untuk mengemban tugas yang akan bapak berikan, sepertinya sudah waktunya semua ini dibenahi," jawab Pak Beni mantap.Adrian mengangguk perlahan. "Bagus. Kalau begitu, ayo kita sekarang pergi keruangan Reza dan memberi pelajaran yang tak akan pernah bisa dia lupakan."Adrian melangkah keluar, diikuti oleh Pak Beni dan Satya. Sepanjang perjalanan ke ruangan Reza, bisik-bisik mulai terdengar di antara karyawan. Wajah Adrian yang jarang terlihat di kantor, serta kehadiran Pak Beni yang legendaris, membuat suasana penuh teka-teki."Siapa mereka? Ken
Keesokan harinya, Adrian mengajak Satya untuk bertemu dengan Pak Beni, mantan manajer keuangan Aditya Corporation yang sebelumnya dipecat oleh Darco.Sesampainya di depan sebuah rumah sederhana, Adrian bertanya dengan nada ragu, "Satya, kamu yakin ini rumah Pak Beni?""Saya yakin, Pak. Kemarin saya sudah meminta salah satu staf personalia mencarikan alamatnya," jawab Satya tegas."Kalau begitu, ayo kita turun," ucap Adrian sambil membuka pintu mobil.Mereka melangkah ke pintu rumah dan mengetuknya. Ketukan kedua akhirnya membuka pintu, menampilkan wajah Pak Beni yang terlihat terkejut namun dengan senyum ramah seperti biasanya."Pak Adrian?" ucapnya dengan nada tak percaya. Namun ia segera mempersilakan mereka masuk. "Silakan masuk, Pak."Adrian dan Satya mengangguk sopan, mengikuti Pak Beni ke dalam. Mereka duduk di ruang tamu kecil yang nyaman, lalu Pak Beni memanggil istrinya."Darmi, tolong buatkan tiga kopi, ya. Ada tamu yang datang," teriaknya."Siapa yang datang, Pak?" terdenga
Reza menelan ludah, menahan rasa kesalnya. Namun, ia tidak punya pilihan selain menuruti. “Ba… baik, Pak Adrian,” jawabnya dengan suara pelan.“Bagus,” jawab Adrian singkat, sambil tersenyum dingin. “Sekarang, kau bisa pergi. Dan, aku harap kau tidak mencoba menguping.”Reza mengangguk sekali lagi, wajahnya merah padam karena menahan amarah. Ia melangkah keluar sambil mengepalkan tangannya erat-erat.Setelah pintu tertutup, Darco tertawa kecil untuk mencairkan suasana. “Adrian, kamu benar-benar berubah. Aku kagum melihat sikap tegasmu.”Adrian tetap berdiri tegak, tidak ikut tersenyum. Tatapannya langsung menusuk ke arah Darco. “Om, aku ke sini bukan untuk bermain kata-kata. Aku ingin langsung ke inti pembicaraan kita.”Darco kembali ke kursinya, berusaha terlihat tenang meskipun dadanya bergemuruh. “Baiklah, Adrian. Katakan saja, apa tujuanmu datang pagi-pagi seperti ini?”Adrian mendekat, lalu duduk di kursi berhadapan dengan Darco. Ia meletakkan tangan di meja, menatap Darco dengan
Pak Aditya menghela napas panjang, lalu menatap Adrian penuh keyakinan. "Papa serahkan semuanya padamu, Adrian. Apa pun yang kamu lakukan, Papa akan selalu mendukungmu."Adrian tersenyum lega. "Terima kasih, Pa. Kalau begitu, kami pamit ke kamar dulu."Pak Aditya hanya mengangguk, menatap Adrian, Anisa, dan Alisha dengan perasaan bahagia sekaligus harapan besar di hatinya.Keesokan harinya di Aditya Corporation, suasana di ruangan Darco dipenuhi ketegangan.Darco berdiri mondar-mandir sambil terus melirik ke arah pintu, sementara Reza duduk dengan wajah cemas. "Reza, apakah kamu sudah melihat Adrian datang?" tanya Darco dengan nada mendesak."Belum, Pak. Saya belum melihat Adrian," jawab Reza, sama gelisahnya.Darco menghentikan langkahnya sejenak. "Aku yakin pagi ini dia pasti akan datang untuk mengambil alih perusahaan ini. Ini tidak bisa kita biarkan sebelum kita menjalankan rencana kita untuk mengambil alih semuanya!" katanya dengan nada marah."Jadi, apa yang akan Bapak lakukan?"
Di dalam perjalanan menuju tujuan mereka, suasana di dalam mobil mewah itu penuh dengan percakapan yang mengungkap sisi emosional Adrian dan istrinya, Anisa. Adrian mencoba menjelaskan betapa berat beban yang harus ia pikul selama ini."Begitulah, sayang. Maafkan aku yang tidak bisa menemui kamu selama ini. Karena aku harus menjalankan semua rencanaku sampai benar-benar berhasil," ucap Adrian dengan nada lembut namun tegas.Anisa menggenggam tangan suaminya yang masih memegang kemudi. "Tidak apa-apa, Mas. Aku mengerti posisimu," balas Anisa dengan tulus. Kemudian, dia menatap Adrian, penuh harap. "Tapi, kapan kamu akan merebut kembali Aditya Corporation dari pamanmu itu?"Adrian menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Besok, sayang. Semua rencanaku akan berjalan sesuai jadwal. Apalagi sekarang Reza sudah mengetahui bahwa aku adalah anak dari pemilik Aditya Corporation. Dia pasti akan melaporkan hal ini kepada Om Darco, dan aku yakin Om Darco tidak akan ting