"Ya Tuhan... kenapa dua garis...?" bisiknya, napasnya semakin berat. Panik mulai menyelimuti dirinya, membungkus hatinya dengan ketakutan yang pekat. Rita menjatuhkan tubuhnya ke lantai kamar mandi, alat tes kehamilan itu tergeletak di sebelahnya. Ia tidak bisa mempercayai kenyataan ini, perasaan takut dan bingung memenuhi kepalanya."Aku harus memastikannya ke dokter... iya, aku harus ke rumah sakit," katanya pelan, mencoba mengendalikan kekacauan di pikirannya. Dengan tangan yang masih gemetar, ia berusaha merapikan penam
Dimas menatapnya, wajahnya berubah serius. “Ada apa, Rita? Apa hal penting yang mau kamu sampaikan padaku? Katakan saja, jangan takut.” Suaranya terdengar tenang, namun ada kegelisahan dalam tatapannya.Rita menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya. “Aku… aku hamil…” ucapnya tiba-tiba, begitu lirih namun jelas terdengar.Dimas terkejut, tubuhnya seakan membeku. Berita itu seperti guntur yang menyambar di siang hari, tak terduga dan menghentikan pikirannya. Rita melihat reaksinya, semakin cemas. “Dimas… Dimas… apa kamu baik-baik saja? Apa kamu marah?” tanyanya, khawatir.Dimas tersadar dari keterkejutannya. Ia berusaha tersenyum untuk meyakinkan Rita dan meraih tangannya dengan lembut. “Aku tidak marah, Rita,” ucapnya dengan suara tenang. “Justru… aku sangat bahagia. Aku sudah lama menantikan seorang anak dalam hidupku,” katanya dengan wajah penuh harapan.Rita terdiam, terkejut oleh reaksi Dimas yang begitu berbeda dari apa yang ia bayangkan. “Jadi… apa yang aka
Sementara itu, di rumah Siska, suasana sore yang seharusnya tenang mendadak terasa tegang setelah Reza menyampaikan kabar mengejutkan. Siska sedang duduk di ruang tamu ketika suaminya pulang dengan ekspresi yang sulit diartikan.“Sayang, besok aku disuruh kantor untuk ikut menyaksikan pelantikan direktur baru di Harto Corp, menggantikan posisi ayahmu. Apa kamu juga diundang?” tanya Reza, mencoba berbicara biasa.Siska menghela napas panjang. "Iya, Mas. Papa menyuruhku datang. Katanya ini permintaan langsung dari pemilik Aditya Corporation, walaupun aku malas sekali.""Kalau begitu, kita bisa datang bareng," ucap Reza dengan nada lebih ceria.Siska tersenyum tipis, merasa sedikit lebih baik. "Syukurlah, Mas. Setidaknya kalau kamu ada di sana, aku nggak akan terlalu bosan."Namun, rasa nyaman itu segera berubah menjadi keheranan ketika Reza bertanya, “Oh iya, Siska… kamu tahu siapa yang bakal menggantikan ayahmu?”Siska menatap suaminya dengan alis terangkat. “Katanya sih masih kerabat
Siska tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Anisa…? Kok dia di sini?” bisiknya pada Reza, matanya masih terpaku pada sosok kakaknya yang seharusnya sudah lama tak terlihat di acara-acara keluarga.Reza mengangguk pelan, tak kalah terkejut. “Aku juga nggak tahu dia akan hadir… Sejak kapan dia berhubungan lagi dengan keluarga kalian?”Siska terdiam sejenak, pikirannya bercampur aduk. Anisa adalah kakaknya, namun karena konflik lama, ia sempat diasingkan dari keluarga mereka dan tak lagi dianggap sebagai bagian dari Harto Corp. Kenyataan bahwa dia muncul di acara sepenting ini membuat Siska bertanya-tanya—apa alasan Anisa datang hari ini?Anisa yang menggendong Alisha berdiri di salah satu sudut ruangan, tidak terlalu menonjol, namun cukup dekat dengan panggung utama. Sesekali ia tersenyum tipis, dan itu saja sudah membuat beberapa orang meliriknya dengan penasaran. Siska tahu bahwa kakaknya itu adalah orang yang mandiri dan tangguh, namun muncul di pelantikan direktur baru ayah me
Dinda merasakan detak jantungnya berpacu cepat ketika sosok Dirga tiba-tiba muncul di hadapannya. Matanya membelalak tak percaya, seakan-akan hantu masa lalu kembali mengusiknya. "Dinda?? Kamu benar Dinda kan?" tanya Dirga dengan nada ragu, seolah tak yakin dengan penglihatannya sendiri.Dinda menelan ludah dengan susah payah, berusaha meredakan gejolak emosi yang bergejolak dalam dirinya. "Iya, Dirga. Aku Dinda," jawabnya singkat, suaranya terdengar bergetar.Berbagai kenangan masa lalu menyerbu pikiran Dinda, menghantam pertahanannya dengan ganas. Dulu, Dirga adalah pria yang sangat disukainya, namun pria itu dengan kejam menolaknya karena telah jatuh cinta pada Anisa. Luka itu kini seakan terbuka kembali."Dinda, apa kabar? Sudah lama ya kita tidak bertemu," ujar Dirga, berusaha mencairkan suasana yang kaku."Iya, Dirga. Sudah hampir 10 tahun," balas Dinda, pandangannya tertuju pada bayi mungil yang berada dalam gendongannya."Terus, siapa bayi lucu ini? Anakmu ya?" tanya Dirga, m
"Yang benar, Dimas?" Suara Dinda terdengar ragu, nyaris berbisik, namun tatapannya tertuju lurus pada pria di depannya. “Jadi Dirga yang akan menggantikan Papa?”Dimas mengangguk pelan. “Iya, sayang. Beberapa hari yang lalu, dia diperkenalkan oleh perwakilan Aditya Corporation sebagai direktur utama.” Ada kehangatan dalam suaranya, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang tak terkatakan.Dinda mencoba mencerna informasi itu. “Oo, begitu,” ujarnya, seakan bicara pada dirinya sendiri. Ia melirik sekilas ke arah Dirga, yang hanya tersenyum tipis, tenang di tengah kegemparan kecil yang baru saja tercipta.“Benar, Dinda.” Dirga akhirnya buka suara. “Aku dipercaya sepupuku untuk mengurus perusahaan ini.” Ia berbicara dengan nada yang tenang, hampir terlalu santai, seolah topik ini tak lebih dari percakapan biasa.“Jadi, pemilik Aditya Corporation itu sepupumu?” Mata Dinda menyipit, nada heran menyusup di balik suaranya. “Kok aku enggak tahu? Padahal kita berteman sejak dulu.” “Hanya s
Lampu sorot panggung menyinari sosok Fito yang melangkah dengan percaya diri, mengenakan setelan jas rapi. Setelah mengambil tempat di podium, ia menatap sejenak ke arah audiens, menarik napas, dan mulai berbicara dengan nada suara tenang namun penuh kekuatan.“Selamat malam, hadirin sekalian. Merupakan kehormatan besar bagi saya, atas nama Aditya Corporation, untuk berdiri di sini malam ini. Malam ini adalah momen bersejarah bagi kita semua. Bukan hanya untuk Hartono Corporation, tetapi juga bagi keluarga besar Aditya Corporation. Bergabungnya Hartono Corp dengan kami bukan sekadar kemitraan bisnis, melainkan penyatuan dua kekuatan yang akan saling melengkapi dan memperkuat.”Para tamu mendengarkan dengan seksama, sementara Fito melanjutkan, suaranya penuh keyakinan. “Kami percaya, di bawah satu visi yang selaras, kedua perusahaan akan mampu menembus batas-batas baru, memanfaatkan peluang-peluang besar yang ada di depan kita. Ini adalah langkah awal
Di antara hadirin, keheningan berubah menjadi gumaman-gumaman terkejut. Seluruh keluarga Pak Hartono terpaku, tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Namun, yang paling terkejut adalah Anisa. Ia tertegun di tempat duduknya, matanya membesar, tak percaya melihat sosok pria yang selama ini ia pikir hilang dari hidupnya.“Mas… Adrian…benar itu kamu?” bisiknya lirih, nyaris tidak terdengar, matanya berkaca-kaca.Di sisi lain ruangan, Daniel menatap Adrian dengan wajah penuh keterkejutan dan kebingungan. “Apa? Jadi selama ini Adrian bukan pegawai biasa, tapi CEO dari Aditya Corporation?” gumamnya tak percaya. “Bagaimana mungkin? ini pasti ada yang salah.”Di barisan depan, wajah Reza berubah pucat pasi, darah seolah-olah hilang dari wajahnya. Ingatannya kembali pada kejadian-kejadian di kantor, di mana ia pernah menganggap Adrian hanya staf biasa—bahkan menghina dan memperlakukannya dengan angkuh. Napasnya tertahan, ia bergumam pelan, “Ba… bagaimana bisa? Ini tidak mungkin… Tidak mungkin
Ketegangan Memuncak di Aditya CorporationDi aula besar Aditya Corporation, suasana semakin panas. Para karyawan berbisik-bisik, saling bertanya-tanya mengenai keberadaan Adrian yang hingga kini belum juga muncul.Di deretan kursi depan, Satya duduk dengan wajah cemas. Pak Benny, yang duduk di sebelahnya, menoleh mendekat dan berbisik pelan, "Pak Satya, bagaimana? Apakah Bapak sudah bisa menghubungi Pak Adrian?"Satya menggeleng, napasnya terdengar berat. "Belum, Pak. Dari tadi nomornya tidak bisa dihubungi. Saya sudah coba berulang kali."Pak Benny mengerutkan kening, semakin khawatir. "Apa Bapak sudah coba menghubungi Pak Aditya?""Sudah, Pak. Kata beliau, Pak Adrian sudah berangkat dari tadi pagi menuju ke kantor. Tapi anehnya, sampai sekarang belum juga sampai," jawab Satya, suaranya memantulkan kegelisahan.Pak Benny mulai gelisah, melihat ke sekeliling aula yang mulai dipenuhi bisik-bisik khawatir dari para karyawan. "Kalau begitu, kem
Hari yang dinantikan tiba—hari penyerahan jabatan di kantor, dan Adrian tampak penuh percaya diri. Seperti biasa, Anisa, istrinya, menyiapkan segala keperluan suaminya dengan telaten. "Mas, sarapannya sudah siap. Ayo, kita sarapan sama-sama," panggil Anisa dari ruang makan, melihat Adrian masih berdiri di depan cermin, sibuk memasang dasinya."Iya, sayang. Sebentar lagi, tinggal pasang dasi ini saja. Nanti aku ke meja makan," jawab Adrian sambil tersenyum."Baik, Mas. Kalau begitu, aku lihat Alisha dulu ya. Aku mau bangunin dia. Siapa tahu, dia mau sarapan bareng Papa," ujar Anisa sebelum berlalu.Adrian mengangguk ringan. Setelah dasinya rapi, ia turun ke ruang makan, di mana Aditya, ayahnya, sudah menunggu sambil membaca koran pagi."Pagi, Pa," sapa Adrian sembari menarik kursi dan duduk di hadapan ayahnya."Pagi, Nak. Bagaimana? Sudah siap untuk hari ini?" tanya Aditya, menurunkan korannya dan menatap putranya penuh harap."Tentu, Pa. Aku sudah mempersiapkan semuanya dengan matang.
Reza langsung menegang. "Apa? Tidak mau. Aku bukan OB. Kalau kamu mau kopi, suruh saja OB untuk membuatkan," balasnya tegas, mencoba mempertahankan sisa harga dirinya.Namun, Dendi tidak kehabisan akal. Dengan wajah penuh kepura-puraan, ia berkata, "Oh, OB kita sedang sibuk semua. Lagi ada masalah ruangan bocor, jadi mereka semua dikerahkan ke sana.""Tetap saja aku tidak mau. Itu bukan jobdesk-ku!" ucap Reza dengan suara yang mulai meninggi.Dendi tersenyum licik. "Oooh, jadi kamu tidak mau? Baiklah, nanti aku akan buat laporan kalau kamu melawan perintah atasan. Akan ku buat seolah-olah kamu tidak mau bekerja sama. Kau tahu apa akibatnya, kan? Kamu bisa dipecat, Reza. Apalagi sekarang posisimu sudah sangat lemah di perusahaan ini."Reza terdiam. Dalam hati, ia menahan luapan emosinya. "Sialan! Orang-orang di perusahaan ini sekarang semua berani melawanku. Kalau aku tidak mengiku
Reza hanya menoleh sekilas, tanpa berkata apa-apa, dan mengangguk dengan malas. Nindi berjalan di depan, memimpin langkah. Sepanjang perjalanan, beberapa karyawan lain yang mengenal Nindi berusaha bertanya tanpa suara. Dengan hanya menggerakkan bibir, mereka bertanya, "Kenapa Pak Reza?"Nindi, yang sudah terbiasa membaca gerakan mulut rekan-rekannya, hanya menjawab singkat, "Nanti aku ceritakan." Mereka pun mengangguk, sambil memandang Reza dengan penuh tanda tanya.Setelah beberapa menit, mereka tiba di bagian produksi. Nindi berhenti di depan sebuah meja sempit yang diletakkan di pojok ruangan. Di atas meja itu, hanya ada sebuah buku besar yang tampak usang dan tumpukan berkas yang menjulang seperti menara."Ini meja saya? Apa tidak salah?!" ucap Reza terkejut. Ia memandang meja itu seolah-olah melihat sesuatu yang sangat hina. "Dan... di mana laptop saya untuk bekerja?"N
Keesokan Pagi di Aditya CorporationPagi itu, Adrian berdiri di depan jendela ruangan Satya, memandang ke luar dengan tatapan tajam. Sinar matahari yang menerobos kaca tidak mampu mengusir dinginnya suasana di dalam ruangan. Di belakangnya, Pak Beni duduk dengan ekspresi tegas, bersiap menghadapi apa yang sudah direncanakan Adrian."Bagaimana, Pak Beni? Apa Anda sudah siap?" tanya Adrian, suaranya datar namun tegas."Saya sudah siap, Pak Adrian untuk mengemban tugas yang akan bapak berikan, sepertinya sudah waktunya semua ini dibenahi," jawab Pak Beni mantap.Adrian mengangguk perlahan. "Bagus. Kalau begitu, ayo kita sekarang pergi keruangan Reza dan memberi pelajaran yang tak akan pernah bisa dia lupakan."Adrian melangkah keluar, diikuti oleh Pak Beni dan Satya. Sepanjang perjalanan ke ruangan Reza, bisik-bisik mulai terdengar di antara karyawan. Wajah Adrian yang jarang terlihat di kantor, serta kehadiran Pak Beni yang legendaris, membuat suasana penuh teka-teki."Siapa mereka? Ken
Keesokan harinya, Adrian mengajak Satya untuk bertemu dengan Pak Beni, mantan manajer keuangan Aditya Corporation yang sebelumnya dipecat oleh Darco.Sesampainya di depan sebuah rumah sederhana, Adrian bertanya dengan nada ragu, "Satya, kamu yakin ini rumah Pak Beni?""Saya yakin, Pak. Kemarin saya sudah meminta salah satu staf personalia mencarikan alamatnya," jawab Satya tegas."Kalau begitu, ayo kita turun," ucap Adrian sambil membuka pintu mobil.Mereka melangkah ke pintu rumah dan mengetuknya. Ketukan kedua akhirnya membuka pintu, menampilkan wajah Pak Beni yang terlihat terkejut namun dengan senyum ramah seperti biasanya."Pak Adrian?" ucapnya dengan nada tak percaya. Namun ia segera mempersilakan mereka masuk. "Silakan masuk, Pak."Adrian dan Satya mengangguk sopan, mengikuti Pak Beni ke dalam. Mereka duduk di ruang tamu kecil yang nyaman, lalu Pak Beni memanggil istrinya."Darmi, tolong buatkan tiga kopi, ya. Ada tamu yang datang," teriaknya."Siapa yang datang, Pak?" terdenga
Reza menelan ludah, menahan rasa kesalnya. Namun, ia tidak punya pilihan selain menuruti. “Ba… baik, Pak Adrian,” jawabnya dengan suara pelan.“Bagus,” jawab Adrian singkat, sambil tersenyum dingin. “Sekarang, kau bisa pergi. Dan, aku harap kau tidak mencoba menguping.”Reza mengangguk sekali lagi, wajahnya merah padam karena menahan amarah. Ia melangkah keluar sambil mengepalkan tangannya erat-erat.Setelah pintu tertutup, Darco tertawa kecil untuk mencairkan suasana. “Adrian, kamu benar-benar berubah. Aku kagum melihat sikap tegasmu.”Adrian tetap berdiri tegak, tidak ikut tersenyum. Tatapannya langsung menusuk ke arah Darco. “Om, aku ke sini bukan untuk bermain kata-kata. Aku ingin langsung ke inti pembicaraan kita.”Darco kembali ke kursinya, berusaha terlihat tenang meskipun dadanya bergemuruh. “Baiklah, Adrian. Katakan saja, apa tujuanmu datang pagi-pagi seperti ini?”Adrian mendekat, lalu duduk di kursi berhadapan dengan Darco. Ia meletakkan tangan di meja, menatap Darco dengan
Pak Aditya menghela napas panjang, lalu menatap Adrian penuh keyakinan. "Papa serahkan semuanya padamu, Adrian. Apa pun yang kamu lakukan, Papa akan selalu mendukungmu."Adrian tersenyum lega. "Terima kasih, Pa. Kalau begitu, kami pamit ke kamar dulu."Pak Aditya hanya mengangguk, menatap Adrian, Anisa, dan Alisha dengan perasaan bahagia sekaligus harapan besar di hatinya.Keesokan harinya di Aditya Corporation, suasana di ruangan Darco dipenuhi ketegangan.Darco berdiri mondar-mandir sambil terus melirik ke arah pintu, sementara Reza duduk dengan wajah cemas. "Reza, apakah kamu sudah melihat Adrian datang?" tanya Darco dengan nada mendesak."Belum, Pak. Saya belum melihat Adrian," jawab Reza, sama gelisahnya.Darco menghentikan langkahnya sejenak. "Aku yakin pagi ini dia pasti akan datang untuk mengambil alih perusahaan ini. Ini tidak bisa kita biarkan sebelum kita menjalankan rencana kita untuk mengambil alih semuanya!" katanya dengan nada marah."Jadi, apa yang akan Bapak lakukan?"
Di dalam perjalanan menuju tujuan mereka, suasana di dalam mobil mewah itu penuh dengan percakapan yang mengungkap sisi emosional Adrian dan istrinya, Anisa. Adrian mencoba menjelaskan betapa berat beban yang harus ia pikul selama ini."Begitulah, sayang. Maafkan aku yang tidak bisa menemui kamu selama ini. Karena aku harus menjalankan semua rencanaku sampai benar-benar berhasil," ucap Adrian dengan nada lembut namun tegas.Anisa menggenggam tangan suaminya yang masih memegang kemudi. "Tidak apa-apa, Mas. Aku mengerti posisimu," balas Anisa dengan tulus. Kemudian, dia menatap Adrian, penuh harap. "Tapi, kapan kamu akan merebut kembali Aditya Corporation dari pamanmu itu?"Adrian menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Besok, sayang. Semua rencanaku akan berjalan sesuai jadwal. Apalagi sekarang Reza sudah mengetahui bahwa aku adalah anak dari pemilik Aditya Corporation. Dia pasti akan melaporkan hal ini kepada Om Darco, dan aku yakin Om Darco tidak akan ting