"Yang benar, Dimas?" Suara Dinda terdengar ragu, nyaris berbisik, namun tatapannya tertuju lurus pada pria di depannya. “Jadi Dirga yang akan menggantikan Papa?”Dimas mengangguk pelan. “Iya, sayang. Beberapa hari yang lalu, dia diperkenalkan oleh perwakilan Aditya Corporation sebagai direktur utama.” Ada kehangatan dalam suaranya, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang tak terkatakan.Dinda mencoba mencerna informasi itu. “Oo, begitu,” ujarnya, seakan bicara pada dirinya sendiri. Ia melirik sekilas ke arah Dirga, yang hanya tersenyum tipis, tenang di tengah kegemparan kecil yang baru saja tercipta.“Benar, Dinda.” Dirga akhirnya buka suara. “Aku dipercaya sepupuku untuk mengurus perusahaan ini.” Ia berbicara dengan nada yang tenang, hampir terlalu santai, seolah topik ini tak lebih dari percakapan biasa.“Jadi, pemilik Aditya Corporation itu sepupumu?” Mata Dinda menyipit, nada heran menyusup di balik suaranya. “Kok aku enggak tahu? Padahal kita berteman sejak dulu.” “Hanya s
Lampu sorot panggung menyinari sosok Fito yang melangkah dengan percaya diri, mengenakan setelan jas rapi. Setelah mengambil tempat di podium, ia menatap sejenak ke arah audiens, menarik napas, dan mulai berbicara dengan nada suara tenang namun penuh kekuatan.“Selamat malam, hadirin sekalian. Merupakan kehormatan besar bagi saya, atas nama Aditya Corporation, untuk berdiri di sini malam ini. Malam ini adalah momen bersejarah bagi kita semua. Bukan hanya untuk Hartono Corporation, tetapi juga bagi keluarga besar Aditya Corporation. Bergabungnya Hartono Corp dengan kami bukan sekadar kemitraan bisnis, melainkan penyatuan dua kekuatan yang akan saling melengkapi dan memperkuat.”Para tamu mendengarkan dengan seksama, sementara Fito melanjutkan, suaranya penuh keyakinan. “Kami percaya, di bawah satu visi yang selaras, kedua perusahaan akan mampu menembus batas-batas baru, memanfaatkan peluang-peluang besar yang ada di depan kita. Ini adalah langkah awal
Di antara hadirin, keheningan berubah menjadi gumaman-gumaman terkejut. Seluruh keluarga Pak Hartono terpaku, tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Namun, yang paling terkejut adalah Anisa. Ia tertegun di tempat duduknya, matanya membesar, tak percaya melihat sosok pria yang selama ini ia pikir hilang dari hidupnya.“Mas… Adrian…benar itu kamu?” bisiknya lirih, nyaris tidak terdengar, matanya berkaca-kaca.Di sisi lain ruangan, Daniel menatap Adrian dengan wajah penuh keterkejutan dan kebingungan. “Apa? Jadi selama ini Adrian bukan pegawai biasa, tapi CEO dari Aditya Corporation?” gumamnya tak percaya. “Bagaimana mungkin? ini pasti ada yang salah.”Di barisan depan, wajah Reza berubah pucat pasi, darah seolah-olah hilang dari wajahnya. Ingatannya kembali pada kejadian-kejadian di kantor, di mana ia pernah menganggap Adrian hanya staf biasa—bahkan menghina dan memperlakukannya dengan angkuh. Napasnya tertahan, ia bergumam pelan, “Ba… bagaimana bisa? Ini tidak mungkin… Tidak mungkin
Dirga bergumam, masih tak percaya dengan kenyataan yang baru saja terbuka di hadapannya. "Ja… jadi, Anisa itu… istrinya Adrian?" Suaranya lirih, nyaris tak terdengar, namun Dinda, yang duduk tepat di sampingnya, mendengar gumaman itu dengan jelas. Ia hanya bisa menarik napas panjang, mencoba meredakan ketegangan di hatinya, dan berbisik lembut, "Yang sabar ya, Dirga… aku tahu apa yang kamu rasakan."Mendengar kata-kata Dinda, Dirga menoleh padanya, matanya penuh dengan harap dan rasa tak percaya. "Dinda… tolong katakan padaku, apakah benar Anisa itu… istri Adrian?"Dinda mengangguk pelan, dengan hati-hati memilih kata-katanya. "Ya, begitulah, Dirga. Adrian adalah suami Anisa. Anisa itu sangat mencintai Adrian, bahkan dia sampai rela menentang keinginan keluarganya demi bersamanya."Dirga terdiam, pandangannya kosong, seolah seluruh energinya telah terserap oleh kenyataan pahit ini. Ia menunduk, merasa lemas, suara hatinya keluar begitu saja, "Kenapa, Dinda? Kenapa harus Anisa yang men
"Karena kamu lebih memilih menikah dengan pria ini, maka tinggalkan rumah dan keluarga ini!"Kalimat itu bergema dalam benak Anisa, membuatnya tersentak dari lamunan. Setahun lebih telah berlalu, tapi luka itu masih terasa nyata. Matanya menerawang ke luar jendela mobil yang melaju pelan menembus jalanan Jakarta yang mulai lengang di sore hari."Apa yang sedang kamu pikirkan sampai mengerutkan kening seperti itu?"Suara dalam nan lembut membuat Anisa menoleh. Adrian, suaminya, menatapnya dengan sorot mata penuh perhatian. Pria itu menggenggam tangan Anisa lembut, seolah berusaha menyalurkan kekuatan."Aku hanya sedang teringat masa lalu," Anisa tersenyum tipis.Adrian mengangguk paham. "Kita sudah sepakat kan? Hari ini kita akan menulis lembaran baru."Anisa menatap Adrian lekat-lekat. Setahun yang lalu, ia memilih untuk meninggalkan keluarganya demi cintanya pada pria ini. Adrian mungkin hanya seorang staff biasa di sebuah perusahaan swasta, jauh dari ekspektasi orangtuanya yang meng
Suasana tegang masih menyelimuti ruang tamu keluarga besar Anisa. Ucapan terakhir sang ayah membuat semua orang terdiam, seolah menahan napas."Pa, jangan begitu," Ibu Anisa akhirnya angkat bicara, suaranya lembut namun tegas. "Mereka berdua datang dengan niat baik. Lihatlah, kita punya cucu sekarang."Ayah Anisa mendengus, tapi matanya tak lepas dari bayi mungil dalam gendongan Adrian. Perlahan, sorot matanya melembut."Pa, coba kamu gendong cucu kita, lihat dia sangat lucu kan ?" ujar Ibu Anisa.Dengan hati-hati, Ibu Anisa mengambil si kecil dari Adrian dan menyerahkannya pada sang suami. Untuk pertama kalinya, Anisa melihat ekspresi ayahnya berubah. Ada kelembutan yang tak pernah ia lihat sebelumnya saat pria itu menggendong cucunya."Siapa namanya?" tanya Ayah Anisa, masih menatap si bayi."Alisha," jawab Anisa pelan. "Artinya yang mulia dan dilindungi."Ayah Anisa mengangguk pelan. Untuk beberapa saat, suasana hening. Hanya terdengar suara dengkuran halus Alisha."Baiklah," Ayah A
Anisa menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab tawaran Daniel. Ruangan itu hening, menunggu jawabannya."Maaf. Aku menghargai tawaran anda, tapi aku harus menolak," ujar Anisa tegas.Seketika, ruangan meledak dalam kekacauan."Kau gila!" Dimas menggebrak meja, membuat piring-piring bergetar. "Itu kesempatan emas, bodoh!"Anisa berdiri, matanya berkilat-kilat. "Aku bukan bodoh, kak! Ini pilihanku sendiri!""Pilihan?" Ayahnya mendengus, bangkit dari kursinya. "Atau cucian otak dari suamimu yang tidak berguna itu?"Adrian hendak membela diri, tapi Anisa mengangkat tangannya, menghentikannya."Bukan, Yah. Ini murni keinginanku sendiri. Aku ingin fokus menjadi ibu dan istri yang baik untuk Adrian dan Alisha."Siska tertawa mengejek, suaranya melengking tinggi. "Oh, jadi sekarang kau mau jadi budak rumah tangga? Hebat sekali!""Diam kau!" bentak Anisa, membuat semua orang terkejut. Ini pertama kalinya mereka melihat Anisa begitu marah.Reza berdiri, matanya menatap tajam Adrian. "Kau," ia
Ayah Anisa, dengan mata menyipit penuh curiga, menatap Daniel lekat-lekat. "Apa maksudmu dengan 'merebutnya ', Daniel? Jelaskan padaku!"Ruangan itu seketika hening, semua mata tertuju pada Daniel yang berdiri tegak di ujung meja. Ia menarik napas dalam sebelum menjawab dengan suara mantap."Saya jatuh cinta pada Anisa, Pak. Pada saat pertama kali melihat dia." Daniel menatap satu per satu anggota keluarga. "Keberaniannya, ketegasannya... semua itu membuatku terpesona. Saya ingin merebutnya dari pria itu, memberikannya kehidupan yang lebih layak."Dimas, yang sedari tadi diam, tiba-tiba tertawa keras. "Ini dia! Inilah yang kita tunggu-tunggu!" Ia menepuk pundak ayahnya dengan semangat. "Ayah, ini kesempatan kita!"Ayah Anisa mengangguk, senyum licik tersungging di bibirnya. "Kau benar Dimas. Daniel, kau punya dukungan dan restu penuh dariku. Bawa anakku kembali kerumah ini""Tunggu dulu!" Ibu Anisa berseru, wajahnya pucat. "Kalian tidak bisa melakukan ini semua! Anisa sudah bahagia den