Suasana terasa tegang di ruang VIP setelah acara selesai. Adrian berdiri tenang di samping Anisa, memeluk bahu istrinya yang masih terisak. Di depan mereka, Pak Hartono dan Dimas tampak menunduk penuh rasa bersalah. Reza berdiri di belakang, sesekali melirik Adrian dengan wajah yang pucat pasi, sementara Siska terlihat memandang Anisa dengan tatapan yang sulit diartikan.Pak Hartono akhirnya memberanikan diri memulai percakapan. "Maafkan Papa, Adrian," ucapnya dengan nada penuh penyesalan. "Papa sadar, Papa sudah membuat banyak kesalahan. Papa terlalu keras kepala dan tidak adil padamu."Dimas segera menimpali, suaranya terdengar parau. "Adrian, aku juga minta maaf. Aku tahu aku salah besar. Aku memisahkan kalian, memandang rendah dirimu... Semua itu adalah kesalahanku. Aku mohon maafkan aku." Dimas menunduk dalam, seperti menghindari tatapan Adrian.Anisa, yang masih menangis, menatap keluarganya dengan emosi yang bercampur aduk. "Kalian meminta maaf pada Adrian karena tulus, atau ka
Di dalam mobil mewah yang melaju di bawah sinar bulan, suasana terasa hening namun penuh emosi. Adrian yang sedang mengemudi melirik Anisa yang duduk di sampingnya. Wanita itu memeluk Alisha yang tertidur lelap di pangkuannya. Sesekali, Adrian mencuri pandang ke arah Anisa, mencoba membaca apa yang ada di benaknya."Mas..." Anisa memecah keheningan, suaranya lembut tapi terdengar berat. "Aku mau tanya sesuatu."Adrian menghela napas pelan. "Tanya apa, Sayang?"Anisa menoleh, menatap Adrian dengan sorot mata penuh pertanyaan. "Kenapa Mas merahasiakan semuanya dariku? Kenapa kamu tidak pernah jujur dari awal kalau kamu adalah pewaris Aditya Corporation? Kalau saja kamu jujur, aku yakin kehidupan pernikahan kita akan jauh lebih bahagia."Adrian terdiam sejenak, fokus pada jalan di depan mereka, sebelum akhirnya menepikan mobil ke pinggir jalan. Ia mematikan mesin dan menoleh penuh pada Anisa. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam."Maafkan aku, Sayang," kata Adrian dengan suar
Adrian terdiam, wajahnya memucat mendengar penuturan Bi Marni. "Apa? Papa tahu soal Sofia? Bagaimana dia mengetahuinya, Bi?" tanyanya dengan nada penuh keterkejutan. Bi Marni mengangguk perlahan, matanya tampak sedih. "Ya, Tuan Adrian. Tuan besar akhirnya mengetahui kebenaran itu setelah Nona Sofia membocorkan rencananya itu kepada temannya. Salah satu staf kepercayaan tuan Aditya yang di tugaskan untuk membututi nona Sofia setelah tuan Adrian memberitahu tuan Aditya tentang non Sofia. Staf itu langsung melaporkannya kepada Tuan besar. Awalnya Tuan besar tidak percaya, tapi setelah menyelidiki lebih dalam, semua terbongkar." Adrian merasakan campuran emosi berkecamuk di dalam dirinya—marah, sedih, dan rasa bersalah. "Kenapa Papa tidak memberitahuku? Kenapa aku tidak diberi tahu sebelumnya?" Bi Marni menunduk, terlihat ragu untuk menjawab. "Tuan besar merasa malu, Tuan Adrian. Dia tahu bahwa dulu Tuan sudah mencoba memperingatkan
Selama perjalanan menuju Aditya Corporation, pikiran Adrian terus berkecamuk. Perasaan tidak tenang menyelimuti dirinya, memikirkan kemungkinan buruk yang mungkin telah dilakukan oleh Om Darco di perusahaan keluarga mereka. Dia tahu betul sifat licik dan manipulatif pamannya itu. Adrian tidak ingin bertindak gegabah—dia butuh informasi yang jelas sebelum melangkah.Sambil mengemudi, Adrian meraih ponselnya dan segera menghubungi Satya, asisten pribadi Ayahnya yang selama ini sangat setia.“Halo, Satya? Apakah kau ada di kantor sekarang?” tanya Adrian tegas.“Pak Adrian? Benarkah ini Anda?” tanya Satya dari seberang telepon dengan nada terkejut.“Iya, aku Adrian. Aku ingin kita bertemu di kantor. Ada hal penting yang ingin aku tanyakan tentang Om Darco,” ucap Adrian langsung ke inti.Namun jawaban Satya membuat dahi Adrian berkerut. “Pak Adrian, kalau mau membicarakan soal Om Darco, sebaiknya jangan di
"Aku minta kamu untuk sementara waktu merahasiakan soal aku yang sudah kembali ke keluarga ini dari semua orang, terutama Om Darco," ujar Adrian tegas, matanya menatap tajam ke arah Satya. "Aku perlu waktu untuk mengumpulkan semua bukti kejahatan yang sudah dia lakukan pada perusahaan Papa. Kalau dia tahu aku sudah kembali, dia pasti akan segera memusnahkan semua bukti yang ada."Satya mengangguk penuh keyakinan. "Baik, Pak Adrian. Saya akan menjaga rahasia ini. Bapak tidak perlu khawatir," ucapnya dengan nada serius.Adrian menghela napas lega. "Bagus. Aku juga punya rencana lain. Aku akan menyusupkan Fito untuk mengawasi semua gerak-gerik Om Darco. Kamu ingat dia, kan?" tanya Adrian."Fito?" Satya mengangkat alis, lalu mengangguk. "Tentu saya ingat, Pak. Bukankah dia orang kepercayaan Bapak? Saya beberapa kali bertemu dengannya waktu Bapak masih aktif di perusahaan."Adrian mengangguk kecil. "Benar. Aku akan menempatkan dia di perusahaan, tapi dengan cara yang tidak mencurigakan," j
Adrian langsung mengambil ponselnya dan menghubungi Satya. Setelah dering kedua, suara Satya terdengar dari seberang."Iya, Pak Adrian. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Satya dengan nada serius."Satya, aku sudah mendapatkan semua informasi dan bukti yang aku butuhkan untuk menyeret Om Darco ke penjara. Tapi aku masih butuh satu hal untuk menyempurnakan rencanaku," ucap Adrian tegas."Apa itu, Pak?" tanya Satya penuh perhatian."Menurutmu, siapa di antara petinggi perusahaan yang masih bisa aku percayai?" Adrian bertanya sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, berpikir keras.Satya terdiam sejenak sebelum menjawab, "Pak Rudi, Pak. Dia masih bisa Bapak percaya. Kebetulan, divisi yang dipegang oleh Pak Rudi tidak terlalu berhubungan dengan keuangan, sehingga tidak banyak disentuh oleh Pak Darco."Adrian tersenyum tipis, lega mendengar jawaban Satya. "Bagus. Kalau begitu, aku akan menemuinya. Aku akan meminta bantuannya untuk menyelesaikan masalah ini. Aku ingin melihat kondisi kantor
Adrian berhenti, menatap tangan Reza yang mencengkeram lengannya, lalu mendongak menatap wajahnya dengan pandangan datar. "Lepaskan," ucap Adrian singkat namun tajam.Reza tertawa kecil, mencibir. "Kenapa? Takut? OB macam kamu berani melawan aku? Kamu tahu nggak aku siapa? Aku ini manajer di sini! Kalau aku mau, tinggal sepatah kata, kamu habis!"Adrian menghela napas, perlahan menarik lengannya dari cengkeraman Reza. "Reza, aku nggak punya waktu untuk drama murahan ini. Kalau kamu punya masalah, urus sendiri. Aku ada pekerjaan yang lebih penting daripada meladeni ocehanmu."Reza makin berang mendengar jawaban Adrian. Dengan amarah meluap, dia mendorong Adrian. "Berani-beraninya kamu bicara seperti itu sama aku! Kamu butuh pelajaran!"Tiba-tiba, suara tegas menghentikan keributan itu. "Reza! Apa yang kamu lakukan?!" Pak Rudi, direktur divisi di Aditya Corporation, muncul dengan wajah serius. Suaranya bergema di ruangan, membuat suasana menjadi tegang.Reza, yang masih marah, menoleh k
Di dalam perjalanan menuju tujuan mereka, suasana di dalam mobil mewah itu penuh dengan percakapan yang mengungkap sisi emosional Adrian dan istrinya, Anisa. Adrian mencoba menjelaskan betapa berat beban yang harus ia pikul selama ini."Begitulah, sayang. Maafkan aku yang tidak bisa menemui kamu selama ini. Karena aku harus menjalankan semua rencanaku sampai benar-benar berhasil," ucap Adrian dengan nada lembut namun tegas.Anisa menggenggam tangan suaminya yang masih memegang kemudi. "Tidak apa-apa, Mas. Aku mengerti posisimu," balas Anisa dengan tulus. Kemudian, dia menatap Adrian, penuh harap. "Tapi, kapan kamu akan merebut kembali Aditya Corporation dari pamanmu itu?"Adrian menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Besok, sayang. Semua rencanaku akan berjalan sesuai jadwal. Apalagi sekarang Reza sudah mengetahui bahwa aku adalah anak dari pemilik Aditya Corporation. Dia pasti akan melaporkan hal ini kepada Om Darco, dan aku yakin Om Darco tidak akan ting
Ketegangan Memuncak di Aditya CorporationDi aula besar Aditya Corporation, suasana semakin panas. Para karyawan berbisik-bisik, saling bertanya-tanya mengenai keberadaan Adrian yang hingga kini belum juga muncul.Di deretan kursi depan, Satya duduk dengan wajah cemas. Pak Benny, yang duduk di sebelahnya, menoleh mendekat dan berbisik pelan, "Pak Satya, bagaimana? Apakah Bapak sudah bisa menghubungi Pak Adrian?"Satya menggeleng, napasnya terdengar berat. "Belum, Pak. Dari tadi nomornya tidak bisa dihubungi. Saya sudah coba berulang kali."Pak Benny mengerutkan kening, semakin khawatir. "Apa Bapak sudah coba menghubungi Pak Aditya?""Sudah, Pak. Kata beliau, Pak Adrian sudah berangkat dari tadi pagi menuju ke kantor. Tapi anehnya, sampai sekarang belum juga sampai," jawab Satya, suaranya memantulkan kegelisahan.Pak Benny mulai gelisah, melihat ke sekeliling aula yang mulai dipenuhi bisik-bisik khawatir dari para karyawan. "Kalau begitu, kem
Hari yang dinantikan tiba—hari penyerahan jabatan di kantor, dan Adrian tampak penuh percaya diri. Seperti biasa, Anisa, istrinya, menyiapkan segala keperluan suaminya dengan telaten. "Mas, sarapannya sudah siap. Ayo, kita sarapan sama-sama," panggil Anisa dari ruang makan, melihat Adrian masih berdiri di depan cermin, sibuk memasang dasinya."Iya, sayang. Sebentar lagi, tinggal pasang dasi ini saja. Nanti aku ke meja makan," jawab Adrian sambil tersenyum."Baik, Mas. Kalau begitu, aku lihat Alisha dulu ya. Aku mau bangunin dia. Siapa tahu, dia mau sarapan bareng Papa," ujar Anisa sebelum berlalu.Adrian mengangguk ringan. Setelah dasinya rapi, ia turun ke ruang makan, di mana Aditya, ayahnya, sudah menunggu sambil membaca koran pagi."Pagi, Pa," sapa Adrian sembari menarik kursi dan duduk di hadapan ayahnya."Pagi, Nak. Bagaimana? Sudah siap untuk hari ini?" tanya Aditya, menurunkan korannya dan menatap putranya penuh harap."Tentu, Pa. Aku sudah mempersiapkan semuanya dengan matang.
Reza langsung menegang. "Apa? Tidak mau. Aku bukan OB. Kalau kamu mau kopi, suruh saja OB untuk membuatkan," balasnya tegas, mencoba mempertahankan sisa harga dirinya.Namun, Dendi tidak kehabisan akal. Dengan wajah penuh kepura-puraan, ia berkata, "Oh, OB kita sedang sibuk semua. Lagi ada masalah ruangan bocor, jadi mereka semua dikerahkan ke sana.""Tetap saja aku tidak mau. Itu bukan jobdesk-ku!" ucap Reza dengan suara yang mulai meninggi.Dendi tersenyum licik. "Oooh, jadi kamu tidak mau? Baiklah, nanti aku akan buat laporan kalau kamu melawan perintah atasan. Akan ku buat seolah-olah kamu tidak mau bekerja sama. Kau tahu apa akibatnya, kan? Kamu bisa dipecat, Reza. Apalagi sekarang posisimu sudah sangat lemah di perusahaan ini."Reza terdiam. Dalam hati, ia menahan luapan emosinya. "Sialan! Orang-orang di perusahaan ini sekarang semua berani melawanku. Kalau aku tidak mengiku
Reza hanya menoleh sekilas, tanpa berkata apa-apa, dan mengangguk dengan malas. Nindi berjalan di depan, memimpin langkah. Sepanjang perjalanan, beberapa karyawan lain yang mengenal Nindi berusaha bertanya tanpa suara. Dengan hanya menggerakkan bibir, mereka bertanya, "Kenapa Pak Reza?"Nindi, yang sudah terbiasa membaca gerakan mulut rekan-rekannya, hanya menjawab singkat, "Nanti aku ceritakan." Mereka pun mengangguk, sambil memandang Reza dengan penuh tanda tanya.Setelah beberapa menit, mereka tiba di bagian produksi. Nindi berhenti di depan sebuah meja sempit yang diletakkan di pojok ruangan. Di atas meja itu, hanya ada sebuah buku besar yang tampak usang dan tumpukan berkas yang menjulang seperti menara."Ini meja saya? Apa tidak salah?!" ucap Reza terkejut. Ia memandang meja itu seolah-olah melihat sesuatu yang sangat hina. "Dan... di mana laptop saya untuk bekerja?"N
Keesokan Pagi di Aditya CorporationPagi itu, Adrian berdiri di depan jendela ruangan Satya, memandang ke luar dengan tatapan tajam. Sinar matahari yang menerobos kaca tidak mampu mengusir dinginnya suasana di dalam ruangan. Di belakangnya, Pak Beni duduk dengan ekspresi tegas, bersiap menghadapi apa yang sudah direncanakan Adrian."Bagaimana, Pak Beni? Apa Anda sudah siap?" tanya Adrian, suaranya datar namun tegas."Saya sudah siap, Pak Adrian untuk mengemban tugas yang akan bapak berikan, sepertinya sudah waktunya semua ini dibenahi," jawab Pak Beni mantap.Adrian mengangguk perlahan. "Bagus. Kalau begitu, ayo kita sekarang pergi keruangan Reza dan memberi pelajaran yang tak akan pernah bisa dia lupakan."Adrian melangkah keluar, diikuti oleh Pak Beni dan Satya. Sepanjang perjalanan ke ruangan Reza, bisik-bisik mulai terdengar di antara karyawan. Wajah Adrian yang jarang terlihat di kantor, serta kehadiran Pak Beni yang legendaris, membuat suasana penuh teka-teki."Siapa mereka? Ken
Keesokan harinya, Adrian mengajak Satya untuk bertemu dengan Pak Beni, mantan manajer keuangan Aditya Corporation yang sebelumnya dipecat oleh Darco.Sesampainya di depan sebuah rumah sederhana, Adrian bertanya dengan nada ragu, "Satya, kamu yakin ini rumah Pak Beni?""Saya yakin, Pak. Kemarin saya sudah meminta salah satu staf personalia mencarikan alamatnya," jawab Satya tegas."Kalau begitu, ayo kita turun," ucap Adrian sambil membuka pintu mobil.Mereka melangkah ke pintu rumah dan mengetuknya. Ketukan kedua akhirnya membuka pintu, menampilkan wajah Pak Beni yang terlihat terkejut namun dengan senyum ramah seperti biasanya."Pak Adrian?" ucapnya dengan nada tak percaya. Namun ia segera mempersilakan mereka masuk. "Silakan masuk, Pak."Adrian dan Satya mengangguk sopan, mengikuti Pak Beni ke dalam. Mereka duduk di ruang tamu kecil yang nyaman, lalu Pak Beni memanggil istrinya."Darmi, tolong buatkan tiga kopi, ya. Ada tamu yang datang," teriaknya."Siapa yang datang, Pak?" terdenga
Reza menelan ludah, menahan rasa kesalnya. Namun, ia tidak punya pilihan selain menuruti. “Ba… baik, Pak Adrian,” jawabnya dengan suara pelan.“Bagus,” jawab Adrian singkat, sambil tersenyum dingin. “Sekarang, kau bisa pergi. Dan, aku harap kau tidak mencoba menguping.”Reza mengangguk sekali lagi, wajahnya merah padam karena menahan amarah. Ia melangkah keluar sambil mengepalkan tangannya erat-erat.Setelah pintu tertutup, Darco tertawa kecil untuk mencairkan suasana. “Adrian, kamu benar-benar berubah. Aku kagum melihat sikap tegasmu.”Adrian tetap berdiri tegak, tidak ikut tersenyum. Tatapannya langsung menusuk ke arah Darco. “Om, aku ke sini bukan untuk bermain kata-kata. Aku ingin langsung ke inti pembicaraan kita.”Darco kembali ke kursinya, berusaha terlihat tenang meskipun dadanya bergemuruh. “Baiklah, Adrian. Katakan saja, apa tujuanmu datang pagi-pagi seperti ini?”Adrian mendekat, lalu duduk di kursi berhadapan dengan Darco. Ia meletakkan tangan di meja, menatap Darco dengan
Pak Aditya menghela napas panjang, lalu menatap Adrian penuh keyakinan. "Papa serahkan semuanya padamu, Adrian. Apa pun yang kamu lakukan, Papa akan selalu mendukungmu."Adrian tersenyum lega. "Terima kasih, Pa. Kalau begitu, kami pamit ke kamar dulu."Pak Aditya hanya mengangguk, menatap Adrian, Anisa, dan Alisha dengan perasaan bahagia sekaligus harapan besar di hatinya.Keesokan harinya di Aditya Corporation, suasana di ruangan Darco dipenuhi ketegangan.Darco berdiri mondar-mandir sambil terus melirik ke arah pintu, sementara Reza duduk dengan wajah cemas. "Reza, apakah kamu sudah melihat Adrian datang?" tanya Darco dengan nada mendesak."Belum, Pak. Saya belum melihat Adrian," jawab Reza, sama gelisahnya.Darco menghentikan langkahnya sejenak. "Aku yakin pagi ini dia pasti akan datang untuk mengambil alih perusahaan ini. Ini tidak bisa kita biarkan sebelum kita menjalankan rencana kita untuk mengambil alih semuanya!" katanya dengan nada marah."Jadi, apa yang akan Bapak lakukan?"
Di dalam perjalanan menuju tujuan mereka, suasana di dalam mobil mewah itu penuh dengan percakapan yang mengungkap sisi emosional Adrian dan istrinya, Anisa. Adrian mencoba menjelaskan betapa berat beban yang harus ia pikul selama ini."Begitulah, sayang. Maafkan aku yang tidak bisa menemui kamu selama ini. Karena aku harus menjalankan semua rencanaku sampai benar-benar berhasil," ucap Adrian dengan nada lembut namun tegas.Anisa menggenggam tangan suaminya yang masih memegang kemudi. "Tidak apa-apa, Mas. Aku mengerti posisimu," balas Anisa dengan tulus. Kemudian, dia menatap Adrian, penuh harap. "Tapi, kapan kamu akan merebut kembali Aditya Corporation dari pamanmu itu?"Adrian menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Besok, sayang. Semua rencanaku akan berjalan sesuai jadwal. Apalagi sekarang Reza sudah mengetahui bahwa aku adalah anak dari pemilik Aditya Corporation. Dia pasti akan melaporkan hal ini kepada Om Darco, dan aku yakin Om Darco tidak akan ting