"Karena kamu lebih memilih menikah dengan pria ini, maka tinggalkan rumah dan keluarga ini!"Kalimat itu bergema dalam benak Anisa, membuatnya tersentak dari lamunan. Setahun lebih telah berlalu, tapi luka itu masih terasa nyata. Matanya menerawang ke luar jendela mobil yang melaju pelan menembus jalanan Jakarta yang mulai lengang di sore hari."Apa yang sedang kamu pikirkan sampai mengerutkan kening seperti itu?"Suara dalam nan lembut membuat Anisa menoleh. Adrian, suaminya, menatapnya dengan sorot mata penuh perhatian. Pria itu menggenggam tangan Anisa lembut, seolah berusaha menyalurkan kekuatan."Aku hanya sedang teringat masa lalu," Anisa tersenyum tipis.Adrian mengangguk paham. "Kita sudah sepakat kan? Hari ini kita akan menulis lembaran baru."Anisa menatap Adrian lekat-lekat. Setahun yang lalu, ia memilih untuk meninggalkan keluarganya demi cintanya pada pria ini. Adrian mungkin hanya seorang staff biasa di sebuah perusahaan swasta, jauh dari ekspektasi orangtuanya yang meng
Suasana tegang masih menyelimuti ruang tamu keluarga besar Anisa. Ucapan terakhir sang ayah membuat semua orang terdiam, seolah menahan napas."Pa, jangan begitu," Ibu Anisa akhirnya angkat bicara, suaranya lembut namun tegas. "Mereka berdua datang dengan niat baik. Lihatlah, kita punya cucu sekarang."Ayah Anisa mendengus, tapi matanya tak lepas dari bayi mungil dalam gendongan Adrian. Perlahan, sorot matanya melembut."Pa, coba kamu gendong cucu kita, lihat dia sangat lucu kan ?" ujar Ibu Anisa.Dengan hati-hati, Ibu Anisa mengambil si kecil dari Adrian dan menyerahkannya pada sang suami. Untuk pertama kalinya, Anisa melihat ekspresi ayahnya berubah. Ada kelembutan yang tak pernah ia lihat sebelumnya saat pria itu menggendong cucunya."Siapa namanya?" tanya Ayah Anisa, masih menatap si bayi."Alisha," jawab Anisa pelan. "Artinya yang mulia dan dilindungi."Ayah Anisa mengangguk pelan. Untuk beberapa saat, suasana hening. Hanya terdengar suara dengkuran halus Alisha."Baiklah," Ayah A
Anisa menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab tawaran Daniel. Ruangan itu hening, menunggu jawabannya."Maaf. Aku menghargai tawaran anda, tapi aku harus menolak," ujar Anisa tegas.Seketika, ruangan meledak dalam kekacauan."Kau gila!" Dimas menggebrak meja, membuat piring-piring bergetar. "Itu kesempatan emas, bodoh!"Anisa berdiri, matanya berkilat-kilat. "Aku bukan bodoh, kak! Ini pilihanku sendiri!""Pilihan?" Ayahnya mendengus, bangkit dari kursinya. "Atau cucian otak dari suamimu yang tidak berguna itu?"Adrian hendak membela diri, tapi Anisa mengangkat tangannya, menghentikannya."Bukan, Yah. Ini murni keinginanku sendiri. Aku ingin fokus menjadi ibu dan istri yang baik untuk Adrian dan Alisha."Siska tertawa mengejek, suaranya melengking tinggi. "Oh, jadi sekarang kau mau jadi budak rumah tangga? Hebat sekali!""Diam kau!" bentak Anisa, membuat semua orang terkejut. Ini pertama kalinya mereka melihat Anisa begitu marah.Reza berdiri, matanya menatap tajam Adrian. "Kau," ia
Ayah Anisa, dengan mata menyipit penuh curiga, menatap Daniel lekat-lekat. "Apa maksudmu dengan 'merebutnya ', Daniel? Jelaskan padaku!"Ruangan itu seketika hening, semua mata tertuju pada Daniel yang berdiri tegak di ujung meja. Ia menarik napas dalam sebelum menjawab dengan suara mantap."Saya jatuh cinta pada Anisa, Pak. Pada saat pertama kali melihat dia." Daniel menatap satu per satu anggota keluarga. "Keberaniannya, ketegasannya... semua itu membuatku terpesona. Saya ingin merebutnya dari pria itu, memberikannya kehidupan yang lebih layak."Dimas, yang sedari tadi diam, tiba-tiba tertawa keras. "Ini dia! Inilah yang kita tunggu-tunggu!" Ia menepuk pundak ayahnya dengan semangat. "Ayah, ini kesempatan kita!"Ayah Anisa mengangguk, senyum licik tersungging di bibirnya. "Kau benar Dimas. Daniel, kau punya dukungan dan restu penuh dariku. Bawa anakku kembali kerumah ini""Tunggu dulu!" Ibu Anisa berseru, wajahnya pucat. "Kalian tidak bisa melakukan ini semua! Anisa sudah bahagia den
"S-Siska, dengarkan aku," Reza tergagap, suaranya sedikit bergetar. "Aku tidak... maksudku, aku sama sekali tidak punya perasaan apa-apa pada Anisa. Sungguh!" Siska melipat tangannya di dada, matanya menyipit curiga. "Oh ya? Lalu kenapa kamu terlihat sangat tidak suka saat Daniel menunjukkan ketertarikan padanya?" Reza menelan ludah dengan susah payah. Dia tahu harus meyakinkan Siska, meskipun itu berarti dia harus berbohong. "Sayang, dengar," Reza mencoba menenangkan suaranya. "Apa yang kurasakan dulu pada Anisa... itu sudah lama terkubur. Saat aku menikah denganmu dan menerima perjodohan ini, semua perasaan itu hilang. Kamu satu-satunya wanita dalam hidupku sekarang." Siska masih tampak ragu. "Benarkah? Lalu kenapa kamu begitu kesal tadi?" Reza menghela napas panjang, pikirannya berpacu mencari alasan yang masuk akal. "Itu karena... karena aku tahu seperti apa Daniel. Dia sepupuku, ingat? Aku tahu track record-nya dengan wanita. Aku hanya tidak ingin Anisa terluka." "Jadi kamu
Beberapa hari telah berlalu sejak pertemuan keluarga yang penuh ketegangan itu. Kehidupan Anisa kembali ke rutinitas normalnya, dipenuhi dengan tugas-tugas sebagai istri dan ibu muda.Pagi itu, seperti biasa, Anisa sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Adrian. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, bercampur dengan suara denting peralatan masak."Sayang, kamu lihat dasi biruku tidak?" suara Adrian terdengar dari kamar.Anisa tersenyum kecil. "Di laci kedua, Adrian. Aku sudah menyetrikanya semalam."Tiba-tiba, tangisan bayi memecah keheningan pagi. Alisha, putri mereka yang baru berusia 3 bulan, terbangun dari tidurnya."Biar aku yang urus," Adrian berkata cepat, melihat Anisa yang masih sibuk dengan penggorengan.Anisa mengangguk penuh terima kasih. "Terima kasih, sayang. Mungkin popoknya perlu diganti."Adrian bergegas ke kamar bayi. Tak lama kemudian, tangisan Alisha mereda, digantikan oleh suara tawa kecil dan celotehan Adrian yang mengajak putrinya bermain.Anisa tersenyum
"Kamu... Anisa, kan?" tanya lelaki itu, memecah keheningan di antara mereka.Anisa hanya diam, dahinya berkerut sementara dia berusaha mengingat-ingat di mana dia pernah bertemu dengan pria di hadapannya ini. Wajahnya terasa familiar, tapi Anisa tidak bisa menghubungkannya dengan ingatan yang jelas.Melihat kebingungan di wajah Anisa, lelaki itu tersenyum ramah dan mencoba membantu. "Mungkin kamu lupa. Aku Daniel, sepupu Reza. Kita pernah bertemu waktu makan malam di rumah orangtuamu beberapa hari yang lalu. Aku yang menawarkan pekerjaan padamu saat itu."Mendengar penjelasan itu, ingatan Anisa seketika menjadi jelas. "Ah!" serunya pelan, wajahnya memerah karena malu. "Iya, benar. Maaf, aku baru ingat."Daniel tertawa kecil, "Tidak apa-apa. Wajar kalau kamu lupa. Situasinya waktu itu memang agak... tegang."Anisa menundukkan kepalanya, merasa semakin malu mengingat kejadian malam itu. "Maaf ya, kamu jadi harus menyaksikan pertengkaran keluarga kami. Padahal kamu orang luar.""Hey, jang
Sosok misterius itu terus mengikuti Anisa dan Daniel, dengan hati-hati memilih tempat duduk yang cukup jauh namun masih memungkinkan untuk mengamati mereka. Dia memesan secangkir kopi, berpura-pura sibuk dengan laptopnya, sementara matanya terus mengawasi target."Ini akan jadi berita besar," gumamnya pelan, jari-jarinya siap di atas tombol kamera ponselnya. "Tinggal menunggu momen yang tepat..."Sementara itu, Daniel menuntun Anisa ke meja di pojok restoran. "Di sini bagaimana? Lebih tenang, jadi kita bisa ngobrol santai," ujarnya dengan senyum ramah.Anisa mengangguk setuju, "Boleh, terima kasih Daniel."Setelah memesan makanan, Daniel bertanya, "Jadi, Anisa, kamu jadi nge-charge HP-mu?"Anisa menggeleng, wajahnya terlihat menyesal. " Aku lupa bawa kabel charger. Bodoh sekali ya aku?""Oh, sayang sekali," Daniel menanggapi. "Tapi tidak apa-apa, kita nikmati makan siang ini saja dulu."Daniel mulai mengajukan berbagai pertanyaan tentang kehidupan Anisa. Awalnya, topik pembicaraan mas