Lampu sorot panggung menyinari sosok Fito yang melangkah dengan percaya diri, mengenakan setelan jas rapi. Setelah mengambil tempat di podium, ia menatap sejenak ke arah audiens, menarik napas, dan mulai berbicara dengan nada suara tenang namun penuh kekuatan.
“Selamat malam, hadirin sekalian. Merupakan kehormatan besar bagi saya, atas nama Aditya Corporation, untuk berdiri di sini malam ini. Malam ini adalah momen bersejarah bagi kita semua. Bukan hanya untuk Hartono Corporation, tetapi juga bagi keluarga besar Aditya Corporation. Bergabungnya Hartono Corp dengan kami bukan sekadar kemitraan bisnis, melainkan penyatuan dua kekuatan yang akan saling melengkapi dan memperkuat.”
Para tamu mendengarkan dengan seksama, sementara Fito melanjutkan, suaranya penuh keyakinan. “Kami percaya, di bawah satu visi yang selaras, kedua perusahaan akan mampu menembus batas-batas baru, memanfaatkan peluang-peluang besar yang ada di depan kita. Ini adalah langkah awal
Di antara hadirin, keheningan berubah menjadi gumaman-gumaman terkejut. Seluruh keluarga Pak Hartono terpaku, tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Namun, yang paling terkejut adalah Anisa. Ia tertegun di tempat duduknya, matanya membesar, tak percaya melihat sosok pria yang selama ini ia pikir hilang dari hidupnya.“Mas… Adrian…benar itu kamu?” bisiknya lirih, nyaris tidak terdengar, matanya berkaca-kaca.Di sisi lain ruangan, Daniel menatap Adrian dengan wajah penuh keterkejutan dan kebingungan. “Apa? Jadi selama ini Adrian bukan pegawai biasa, tapi CEO dari Aditya Corporation?” gumamnya tak percaya. “Bagaimana mungkin? ini pasti ada yang salah.”Di barisan depan, wajah Reza berubah pucat pasi, darah seolah-olah hilang dari wajahnya. Ingatannya kembali pada kejadian-kejadian di kantor, di mana ia pernah menganggap Adrian hanya staf biasa—bahkan menghina dan memperlakukannya dengan angkuh. Napasnya tertahan, ia bergumam pelan, “Ba… bagaimana bisa? Ini tidak mungkin… Tidak mungkin
Dirga bergumam, masih tak percaya dengan kenyataan yang baru saja terbuka di hadapannya. "Ja… jadi, Anisa itu… istrinya Adrian?" Suaranya lirih, nyaris tak terdengar, namun Dinda, yang duduk tepat di sampingnya, mendengar gumaman itu dengan jelas. Ia hanya bisa menarik napas panjang, mencoba meredakan ketegangan di hatinya, dan berbisik lembut, "Yang sabar ya, Dirga… aku tahu apa yang kamu rasakan."Mendengar kata-kata Dinda, Dirga menoleh padanya, matanya penuh dengan harap dan rasa tak percaya. "Dinda… tolong katakan padaku, apakah benar Anisa itu… istri Adrian?"Dinda mengangguk pelan, dengan hati-hati memilih kata-katanya. "Ya, begitulah, Dirga. Adrian adalah suami Anisa. Anisa itu sangat mencintai Adrian, bahkan dia sampai rela menentang keinginan keluarganya demi bersamanya."Dirga terdiam, pandangannya kosong, seolah seluruh energinya telah terserap oleh kenyataan pahit ini. Ia menunduk, merasa lemas, suara hatinya keluar begitu saja, "Kenapa, Dinda? Kenapa harus Anisa yang men
Suasana terasa tegang di ruang VIP setelah acara selesai. Adrian berdiri tenang di samping Anisa, memeluk bahu istrinya yang masih terisak. Di depan mereka, Pak Hartono dan Dimas tampak menunduk penuh rasa bersalah. Reza berdiri di belakang, sesekali melirik Adrian dengan wajah yang pucat pasi, sementara Siska terlihat memandang Anisa dengan tatapan yang sulit diartikan.Pak Hartono akhirnya memberanikan diri memulai percakapan. "Maafkan Papa, Adrian," ucapnya dengan nada penuh penyesalan. "Papa sadar, Papa sudah membuat banyak kesalahan. Papa terlalu keras kepala dan tidak adil padamu."Dimas segera menimpali, suaranya terdengar parau. "Adrian, aku juga minta maaf. Aku tahu aku salah besar. Aku memisahkan kalian, memandang rendah dirimu... Semua itu adalah kesalahanku. Aku mohon maafkan aku." Dimas menunduk dalam, seperti menghindari tatapan Adrian.Anisa, yang masih menangis, menatap keluarganya dengan emosi yang bercampur aduk. "Kalian meminta maaf pada Adrian karena tulus, atau ka
Di dalam mobil mewah yang melaju di bawah sinar bulan, suasana terasa hening namun penuh emosi. Adrian yang sedang mengemudi melirik Anisa yang duduk di sampingnya. Wanita itu memeluk Alisha yang tertidur lelap di pangkuannya. Sesekali, Adrian mencuri pandang ke arah Anisa, mencoba membaca apa yang ada di benaknya."Mas..." Anisa memecah keheningan, suaranya lembut tapi terdengar berat. "Aku mau tanya sesuatu."Adrian menghela napas pelan. "Tanya apa, Sayang?"Anisa menoleh, menatap Adrian dengan sorot mata penuh pertanyaan. "Kenapa Mas merahasiakan semuanya dariku? Kenapa kamu tidak pernah jujur dari awal kalau kamu adalah pewaris Aditya Corporation? Kalau saja kamu jujur, aku yakin kehidupan pernikahan kita akan jauh lebih bahagia."Adrian terdiam sejenak, fokus pada jalan di depan mereka, sebelum akhirnya menepikan mobil ke pinggir jalan. Ia mematikan mesin dan menoleh penuh pada Anisa. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam."Maafkan aku, Sayang," kata Adrian dengan suar
Adrian terdiam, wajahnya memucat mendengar penuturan Bi Marni. "Apa? Papa tahu soal Sofia? Bagaimana dia mengetahuinya, Bi?" tanyanya dengan nada penuh keterkejutan. Bi Marni mengangguk perlahan, matanya tampak sedih. "Ya, Tuan Adrian. Tuan besar akhirnya mengetahui kebenaran itu setelah Nona Sofia membocorkan rencananya itu kepada temannya. Salah satu staf kepercayaan tuan Aditya yang di tugaskan untuk membututi nona Sofia setelah tuan Adrian memberitahu tuan Aditya tentang non Sofia. Staf itu langsung melaporkannya kepada Tuan besar. Awalnya Tuan besar tidak percaya, tapi setelah menyelidiki lebih dalam, semua terbongkar." Adrian merasakan campuran emosi berkecamuk di dalam dirinya—marah, sedih, dan rasa bersalah. "Kenapa Papa tidak memberitahuku? Kenapa aku tidak diberi tahu sebelumnya?" Bi Marni menunduk, terlihat ragu untuk menjawab. "Tuan besar merasa malu, Tuan Adrian. Dia tahu bahwa dulu Tuan sudah mencoba memperingatkan
Selama perjalanan menuju Aditya Corporation, pikiran Adrian terus berkecamuk. Perasaan tidak tenang menyelimuti dirinya, memikirkan kemungkinan buruk yang mungkin telah dilakukan oleh Om Darco di perusahaan keluarga mereka. Dia tahu betul sifat licik dan manipulatif pamannya itu. Adrian tidak ingin bertindak gegabah—dia butuh informasi yang jelas sebelum melangkah.Sambil mengemudi, Adrian meraih ponselnya dan segera menghubungi Satya, asisten pribadi Ayahnya yang selama ini sangat setia.“Halo, Satya? Apakah kau ada di kantor sekarang?” tanya Adrian tegas.“Pak Adrian? Benarkah ini Anda?” tanya Satya dari seberang telepon dengan nada terkejut.“Iya, aku Adrian. Aku ingin kita bertemu di kantor. Ada hal penting yang ingin aku tanyakan tentang Om Darco,” ucap Adrian langsung ke inti.Namun jawaban Satya membuat dahi Adrian berkerut. “Pak Adrian, kalau mau membicarakan soal Om Darco, sebaiknya jangan di
"Aku minta kamu untuk sementara waktu merahasiakan soal aku yang sudah kembali ke keluarga ini dari semua orang, terutama Om Darco," ujar Adrian tegas, matanya menatap tajam ke arah Satya. "Aku perlu waktu untuk mengumpulkan semua bukti kejahatan yang sudah dia lakukan pada perusahaan Papa. Kalau dia tahu aku sudah kembali, dia pasti akan segera memusnahkan semua bukti yang ada."Satya mengangguk penuh keyakinan. "Baik, Pak Adrian. Saya akan menjaga rahasia ini. Bapak tidak perlu khawatir," ucapnya dengan nada serius.Adrian menghela napas lega. "Bagus. Aku juga punya rencana lain. Aku akan menyusupkan Fito untuk mengawasi semua gerak-gerik Om Darco. Kamu ingat dia, kan?" tanya Adrian."Fito?" Satya mengangkat alis, lalu mengangguk. "Tentu saya ingat, Pak. Bukankah dia orang kepercayaan Bapak? Saya beberapa kali bertemu dengannya waktu Bapak masih aktif di perusahaan."Adrian mengangguk kecil. "Benar. Aku akan menempatkan dia di perusahaan, tapi dengan cara yang tidak mencurigakan," j
Adrian langsung mengambil ponselnya dan menghubungi Satya. Setelah dering kedua, suara Satya terdengar dari seberang."Iya, Pak Adrian. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Satya dengan nada serius."Satya, aku sudah mendapatkan semua informasi dan bukti yang aku butuhkan untuk menyeret Om Darco ke penjara. Tapi aku masih butuh satu hal untuk menyempurnakan rencanaku," ucap Adrian tegas."Apa itu, Pak?" tanya Satya penuh perhatian."Menurutmu, siapa di antara petinggi perusahaan yang masih bisa aku percayai?" Adrian bertanya sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, berpikir keras.Satya terdiam sejenak sebelum menjawab, "Pak Rudi, Pak. Dia masih bisa Bapak percaya. Kebetulan, divisi yang dipegang oleh Pak Rudi tidak terlalu berhubungan dengan keuangan, sehingga tidak banyak disentuh oleh Pak Darco."Adrian tersenyum tipis, lega mendengar jawaban Satya. "Bagus. Kalau begitu, aku akan menemuinya. Aku akan meminta bantuannya untuk menyelesaikan masalah ini. Aku ingin melihat kondisi kantor
Dimas terduduk di lantai, matanya memandang kosong ke arah pembatas tempat Daniel terjatuh. "Aku hampir menyelamatkannya... Aku hampir mengubah segalanya," gumamnya dengan suara bergetar.Adrian menepuk bahu Dimas dengan lembut. "Kau sudah melakukan yang terbaik. Dia memilih untuk meminta maaf. Setidaknya, dia pergi dengan hati yang tidak lagi dipenuhi kebencian."Mereka berdua terdiam, menatap langit malam yang dingin. Dalam keheningan itu, keduanya berjanji dalam hati bahwa mereka akan menjaga keluarga mereka dan tidak akan membiarkan kebencian seperti ini menghancurkan lagi.Meskipun akhir ini tragis, mereka tahu bahwa cerita ini mengajarkan mereka tentang arti pentingnya memaafkan dan melepaskan dendam..***Beberapa bulan setelah insiden tragis yang mengguncang kehidupan Adrian dan keluarganya, kehidupan akhirnya kembali berjalan normal. Waktu telah menjadi penyembuh yang luar biasa, perlahan tapi pasti mengobati luka-luka hati yang ditinggalkan oleh kejadian itu. Kehidupan baru
Adrian melangkah mendekat, tetap memeluk Alisha dengan hati-hati. "Dia selamat, Dimas. Aku dan polisi sudah berhasil menyelamatkannya. Kami tahu Daniel mungkin akan melakukan sesuatu yang nekat."Dimas menatap Adrian dengan kebingungan. "Tapi bagaimana mungkin...? Aku melihat sendiri, kalau dia... Daniel melemparnya..."Adrian menghela napas, mencoba menjelaskan di tengah emosi yang berkecamuk. "Sebelum aku ke sini, aku dan polisi sudah mempersiapkan segala kemungkinan. Kami memasang jaring pengaman di balkon kamar yang ada tepat di bawah rooftop ini. Saat Daniel melepaskan Alisha..." Adrian berhenti sejenak, menatap Alisha yang masih terisak. "...instingku benar. Jaring itu menyelamatkannya."Dimas tersandar lemas ke lantai, matanya mulai berkaca-kaca lagi, tetapi kali ini karena lega yang luar biasa. "Alisha... dia selamat. Dia benar-benar selamat..."Dimas menatap Adrian dengan penuh harap, suaranya gemetar ketika bertanya, "Bagaimana dengan Anisa dan semua anggota keluarga kita? A
Sementara itu, di rooftop yang penuh ketegangan, Dimas terus mencoba berbicara dengan Daniel. Dengan suara penuh harapan, ia berkata, “Daniel, aku mohon, lepaskan Alisha. Dia hanya seorang anak kecil, dia tidak bersalah. Kau tidak perlu melibatkan dia dalam dendammu ini.”Namun, Daniel tetap tak tergoyahkan. Dengan ekspresi penuh amarah, ia berteriak, “Kau tidak mengerti apa yang aku rasakan, Dimas! Aku sudah kehilangan segalanya. Adrian mengambil semua dariku—hidupku, mimpiku, bahkan wanita yang aku cintai! Dan sekarang, dia harus merasakan penderitaan yang sama.”Alisha terus menangis dalam dekapan Daniel, tangisannya semakin memilukan. Hati Dimas terasa hancur melihat keponakannya yang ketakutan. Ia tahu, jika ia tidak melakukan sesuatu, situasinya bisa menjadi lebih buruk. Dimas mencoba mengalihkan pikiran Daniel dengan berbicara lebih tenang. “Dengar, Daniel. Aku tahu kau terluka, dan aku tidak bisa menghapus rasa sakit itu. Tapi aku percaya kau masih punya hati. Jangan biarkan d
“Dengar kan aku baik-baik. Sebaiknya kalian berhenti berisik sekarang. Karena pertunjukanku yang kedua akan segera dimulai.”Kata-kata itu membuat Dimas dan Adrian saling berpandangan, bingung dan waspada.“Pertunjukan apa, Daniel? Apa yang sudah kau rencanakan?” tanya Adrian dengan suara tegang, mencoba mencari tahu apa maksud pria di depannya.Daniel hanya tertawa pelan, suara tawanya menggema di rooftop yang dingin. Belum sempat Adrian menuntut jawaban, tiba-tiba suara ledakan keras mengguncang udara, diikuti getaran yang terasa hingga ke tempat mereka berdiri.“Boom!” seru Daniel dengan nada puas, senyumnya semakin lebar melihat kepanikan yang mulai merayap di wajah Adrian dan Dimas.“Apa yang sudah kau lakukan, Daniel?!” teriak Dimas, suaranya penuh kepanikan. Adrian segera mengalihkan pandangannya ke arah suara ledakan, wajahnya memucat.Daniel menatap mereka dengan tatapan penuh kemenangan. “Tenang saja, ledakan kecil itu hanya untuk memberimu pilihan, Adrian. Kau mau menyelama
“Jangan mendekat!” balas pria itu, menolehkan wajahnya ke Adrian dengan mata merah dan penuh kebencian. “Kalau kau mendekat, aku tidak akan ragu-ragu untuk... untuk...” Ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya, tapi gesturnya sudah cukup jelas.Angin kencang malam itu membuat suasana semakin mencekam. Alisha menangis keras, tangannya mencoba meraih udara seolah meminta bantuan.“Kau tidak perlu melakukan ini,” kata Adrian, mencoba menenangkan situasi. “Apa pun masalahnya, kita bisa menyelesaikannya secara baik baik. Jangan melibatkan anak kecil yang tidak bersalah.”Pria itu menatap Adrian dengan ekspresi penuh rasa sakit. “Tidak bersalah? Semua kejadian ini adalah salahmu, Adrian! Hidupku hancur karena kau! Sekarang kau harus merasakan penderitaanku!”Adrian melangkah pelan, berhati-hati agar tidak memprovokasi. “Dengar, aku tidak tahu apa yang sudah kau alami, tapi aku bisa membantumu. Asal kau menyerahkan Alisha padaku. Dia tidak seharusnya berada dalam situasi seperti ini.”Pria it
Daniel mengepalkan tangannya, suaranya berbisik dingin, “Nikmati kebahagiaan kalian sekarang, Adrian. Sebentar lagi, aku akan memastikan tawa itu berubah menjadi jeritan kesedihan.”Ia menatap Anisa yang tersenyum cerah sambil memegang tangan Alisha. Pemandangan itu membuat hatinya terbakar. Ia memalingkan wajahnya sebentar, berusaha meredam emosi yang semakin memuncak. Dengan langkah perlahan namun penuh perhitungan, ia bergerak menuju belakang panggung kecil tempat perayaan berlangsung.Di atas panggung, Adrian dan Anisa melanjutkan nyanyian mereka, memimpin para tamu dalam perayaan. Alisha, yang kini genap dua tahun, tertawa riang di tengah sorakan semua orang. Suasana bahagia memenuhi ballroom, penuh dengan senyum dan tawa dari keluarga dan teman dekat.Namun, kegembiraan itu tiba-tiba terhenti. Dalam sekejap, lampu di seluruh ballroom padam, meninggalkan kegelapan yang pekat. Suara bisikan dan gumaman panik mulai terdengar dari para tamu.
Doni menelan ludah, merasa merinding oleh intensitas di mata bosnya. Ia bertanya hati-hati, “Kalau boleh tahu, Pak, apa rencana Bapak?”Daniel terdiam sejenak, memutar gelas minumannya di tangan. Cairan bening di dalamnya berputar lambat, seolah mencerminkan kekacauan yang bergejolak di dalam pikirannya. Setelah beberapa detik, ia menghela napas panjang dan tersenyum kecil, sebuah senyuman yang dingin dan penuh tekad. “Nanti juga kamu akan tahu, Doni. Yang jelas, aku akan membuat Adrian merasakan apa yang kurasakan sekarang. Kehilangan segalanya. Hancur. Dan aku akan pastikan dia tidak pernah bangkit lagi.” Suaranya dipenuhi bara dendam yang membakar setiap kata yang diucapkannya.Doni mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan kegelisahan di hatinya. “Baik, Pak Daniel. Saya percaya, apa pun yang Bapak lakukan pasti yang terbaik. Tapi... saya tetap harus mengingatkan, anda Pak. Pak Adrian itu bukan orang sembarangan. Dia punya uang, kekua
Sementara itu, di kediaman AdrianSenja baru saja turun, mewarnai langit dengan semburat jingga. Di ruang tamu rumah besar milik Adrian, Anisa sedang duduk membaca buku sambil menunggu suaminya pulang. Suara mesin mobil berhenti di halaman, membuatnya segera menutup buku dan bangkit menuju pintu.Ketika pintu terbuka, Adrian muncul dengan senyuman yang lebar. Langkahnya ringan, wajahnya berseri seperti seseorang yang baru saja memenangkan perang besar.Anisa menyipitkan mata, heran. “Mas? Kok kamu kelihatan bahagia sekali? Ada apa?” tanyanya, berjalan mendekat.Adrian hanya tersenyum, melepaskan jasnya dan menyerahkannya pada Anisa sambil berjalan menuju sofa. Anisa mengikutinya dengan rasa penasaran yang semakin membuncah.Setelah duduk, Adrian menepuk sofa di sebelahnya, memberi isyarat agar Anisa duduk di sampingnya. Anisa patuh, duduk dengan mata yang menatap tajam, menunggu jawaban.“Cerita dong, Mas. Jangan membuat aku semakin penasaran,” katanya sambil menyodorkan secangkir kop
Namun, Mr. Lee mengangkat tangan, menghentikan Daniel. “Cukup. Saya juga akan memberi tahu kepada semua mitra bisnis kami di China tentang apa yang sudah terjadi hari ini. Saya ingin mereka tahu betapa bobroknya integritas Prawira Group.”Daniel tampak seperti dihantam badai. Wajahnya merah padam, tetapi kali ini bukan karena amarah, melainkan karena ketakutan. “Tuan Lee, tolong… tolong jangan lakukan itu. Anda tahu apa artinya bagi perusahaan kami jika reputasi kami hancur di pasar China. Kami tidak akan bisa bertahan. Saya mohon, beri kami kesempatan untuk memperbaiki kesalahan ini.”Mr. Lee menatapnya dengan dingin. “Kesempatan? Kesempatan itu Anda sudah sia-siakan ketika Anda memutuskan untuk bermain kotor. Saya tidak peduli berapa besar perusahaan Anda. Bagi kami, kejujuran adalah segalanya.”Setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya, Mr. Lee meraih koper itu dan menyerahkannya kembali kepada Daniel. “Ambil u