Setelah kejadian membantu Rita melunasi hutangnya, Dimas memutuskan untuk menjaga jarak. Bukan karena ia tidak peduli, tetapi karena ia menghormati istrinya dan tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman. Dia merasa sudah melakukan hal yang tepat dengan membantu Rita menyelesaikan masalahnya. Namun, suatu hari, di bawah terik matahari yang menyengat dan di tengah kemacetan jalan raya, Dimas melihat sosok yang tak asing."Itu bukannya Rita?" gumam Dimas dalam hati saat melihat wanita itu tampak kelelahan menjajakan dagangannya di trotoar. Dia merasa iba. "Kasihan sekali, dia harus bekerja seperti ini... Sebaiknya aku temui saja dia," pikirnya lagi.Setelah memarkirkan mobilnya di emperan toko, Dimas langsung turun dan menghampiri Rita. "Rita... apa kabar? Kelihatannya daganganmu belum laku semua," sapanya dengan nada ramah.Rita yang tadinya sibuk dengan dagangannya, terkejut melihat Dimas. "Eh... Dimas. Kabarku baik, kok. Iya, hari ini kebetulan sepi, jadi dagangannya belum laku semua," j
“Dimas? Ada apa malam-malam begini?” tanyanya heran, sedikit khawatir.Dimas berdiri di ambang pintu dengan ekspresi lelah dan sedikit canggung. "Maaf, Rita. Aku nggak bermaksud mengganggu mu. Mobilku mogok di jalan, dan ponselku mati. Aku cuma butuh ngecas sebentar, biar bisa telepon bengkel dan kabari rumah," jelas Dimas dengan suara lemah.Rita memandang Dimas yang tampak kelelahan. Meski merasa sedikit canggung, dia tahu Dimas membutuhkan bantuan. “Oh... ya, nggak apa-apa. Masuk saja,” ucap Rita sambil mempersilakannya masuk.Dimas melangkah masuk dengan hati-hati, melihat sekeliling rumah kecil itu. “Terima kasih, Rita. Maaf sudah merepotkan mu,” ucapnya dengan suara yang sedikit rendah.Rita hanya tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Dimas. Kamu tunggu di sini ya, aku cas dulu ponselmu." Dia mengambil ponsel Dimas dan mulai mencolokkannya ke stopkontak.Setelah itu, Rita kembali dengan segelas air putih. "Ini, minum dulu biar segar," ucapnya sambil menyodorkan gelas itu.Dimas mener
“Maksudmu apa bicara seperti itu, Dimas? Aku tidak mengerti?” tanya Rita, suaranya terdengar gemetar. Matanya menatap lurus ke arah Dimas, penuh dengan kebingungan dan ketakutan.Dimas menatapnya dengan tatapan serius, seolah mencoba menemukan keberanian di balik kata-katanya. "Aku akan bertanggung jawab... Aku akan menikahimu," ucapnya tegas, tapi di dalam hatinya, kalimat itu terasa begitu berat."Apa?" Rita terkejut, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Kalau kamu menikahiku, bagaimana dengan istrimu? Tidak mungkin kan kau akan menceraikannya?" sambungnya, suaranya meninggi. Wajahnya penuh dengan keraguan, dan hatinya mulai dipenuhi rasa takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya.Dimas terdiam. Kata-kata Rita seperti pukulan yang menghantamnya keras. Ia tahu bahwa apa yang dikatakan Rita benar, tapi di saat yang sama, hatinya penuh dengan dorongan untuk memperbaiki kesalahan yang telah ia buat. Namun, bagaimana? Bagaimana mungkin ia bisa memperbaiki semua i
"Ya Tuhan... kenapa dua garis...?" bisiknya, napasnya semakin berat. Panik mulai menyelimuti dirinya, membungkus hatinya dengan ketakutan yang pekat. Rita menjatuhkan tubuhnya ke lantai kamar mandi, alat tes kehamilan itu tergeletak di sebelahnya. Ia tidak bisa mempercayai kenyataan ini, perasaan takut dan bingung memenuhi kepalanya."Aku harus memastikannya ke dokter... iya, aku harus ke rumah sakit," katanya pelan, mencoba mengendalikan kekacauan di pikirannya. Dengan tangan yang masih gemetar, ia berusaha merapikan penam
Dimas menatapnya, wajahnya berubah serius. “Ada apa, Rita? Apa hal penting yang mau kamu sampaikan padaku? Katakan saja, jangan takut.” Suaranya terdengar tenang, namun ada kegelisahan dalam tatapannya.Rita menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya. “Aku… aku hamil…” ucapnya tiba-tiba, begitu lirih namun jelas terdengar.Dimas terkejut, tubuhnya seakan membeku. Berita itu seperti guntur yang menyambar di siang hari, tak terduga dan menghentikan pikirannya. Rita melihat reaksinya, semakin cemas. “Dimas… Dimas… apa kamu baik-baik saja? Apa kamu marah?” tanyanya, khawatir.Dimas tersadar dari keterkejutannya. Ia berusaha tersenyum untuk meyakinkan Rita dan meraih tangannya dengan lembut. “Aku tidak marah, Rita,” ucapnya dengan suara tenang. “Justru… aku sangat bahagia. Aku sudah lama menantikan seorang anak dalam hidupku,” katanya dengan wajah penuh harapan.Rita terdiam, terkejut oleh reaksi Dimas yang begitu berbeda dari apa yang ia bayangkan. “Jadi… apa yang aka
Sementara itu, di rumah Siska, suasana sore yang seharusnya tenang mendadak terasa tegang setelah Reza menyampaikan kabar mengejutkan. Siska sedang duduk di ruang tamu ketika suaminya pulang dengan ekspresi yang sulit diartikan.“Sayang, besok aku disuruh kantor untuk ikut menyaksikan pelantikan direktur baru di Harto Corp, menggantikan posisi ayahmu. Apa kamu juga diundang?” tanya Reza, mencoba berbicara biasa.Siska menghela napas panjang. "Iya, Mas. Papa menyuruhku datang. Katanya ini permintaan langsung dari pemilik Aditya Corporation, walaupun aku malas sekali.""Kalau begitu, kita bisa datang bareng," ucap Reza dengan nada lebih ceria.Siska tersenyum tipis, merasa sedikit lebih baik. "Syukurlah, Mas. Setidaknya kalau kamu ada di sana, aku nggak akan terlalu bosan."Namun, rasa nyaman itu segera berubah menjadi keheranan ketika Reza bertanya, “Oh iya, Siska… kamu tahu siapa yang bakal menggantikan ayahmu?”Siska menatap suaminya dengan alis terangkat. “Katanya sih masih kerabat
Siska tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Anisa…? Kok dia di sini?” bisiknya pada Reza, matanya masih terpaku pada sosok kakaknya yang seharusnya sudah lama tak terlihat di acara-acara keluarga.Reza mengangguk pelan, tak kalah terkejut. “Aku juga nggak tahu dia akan hadir… Sejak kapan dia berhubungan lagi dengan keluarga kalian?”Siska terdiam sejenak, pikirannya bercampur aduk. Anisa adalah kakaknya, namun karena konflik lama, ia sempat diasingkan dari keluarga mereka dan tak lagi dianggap sebagai bagian dari Harto Corp. Kenyataan bahwa dia muncul di acara sepenting ini membuat Siska bertanya-tanya—apa alasan Anisa datang hari ini?Anisa yang menggendong Alisha berdiri di salah satu sudut ruangan, tidak terlalu menonjol, namun cukup dekat dengan panggung utama. Sesekali ia tersenyum tipis, dan itu saja sudah membuat beberapa orang meliriknya dengan penasaran. Siska tahu bahwa kakaknya itu adalah orang yang mandiri dan tangguh, namun muncul di pelantikan direktur baru ayah me
Dinda merasakan detak jantungnya berpacu cepat ketika sosok Dirga tiba-tiba muncul di hadapannya. Matanya membelalak tak percaya, seakan-akan hantu masa lalu kembali mengusiknya. "Dinda?? Kamu benar Dinda kan?" tanya Dirga dengan nada ragu, seolah tak yakin dengan penglihatannya sendiri.Dinda menelan ludah dengan susah payah, berusaha meredakan gejolak emosi yang bergejolak dalam dirinya. "Iya, Dirga. Aku Dinda," jawabnya singkat, suaranya terdengar bergetar.Berbagai kenangan masa lalu menyerbu pikiran Dinda, menghantam pertahanannya dengan ganas. Dulu, Dirga adalah pria yang sangat disukainya, namun pria itu dengan kejam menolaknya karena telah jatuh cinta pada Anisa. Luka itu kini seakan terbuka kembali."Dinda, apa kabar? Sudah lama ya kita tidak bertemu," ujar Dirga, berusaha mencairkan suasana yang kaku."Iya, Dirga. Sudah hampir 10 tahun," balas Dinda, pandangannya tertuju pada bayi mungil yang berada dalam gendongannya."Terus, siapa bayi lucu ini? Anakmu ya?" tanya Dirga, m
Dimas terduduk di lantai, matanya memandang kosong ke arah pembatas tempat Daniel terjatuh. "Aku hampir menyelamatkannya... Aku hampir mengubah segalanya," gumamnya dengan suara bergetar.Adrian menepuk bahu Dimas dengan lembut. "Kau sudah melakukan yang terbaik. Dia memilih untuk meminta maaf. Setidaknya, dia pergi dengan hati yang tidak lagi dipenuhi kebencian."Mereka berdua terdiam, menatap langit malam yang dingin. Dalam keheningan itu, keduanya berjanji dalam hati bahwa mereka akan menjaga keluarga mereka dan tidak akan membiarkan kebencian seperti ini menghancurkan lagi.Meskipun akhir ini tragis, mereka tahu bahwa cerita ini mengajarkan mereka tentang arti pentingnya memaafkan dan melepaskan dendam..***Beberapa bulan setelah insiden tragis yang mengguncang kehidupan Adrian dan keluarganya, kehidupan akhirnya kembali berjalan normal. Waktu telah menjadi penyembuh yang luar biasa, perlahan tapi pasti mengobati luka-luka hati yang ditinggalkan oleh kejadian itu. Kehidupan baru
Adrian melangkah mendekat, tetap memeluk Alisha dengan hati-hati. "Dia selamat, Dimas. Aku dan polisi sudah berhasil menyelamatkannya. Kami tahu Daniel mungkin akan melakukan sesuatu yang nekat."Dimas menatap Adrian dengan kebingungan. "Tapi bagaimana mungkin...? Aku melihat sendiri, kalau dia... Daniel melemparnya..."Adrian menghela napas, mencoba menjelaskan di tengah emosi yang berkecamuk. "Sebelum aku ke sini, aku dan polisi sudah mempersiapkan segala kemungkinan. Kami memasang jaring pengaman di balkon kamar yang ada tepat di bawah rooftop ini. Saat Daniel melepaskan Alisha..." Adrian berhenti sejenak, menatap Alisha yang masih terisak. "...instingku benar. Jaring itu menyelamatkannya."Dimas tersandar lemas ke lantai, matanya mulai berkaca-kaca lagi, tetapi kali ini karena lega yang luar biasa. "Alisha... dia selamat. Dia benar-benar selamat..."Dimas menatap Adrian dengan penuh harap, suaranya gemetar ketika bertanya, "Bagaimana dengan Anisa dan semua anggota keluarga kita? A
Sementara itu, di rooftop yang penuh ketegangan, Dimas terus mencoba berbicara dengan Daniel. Dengan suara penuh harapan, ia berkata, “Daniel, aku mohon, lepaskan Alisha. Dia hanya seorang anak kecil, dia tidak bersalah. Kau tidak perlu melibatkan dia dalam dendammu ini.”Namun, Daniel tetap tak tergoyahkan. Dengan ekspresi penuh amarah, ia berteriak, “Kau tidak mengerti apa yang aku rasakan, Dimas! Aku sudah kehilangan segalanya. Adrian mengambil semua dariku—hidupku, mimpiku, bahkan wanita yang aku cintai! Dan sekarang, dia harus merasakan penderitaan yang sama.”Alisha terus menangis dalam dekapan Daniel, tangisannya semakin memilukan. Hati Dimas terasa hancur melihat keponakannya yang ketakutan. Ia tahu, jika ia tidak melakukan sesuatu, situasinya bisa menjadi lebih buruk. Dimas mencoba mengalihkan pikiran Daniel dengan berbicara lebih tenang. “Dengar, Daniel. Aku tahu kau terluka, dan aku tidak bisa menghapus rasa sakit itu. Tapi aku percaya kau masih punya hati. Jangan biarkan d
“Dengar kan aku baik-baik. Sebaiknya kalian berhenti berisik sekarang. Karena pertunjukanku yang kedua akan segera dimulai.”Kata-kata itu membuat Dimas dan Adrian saling berpandangan, bingung dan waspada.“Pertunjukan apa, Daniel? Apa yang sudah kau rencanakan?” tanya Adrian dengan suara tegang, mencoba mencari tahu apa maksud pria di depannya.Daniel hanya tertawa pelan, suara tawanya menggema di rooftop yang dingin. Belum sempat Adrian menuntut jawaban, tiba-tiba suara ledakan keras mengguncang udara, diikuti getaran yang terasa hingga ke tempat mereka berdiri.“Boom!” seru Daniel dengan nada puas, senyumnya semakin lebar melihat kepanikan yang mulai merayap di wajah Adrian dan Dimas.“Apa yang sudah kau lakukan, Daniel?!” teriak Dimas, suaranya penuh kepanikan. Adrian segera mengalihkan pandangannya ke arah suara ledakan, wajahnya memucat.Daniel menatap mereka dengan tatapan penuh kemenangan. “Tenang saja, ledakan kecil itu hanya untuk memberimu pilihan, Adrian. Kau mau menyelama
“Jangan mendekat!” balas pria itu, menolehkan wajahnya ke Adrian dengan mata merah dan penuh kebencian. “Kalau kau mendekat, aku tidak akan ragu-ragu untuk... untuk...” Ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya, tapi gesturnya sudah cukup jelas.Angin kencang malam itu membuat suasana semakin mencekam. Alisha menangis keras, tangannya mencoba meraih udara seolah meminta bantuan.“Kau tidak perlu melakukan ini,” kata Adrian, mencoba menenangkan situasi. “Apa pun masalahnya, kita bisa menyelesaikannya secara baik baik. Jangan melibatkan anak kecil yang tidak bersalah.”Pria itu menatap Adrian dengan ekspresi penuh rasa sakit. “Tidak bersalah? Semua kejadian ini adalah salahmu, Adrian! Hidupku hancur karena kau! Sekarang kau harus merasakan penderitaanku!”Adrian melangkah pelan, berhati-hati agar tidak memprovokasi. “Dengar, aku tidak tahu apa yang sudah kau alami, tapi aku bisa membantumu. Asal kau menyerahkan Alisha padaku. Dia tidak seharusnya berada dalam situasi seperti ini.”Pria it
Daniel mengepalkan tangannya, suaranya berbisik dingin, “Nikmati kebahagiaan kalian sekarang, Adrian. Sebentar lagi, aku akan memastikan tawa itu berubah menjadi jeritan kesedihan.”Ia menatap Anisa yang tersenyum cerah sambil memegang tangan Alisha. Pemandangan itu membuat hatinya terbakar. Ia memalingkan wajahnya sebentar, berusaha meredam emosi yang semakin memuncak. Dengan langkah perlahan namun penuh perhitungan, ia bergerak menuju belakang panggung kecil tempat perayaan berlangsung.Di atas panggung, Adrian dan Anisa melanjutkan nyanyian mereka, memimpin para tamu dalam perayaan. Alisha, yang kini genap dua tahun, tertawa riang di tengah sorakan semua orang. Suasana bahagia memenuhi ballroom, penuh dengan senyum dan tawa dari keluarga dan teman dekat.Namun, kegembiraan itu tiba-tiba terhenti. Dalam sekejap, lampu di seluruh ballroom padam, meninggalkan kegelapan yang pekat. Suara bisikan dan gumaman panik mulai terdengar dari para tamu.
Doni menelan ludah, merasa merinding oleh intensitas di mata bosnya. Ia bertanya hati-hati, “Kalau boleh tahu, Pak, apa rencana Bapak?”Daniel terdiam sejenak, memutar gelas minumannya di tangan. Cairan bening di dalamnya berputar lambat, seolah mencerminkan kekacauan yang bergejolak di dalam pikirannya. Setelah beberapa detik, ia menghela napas panjang dan tersenyum kecil, sebuah senyuman yang dingin dan penuh tekad. “Nanti juga kamu akan tahu, Doni. Yang jelas, aku akan membuat Adrian merasakan apa yang kurasakan sekarang. Kehilangan segalanya. Hancur. Dan aku akan pastikan dia tidak pernah bangkit lagi.” Suaranya dipenuhi bara dendam yang membakar setiap kata yang diucapkannya.Doni mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan kegelisahan di hatinya. “Baik, Pak Daniel. Saya percaya, apa pun yang Bapak lakukan pasti yang terbaik. Tapi... saya tetap harus mengingatkan, anda Pak. Pak Adrian itu bukan orang sembarangan. Dia punya uang, kekua
Sementara itu, di kediaman AdrianSenja baru saja turun, mewarnai langit dengan semburat jingga. Di ruang tamu rumah besar milik Adrian, Anisa sedang duduk membaca buku sambil menunggu suaminya pulang. Suara mesin mobil berhenti di halaman, membuatnya segera menutup buku dan bangkit menuju pintu.Ketika pintu terbuka, Adrian muncul dengan senyuman yang lebar. Langkahnya ringan, wajahnya berseri seperti seseorang yang baru saja memenangkan perang besar.Anisa menyipitkan mata, heran. “Mas? Kok kamu kelihatan bahagia sekali? Ada apa?” tanyanya, berjalan mendekat.Adrian hanya tersenyum, melepaskan jasnya dan menyerahkannya pada Anisa sambil berjalan menuju sofa. Anisa mengikutinya dengan rasa penasaran yang semakin membuncah.Setelah duduk, Adrian menepuk sofa di sebelahnya, memberi isyarat agar Anisa duduk di sampingnya. Anisa patuh, duduk dengan mata yang menatap tajam, menunggu jawaban.“Cerita dong, Mas. Jangan membuat aku semakin penasaran,” katanya sambil menyodorkan secangkir kop
Namun, Mr. Lee mengangkat tangan, menghentikan Daniel. “Cukup. Saya juga akan memberi tahu kepada semua mitra bisnis kami di China tentang apa yang sudah terjadi hari ini. Saya ingin mereka tahu betapa bobroknya integritas Prawira Group.”Daniel tampak seperti dihantam badai. Wajahnya merah padam, tetapi kali ini bukan karena amarah, melainkan karena ketakutan. “Tuan Lee, tolong… tolong jangan lakukan itu. Anda tahu apa artinya bagi perusahaan kami jika reputasi kami hancur di pasar China. Kami tidak akan bisa bertahan. Saya mohon, beri kami kesempatan untuk memperbaiki kesalahan ini.”Mr. Lee menatapnya dengan dingin. “Kesempatan? Kesempatan itu Anda sudah sia-siakan ketika Anda memutuskan untuk bermain kotor. Saya tidak peduli berapa besar perusahaan Anda. Bagi kami, kejujuran adalah segalanya.”Setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya, Mr. Lee meraih koper itu dan menyerahkannya kembali kepada Daniel. “Ambil u