Bayi itu tampak begitu kecil, terbaring tenang di dalam inkubator dengan berbagai alat medis yang membantunya bertahan. Dinda berdiri di balik kaca, menatap bayi itu dengan mata yang berkaca-kaca. "Ternyata laki-laki," gumamnya pelan, menahan perasaan yang sulit ia definisikan. "Akhirnya, keluarga Hartono punya penerus laki-laki juga... walaupun lahir bukan dari rahimku."Kata-kata itu terucap dengan getir. Ada perasaan tak terelakkan yang menghantui Dinda—kenapa bukan dia yang memberi Dimas seorang anak, kenapa bukan dia yang bisa menjadi ibu dari penerus keluarga Hartono. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dari perasaan yang menghimpit dadanya."Kenapa, Tuhan…," ucapnya lirih, hampir tak terdengar. "Kenapa Kau menghukumku seperti ini? Apakah ini balasan atas semua yang pernah kulakukan pada Anisa? Apakah aku dihukum menjadi wanita mandul karena dosa-dosa masa laluku?"Air mata mengalir tanpa bisa dicegah, tapi Dinda tidak menghapusnya. Dia menatap bayi laki-laki it
“Ibumu benar, Dimas” Pak Hartono memulai dengan suara yang tenang, namun tegas. “Sekarang yang paling penting adalah kamu urus dulu pemakaman Rita. Dan kamu jangan lupa untuk kabari Anisa juga.”Dimas tertegun sejenak mendengar nama itu, namun kemudian ia mengangguk pelan. “Baik, Pa. Dimas akan urus semuanya. Kalau begitu Dimas pamit dulu,” ucapnya, sambil bangkit dari sofa. Kedua orang tuanya mengangguk, memberi izin. Namun, di balik persetujuan itu, ada keheningan yang berat—seperti beban yang terasa semakin menekan di dada mereka.Saat Dimas melangkah pergi, suasana di ruang tamu terasa mencekam. Siska, dengan raut wajah yang penuh ketidakpuasan, memutar bola matanya. Ia menatap ayahnya dengan tatapan sinis dan dingin.“Papa kenapa sih masih peduli dengan Anisa? Dia kan sudah bukan bagian dari keluarga kita lagi. Kita sudah tidak ada urusan lagi sama dia,” kata Siska dengan suara yang kental dengan amarah yang dipendam lama.Pak Hartono menatap putrinya yang keras kepala dengan soro
“Dinda, bagaimana kabarmu?” tanya ibu mertua Dinda dengan suara pelan namun penuh perhatian. “Maafkan mama ya... baru bisa ikut jenguk ke sini, karena kami sibuk mengurus pemakamannya Rita.”Dinda tersenyum lemah. “Tidak apa-apa, Ma. Dinda mengerti kok, pasti banyak yang mama harus urus.”“Kamu seharusnya pulang dan gantian jaga anak itu, biar kamu bisa istirahat Mama tahu kamu pasti sangat lelah. Kamu tidak harus terus-terusan menjaga bayi ini sendirian," ucap ibu Dimas penuh perhatian.Namun Dinda menggeleng perlahan. “Tidak apa-apa, Ma. Dinda tidak keberatan kok untuk menjaga bayi ini sendirian. Dinda sudah bertekad untuk menjaga bayi ini. Karena ini juga sudah menjadi bagian dari tanggung jawabku sekarang.”Ibu mertua Dinda terdiam sejenak, lalu tersenyum bangga melihat betapa besar hati menantunya. “Kamu benar-benar luar biasa, Dinda,” katanya sambil mengusap lembut tangan Dinda. Dia tak pernah menyangka bahwa Dinda masih bisa membuka hatinya seluas ini. setelah semua yang telah
"Ma, aku mohon... tolong jangan sebut Rita seperti itu. Dia sudah tiada, dan dia tidak layak diperlakukan seperti ini. Aku mohon, Ma... hormati dia, jangan panggil dia gundik!" Dimas berbicara dengan penuh emosi, namun juga harap.Ibu Nuri mendengus keras, wajahnya memerah karena kemarahan. "Apa yang salah dari kata-kataku? Kalau bukan gundik, apa namanya wanita yang merayu suami orang? Yang sudah menghancurkan pernikahan anakku?"Dinda yang sejak tadi berusaha tenang dan menahan diri, akhirnya tak bisa tinggal diam lagi. Dengan suara yang lebih keras daripada biasanya, ia memotong perdebatan itu. “Ma! Dinda mohon hentikan semua ini! Kita lagi berada di rumah sakit, jangan buat keributan di sini!” Seru Dinda dengan nada tegas.Semua orang terdiam mendengar Dinda berbicara dengan nada seperti itu, termasuk ibunya. Dinda kemudian melanjutkan, dengan suara yang sedikit bergetar, “Dan, Dinda setuju dengan Dimas. Tolong, Ma... jangan sebut Rita seperti itu lagi. Apa pun yang sudah terjadi,
Sore harinya, bayi Dimas akhirnya diperbolehkan pulang. Bayi mungil itu tampak nyaman dalam gendongan Dinda, yang tak pernah bosan menatap wajah polosnya. Tidak ada sedikit pun rasa benci atau dendam di matanya saat ia memandangi bayi tersebut. Malam itu, di kamar mereka, Dimas dan Dinda menyiapkan tempat tidur bayi. Dimas sebenarnya sudah menyarankan agar mereka membuatkan kamar terpisah untuk bayi itu, tapi Dinda menolak mentah-mentah."Sayang, apa kamu yakin kita tidak sebaiknya menaruh bayi ini di kamar lain saja? Biar kamu bisa istirahat lebih tenang," tanya Dimas dengan lembut.Dinda menggeleng, tersenyum tipis. "Tidak, Dimas. Aku tidak ingin jauh-jauh dari anak ini. Aku ingin selalu bersamanya," jawab Dinda mantap.Dimas tersenyum lega. Ada rasa bahagia yang tak bisa ia sembunyikan. Dinda, dengan segala kebaikan hatinya, menerima anaknya dengan tulus. Ia merasa bersyukur memiliki istri seperti Dinda. "Oh iya, Sayang, apa kamu sudah punya nama untuk anak kita ini?" tanya Dimas.
Dengan sekejap, Dimas memukul wajah pria botak tersebut dengan satu tinju keras yang membuatnya terhuyung jatuh ke tanah. Pria gondrong yang melihat temannya dipukul langsung naik pitam.“Kurang ajar kau!” teriak pria gondrong, lalu mencoba menyerang Dimas dengan tinjunya. “Berani-beraninya kau ikut campur urusan kami!”Namun, Dimas yang sudah terlatih dalam bela diri, dengan sigap menepis pukulan itu. Dengan gerakan cepat, Dimas memutar tubuhnya dan melayangkan tendangan ke perut pria gondrong, membuatnya terjatuh ke tanah dengan keras. Pria botak yang sudah bangun mencoba menyerang Dimas lagi, tapi sekali lagi, Dimas dengan mudah memukulnya hingga terkapar.Perkelahian berlangsung sengit, tapi Dimas, dengan keterampilannya, berhasil mengatasi keduanya. Para preman akhirnya tergeletak di tanah, meringis kesakitan.“Ampun... mas, ampun!” pria gondrong memohon sambil memegangi perutnya yang kesakitan. “Jangan pukuli kami lagi, mas! Kami janji, kami nggak akan ganggu wanita ini lagi.”D
Keesokan harinya, Dimas kembali datang ke rumah Rita untuk memenuhi janjinya. Hatinya terasa hangat saat membayangkan bisa membantu Rita, meski ia tak tahu bagaimana caranya. Namun, ketika sampai di depan rumah, pemandangan yang ia saksikan membuat darahnya mendidih. Seorang wanita dengan wajah angkuh berdiri di depan pintu, dikelilingi oleh dua pria berbadan besar. Di hadapan mereka, Rita terlihat bersimpuh di lantai, tangisnya pecah dengan suara lirih."Bu Rohma, saya mohon beri saya waktu lagi. Saya pasti akan melunasi hutang-hutang ayah saya," ujar Rita dengan suara parau.Wanita yang dipanggil Bu Rohma hanya tertawa kecil, sinis. "Waktu?" tanyanya mengejek. "Aku sudah memberimu dua bulan untuk melunasi semuanya, tapi lihat dirimu sekarang. Sampai saat ini pun kamu belum bisa membayarnya," ucapnya dengan nada penuh kemenangan.Rita menunduk, air matanya jatuh di tanah. "Tapi kali ini saya janji, saya akan melunasinya. Beri saya waktu sampai minggu depan, Bu," pintanya penuh harap,
Setelah kejadian membantu Rita melunasi hutangnya, Dimas memutuskan untuk menjaga jarak. Bukan karena ia tidak peduli, tetapi karena ia menghormati istrinya dan tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman. Dia merasa sudah melakukan hal yang tepat dengan membantu Rita menyelesaikan masalahnya. Namun, suatu hari, di bawah terik matahari yang menyengat dan di tengah kemacetan jalan raya, Dimas melihat sosok yang tak asing."Itu bukannya Rita?" gumam Dimas dalam hati saat melihat wanita itu tampak kelelahan menjajakan dagangannya di trotoar. Dia merasa iba. "Kasihan sekali, dia harus bekerja seperti ini... Sebaiknya aku temui saja dia," pikirnya lagi.Setelah memarkirkan mobilnya di emperan toko, Dimas langsung turun dan menghampiri Rita. "Rita... apa kabar? Kelihatannya daganganmu belum laku semua," sapanya dengan nada ramah.Rita yang tadinya sibuk dengan dagangannya, terkejut melihat Dimas. "Eh... Dimas. Kabarku baik, kok. Iya, hari ini kebetulan sepi, jadi dagangannya belum laku semua," j