Dinda berangsur pergi, langkahnya cepat dan penuh amarah. Namun tiba-tiba, suara Rita memanggil dari belakang, menghentikan langkahnya. "Tunggu, Dinda... jangan pergi dulu," suara Rita terdengar lirih namun jelas. Dinda berhenti sejenak, namun tidak menoleh. Hatinya bergejolak antara ingin segera pergi atau mendengar kata-kata yang keluar dari mulut perempuan yang sudah menghancurkan hidupnya.Rita berjalan mendekat, langkahnya pelan, penuh keraguan. "Aku tahu... aku tahu kamu mungkin sulit untuk memaafkan kami. Dan kamu berhak untuk marah, aku paham itu karena kami yang salah," ucapnya dengan suara pelan, wajahnya penuh rasa bersalah. Matanya menatap punggung Dinda yang membeku di tempatnya, tanpa sedikit pun tanda akan membalas.“Apa lagi yang ingin kamu katakan?” Dinda berkata, suaranya bergetar menahan amarah yang terpendam. Ia tidak ingin mendengar lebih banyak kebohongan, namun ada sesuatu dalam suara Rita yang membuatnya berhenti. Sesuatu yang entah bagaimana, membuatnya tetap
“RITA!!” teriak Dimas panik, berlari ke arah tubuh Rita yang tergeletak. Darah mulai mengalir dari antara kaki Rita, menodai aspal. Matanya terpejam, wajahnya pucat pasi, menahan sakit yang luar biasa di perutnya.“Tidak… Rita… bertahanlah!” seru Dimas, suaranya pecah penuh kekhawatiran. Dinda, yang masih syok, tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia hanya bisa melihat, dengan napas terengah-engah, ketika darah terus mengalir di bawah tubuh Rita.“Ambulans… kita butuh ambulans!” Dimas memekik, tangannya gemetar saat menelepon dengan panik. Wajahnya penuh ketakutan, dan air mata mulai membasahi pipinya. "Tolong... secepatnya! Ada wanita hamil yang terluka parah!"Rita masih terbaring, napasnya terengah-engah, tangannya memegangi perut yang terasa sangat sakit. Namun, dalam kondisi sekarat, dia tetap berusaha tersenyum lemah ke arah Dinda. “Dinda… maafkan aku…” ucapnya pelan, suaranya hampir tak terdengar.Dinda mendekati Rita, tubuhnya gemetar. Dia tahu seharusnya merasa marah, namun meli
Di ruang tunggu, Dimas merasa seperti disiksa oleh waktu yang berjalan lambat. Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan ia hanya bisa memikirkan hal terburuk. Teringat saat-saat indah bersama Rita, tawa dan senyumnya, serta janji yang pernah ia ucapkan untuk selalu melindungi istrinya. Namun kini, perasaan bersalah menghantam keras. Dimas hanya bisa berdoa dalam hati, berharap agar Tuhan memberi kesempatan kedua.Sementara itu, di ruang operasi, dokter memulai proses caesar darurat. Suasana begitu tegang. Pisau bedah dengan hati-hati membelah lapisan perut Rita, dan saat rahim terbuka, bayi yang masih sangat kecil muncul, berjuang untuk hidup. Dokter bedah mengangkat bayi itu dengan cepat. "Bayi berhasil dikeluarkan, tapi sangat prematur. Cepat siapkan inkubator di NICU," perintahnya.Bayi mungil itu langsung dibawa oleh tim neonatal, masih dalam keadaan lemah. Mereka menyiapkan segala perlengkapan untuk mendukung pernapasan dan menjaga suhu tubuhnya. Di ruangan yang terpisah, Rita m
n itu. "Kamu mau ngomong apa, Sayang? Apa tidak sebaiknya kamu istirahat dulu? Kamu ini masih lemah. Nanti saja kalau sudah lebih baikan," kata Dimas khawatir.Rita menggeleng lemah, meringis kesakitan ketika tubuhnya mencoba bergerak sedikit. “Nggak, Mas… aku harus bicara sekarang. Aku takut tidak punya waktu lagi...” jawab Rita dengan suara yang semakin pelan."Hush... jangan ngomong yang aneh-aneh. Kamu pasti sembuh, Rita. Nggak ada yang perlu kamu takutkan," balas Dimas, mencoba menyemangati istrinya, meski hatinya ikut waswas.Namun, Rita tetap bersikeras. “Mas, tolong... panggil Dinda sekarang. Aku nggak mau menunggu lagi,” pintanya lagi, suaranya penuh dengan rasa mendesak meski tubuhnya sangat lemah.Dimas merasa terpojok. Dia tidak ingin Rita memaksakan diri, tapi dia juga tidak bisa mengabaikan keinginannya. Akhirnya, setelah diam sejenak, Dimas mengalah. "Baik, aku akan panggil Dinda. Tapi kamu janji ya, kalau sudah capek atau kesakitan, kamu langsung istirahat. Jangan mema
Namun, tiba-tiba tubuh Rita mengejang, seperti tersentak oleh rasa sakit yang luar biasa. Monitor detak jantung yang semula berbunyi stabil mulai berbunyi tak menentu, seolah-olah sedang berlomba dengan waktu. Dinda terkejut, melihat tubuh Rita yang sekarat di depannya.“Rita…! Rita!!” teriak Dinda panik, memanggil namanya, berharap Rita akan membuka matanya lagi. Air matanya mengalir deras, jatuh di atas tangan Rita yang perlahan mulai kehilangan kehangatannya.Dimas, yang mendengar suara teriakan Dinda di luar, segera berlari masuk. “Rita?! Rita!!” Dimas berteriak, matanya membelalak melihat kondisi istrinya yang semakin parah. Dia langsung berlari ke arah Rita, mengguncang bahunya dengan cemas. "Sayang, bertahan! Bertahanlah, tolong!"Dokter dan perawat bergegas masuk, mendorong Dinda dan Dimas ke samping. “Maaf, kami harus menangani pasien!” ujar salah satu dokter sambil segera memeriksa keadaan Rita. Tim medis mulai bekerja cepat, menyiapkan alat-alat darurat untuk menyelamatkan
Bayi itu tampak begitu kecil, terbaring tenang di dalam inkubator dengan berbagai alat medis yang membantunya bertahan. Dinda berdiri di balik kaca, menatap bayi itu dengan mata yang berkaca-kaca. "Ternyata laki-laki," gumamnya pelan, menahan perasaan yang sulit ia definisikan. "Akhirnya, keluarga Hartono punya penerus laki-laki juga... walaupun lahir bukan dari rahimku."Kata-kata itu terucap dengan getir. Ada perasaan tak terelakkan yang menghantui Dinda—kenapa bukan dia yang memberi Dimas seorang anak, kenapa bukan dia yang bisa menjadi ibu dari penerus keluarga Hartono. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dari perasaan yang menghimpit dadanya."Kenapa, Tuhan…," ucapnya lirih, hampir tak terdengar. "Kenapa Kau menghukumku seperti ini? Apakah ini balasan atas semua yang pernah kulakukan pada Anisa? Apakah aku dihukum menjadi wanita mandul karena dosa-dosa masa laluku?"Air mata mengalir tanpa bisa dicegah, tapi Dinda tidak menghapusnya. Dia menatap bayi laki-laki it
“Ibumu benar, Dimas” Pak Hartono memulai dengan suara yang tenang, namun tegas. “Sekarang yang paling penting adalah kamu urus dulu pemakaman Rita. Dan kamu jangan lupa untuk kabari Anisa juga.”Dimas tertegun sejenak mendengar nama itu, namun kemudian ia mengangguk pelan. “Baik, Pa. Dimas akan urus semuanya. Kalau begitu Dimas pamit dulu,” ucapnya, sambil bangkit dari sofa. Kedua orang tuanya mengangguk, memberi izin. Namun, di balik persetujuan itu, ada keheningan yang berat—seperti beban yang terasa semakin menekan di dada mereka.Saat Dimas melangkah pergi, suasana di ruang tamu terasa mencekam. Siska, dengan raut wajah yang penuh ketidakpuasan, memutar bola matanya. Ia menatap ayahnya dengan tatapan sinis dan dingin.“Papa kenapa sih masih peduli dengan Anisa? Dia kan sudah bukan bagian dari keluarga kita lagi. Kita sudah tidak ada urusan lagi sama dia,” kata Siska dengan suara yang kental dengan amarah yang dipendam lama.Pak Hartono menatap putrinya yang keras kepala dengan soro
“Dinda, bagaimana kabarmu?” tanya ibu mertua Dinda dengan suara pelan namun penuh perhatian. “Maafkan mama ya... baru bisa ikut jenguk ke sini, karena kami sibuk mengurus pemakamannya Rita.”Dinda tersenyum lemah. “Tidak apa-apa, Ma. Dinda mengerti kok, pasti banyak yang mama harus urus.”“Kamu seharusnya pulang dan gantian jaga anak itu, biar kamu bisa istirahat Mama tahu kamu pasti sangat lelah. Kamu tidak harus terus-terusan menjaga bayi ini sendirian," ucap ibu Dimas penuh perhatian.Namun Dinda menggeleng perlahan. “Tidak apa-apa, Ma. Dinda tidak keberatan kok untuk menjaga bayi ini sendirian. Dinda sudah bertekad untuk menjaga bayi ini. Karena ini juga sudah menjadi bagian dari tanggung jawabku sekarang.”Ibu mertua Dinda terdiam sejenak, lalu tersenyum bangga melihat betapa besar hati menantunya. “Kamu benar-benar luar biasa, Dinda,” katanya sambil mengusap lembut tangan Dinda. Dia tak pernah menyangka bahwa Dinda masih bisa membuka hatinya seluas ini. setelah semua yang telah