Rita, yang melihat suaminya ragu, bertanya, "Siapa, Mas?"
"Dinda," jawab Dimas singkat, suaranya terdengar lesu. "Aku malas ngangkat. Paling-paling dia minta uang lagi."
Rita tersenyum kecil. "Mas, angkat saja. Siapa tahu kali ini memang ada yang penting," bujuk Rita dengan bijak.
Dengan rasa enggan, Dimas akhirnya menggeser layar ponselnya dan mengangkat panggilan itu. "Halo, Dinda. Ada apa?"
"Dimas, kamu lagi di mana? Jam berapa kamu akan pulang?" tanya Dinda, suaranya terdengar tegang.
"Aku lagi di kantor. Banyak kerjaan. Mungkin aku nggak bisa pulang malam ini," bohong Dimas, mencoba menghindari konfrontasi.
"Dimas, aku mohon, kamu pulang. Ada sesuatu yang sangat penting yang harus aku bicarakan langsung. Ini nggak bisa dibicarakan lewat telepon," desak Dinda, suaranya makin mendesak.
Dimas menghela napas, merasa berat hati. "Dinda, aku beneran sibuk. Nggak bisa ninggalin kerjaan sekarang," jawabnya, masih berusaha menolak.
Namun, sesuai peraturan bank yang berlaku, kami tidak bisa memberikan nomor telepon ataupun informasi pribadi nasabah kami.”Mata Anisa seketika membesar. Kekecewaan melintas di wajahnya, seolah ia baru saja dipukul oleh kenyataan pahit. “Tapi, Mbak...”*Anisa berusaha menahan gemuruh emosinya, namun suaranya mulai bergetar. “Orang yang kirim uang itu, dia suami saya. Saya butuh nomor teleponnya, karena dia sudah lama menghilang tanpa kabar. Ini satu-satunya petunjuk yang saya punya.”Petugas bank tampak sedikit terkejut dengan pengakuan Anisa, namun wajahnya tetap tenang, seperti sudah terbiasa menghadapi situasi emosional seperti ini. “Maaf, Bu. Kami benar-benar mengerti situasi Ibu, tapi kami harus patuh pada aturan privasi nasabah. Informasi seperti nomor telepon tidak bisa kami berikan, meski dalam situasi seperti ini.”Kata-kata itu terdengar sangat resmi, kaku, dan menghancurkan seluruh harapan Anisa. Napasnya tera
Pak Hartono mengernyitkan dahi, agak terkejut. "Aditya Corporation?" ucapnya pelan, mencoba mencerna. "Bukankah itu perusahaan tempat menantu saya, Reza, bekerja? Ada keperluan apa mereka ke sini?""Katanya mereka ingin menginvestasikan uangnya di perusahaan kita, Pak," jawab Sari sambil menyerahkan beberapa dokumen.Dimas dan Pak Hartono saling berpandangan sejenak, tersenyum lebar. Ini tampaknya adalah kesempatan besar yang bisa menyelamatkan perusahaan mereka dari kehancuran."Segera suruh mereka masuk," ujar Pak Hartono, suaranya mulai terdengar antusias.Sari keluar untuk memanggil utusan dari Aditya Corporation, dan tidak lama kemudian seorang pemuda berpenampilan rapi memasuki ruangan. Ia memperkenalkan dirinya dengan ramah."Selamat siang, Pak Hartono," ucapnya dengan sopan. "Perkenalkan, nama saya Fito, saya perwakilan dari Aditya Corporation. Tujuan saya ke sini adalah untuk membahas rencana kami menginvestasikan dana di perusahaan Bapak. Kami mendengar bahwa perusahaan Bapa
"Karena kamu lebih memilih menikah dengan pria ini, maka tinggalkan rumah dan keluarga ini!"Kalimat itu bergema dalam benak Anisa, membuatnya tersentak dari lamunan. Setahun lebih telah berlalu, tapi luka itu masih terasa nyata. Matanya menerawang ke luar jendela mobil yang melaju pelan menembus jalanan Jakarta yang mulai lengang di sore hari."Apa yang sedang kamu pikirkan sampai mengerutkan kening seperti itu?"Suara dalam nan lembut membuat Anisa menoleh. Adrian, suaminya, menatapnya dengan sorot mata penuh perhatian. Pria itu menggenggam tangan Anisa lembut, seolah berusaha menyalurkan kekuatan."Aku hanya sedang teringat masa lalu," Anisa tersenyum tipis.Adrian mengangguk paham. "Kita sudah sepakat kan? Hari ini kita akan menulis lembaran baru."Anisa menatap Adrian lekat-lekat. Setahun yang lalu, ia memilih untuk meninggalkan keluarganya demi cintanya pada pria ini. Adrian mungkin hanya seorang staff biasa di sebuah perusahaan swasta, jauh dari ekspektasi orangtuanya yang meng
Suasana tegang masih menyelimuti ruang tamu keluarga besar Anisa. Ucapan terakhir sang ayah membuat semua orang terdiam, seolah menahan napas."Pa, jangan begitu," Ibu Anisa akhirnya angkat bicara, suaranya lembut namun tegas. "Mereka berdua datang dengan niat baik. Lihatlah, kita punya cucu sekarang."Ayah Anisa mendengus, tapi matanya tak lepas dari bayi mungil dalam gendongan Adrian. Perlahan, sorot matanya melembut."Pa, coba kamu gendong cucu kita, lihat dia sangat lucu kan ?" ujar Ibu Anisa.Dengan hati-hati, Ibu Anisa mengambil si kecil dari Adrian dan menyerahkannya pada sang suami. Untuk pertama kalinya, Anisa melihat ekspresi ayahnya berubah. Ada kelembutan yang tak pernah ia lihat sebelumnya saat pria itu menggendong cucunya."Siapa namanya?" tanya Ayah Anisa, masih menatap si bayi."Alisha," jawab Anisa pelan. "Artinya yang mulia dan dilindungi."Ayah Anisa mengangguk pelan. Untuk beberapa saat, suasana hening. Hanya terdengar suara dengkuran halus Alisha."Baiklah," Ayah A
Anisa menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab tawaran Daniel. Ruangan itu hening, menunggu jawabannya."Maaf. Aku menghargai tawaran anda, tapi aku harus menolak," ujar Anisa tegas.Seketika, ruangan meledak dalam kekacauan."Kau gila!" Dimas menggebrak meja, membuat piring-piring bergetar. "Itu kesempatan emas, bodoh!"Anisa berdiri, matanya berkilat-kilat. "Aku bukan bodoh, kak! Ini pilihanku sendiri!""Pilihan?" Ayahnya mendengus, bangkit dari kursinya. "Atau cucian otak dari suamimu yang tidak berguna itu?"Adrian hendak membela diri, tapi Anisa mengangkat tangannya, menghentikannya."Bukan, Yah. Ini murni keinginanku sendiri. Aku ingin fokus menjadi ibu dan istri yang baik untuk Adrian dan Alisha."Siska tertawa mengejek, suaranya melengking tinggi. "Oh, jadi sekarang kau mau jadi budak rumah tangga? Hebat sekali!""Diam kau!" bentak Anisa, membuat semua orang terkejut. Ini pertama kalinya mereka melihat Anisa begitu marah.Reza berdiri, matanya menatap tajam Adrian. "Kau," ia
Ayah Anisa, dengan mata menyipit penuh curiga, menatap Daniel lekat-lekat. "Apa maksudmu dengan 'merebutnya ', Daniel? Jelaskan padaku!"Ruangan itu seketika hening, semua mata tertuju pada Daniel yang berdiri tegak di ujung meja. Ia menarik napas dalam sebelum menjawab dengan suara mantap."Saya jatuh cinta pada Anisa, Pak. Pada saat pertama kali melihat dia." Daniel menatap satu per satu anggota keluarga. "Keberaniannya, ketegasannya... semua itu membuatku terpesona. Saya ingin merebutnya dari pria itu, memberikannya kehidupan yang lebih layak."Dimas, yang sedari tadi diam, tiba-tiba tertawa keras. "Ini dia! Inilah yang kita tunggu-tunggu!" Ia menepuk pundak ayahnya dengan semangat. "Ayah, ini kesempatan kita!"Ayah Anisa mengangguk, senyum licik tersungging di bibirnya. "Kau benar Dimas. Daniel, kau punya dukungan dan restu penuh dariku. Bawa anakku kembali kerumah ini""Tunggu dulu!" Ibu Anisa berseru, wajahnya pucat. "Kalian tidak bisa melakukan ini semua! Anisa sudah bahagia den
"S-Siska, dengarkan aku," Reza tergagap, suaranya sedikit bergetar. "Aku tidak... maksudku, aku sama sekali tidak punya perasaan apa-apa pada Anisa. Sungguh!" Siska melipat tangannya di dada, matanya menyipit curiga. "Oh ya? Lalu kenapa kamu terlihat sangat tidak suka saat Daniel menunjukkan ketertarikan padanya?" Reza menelan ludah dengan susah payah. Dia tahu harus meyakinkan Siska, meskipun itu berarti dia harus berbohong. "Sayang, dengar," Reza mencoba menenangkan suaranya. "Apa yang kurasakan dulu pada Anisa... itu sudah lama terkubur. Saat aku menikah denganmu dan menerima perjodohan ini, semua perasaan itu hilang. Kamu satu-satunya wanita dalam hidupku sekarang." Siska masih tampak ragu. "Benarkah? Lalu kenapa kamu begitu kesal tadi?" Reza menghela napas panjang, pikirannya berpacu mencari alasan yang masuk akal. "Itu karena... karena aku tahu seperti apa Daniel. Dia sepupuku, ingat? Aku tahu track record-nya dengan wanita. Aku hanya tidak ingin Anisa terluka." "Jadi kamu
Beberapa hari telah berlalu sejak pertemuan keluarga yang penuh ketegangan itu. Kehidupan Anisa kembali ke rutinitas normalnya, dipenuhi dengan tugas-tugas sebagai istri dan ibu muda.Pagi itu, seperti biasa, Anisa sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Adrian. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, bercampur dengan suara denting peralatan masak."Sayang, kamu lihat dasi biruku tidak?" suara Adrian terdengar dari kamar.Anisa tersenyum kecil. "Di laci kedua, Adrian. Aku sudah menyetrikanya semalam."Tiba-tiba, tangisan bayi memecah keheningan pagi. Alisha, putri mereka yang baru berusia 3 bulan, terbangun dari tidurnya."Biar aku yang urus," Adrian berkata cepat, melihat Anisa yang masih sibuk dengan penggorengan.Anisa mengangguk penuh terima kasih. "Terima kasih, sayang. Mungkin popoknya perlu diganti."Adrian bergegas ke kamar bayi. Tak lama kemudian, tangisan Alisha mereda, digantikan oleh suara tawa kecil dan celotehan Adrian yang mengajak putrinya bermain.Anisa tersenyum