Namun, sesuai peraturan bank yang berlaku, kami tidak bisa memberikan nomor telepon ataupun informasi pribadi nasabah kami.”
Mata Anisa seketika membesar. Kekecewaan melintas di wajahnya, seolah ia baru saja dipukul oleh kenyataan pahit. “Tapi, Mbak...”*Anisa berusaha menahan gemuruh emosinya, namun suaranya mulai bergetar. “Orang yang kirim uang itu, dia suami saya. Saya butuh nomor teleponnya, karena dia sudah lama menghilang tanpa kabar. Ini satu-satunya petunjuk yang saya punya.”
Petugas bank tampak sedikit terkejut dengan pengakuan Anisa, namun wajahnya tetap tenang, seperti sudah terbiasa menghadapi situasi emosional seperti ini. “Maaf, Bu. Kami benar-benar mengerti situasi Ibu, tapi kami harus patuh pada aturan privasi nasabah. Informasi seperti nomor telepon tidak bisa kami berikan, meski dalam situasi seperti ini.”
Kata-kata itu terdengar sangat resmi, kaku, dan menghancurkan seluruh harapan Anisa. Napasnya tera
Pak Hartono mengernyitkan dahi, agak terkejut. "Aditya Corporation?" ucapnya pelan, mencoba mencerna. "Bukankah itu perusahaan tempat menantu saya, Reza, bekerja? Ada keperluan apa mereka ke sini?""Katanya mereka ingin menginvestasikan uangnya di perusahaan kita, Pak," jawab Sari sambil menyerahkan beberapa dokumen.Dimas dan Pak Hartono saling berpandangan sejenak, tersenyum lebar. Ini tampaknya adalah kesempatan besar yang bisa menyelamatkan perusahaan mereka dari kehancuran."Segera suruh mereka masuk," ujar Pak Hartono, suaranya mulai terdengar antusias.Sari keluar untuk memanggil utusan dari Aditya Corporation, dan tidak lama kemudian seorang pemuda berpenampilan rapi memasuki ruangan. Ia memperkenalkan dirinya dengan ramah."Selamat siang, Pak Hartono," ucapnya dengan sopan. "Perkenalkan, nama saya Fito, saya perwakilan dari Aditya Corporation. Tujuan saya ke sini adalah untuk membahas rencana kami menginvestasikan dana di perusahaan Bapak. Kami mendengar bahwa perusahaan Bapa
Ibu Anisa semakin penasaran. "Memangnya, apa saja yang ada di dalam truk ini?" tanyanya lagi.Pria itu melihat catatannya sejenak. "Ini ada susu bayi, popok, sembako, dan berbagai keperluan bayi, Bu," jelasnya.Mendengar itu, Ibu Anisa semakin kebingungan. "Bapak tunggu sebentar di sini, ya. Saya tanyakan dulu kepada anak saya apakah dia yang memesan barang-barang ini," katanya sambil berlalu masuk ke rumah, memanggil putrinya."Nis... Anisa, coba kemari sebentar, Nak," panggil Ibu Anisa.Anisa, yang sedang menggendong bayi kecilnya, Alisha, segera datang ke ruang depan. "Ada apa, Bu? Ibu memanggil Nisa?" tanyanya.Ibu Anisa menjelaskan dengan nada heran, "Ini, Nis, ada petugas yang datang membawa barang-barang keperluan bayi dan sembako dalam jumlah banyak. Apa kamu yang pesan semuanya?"Anisa mengerutkan kening, bingung. "Perlengkapan bayi? Tidak, Bu. Nisa tidak pernah pesan barang-barang seperti itu. Apa Ibu sudah tanyakan siapa yang mengirimnya?""Katanya dari perusahaan Aditya Co
Reza yang belum sempat melepaskan dasinya, menghela napas panjang. “Siska, tenang dulu. Suami pulang bukannya disuruh duduk atau diberi air minum, malah langsung ditanyai pertanyaan yang nggak jelas,” balas Reza dengan nada kesal, mencoba menenangkan suasana.Siska memutar bola matanya, tak terpengaruh. “Nggak jelas gimana, Mas? Tadi pagi Ibu nelepon aku, dia bilang ada kiriman barang-barang dari Aditya Corporation untuk Anisa. Kalau bukan kamu yang kirim, siapa lagi? Cuma kamu di keluarga kita yang kerja di sana.”Mendengar itu, Reza langsung terkejut. “Apa? Kamu yakin itu dari perusahaanku?” tanyanya sambil melepas dasi dan duduk di kursi, matanya menatap Siska dengan serius.“Iya, Reza. Tadi Ibu yang bilang begitu. Nama pengirimnya dari Aditya Corporation, tempat kamu kerja. Makanya aku tanya, siapa lagi kalau bukan kamu?” Siska mulai kesal, merasa suaminya menghindar dari pertanyaan yang seharusnya jelas.Reza memijat pelipisnya, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. "Si
Dengan rasa penasaran, Reza segera mendekati Adrian. "Hei, Adrian!" panggilnya dengan nada merendahkan. "Ternyata sekarang kamu kerja di sini jadi OB, ya?" ucap Reza sambil menilai penampilan Adrian dari atas ke bawah, penuh ejekan.Adrian, yang terlihat sedang sibuk mengamati sekeliling kantor, hanya melirik sekilas ke arah Reza tanpa menunjukkan emosi apapun. Alih-alih menjawab, Adrian berjalan pergi begitu saja, seolah Reza tidak ada di sana."Kurang ajar!" Reza langsung tersulut amarah. "Berani-beraninya dia mengacuhkanku. Apa dia nggak tahu siapa aku di sini? Aku manajer! Kalau aku mau, bisa kupecat dia sekarang juga!" gumamnya sambil mengejar Adrian, rasa marah makin membakar.Dengan cepat, Reza mencengkeram lengan Adrian, menghentikan langkahnya. "Hei, Adrian! Aku belum selesai ngomong! Apa kamu mau aku pecat, hah?" Reza berkata dengan nada keras, matanya memandang tajam, penuh kemarahan.Adrian menatap Reza dingin. "Aku nggak perlu m
Dirga, yang juga tampak tak kalah terkejut, membalas tatapannya. "Anisa? Kamu Anisa, kan? Teman SMA-ku dulu?" tanya Dirga dengan mata yang berbinar.Anisa tersenyum tipis. "Iya, Dirga. Ini aku, Anisa. Sudah lama ya kita nggak bertemu," jawabnya, suaranya terdengar lebih lembut sekarang. "Gimana kabarnya kamu, Dirga?"Dirga tersenyum lebar, lega melihat Anisa baik-baik saja. "Aku baik-baik saja, Nisa. Kamu sendiri gimana kabarnya? Aku nggak menyangka bisa ketemu kamu di sini.""Aku juga baik, Dirga. Cuma ya, akhir-akhir ini banyak hal yang terjadi," jawab Anisa, mencoba mengalihkan percakapan dari kesulitan hidupnya belakangan ini.Setelah itu, Dirga duduk di bangku yang sama dengan Anisa. Mereka mulai berbincang lebih lanjut. "Kamu sekarang kerja di mana, Nisa?" tanya Dirga sambil tersenyum hangat, seolah waktu tidak mengubah kenyamanan di antara mereka.Anisa tersenyum tipis, sedikit canggung mengingat posisinya saat ini. "Aku... belum kerja sekarang, Dirga. Lagi ada beberapa urusan
"Jangan tanya sekarang, Dirga. Ini rumit. Lebih baik kita pergi sebelum situasinya makin buruk," jawab Anisa cepat, suaranya mulai serak oleh ketegangan. Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, pria itu—Daniel—memanggil nama Anisa dengan nada yang tak bisa disembunyikan, penuh keputusasaan dan frustrasi.“Anisa! Tunggu!” Daniel berteriak sambil mendekat dengan langkah panjang yang cepat. "Kenapa kamu selalu menghindariku? Kita perlu bicara!"Anisa menghentikan langkahnya, meskipun dia tidak ingin berbalik. Dengan tegas, tanpa menoleh, dia menjawab, “Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Daniel. Aku sudah muak melihatmu.”Dirga menatap wajah Anisa yang pucat dan tegang. Dia merasa ada banyak hal yang disembunyikan di balik hubungan ini, sesuatu yang mungkin lebih dalam daripada yang bisa dilihat dari luar. Tapi dia tetap diam, menghormati keputusan Anisa.Daniel, yang tidak puas dengan jawaban Anisa, terus m
Namun, rasa penasaran itu tetap mengusiknya. “Kalau boleh tahu, Nisa... Nama lengkap suamimu siapa?” tanya Dirga, mencoba menggali lebih dalam.Anisa tersenyum kecil, sedikit malu. “Anehnya, aku tidak tahu nama lengkapnya, Dirga. Sejak kami menikah, aku hanya memanggilnya Adrian.Mungkin dia memang tidak punya nama panjang.”Dirga tertawa kecil. “Kamu aneh, Nisa. Masa suami sendiri tidak tahu nama lengkapnya?”Anisa ikut tertawa ringan, meskipun hatinya masih diliputi duka. “Iya, aku tahu. Mungkin terdengar aneh, tapi begitulah. Dia hanya selalu jadi ‘Adrian’ bagiku.”“Terus, dia kerja di mana?” tanya Dirga lagi, semakin penasaran.“Dia hanya karyawan biasa di sebuah perusahaan swasta. Tapi karena ulah Daniel, Adrian dituduh menggelapkan uang dan dipecat dari sana. Semua gara-gara fitnah yang dibuat Daniel.”Mendengar itu, Dirga semakin terkejut. “Jadi, bukan cuma rumah tanggamu yang dihancurkan, tapi juga karier suamimu?”Anisa mengangguk dengan tatapan pahit. “Iya, Dirga. Daniel bena
Di sebuah restoran yang terletak di dekat taman, Adrian duduk sambil melihat ke arah pintu, menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Ia mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya, matanya sesekali menatap jam tangan dengan raut wajah semakin kesal. "Kemana sih orang itu? Kebiasaan, setiap kali ada janji, selalu saja telat," gumam Adrian dalam hati, seraya menghela napas panjang.Ia mengambil ponselnya, mencoba menelepon orang yang dia tunggu. Tapi, seperti yang dia duga, telepon itu tak diangkat. "Tuhan... Sudah telat, telepon juga nggak diangkat-angkat. Benar-benar bikin emosi," gerutunya lagi. Sambil menyesap minuman di hadapannya, Adrian terus melirik pintu, berharap yang dinanti segera muncul.Tak lama, seseorang menepuk bahunya dari belakang. "Sori, bro! Telat dikit tadi, ada urusan mendadak," suara itu terdengar penuh canda.Adrian memutar tubuhnya dan menatap orang itu dengan tatapan jengkel. "Enak saja bilang ‘telat dikit’, aku sudah menunggu lebih dari 30 menit di sini, Dirga!"