Wajah Dinda memerah, penuh emosi. “Kamu ingat Dirga, kakak kelas kita sewaktu SMA?” Dinda bertanya dengan suara yang bergetar. “Kamu tahu apa yang terjadi setelah kamu meninggalkan kami di toko buku?”
Anisa mengerutkan kening, mengingat kejadian itu. “Tentu aku ingat, aku yang memperkenalkan kalian berdua. Aku cuma membantu menjodohkan kalian. Setelah itu, aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian. Yang aku ingat, keesokan harinya kamu sudah tidak mau bicara padaku, dan aku tidak tahu alasannya.”
Dinda tertawa sinis. “Kamu tidak tahu? Kamu benar-benar tidak tahu apa yang terjadi?” Wajahnya semakin serius. "Dirga menolakku, Anisa. Dia mengatakan kalau dia hanya mencintaimu. Hanya kamu, bukan aku! Kamu tahu betapa hancurnya hatiku saat itu? Itu semua karena kamu!"
Anisa terpana. “Tapi itu bukan salahku, Dinda. Aku tidak pernah mencintai Dirga!” ucap Anisa membela diri, mencoba menenangkan Dinda yan
Rita, yang melihat suaminya ragu, bertanya, "Siapa, Mas?""Dinda," jawab Dimas singkat, suaranya terdengar lesu. "Aku malas ngangkat. Paling-paling dia minta uang lagi."Rita tersenyum kecil. "Mas, angkat saja. Siapa tahu kali ini memang ada yang penting," bujuk Rita dengan bijak.Dengan rasa enggan, Dimas akhirnya menggeser layar ponselnya dan mengangkat panggilan itu. "Halo, Dinda. Ada apa?""Dimas, kamu lagi di mana? Jam berapa kamu akan pulang?" tanya Dinda, suaranya terdengar tegang."Aku lagi di kantor. Banyak kerjaan. Mungkin aku nggak bisa pulang malam ini," bohong Dimas, mencoba menghindari konfrontasi."Dimas, aku mohon, kamu pulang. Ada sesuatu yang sangat penting yang harus aku bicarakan langsung. Ini nggak bisa dibicarakan lewat telepon," desak Dinda, suaranya makin mendesak.Dimas menghela napas, merasa berat hati. "Dinda, aku beneran sibuk. Nggak bisa ninggalin kerjaan sekarang," jawabnya, masih berusaha menolak.
Namun, sesuai peraturan bank yang berlaku, kami tidak bisa memberikan nomor telepon ataupun informasi pribadi nasabah kami.”Mata Anisa seketika membesar. Kekecewaan melintas di wajahnya, seolah ia baru saja dipukul oleh kenyataan pahit. “Tapi, Mbak...”*Anisa berusaha menahan gemuruh emosinya, namun suaranya mulai bergetar. “Orang yang kirim uang itu, dia suami saya. Saya butuh nomor teleponnya, karena dia sudah lama menghilang tanpa kabar. Ini satu-satunya petunjuk yang saya punya.”Petugas bank tampak sedikit terkejut dengan pengakuan Anisa, namun wajahnya tetap tenang, seperti sudah terbiasa menghadapi situasi emosional seperti ini. “Maaf, Bu. Kami benar-benar mengerti situasi Ibu, tapi kami harus patuh pada aturan privasi nasabah. Informasi seperti nomor telepon tidak bisa kami berikan, meski dalam situasi seperti ini.”Kata-kata itu terdengar sangat resmi, kaku, dan menghancurkan seluruh harapan Anisa. Napasnya tera
Pak Hartono mengernyitkan dahi, agak terkejut. "Aditya Corporation?" ucapnya pelan, mencoba mencerna. "Bukankah itu perusahaan tempat menantu saya, Reza, bekerja? Ada keperluan apa mereka ke sini?""Katanya mereka ingin menginvestasikan uangnya di perusahaan kita, Pak," jawab Sari sambil menyerahkan beberapa dokumen.Dimas dan Pak Hartono saling berpandangan sejenak, tersenyum lebar. Ini tampaknya adalah kesempatan besar yang bisa menyelamatkan perusahaan mereka dari kehancuran."Segera suruh mereka masuk," ujar Pak Hartono, suaranya mulai terdengar antusias.Sari keluar untuk memanggil utusan dari Aditya Corporation, dan tidak lama kemudian seorang pemuda berpenampilan rapi memasuki ruangan. Ia memperkenalkan dirinya dengan ramah."Selamat siang, Pak Hartono," ucapnya dengan sopan. "Perkenalkan, nama saya Fito, saya perwakilan dari Aditya Corporation. Tujuan saya ke sini adalah untuk membahas rencana kami menginvestasikan dana di perusahaan Bapak. Kami mendengar bahwa perusahaan Bapa
Ibu Anisa semakin penasaran. "Memangnya, apa saja yang ada di dalam truk ini?" tanyanya lagi.Pria itu melihat catatannya sejenak. "Ini ada susu bayi, popok, sembako, dan berbagai keperluan bayi, Bu," jelasnya.Mendengar itu, Ibu Anisa semakin kebingungan. "Bapak tunggu sebentar di sini, ya. Saya tanyakan dulu kepada anak saya apakah dia yang memesan barang-barang ini," katanya sambil berlalu masuk ke rumah, memanggil putrinya."Nis... Anisa, coba kemari sebentar, Nak," panggil Ibu Anisa.Anisa, yang sedang menggendong bayi kecilnya, Alisha, segera datang ke ruang depan. "Ada apa, Bu? Ibu memanggil Nisa?" tanyanya.Ibu Anisa menjelaskan dengan nada heran, "Ini, Nis, ada petugas yang datang membawa barang-barang keperluan bayi dan sembako dalam jumlah banyak. Apa kamu yang pesan semuanya?"Anisa mengerutkan kening, bingung. "Perlengkapan bayi? Tidak, Bu. Nisa tidak pernah pesan barang-barang seperti itu. Apa Ibu sudah tanyakan siapa yang mengirimnya?""Katanya dari perusahaan Aditya Co
Reza yang belum sempat melepaskan dasinya, menghela napas panjang. “Siska, tenang dulu. Suami pulang bukannya disuruh duduk atau diberi air minum, malah langsung ditanyai pertanyaan yang nggak jelas,” balas Reza dengan nada kesal, mencoba menenangkan suasana.Siska memutar bola matanya, tak terpengaruh. “Nggak jelas gimana, Mas? Tadi pagi Ibu nelepon aku, dia bilang ada kiriman barang-barang dari Aditya Corporation untuk Anisa. Kalau bukan kamu yang kirim, siapa lagi? Cuma kamu di keluarga kita yang kerja di sana.”Mendengar itu, Reza langsung terkejut. “Apa? Kamu yakin itu dari perusahaanku?” tanyanya sambil melepas dasi dan duduk di kursi, matanya menatap Siska dengan serius.“Iya, Reza. Tadi Ibu yang bilang begitu. Nama pengirimnya dari Aditya Corporation, tempat kamu kerja. Makanya aku tanya, siapa lagi kalau bukan kamu?” Siska mulai kesal, merasa suaminya menghindar dari pertanyaan yang seharusnya jelas.Reza memijat pelipisnya, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. "Si
Dengan rasa penasaran, Reza segera mendekati Adrian. "Hei, Adrian!" panggilnya dengan nada merendahkan. "Ternyata sekarang kamu kerja di sini jadi OB, ya?" ucap Reza sambil menilai penampilan Adrian dari atas ke bawah, penuh ejekan.Adrian, yang terlihat sedang sibuk mengamati sekeliling kantor, hanya melirik sekilas ke arah Reza tanpa menunjukkan emosi apapun. Alih-alih menjawab, Adrian berjalan pergi begitu saja, seolah Reza tidak ada di sana."Kurang ajar!" Reza langsung tersulut amarah. "Berani-beraninya dia mengacuhkanku. Apa dia nggak tahu siapa aku di sini? Aku manajer! Kalau aku mau, bisa kupecat dia sekarang juga!" gumamnya sambil mengejar Adrian, rasa marah makin membakar.Dengan cepat, Reza mencengkeram lengan Adrian, menghentikan langkahnya. "Hei, Adrian! Aku belum selesai ngomong! Apa kamu mau aku pecat, hah?" Reza berkata dengan nada keras, matanya memandang tajam, penuh kemarahan.Adrian menatap Reza dingin. "Aku nggak perlu m
Dirga, yang juga tampak tak kalah terkejut, membalas tatapannya. "Anisa? Kamu Anisa, kan? Teman SMA-ku dulu?" tanya Dirga dengan mata yang berbinar.Anisa tersenyum tipis. "Iya, Dirga. Ini aku, Anisa. Sudah lama ya kita nggak bertemu," jawabnya, suaranya terdengar lebih lembut sekarang. "Gimana kabarnya kamu, Dirga?"Dirga tersenyum lebar, lega melihat Anisa baik-baik saja. "Aku baik-baik saja, Nisa. Kamu sendiri gimana kabarnya? Aku nggak menyangka bisa ketemu kamu di sini.""Aku juga baik, Dirga. Cuma ya, akhir-akhir ini banyak hal yang terjadi," jawab Anisa, mencoba mengalihkan percakapan dari kesulitan hidupnya belakangan ini.Setelah itu, Dirga duduk di bangku yang sama dengan Anisa. Mereka mulai berbincang lebih lanjut. "Kamu sekarang kerja di mana, Nisa?" tanya Dirga sambil tersenyum hangat, seolah waktu tidak mengubah kenyamanan di antara mereka.Anisa tersenyum tipis, sedikit canggung mengingat posisinya saat ini. "Aku... belum kerja sekarang, Dirga. Lagi ada beberapa urusan
"Jangan tanya sekarang, Dirga. Ini rumit. Lebih baik kita pergi sebelum situasinya makin buruk," jawab Anisa cepat, suaranya mulai serak oleh ketegangan. Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, pria itu—Daniel—memanggil nama Anisa dengan nada yang tak bisa disembunyikan, penuh keputusasaan dan frustrasi.“Anisa! Tunggu!” Daniel berteriak sambil mendekat dengan langkah panjang yang cepat. "Kenapa kamu selalu menghindariku? Kita perlu bicara!"Anisa menghentikan langkahnya, meskipun dia tidak ingin berbalik. Dengan tegas, tanpa menoleh, dia menjawab, “Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Daniel. Aku sudah muak melihatmu.”Dirga menatap wajah Anisa yang pucat dan tegang. Dia merasa ada banyak hal yang disembunyikan di balik hubungan ini, sesuatu yang mungkin lebih dalam daripada yang bisa dilihat dari luar. Tapi dia tetap diam, menghormati keputusan Anisa.Daniel, yang tidak puas dengan jawaban Anisa, terus m