Adrian merasa dadanya sesak melihat Anisa yang kesakitan terbaring di tanah. Suara tangis Anisa dan rasa paniknya membuatnya merasa harus mengambil tindakan cepat. Saat itu, Daniel, yang meskipun masih terasa sebagai musuh, berbicara dengan suara tegas dan mendesak.“Kita harus membawanya ke rumah sakit sekarang,” kata Daniel, suaranya tajam. “Menggunakan mobilku akan lebih cepat. Jika kita menunggu ambulans, mungkin akan terlalu lama, dan kita tidak tahu kondisi Anisa dan bayinya.”Adrian terdiam sesaat, mempertimbangkan kata-kata Daniel. Kemarahan masih mendidih di dalam dirinya, tapi dia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa apa yang dikatakan Daniel masuk akal. Dia tahu mobil tuanya sering mogok. Dalam keadaan darurat seperti ini, tidak ada ruang untuk ego atau rasa tidak percaya.Dengan anggukan singkat, Adrian setuju, “Baiklah. Kita akan gunakan mobilmu. Tapi jika ada sesuatu yang terjadi pada Anisa atau bayiku...” Adrian tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi ancamannya terasa jelas
Adrian terpaku di tempat, kata-kata dokter terasa seperti tamparan keras di wajahnya. “Operasi? Tapi... tapi usia kandungannya baru lima bulan, Dok. Apakah... apakah mereka akan selamat?” Suaranya bergetar, rasa takut yang mendalam mencengkeram hatinya.Dokter menatap Adrian dengan penuh empati. “Kami akan melakukan yang terbaik. Saat ini prioritas utama kami adalah menyelamatkan nyawa keduanya. Operasi adalah pilihan terbaik untuk itu.”Adrian mengangguk lemah, hatinya hancur berkeping-keping. Dia menunduk, menatap Anisa yang terlihat begitu rapuh di atas ranjang itu. “Tolong, Dok... Tolong selamatkan mereka,” pintanya, air mata mulai mengalir di pipinya.Dokter mengangguk. “Kami akan berusaha sebaik mungkin. Sekarang, Pak Adrian, Anda bisa menunggu di luar. Kami akan membawa Anisa ke ruang operasi.”Adrian mengecup kening Anisa dengan lembut sebelum mereka membawanya pergi. “Sayang, kau akan baik-baik saja. Aku di sini menunggumu. Kita akan melalui ini bersama,” bisiknya, meskipun A
Ruangan itu mendadak sunyi. Ayah dan Ibu Anisa, dan juga Adrian membeku di tempat. Mereka bertiga saling pandang dengan wajah terkejut dan bingung. Baru saja tiba, Dimas, Dinda, dan Daniel juga tercengang mendengar kata-kata dokter itu. Mereka berdiri terdiam di belakang, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.Adrian merasa kakinya hampir tak bisa menahan beban tubuhnya. Pilihan itu, menyelamatkan istri atau anaknya, adalah sesuatu yang tak pernah dia bayangkan akan dihadapinya. Dia mencintai Anisa, wanita yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Tapi dia juga mencintai bayinya, yang bahkan belum sempat dia lihat, belum sempat dia peluk.“Dok, apakah... apakah anak kami bisa hidup normal jika diselamatkan?” tanya Adrian pelan, suaranya hampir tak terdengar. Hatinya berharap ada harapan untuk menyelamatkan keduanya, meski dia tahu pertanyaan itu mungkin sia-sia.Dokter menggelengkan kepala dengan lembut. “Bayi Anda baru berusia lima bulan dalam kandungan. Jika dipaksa lahir sekarang, k
Daniel, yang sedari tadi diam mendengarkan, ikut menimpali. “Dinda benar, Dimas. Ide ini bagus. Jika kita bisa memaksa Adrian membuat janji untuk meninggalkan Anisa, kita semua bisa bebas dari masalah ini. Percayalah, Adrian pasti mau melakukannya. Dia tak akan tahan melihat wanita yang dicintainya menderita.”Dimas masih tampak ragu. “Tapi ini... ini kejam. Ini seolah aku memanfaatkan adikku sendiri untuk mencapai tujuan kita.”Daniel menatap Dimas dengan tajam. “Ingat perjanjian kita, Dimas. Aku bersedia membantu menyelamatkan perusahaan keluargamu dari kebangkrutan, tapi kau harus memastikan Anisa menikah denganku. Apakah kau ingin perusahaan itu bangkrut? Apakah kau ingin melihat orang tuamu kehilangan segalanya? "Aku pokoknya tidak mau hidup miskin , Dimas. Apa kata teman temanku nanti kalau mereka tahu perusahaan kita bangkrut." Ucap Dinda.Dimas terdiam. Ucapan Daniel benar-benar menyudutkannya. Dia tahu bahwa masa depan keluarganya dan perusahaannya sedang berada di ujung tan
“Bu, kenapa Ibu menampar aku?” tanya Dimas dengan suara yang masih bergetar, tidak percaya bahwa ibunya sendiri yang melakukan itu.Ibunya menatap Dimas dengan mata yang penuh air mata, tetapi juga penuh dengan kemarahan yang terpendam. “Ini sebagai balasan, Dimas,” katanya dengan suara gemetar, “karena kau sudah membuat hidup seseorang menderita. Kau tidak hanya menyakiti Adrian, tapi juga Anisa, adikmu sendiri. Bagaimana bisa kau bersikap begitu kejam? Ibu tidak pernah mengajarimu menjadi seseorang seperti ini”Dimas tergagap, tidak tahu harus menjawab apa. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupnya ia melihat ibunya begitu marah, begitu terluka. Sebelum ia sempat menjawab, Pak Hartono, ayahnya, menarik tangan Bu Sinta menjauh dari Dimas. “Ma, sudah cukup!” katanya dengan nada keras. “Kau tidak perlu menampar Dimas seperti itu. Dia sudah melakukan hal yang benar.”Namun, mendengar kata-kata itu keluar dari mulut suaminya, Ibu Anisa justru merasa amarahnya semakin membara. Ia menoleh
Dunia seakan berhenti berputar bagi Adrian. Kata-kata dokter itu terasa seperti palu yang menghantam keras hatinya. Ia merasa bingung, campur aduk antara rasa syukur karena Anisa selamat, dan kepedihan mendalam karena kehilangan anak yang belum sempat ia peluk atau lihat."Anakku... tidak bisa diselamatkan?" bisik Adrian, matanya memandang ke arah dokter, berharap ada kesalahpahaman.Dokter mengangguk pelan, tatapan simpati itu tetap melekat di wajahnya. "Kami sudah berusaha yang terbaik. Tapi dengan kondisi prematur, bayi itu terlalu lemah untuk bertahan. Maafkan kami."Air mata Adrian mulai menggenang di pelupuk matanya. Dia terdiam, tidak tahu bagaimana harus merespons. Di satu sisi, ia sangat bersyukur Anisa selamat dari maut. Namun di sisi lain, perasaan sedih dan duka yang mendalam karena kehilangan bayinya mengoyak hatinya. Sejenak, dia tidak tahu apakah harus merasa bahagia atau justru hancur.Ibu Anisa yang mendengar berita itu langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan, t
Namun sebelum ia bisa melanjutkan, Ibu Anisa yang menyadari arah pembicaraan Adrian segera menyentuh lengannya. Ia menggenggam tangan Adrian dengan erat dan menggelengkan kepala pelan. Matanya menatap Adrian dengan peringatan halus, seolah berkata bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan hal tersebut.Adrian terdiam sejenak, pandangannya bertemu dengan mata ibu mertuanya yang penuh kekhawatiran. Dia mengerti maksud isyarat itu. Saat ini, Anisa masih terlalu lemah, baik fisik maupun emosional. Mengatakan hal ini sekarang hanya akan memperparah kondisinya."Mas... ada apa?" tanya Anisa, suaranya penuh kecurigaan dan rasa ingin tahu. "Apa yang ingin kamu katakan?"Adrian menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan ketegangan di dalam dirinya. “Nanti saja, Anisa. Setelah kamu pulih. Ini tidak sepenting kesehatanmu sekarang,” jawab Adrian, berusaha sebaik mungkin terdengar tenang meskipun hatinya bergejolak.Anisa mengerutkan kening, merasa curiga. Dia bisa merasakan bahwa a
Ibu Anisa menarik napas dalam-dalam, bahunya merosot seolah menanggung beban berat. Matanya menatap Anisa dengan campuran kesedihan dan keputusasaan. "Baik, Anisa," suaranya bergetar, "Ibu akan memberitahumu apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin... mungkin setelah ini kamu akan membenci kakakmu dan ayahmu. Tapi kamu perlu tahu alasan Adrian meninggalkanmu."Anisa mencengkeram selimutnya erat-erat, jantungnya berdegup kencang menanti penjelasan ibunya."Adrian terpaksa meninggalkanmu," ibu Anisa melanjutkan, suaranya nyaris berbisik, "karena ada perjanjian dengan kakakmu, Dimas.""Perjanjian? Perjanjian apa, Bu?" Anisa bertanya, matanya melebar tidak percaya.Ibu Anisa memejamkan mata sejenak, seolah mengumpulkan kekuatan. "Perjanjian di mana Adrian harus meninggalkanmu... kalau mau kakakmu mendonorkan darahnya untukmu." Ruangan itu mendadak terasa dingin. Anisa merasakan darahnya seolah membeku."Saat itu kamu dalam keadaan kritis, Nis," ibu Anisa melanjutkan, air mata mulai mengalir
Ketegangan Memuncak di Aditya CorporationDi aula besar Aditya Corporation, suasana semakin panas. Para karyawan berbisik-bisik, saling bertanya-tanya mengenai keberadaan Adrian yang hingga kini belum juga muncul.Di deretan kursi depan, Satya duduk dengan wajah cemas. Pak Benny, yang duduk di sebelahnya, menoleh mendekat dan berbisik pelan, "Pak Satya, bagaimana? Apakah Bapak sudah bisa menghubungi Pak Adrian?"Satya menggeleng, napasnya terdengar berat. "Belum, Pak. Dari tadi nomornya tidak bisa dihubungi. Saya sudah coba berulang kali."Pak Benny mengerutkan kening, semakin khawatir. "Apa Bapak sudah coba menghubungi Pak Aditya?""Sudah, Pak. Kata beliau, Pak Adrian sudah berangkat dari tadi pagi menuju ke kantor. Tapi anehnya, sampai sekarang belum juga sampai," jawab Satya, suaranya memantulkan kegelisahan.Pak Benny mulai gelisah, melihat ke sekeliling aula yang mulai dipenuhi bisik-bisik khawatir dari para karyawan. "Kalau begitu, kem
Hari yang dinantikan tiba—hari penyerahan jabatan di kantor, dan Adrian tampak penuh percaya diri. Seperti biasa, Anisa, istrinya, menyiapkan segala keperluan suaminya dengan telaten. "Mas, sarapannya sudah siap. Ayo, kita sarapan sama-sama," panggil Anisa dari ruang makan, melihat Adrian masih berdiri di depan cermin, sibuk memasang dasinya."Iya, sayang. Sebentar lagi, tinggal pasang dasi ini saja. Nanti aku ke meja makan," jawab Adrian sambil tersenyum."Baik, Mas. Kalau begitu, aku lihat Alisha dulu ya. Aku mau bangunin dia. Siapa tahu, dia mau sarapan bareng Papa," ujar Anisa sebelum berlalu.Adrian mengangguk ringan. Setelah dasinya rapi, ia turun ke ruang makan, di mana Aditya, ayahnya, sudah menunggu sambil membaca koran pagi."Pagi, Pa," sapa Adrian sembari menarik kursi dan duduk di hadapan ayahnya."Pagi, Nak. Bagaimana? Sudah siap untuk hari ini?" tanya Aditya, menurunkan korannya dan menatap putranya penuh harap."Tentu, Pa. Aku sudah mempersiapkan semuanya dengan matang.
Reza langsung menegang. "Apa? Tidak mau. Aku bukan OB. Kalau kamu mau kopi, suruh saja OB untuk membuatkan," balasnya tegas, mencoba mempertahankan sisa harga dirinya.Namun, Dendi tidak kehabisan akal. Dengan wajah penuh kepura-puraan, ia berkata, "Oh, OB kita sedang sibuk semua. Lagi ada masalah ruangan bocor, jadi mereka semua dikerahkan ke sana.""Tetap saja aku tidak mau. Itu bukan jobdesk-ku!" ucap Reza dengan suara yang mulai meninggi.Dendi tersenyum licik. "Oooh, jadi kamu tidak mau? Baiklah, nanti aku akan buat laporan kalau kamu melawan perintah atasan. Akan ku buat seolah-olah kamu tidak mau bekerja sama. Kau tahu apa akibatnya, kan? Kamu bisa dipecat, Reza. Apalagi sekarang posisimu sudah sangat lemah di perusahaan ini."Reza terdiam. Dalam hati, ia menahan luapan emosinya. "Sialan! Orang-orang di perusahaan ini sekarang semua berani melawanku. Kalau aku tidak mengiku
Reza hanya menoleh sekilas, tanpa berkata apa-apa, dan mengangguk dengan malas. Nindi berjalan di depan, memimpin langkah. Sepanjang perjalanan, beberapa karyawan lain yang mengenal Nindi berusaha bertanya tanpa suara. Dengan hanya menggerakkan bibir, mereka bertanya, "Kenapa Pak Reza?"Nindi, yang sudah terbiasa membaca gerakan mulut rekan-rekannya, hanya menjawab singkat, "Nanti aku ceritakan." Mereka pun mengangguk, sambil memandang Reza dengan penuh tanda tanya.Setelah beberapa menit, mereka tiba di bagian produksi. Nindi berhenti di depan sebuah meja sempit yang diletakkan di pojok ruangan. Di atas meja itu, hanya ada sebuah buku besar yang tampak usang dan tumpukan berkas yang menjulang seperti menara."Ini meja saya? Apa tidak salah?!" ucap Reza terkejut. Ia memandang meja itu seolah-olah melihat sesuatu yang sangat hina. "Dan... di mana laptop saya untuk bekerja?"N
Keesokan Pagi di Aditya CorporationPagi itu, Adrian berdiri di depan jendela ruangan Satya, memandang ke luar dengan tatapan tajam. Sinar matahari yang menerobos kaca tidak mampu mengusir dinginnya suasana di dalam ruangan. Di belakangnya, Pak Beni duduk dengan ekspresi tegas, bersiap menghadapi apa yang sudah direncanakan Adrian."Bagaimana, Pak Beni? Apa Anda sudah siap?" tanya Adrian, suaranya datar namun tegas."Saya sudah siap, Pak Adrian untuk mengemban tugas yang akan bapak berikan, sepertinya sudah waktunya semua ini dibenahi," jawab Pak Beni mantap.Adrian mengangguk perlahan. "Bagus. Kalau begitu, ayo kita sekarang pergi keruangan Reza dan memberi pelajaran yang tak akan pernah bisa dia lupakan."Adrian melangkah keluar, diikuti oleh Pak Beni dan Satya. Sepanjang perjalanan ke ruangan Reza, bisik-bisik mulai terdengar di antara karyawan. Wajah Adrian yang jarang terlihat di kantor, serta kehadiran Pak Beni yang legendaris, membuat suasana penuh teka-teki."Siapa mereka? Ken
Keesokan harinya, Adrian mengajak Satya untuk bertemu dengan Pak Beni, mantan manajer keuangan Aditya Corporation yang sebelumnya dipecat oleh Darco.Sesampainya di depan sebuah rumah sederhana, Adrian bertanya dengan nada ragu, "Satya, kamu yakin ini rumah Pak Beni?""Saya yakin, Pak. Kemarin saya sudah meminta salah satu staf personalia mencarikan alamatnya," jawab Satya tegas."Kalau begitu, ayo kita turun," ucap Adrian sambil membuka pintu mobil.Mereka melangkah ke pintu rumah dan mengetuknya. Ketukan kedua akhirnya membuka pintu, menampilkan wajah Pak Beni yang terlihat terkejut namun dengan senyum ramah seperti biasanya."Pak Adrian?" ucapnya dengan nada tak percaya. Namun ia segera mempersilakan mereka masuk. "Silakan masuk, Pak."Adrian dan Satya mengangguk sopan, mengikuti Pak Beni ke dalam. Mereka duduk di ruang tamu kecil yang nyaman, lalu Pak Beni memanggil istrinya."Darmi, tolong buatkan tiga kopi, ya. Ada tamu yang datang," teriaknya."Siapa yang datang, Pak?" terdenga
Reza menelan ludah, menahan rasa kesalnya. Namun, ia tidak punya pilihan selain menuruti. “Ba… baik, Pak Adrian,” jawabnya dengan suara pelan.“Bagus,” jawab Adrian singkat, sambil tersenyum dingin. “Sekarang, kau bisa pergi. Dan, aku harap kau tidak mencoba menguping.”Reza mengangguk sekali lagi, wajahnya merah padam karena menahan amarah. Ia melangkah keluar sambil mengepalkan tangannya erat-erat.Setelah pintu tertutup, Darco tertawa kecil untuk mencairkan suasana. “Adrian, kamu benar-benar berubah. Aku kagum melihat sikap tegasmu.”Adrian tetap berdiri tegak, tidak ikut tersenyum. Tatapannya langsung menusuk ke arah Darco. “Om, aku ke sini bukan untuk bermain kata-kata. Aku ingin langsung ke inti pembicaraan kita.”Darco kembali ke kursinya, berusaha terlihat tenang meskipun dadanya bergemuruh. “Baiklah, Adrian. Katakan saja, apa tujuanmu datang pagi-pagi seperti ini?”Adrian mendekat, lalu duduk di kursi berhadapan dengan Darco. Ia meletakkan tangan di meja, menatap Darco dengan
Pak Aditya menghela napas panjang, lalu menatap Adrian penuh keyakinan. "Papa serahkan semuanya padamu, Adrian. Apa pun yang kamu lakukan, Papa akan selalu mendukungmu."Adrian tersenyum lega. "Terima kasih, Pa. Kalau begitu, kami pamit ke kamar dulu."Pak Aditya hanya mengangguk, menatap Adrian, Anisa, dan Alisha dengan perasaan bahagia sekaligus harapan besar di hatinya.Keesokan harinya di Aditya Corporation, suasana di ruangan Darco dipenuhi ketegangan.Darco berdiri mondar-mandir sambil terus melirik ke arah pintu, sementara Reza duduk dengan wajah cemas. "Reza, apakah kamu sudah melihat Adrian datang?" tanya Darco dengan nada mendesak."Belum, Pak. Saya belum melihat Adrian," jawab Reza, sama gelisahnya.Darco menghentikan langkahnya sejenak. "Aku yakin pagi ini dia pasti akan datang untuk mengambil alih perusahaan ini. Ini tidak bisa kita biarkan sebelum kita menjalankan rencana kita untuk mengambil alih semuanya!" katanya dengan nada marah."Jadi, apa yang akan Bapak lakukan?"
Di dalam perjalanan menuju tujuan mereka, suasana di dalam mobil mewah itu penuh dengan percakapan yang mengungkap sisi emosional Adrian dan istrinya, Anisa. Adrian mencoba menjelaskan betapa berat beban yang harus ia pikul selama ini."Begitulah, sayang. Maafkan aku yang tidak bisa menemui kamu selama ini. Karena aku harus menjalankan semua rencanaku sampai benar-benar berhasil," ucap Adrian dengan nada lembut namun tegas.Anisa menggenggam tangan suaminya yang masih memegang kemudi. "Tidak apa-apa, Mas. Aku mengerti posisimu," balas Anisa dengan tulus. Kemudian, dia menatap Adrian, penuh harap. "Tapi, kapan kamu akan merebut kembali Aditya Corporation dari pamanmu itu?"Adrian menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Besok, sayang. Semua rencanaku akan berjalan sesuai jadwal. Apalagi sekarang Reza sudah mengetahui bahwa aku adalah anak dari pemilik Aditya Corporation. Dia pasti akan melaporkan hal ini kepada Om Darco, dan aku yakin Om Darco tidak akan ting