Adrian mengangkat kedua tangannya, seakan mencoba menenangkan situasi yang sudah jelas di luar kendali. “Dengar, ini tidak seperti yang kau bayangkan,” katanya dengan suara putus asa. “Ini... ini Intan. Dia wanita yang selalu aku ceritakan padamu. Dia sudah kuanggap hanya sebagai teman.”
"Teman?!" Anisa menatapnya dengan tatapan tak percaya. "Lalu kenapa dia setengah telanjang di kamar kita? Adrian, jelaskan!"
Adrian mengusap wajahnya dengan tangan, gugup dan bingung. "Intan datang untuk mengunjungi kita. Ketika dia akan pulang, tiba-tiba dia pingsan. Aku... aku tidak tahu harus berbuat apa, jadi aku membawanya ke kamar kita. Aku ingin membaringkannya di sofa, tapi sofa kita cuma dua seater, aku khawatir tulang belakangnya bermasalah. Jadi aku pikir lebih baik menaruhnya di tempat tidur. Aku baru saja mau menelepon ambulans saat kamu tiba."
Anisa berdiri diam, mencoba mencerna penjelasan Adrian. “Lalu, kenapa selimutnya berantakan? Dan kenapa dia tidak memakai b
Adrian tercengang mendengar kata-kata itu. Wajahnya memerah karena marah bercampur bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya mulai meninggi, penuh dengan kebingungan dan kecurigaan. Hatinya berdegup kencang, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.Intan melangkah pelan mengitari Adrian, seperti predator yang mengelilingi mangsanya, menanti saat yang tepat untuk menyerang. Matanya menyala-nyala, menikmati ketidakpastian dan rasa sakit yang tergambar jelas di wajah Adrian. "Adrian, kau benar-benar naif," katanya pelan, namun setiap kata diucapkannya dengan jelas, seperti pisau yang mengiris kulit. "Aku tidak peduli tentang kau atau Anisa. Tugas ku hanyalah membuat Anisa salah paham. Membuatnya percaya bahwa kau telah menghianatinya. Itu saja."Adrian terdiam. Kata-kata Intan terasa seperti cambukan di telinganya. Tangannya mengepal, kuku-kukunya menancap ke dalam telapak tangan. "Tugas?" ulangnya dengan suara rendah, berusaha keras untuk tetap tenang. "Siapa yang memberimu tugas ini
Kata-kata Bu Lastri menusuk hati Adrian, menyadarkan dia dari kemarahan yang membutakannya. Dia memandang Intan yang kini tergeletak di lantai, napasnya tersengal-sengal. “Tapi dia sudah merusak segalanya! Dia sudah membuat Anisa tidak percaya padaku lagi!”Bu Widia, yang juga mendekat, berusaha menenangkan Adrian. “Adrian, tenanglah. Kami sudah mendengar semuanya. Ini adalah rencana Daniel kan? Walaupun kami tidak tahu siapa itu Daniel. Kami akan menjadi saksi bahwa semua ini adalah bagian dari rencana jahatnya untuk menghancurkan hidupmu.”Adrian mengalihkan pandangannya ke Bu Widia, terkejut mendengar penjelasan itu. “Jadi kalian mendengar semuanya?”Bu Widia mengangguk. “Ya, kami mendengar semuanya. Saat Intan mengungkapkan siapa yang menyuruhnya, kami melihat dan mendengar semuanya dari luar. Kami akan membuktikan bahwa semua ini adalah rencana Daniel untuk menghancurkan rumah tanggamu.”Kemarahan Adrian perlahan-lahan surut, digantikan oleh rasa penyesalan dan kebingungan yang m
Suara langkah kaki Adrian terdengar berat, seakan mencerminkan beban amarah yang ia bawa. Dia berjalan cepat melewati trotoar taman yang sepi, matanya tertuju pada bangku kayu di depan, tempat Anisa dan Daniel duduk. Wajahnya tegang, penuh dendam yang lama terpendam. Tanpa berkata sepatah kata pun, Adrian langsung meraih kerah baju Daniel dan menariknya dengan kasar.Daniel hampir terjatuh dari bangku, tetapi Adrian tetap menggenggam erat kerah bajunya, menahan tubuh Daniel di udara. Wajah Adrian berjarak hanya beberapa inci dari wajah Daniel, dan kemarahan terlihat jelas di matanya.“Dasar kurang ajar!” Adrian memuntahkan kata-kata dengan suara yang penuh amarah dan kebencian. “Setelah memfitnahku dengan menggunakan Intan sebagai alatmu, sekarang kau datang berpura-pura menjadi pahlawan di depan istriku! Apa yang kau pikirkan, hah?”Cengkeraman Adrian pada kerah baju Daniel semakin kuat, membuat Daniel sulit bernapas. Daniel mencoba melepaskan tangan Adrian dari bajunya, namun kekuat
Adrian merasa dadanya sesak melihat Anisa yang kesakitan terbaring di tanah. Suara tangis Anisa dan rasa paniknya membuatnya merasa harus mengambil tindakan cepat. Saat itu, Daniel, yang meskipun masih terasa sebagai musuh, berbicara dengan suara tegas dan mendesak.“Kita harus membawanya ke rumah sakit sekarang,” kata Daniel, suaranya tajam. “Menggunakan mobilku akan lebih cepat. Jika kita menunggu ambulans, mungkin akan terlalu lama, dan kita tidak tahu kondisi Anisa dan bayinya.”Adrian terdiam sesaat, mempertimbangkan kata-kata Daniel. Kemarahan masih mendidih di dalam dirinya, tapi dia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa apa yang dikatakan Daniel masuk akal. Dia tahu mobil tuanya sering mogok. Dalam keadaan darurat seperti ini, tidak ada ruang untuk ego atau rasa tidak percaya.Dengan anggukan singkat, Adrian setuju, “Baiklah. Kita akan gunakan mobilmu. Tapi jika ada sesuatu yang terjadi pada Anisa atau bayiku...” Adrian tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi ancamannya terasa jelas
Adrian terpaku di tempat, kata-kata dokter terasa seperti tamparan keras di wajahnya. “Operasi? Tapi... tapi usia kandungannya baru lima bulan, Dok. Apakah... apakah mereka akan selamat?” Suaranya bergetar, rasa takut yang mendalam mencengkeram hatinya.Dokter menatap Adrian dengan penuh empati. “Kami akan melakukan yang terbaik. Saat ini prioritas utama kami adalah menyelamatkan nyawa keduanya. Operasi adalah pilihan terbaik untuk itu.”Adrian mengangguk lemah, hatinya hancur berkeping-keping. Dia menunduk, menatap Anisa yang terlihat begitu rapuh di atas ranjang itu. “Tolong, Dok... Tolong selamatkan mereka,” pintanya, air mata mulai mengalir di pipinya.Dokter mengangguk. “Kami akan berusaha sebaik mungkin. Sekarang, Pak Adrian, Anda bisa menunggu di luar. Kami akan membawa Anisa ke ruang operasi.”Adrian mengecup kening Anisa dengan lembut sebelum mereka membawanya pergi. “Sayang, kau akan baik-baik saja. Aku di sini menunggumu. Kita akan melalui ini bersama,” bisiknya, meskipun A
Ruangan itu mendadak sunyi. Ayah dan Ibu Anisa, dan juga Adrian membeku di tempat. Mereka bertiga saling pandang dengan wajah terkejut dan bingung. Baru saja tiba, Dimas, Dinda, dan Daniel juga tercengang mendengar kata-kata dokter itu. Mereka berdiri terdiam di belakang, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.Adrian merasa kakinya hampir tak bisa menahan beban tubuhnya. Pilihan itu, menyelamatkan istri atau anaknya, adalah sesuatu yang tak pernah dia bayangkan akan dihadapinya. Dia mencintai Anisa, wanita yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Tapi dia juga mencintai bayinya, yang bahkan belum sempat dia lihat, belum sempat dia peluk.“Dok, apakah... apakah anak kami bisa hidup normal jika diselamatkan?” tanya Adrian pelan, suaranya hampir tak terdengar. Hatinya berharap ada harapan untuk menyelamatkan keduanya, meski dia tahu pertanyaan itu mungkin sia-sia.Dokter menggelengkan kepala dengan lembut. “Bayi Anda baru berusia lima bulan dalam kandungan. Jika dipaksa lahir sekarang, k
Daniel, yang sedari tadi diam mendengarkan, ikut menimpali. “Dinda benar, Dimas. Ide ini bagus. Jika kita bisa memaksa Adrian membuat janji untuk meninggalkan Anisa, kita semua bisa bebas dari masalah ini. Percayalah, Adrian pasti mau melakukannya. Dia tak akan tahan melihat wanita yang dicintainya menderita.”Dimas masih tampak ragu. “Tapi ini... ini kejam. Ini seolah aku memanfaatkan adikku sendiri untuk mencapai tujuan kita.”Daniel menatap Dimas dengan tajam. “Ingat perjanjian kita, Dimas. Aku bersedia membantu menyelamatkan perusahaan keluargamu dari kebangkrutan, tapi kau harus memastikan Anisa menikah denganku. Apakah kau ingin perusahaan itu bangkrut? Apakah kau ingin melihat orang tuamu kehilangan segalanya? "Aku pokoknya tidak mau hidup miskin , Dimas. Apa kata teman temanku nanti kalau mereka tahu perusahaan kita bangkrut." Ucap Dinda.Dimas terdiam. Ucapan Daniel benar-benar menyudutkannya. Dia tahu bahwa masa depan keluarganya dan perusahaannya sedang berada di ujung tan
“Bu, kenapa Ibu menampar aku?” tanya Dimas dengan suara yang masih bergetar, tidak percaya bahwa ibunya sendiri yang melakukan itu.Ibunya menatap Dimas dengan mata yang penuh air mata, tetapi juga penuh dengan kemarahan yang terpendam. “Ini sebagai balasan, Dimas,” katanya dengan suara gemetar, “karena kau sudah membuat hidup seseorang menderita. Kau tidak hanya menyakiti Adrian, tapi juga Anisa, adikmu sendiri. Bagaimana bisa kau bersikap begitu kejam? Ibu tidak pernah mengajarimu menjadi seseorang seperti ini”Dimas tergagap, tidak tahu harus menjawab apa. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupnya ia melihat ibunya begitu marah, begitu terluka. Sebelum ia sempat menjawab, Pak Hartono, ayahnya, menarik tangan Bu Sinta menjauh dari Dimas. “Ma, sudah cukup!” katanya dengan nada keras. “Kau tidak perlu menampar Dimas seperti itu. Dia sudah melakukan hal yang benar.”Namun, mendengar kata-kata itu keluar dari mulut suaminya, Ibu Anisa justru merasa amarahnya semakin membara. Ia menoleh