Sejenak, Daniel terdiam. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu. Kemudian, ia kembali menatapDaniel menyeringai lebar, matanya berkilat penuh ambisi saat ia mulai menjelaskan rencananya pada Dimas. Suaranya rendah dan penuh percaya diri."Tentu saja aku yakin, Dimas. Kali ini, rencanaku pasti akan berhasil," ujar Daniel, jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme yang menunjukkan kegelisahannya.Dimas mengangguk perlahan, terlihat sedikit ragu. "Baiklah, Daniel. Aku percayakan semuanya padamu. Aku ingin kau cepat memisahkan mereka. Aku tidak tahan melihat adikku menderita lebih lama lagi."Daniel menepuk bahu Dimas, berusaha meyakinkannya. "Tenang saja, kawan. Serahkan saja semuanya padaku."Sejenak, Daniel terdiam. Matanya menerawang, seolah sedang memikirkan sesuatu. Kemudian, ia kembali menatap Dimas dengan serius."Tapi... aku butuh bantuanmu, Dimas," ujarnya pelan. "Aku perlu seseorang yang bisa membantuku menjalankan rencana ini."Dimas menegakkan tubuhnya, terlihat tertarik. "Te
Setelah beberapa saat hening, Dimas tiba-tiba bangkit dari kursinya, matanya berbinar penuh harapan. Suara kursi yang berderit memecah kesunyian ruangan, membuat semua kepala menoleh ke arahnya."Ayah," ujarnya dengan nada yang bergetar karena antusiasme, "aku tahu siapa yang bisa membantu kita!"Pak Hartono yang tadinya tertunduk lesu, kini mengangkat kepalanya. Seberkas harapan mulai muncul di matanya yang lelah. "Siapa, Dimas? Siapa yang bisa menyelamatkan perusahaan kita?"Dimas menarik napas dalam sebelum menjawab, "Daniel, yah. Daniel bisa membantu kita."Ruangan itu seketika dipenuhi bisik-bisik. Pak Hartono mengerutkan keningnya, "Daniel? Maksudmu Daniel Prawira, sepupu Reza pemilik Prawira Group itu?"Dimas mengangguk mantap. "Ya, ayah. Daniel adalah teman baikku juga. Perusahaannya sedang dalam masa ekspansi. Aku yakin dia akan tertarik untuk berinvestasi di proyek kita."Pak Joko, salah satu direksi, angkat bicara dengan nada ragu, "Tapi pak Dimas, bukankah Prawira Group be
Sebenarnya Dinda sudah ada di kafe itu sejak dari tadi, karena dia ada janji dengan temannya. Niatnya semula untuk menemui Dimas di mejanya sirna begitu melihat raut wajah suaminya yang tegang. Rasa penasaran mengalahkan keinginannya untuk bergabung. Ia memilih untuk menguping, berusaha menangkap setiap kata yang terucap dari bibir dua pria itu.Setiap kalimat yang tertangkap telinganya membuat jantung Dinda berdegup kencang. Proyek gagal, kerugian besar, ancaman kebangkrutan - semua ini bagaikan pukulan telak baginya."Aku tidak mau jatuh miskin," gumamnya, matanya berkaca-kaca membayangkan kehidupan mewahnya yang terancam. "Apa kata teman-teman sosialitaku nanti kalau tahu suamiku bangkrut?"Ketika nama Anisa disebut-sebut dalam percakapan tadi, Dinda menajamkan pendengarannya. Rencana Daniel untuk membantu dengan syarat tertentu membuat otaknya berputar cepat, mencari celah untuk menyelamatkan gaya hidupnya.Setelah Dimas dan Daniel pergi, Dinda masih duduk terpaku di tempatnya. Pik
Pintu mobil terbuka, dan Anisha turun dengan hati-hati. Satu tangannya memegang tas kerja, tangan lainnya mengelus perutnya yang mulai membuncit lima bulan."Sayang, kau sudah pulang," Adrian menyambut, bergegas membantu istrinya.Mereka duduk di sofa, dan Adrian mulai menceritakan kejadian malam itu dengan detail. Mata Anisha melebar, ekspresinya berganti-ganti antara kaget, cemas, dan iba."Ya Allah, kasihan sekali wanita itu," Anisha bergumam, tangannya menggenggam erat tangan Adrian. "Kau melakukan hal yang benar, sayang."Adrian menatap istrinya ragu, ada kekhawatiran di matanya. "Kau... benar-benar tidak marah? Aku membiarkan wanita asing masuk saat kau tidak ada. Bahkan dia... dia memelukku tadi."Anisha terdiam sejenak, matanya menatap dalam ke mata suaminya. Kemudian, sebuah senyum lembut tersungging di bibirnya. "Mas, dengarkan aku," ujarnya sambil membelai pipi suaminya. "Kau menolong seseorang yang benar-benar membutuhkan. Itu salah satu alasan aku jatuh cinta padamu. Soal
Secepat kilat, Bu Widya membekap mulut Bu Retno dengan tangannya yang kurus. "Ah, nggak kok Nis. Kita cuma lagi bahas... err..." matanya bergerak liar mencari alasan."Resep bolu!... ya resep bolu" Bu Lastri menimpali gugup, tangannya memainkan ujung kerudung semakin cepat. "Bu Retno baru dapet resep baru. Iya kan, Bu?" dia menyikut lengan Bu Retno yang masih dibekap.Anisa mengangkat alis, jelas bingung dengan tingkah aneh para tetangganya ini. Matanya bergulir dari satu ibu ke ibu lainnya. "Oh begitu... Ya sudah, kalau begitu saya masuk dulu ya Bu. Capek nih abis kerja. Tapi nanti kabarin ya kalo resep bolunya ternyata enak!"Setelah Anisa menghilang di balik pagar rumahnya, ketiga ibu-ibu itu menghela napas lega bersamaan.
Siska melangkah maju, matanya menatap tajam ke dalam mata Reza. "Kau... kau masih menyimpan rasa untuk Anisa, kan?""Apa?" Reza tersedak. "Tidak! Tentu saja tidak, Siska! Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu?""Lalu kenapa?" Siska menuntut. "Kenapa kau begitu peduli pada perasaan Anisa? Kenapa kau bilang ini tidak adil untuknya?"Reza panik. Otaknya berpacu mencari alasan. "Dengar, Siska. Aku tidak punya perasaan apa-apa pada Anisa. Sungguh!"Siska menggeleng, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Bohong! Aku selalu merasa... selalu curiga... Ternyata benar."Reza, menyadari situasi yang semakin genting, melangkah maju dan meraih tangan Siska. "Sayang, dengarkan aku. Aku mengatakan itu karena... karena aku mengkhawatirkan reputasi keluarga Hartono."Siska mengerjap, kebingungan tergambar di wajahnya. "Reputasi keluarga?"Reza mengangguk cepat, memanfaatkan celah ini. "Ya. Coba pikir. Bagaimana pandangan publik jika tahu putri Hartono Corp dipaksa menikah demi menyelamatkan
Sore itu, di bawah pohon mangga yang rindang, trio "Detektif Kompleks" masih terengah-engah setelah misi pengintaian mereka yang gagal. Bu Retno mengipasi wajahnya yang memerah dengan ujung dasternya, Bu Lastri sibuk merapikan kerudungnya yang berantakan, sementara Bu Widya membersihkan kacamatanya yang berembun."Duh, gagal total," keluh Bu Lastri, menghela napas panjang.Bu Retno baru saja akan menjawab ketika matanya menangkap kilau mobil tua yang familiar. "Eh, lihat! Itu mobilnya Anisa!"Tanpa pikir panjang, Bu Retno melompat berdiri, tangannya melambai-lambai liar ke arah mobil yang mendekat."Bu Retno! Jangan!" Bu Widya berusaha menahan, tapi terlambat.Anisa, dengan wajah bingung, menghentikan mobilnya. Dia menurunkan kaca jendela, alisnya terangkat melihat wajah-wajah tegang para tetangganya."Ada apa, Bu? Kok kayaknya pada panik gitu?" tanya Anisa, senyum sopan tersungging di bibirnya.Bu Retno menelan ludah, matanya melirik Bu Lastri dan Bu Widya sekilas sebelum kembali ke
Adrian mengangkat kedua tangannya, seakan mencoba menenangkan situasi yang sudah jelas di luar kendali. “Dengar, ini tidak seperti yang kau bayangkan,” katanya dengan suara putus asa. “Ini... ini Intan. Dia wanita yang selalu aku ceritakan padamu. Dia sudah kuanggap hanya sebagai teman.”"Teman?!" Anisa menatapnya dengan tatapan tak percaya. "Lalu kenapa dia setengah telanjang di kamar kita? Adrian, jelaskan!"Adrian mengusap wajahnya dengan tangan, gugup dan bingung. "Intan datang untuk mengunjungi kita. Ketika dia akan pulang, tiba-tiba dia pingsan. Aku... aku tidak tahu harus berbuat apa, jadi aku membawanya ke kamar kita. Aku ingin membaringkannya di sofa, tapi sofa kita cuma dua seater, aku khawatir tulang belakangnya bermasalah. Jadi aku pikir lebih baik menaruhnya di tempat tidur. Aku baru saja mau menelepon ambulans saat kamu tiba."Anisa berdiri diam, mencoba mencerna penjelasan Adrian. “Lalu, kenapa selimutnya berantakan? Dan kenapa dia tidak memakai b