Lina segera melepaskan tangannya dari tubuh Reza. Dia terkejut dan menunduk malu, wajahnya memerah seperti kepiting rebus.Reza, dengan panik, segera berusaha menjelaskan, "Anisa, ini bukan seperti yang kamu pikirkan! Lina ini hanya teman kerjaku saja, tidak lebih. Sungguh!"Anisa tersenyum sinis, matanya menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Oh, begitu? Teman kerja atau teman tidur?" sindirnya tajam."Apa maksudmu, Nis?" Reza mulai kehilangan kesabaran. "Sumpah, dia ini hanya teman kerjaku. Kebetulan kami tadi habis meeting dengan klien di restoran sebelah. Kamu harus percaya padaku!"Anisa menggelengkan kepalanya, "Reza, aku tidak peduli dengan penjelasanmu. Yang pasti, aku bersyukur menolak perjodohan kita. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasibku kalau sampai menikah denganmu."Reza mulai emosi, "Jangan kurang ajar kamu, Nisa! Sudah beberapa kali aku bilang kalau dengan dia itu tidak ada hubungan apa-apa. Kalau tidak percaya, kamu tanya saja dia!" Dia menoleh ke arah Lina, m
Reza mengeratkan pegangannya pada setir mobil. "Aku akan menghubungi Siska duluan. Memutar balikkan fakta. Akan kubilang Anisa salah paham dan cemburu karena dulu kami pernah dijodohkan.""Tapi bagaimana dengan aku, Mas? Posisiku bagaimana?" tanya Lina, ada nada cemas dalam suaranya.Reza terdiam sejenak sebelum menjawab, "Kamu tetap jadi rahasia kita, Lin. Setidaknya sampai aku berhasil menguasai saham perusahaan Hartono. Setelah itu, kita bebas."Lina mengangguk, meski ada kilat kekecewaan di matanya. "Baiklah, Mas. Aku akan bersabar. Tapi janji ya, setelah semuanya beres, kamu akan menceraikan Siska dan menikahiku?"Reza tersenyum tipis, "Tentu, sayang. Aku janji."Mobil mereka akhirnya tiba di apartemen Lina. Sebelum turun, Reza menatap Lina dalam-dalam. "Lin, apapun yang terjadi, kamu harus percaya padaku, karena kamu adalah wanita satu satunya yang aku cintai?"Lina mengangguk mantap, "Iya, mas. Aku selalu percaya padamu."Mereka turun dari mobil dan berjalan menuju lift aparteme
Siska yang mendengar itu langsung merasakan darahnya mendidih. Kecurigaannya semakin menjadi-jadi."Reza, kamu sekarang di mana?" tanyanya dengan nada menuntut. "Kenapa suaramu seperti orang bangun tidur? Kamu lagi sama selingkuhanmu, ya?"Hening sejenak di seberang telepon. Siska bisa mendengar suara gemerisik, seolah Reza sedang bergerak."Apa maksudmu, sayang?" Reza akhirnya menjawab, suaranya terdengar lebih jernih sekarang. "Aku di kantor. Tadi ketiduran sebentar karena kecapekan kerja."Siska mendengus tidak percaya. "Jangan bohong, Reza! Kakakku melihatmu di mall tadi, bersama seorang wanita. Katakan yang sebenarnya!"Reza terdiam lagi. Siska bisa merasakan jantungnya berdebar kencang menunggu jawaban suaminya."Siska, dengarkan aku," Reza akhirnya berkata dengan nada serius. "Aku tidak tahu apa yang sudah dilihat kakakmu, tapi aku bisa jelaskan. Kamu tahu kan hubungan mu dengan anisa tidak pernah baik, aku rasa dia ingin mengadu domba kita. Bisa kita bicarakan ini di rumah nan
Reza terkejut, tapi kemudian mengangguk setuju. "Tentu saja sayang. Lina merupakan orang penting di Samanta Corp dan dia cukup sibuk, nanti aku akan mengatur pertemuan dengannya. Kamu bisa tanya apa saja padanya. Aku tidak punya apa-apa untuk disembunyikan."Siska berbalik, menatap Reza dengan pandangan yang sulit diartikan. "Aku harap kamu benar, Reza. Karena jika aku menemukan satu kebohongan saja... aku tidak yakin bisa memaafkanmu. Walaupun aku sangat mencintaimu."Reza menelan ludah, menyadari betapa seriusnya situasi ini. "Aku mengerti, Siska. Aku berjanji, tidak ada kebohongan. Aku akan membuktikannya padamu.""Baiklah kalau begitu, hari ini aku mau tidur sendiri, tolong jangan ganggu aku. Untuk malam ini kamu tidur di kamar tamu saja." Ucap Siska masih dengan nada dingin.Reza hanya mengangguk pasrah menuruti keinginan istrinya. Menurut dia, yang terpenting sekarang Siska sudah tidak marah lagi dan mempercayai semua kebohongan yang sudah dia katakan. " Dasar perempuan bodoh, g
Dia menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "Daniel sayang... ternyata Daniel yang menjadi dalang aku difitnah mengelapkan uang di kantor dan membuat aku sulit mendapatkan pekerjaan di tempat lain." Nada suaranya terdengar kesal."Apa??" Anisa terkejut. "Apa kamu yakin, Mas, kalau ini semua ulah Daniel? Bagaimana kamu tahu?"Adrian menjelaskan, "Kemarin aku bertemu dengan dia di restoran tempatku bekerja. Terjadi perdebatan di antara kami berdua. Sebelum pergi, dia bertanya padaku, 'Bagaimana rasanya difitnah menggelapkan uang perusahaan dan bagaimana rasanya di-blacklist dari banyak perusahaan?'"Anisa terkesiap mendengar penjelasan suaminya.Adrian melanjutkan, "Kalau bukan dia pelakunya, darimana dia tahu semua itu? "Tapi Mas," Anisa bertanya dengan nada bingung, "kalau dia pelakunya, bagaimana cara dia melakukannya? Sedangkan dia tidak bekerja di tempatmu."Adrian mengerutkan dahi, "Aku juga tidak tahu pasti sayang. Aku rasa dia telah menyuruh seseorang untuk memfitnahku. Ini ya
Anisa berdiri gemetar, napasnya terengah-engah. "Jaga mulutmu, Siska. Aku tidak terima kalau kamu menghina dan merendahkan aku seperti itu, dan perlu kau ingat, jangan pernah membawa-bawa suamiku dalam masalah ini."Suasana kafe menjadi tegang. Beberapa pengunjung mulai berbisik-bisik, sementara yang lain menatap kedua wanita itu dengan campuran rasa ingin tahu dan khawatir.Siska perlahan bangkit, matanya menatap Anisa dengan penuh kebencian. "Kau... berani-beraninya kau menamparku?"Anisa tidak bergeming, balas menatap Siska. "Aku tidak akan diam saja melihat kau menghina keluargaku, Siska. Buka matamu. Suamimu yang berselingkuh, bukan aku yang menggodanya."Ketegangan di antara mereka semakin meningkat, seolah-olah ada listrik yang mengalir di udara. Pengunjung kafe menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.Siska, masih memegang pipinya yang memerah, menatap Anisa dengan tatapan penuh amarah. "Kau pikir dengan menamparku, aku akan percaya padamu? Justru ini membukt
"Ayah?" Adrian tergagap, melihat ayah mertuanya berdiri dengan wajah merah padam menahan amarah."Jangan pernah panggil aku ayah, karena aku bukan ayahmu," ucap Pak Hartono, pria paruh baya dengan aura mengintimidasi, menatap Adrian dari atas ke bawah dengan pandangan jijik. Matanya terpaku pada seragam juru parkir yang dikenakan Adrian."Jadi benar yang dikatakan Dimas," desis Pak Hartono, suaranya penuh kebencian. "Setelah dipecat kau menjadi tukang parkir murahan?"Adrian menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Pak, saya—""Diam kau, sampah!" bentak Pak Hartono, mendorong Adrian ke samping dan menerobos masuk. "Di mana Anisa? Anisa!"Anisa yang mendengar keributan, keluar dari kamar dengan wajah pucat. "Ayah? Kenapa ayah ada di sini?"Pak Hartono menatap putrinya dengan murka. "Apa benar yang dikatakan Siska? Kalau kau sudah mengganggu rumah tangganya dengan Reza?"Adrian terkejut. "Pak, Anisa tidak—""Diam kau!" bentak Pak Hartono. "Ini urusan keluargaku!"Anisa menggeleng kuat. "A
Untuk sesaat, Pak Hartono terlihat ragu. Namun melihat wajah pucat putrinya yang terbaring lemah di lantai, rasa kesal yang tadi memenuhi hatinya seketika menguap. Digantikan oleh rasa cemas yang mencekam."Anisa, putriku..." gumam Pak Hartono lirih, tangannya yang tadi mengepal kuat kini bergetar menyentuh wajah Anisa.Adrian melihat perubahan ekspresi mertuanya. Untuk sesaat, topeng kemarahan Pak Hartono runtuh, menampakkan seorang ayah yang khawatir akan keselamatan putrinya."Baik, ayo cepat!" Pak Hartono akhirnya berkata, suaranya kini dipenuhi urgensi. "Mobilku ada di depan."Tanpa membuang waktu, Adrian dengan hati-hati mengangkat tubuh Anisa. Pak Hartono bergegas membukakan pintu dan memimpin jalan ke mobilnya yang terparkir di depan gedung rumahnya.Saat mereka tiba di mobil, Pak Hartono membuka pintu belakang. "Biar aku yang menyetir. Kau jaga Anisa saja di belakang," perintahnya pada Adrian, nada suaranya kini lebih lunak dari sebelumnya.Adrian mengangguk, dengan cepat dia
Dimas terduduk di lantai, matanya memandang kosong ke arah pembatas tempat Daniel terjatuh. "Aku hampir menyelamatkannya... Aku hampir mengubah segalanya," gumamnya dengan suara bergetar.Adrian menepuk bahu Dimas dengan lembut. "Kau sudah melakukan yang terbaik. Dia memilih untuk meminta maaf. Setidaknya, dia pergi dengan hati yang tidak lagi dipenuhi kebencian."Mereka berdua terdiam, menatap langit malam yang dingin. Dalam keheningan itu, keduanya berjanji dalam hati bahwa mereka akan menjaga keluarga mereka dan tidak akan membiarkan kebencian seperti ini menghancurkan lagi.Meskipun akhir ini tragis, mereka tahu bahwa cerita ini mengajarkan mereka tentang arti pentingnya memaafkan dan melepaskan dendam..***Beberapa bulan setelah insiden tragis yang mengguncang kehidupan Adrian dan keluarganya, kehidupan akhirnya kembali berjalan normal. Waktu telah menjadi penyembuh yang luar biasa, perlahan tapi pasti mengobati luka-luka hati yang ditinggalkan oleh kejadian itu. Kehidupan baru
Adrian melangkah mendekat, tetap memeluk Alisha dengan hati-hati. "Dia selamat, Dimas. Aku dan polisi sudah berhasil menyelamatkannya. Kami tahu Daniel mungkin akan melakukan sesuatu yang nekat."Dimas menatap Adrian dengan kebingungan. "Tapi bagaimana mungkin...? Aku melihat sendiri, kalau dia... Daniel melemparnya..."Adrian menghela napas, mencoba menjelaskan di tengah emosi yang berkecamuk. "Sebelum aku ke sini, aku dan polisi sudah mempersiapkan segala kemungkinan. Kami memasang jaring pengaman di balkon kamar yang ada tepat di bawah rooftop ini. Saat Daniel melepaskan Alisha..." Adrian berhenti sejenak, menatap Alisha yang masih terisak. "...instingku benar. Jaring itu menyelamatkannya."Dimas tersandar lemas ke lantai, matanya mulai berkaca-kaca lagi, tetapi kali ini karena lega yang luar biasa. "Alisha... dia selamat. Dia benar-benar selamat..."Dimas menatap Adrian dengan penuh harap, suaranya gemetar ketika bertanya, "Bagaimana dengan Anisa dan semua anggota keluarga kita? A
Sementara itu, di rooftop yang penuh ketegangan, Dimas terus mencoba berbicara dengan Daniel. Dengan suara penuh harapan, ia berkata, “Daniel, aku mohon, lepaskan Alisha. Dia hanya seorang anak kecil, dia tidak bersalah. Kau tidak perlu melibatkan dia dalam dendammu ini.”Namun, Daniel tetap tak tergoyahkan. Dengan ekspresi penuh amarah, ia berteriak, “Kau tidak mengerti apa yang aku rasakan, Dimas! Aku sudah kehilangan segalanya. Adrian mengambil semua dariku—hidupku, mimpiku, bahkan wanita yang aku cintai! Dan sekarang, dia harus merasakan penderitaan yang sama.”Alisha terus menangis dalam dekapan Daniel, tangisannya semakin memilukan. Hati Dimas terasa hancur melihat keponakannya yang ketakutan. Ia tahu, jika ia tidak melakukan sesuatu, situasinya bisa menjadi lebih buruk. Dimas mencoba mengalihkan pikiran Daniel dengan berbicara lebih tenang. “Dengar, Daniel. Aku tahu kau terluka, dan aku tidak bisa menghapus rasa sakit itu. Tapi aku percaya kau masih punya hati. Jangan biarkan d
“Dengar kan aku baik-baik. Sebaiknya kalian berhenti berisik sekarang. Karena pertunjukanku yang kedua akan segera dimulai.”Kata-kata itu membuat Dimas dan Adrian saling berpandangan, bingung dan waspada.“Pertunjukan apa, Daniel? Apa yang sudah kau rencanakan?” tanya Adrian dengan suara tegang, mencoba mencari tahu apa maksud pria di depannya.Daniel hanya tertawa pelan, suara tawanya menggema di rooftop yang dingin. Belum sempat Adrian menuntut jawaban, tiba-tiba suara ledakan keras mengguncang udara, diikuti getaran yang terasa hingga ke tempat mereka berdiri.“Boom!” seru Daniel dengan nada puas, senyumnya semakin lebar melihat kepanikan yang mulai merayap di wajah Adrian dan Dimas.“Apa yang sudah kau lakukan, Daniel?!” teriak Dimas, suaranya penuh kepanikan. Adrian segera mengalihkan pandangannya ke arah suara ledakan, wajahnya memucat.Daniel menatap mereka dengan tatapan penuh kemenangan. “Tenang saja, ledakan kecil itu hanya untuk memberimu pilihan, Adrian. Kau mau menyelama
“Jangan mendekat!” balas pria itu, menolehkan wajahnya ke Adrian dengan mata merah dan penuh kebencian. “Kalau kau mendekat, aku tidak akan ragu-ragu untuk... untuk...” Ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya, tapi gesturnya sudah cukup jelas.Angin kencang malam itu membuat suasana semakin mencekam. Alisha menangis keras, tangannya mencoba meraih udara seolah meminta bantuan.“Kau tidak perlu melakukan ini,” kata Adrian, mencoba menenangkan situasi. “Apa pun masalahnya, kita bisa menyelesaikannya secara baik baik. Jangan melibatkan anak kecil yang tidak bersalah.”Pria itu menatap Adrian dengan ekspresi penuh rasa sakit. “Tidak bersalah? Semua kejadian ini adalah salahmu, Adrian! Hidupku hancur karena kau! Sekarang kau harus merasakan penderitaanku!”Adrian melangkah pelan, berhati-hati agar tidak memprovokasi. “Dengar, aku tidak tahu apa yang sudah kau alami, tapi aku bisa membantumu. Asal kau menyerahkan Alisha padaku. Dia tidak seharusnya berada dalam situasi seperti ini.”Pria it
Daniel mengepalkan tangannya, suaranya berbisik dingin, “Nikmati kebahagiaan kalian sekarang, Adrian. Sebentar lagi, aku akan memastikan tawa itu berubah menjadi jeritan kesedihan.”Ia menatap Anisa yang tersenyum cerah sambil memegang tangan Alisha. Pemandangan itu membuat hatinya terbakar. Ia memalingkan wajahnya sebentar, berusaha meredam emosi yang semakin memuncak. Dengan langkah perlahan namun penuh perhitungan, ia bergerak menuju belakang panggung kecil tempat perayaan berlangsung.Di atas panggung, Adrian dan Anisa melanjutkan nyanyian mereka, memimpin para tamu dalam perayaan. Alisha, yang kini genap dua tahun, tertawa riang di tengah sorakan semua orang. Suasana bahagia memenuhi ballroom, penuh dengan senyum dan tawa dari keluarga dan teman dekat.Namun, kegembiraan itu tiba-tiba terhenti. Dalam sekejap, lampu di seluruh ballroom padam, meninggalkan kegelapan yang pekat. Suara bisikan dan gumaman panik mulai terdengar dari para tamu.
Doni menelan ludah, merasa merinding oleh intensitas di mata bosnya. Ia bertanya hati-hati, “Kalau boleh tahu, Pak, apa rencana Bapak?”Daniel terdiam sejenak, memutar gelas minumannya di tangan. Cairan bening di dalamnya berputar lambat, seolah mencerminkan kekacauan yang bergejolak di dalam pikirannya. Setelah beberapa detik, ia menghela napas panjang dan tersenyum kecil, sebuah senyuman yang dingin dan penuh tekad. “Nanti juga kamu akan tahu, Doni. Yang jelas, aku akan membuat Adrian merasakan apa yang kurasakan sekarang. Kehilangan segalanya. Hancur. Dan aku akan pastikan dia tidak pernah bangkit lagi.” Suaranya dipenuhi bara dendam yang membakar setiap kata yang diucapkannya.Doni mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan kegelisahan di hatinya. “Baik, Pak Daniel. Saya percaya, apa pun yang Bapak lakukan pasti yang terbaik. Tapi... saya tetap harus mengingatkan, anda Pak. Pak Adrian itu bukan orang sembarangan. Dia punya uang, kekua
Sementara itu, di kediaman AdrianSenja baru saja turun, mewarnai langit dengan semburat jingga. Di ruang tamu rumah besar milik Adrian, Anisa sedang duduk membaca buku sambil menunggu suaminya pulang. Suara mesin mobil berhenti di halaman, membuatnya segera menutup buku dan bangkit menuju pintu.Ketika pintu terbuka, Adrian muncul dengan senyuman yang lebar. Langkahnya ringan, wajahnya berseri seperti seseorang yang baru saja memenangkan perang besar.Anisa menyipitkan mata, heran. “Mas? Kok kamu kelihatan bahagia sekali? Ada apa?” tanyanya, berjalan mendekat.Adrian hanya tersenyum, melepaskan jasnya dan menyerahkannya pada Anisa sambil berjalan menuju sofa. Anisa mengikutinya dengan rasa penasaran yang semakin membuncah.Setelah duduk, Adrian menepuk sofa di sebelahnya, memberi isyarat agar Anisa duduk di sampingnya. Anisa patuh, duduk dengan mata yang menatap tajam, menunggu jawaban.“Cerita dong, Mas. Jangan membuat aku semakin penasaran,” katanya sambil menyodorkan secangkir kop
Namun, Mr. Lee mengangkat tangan, menghentikan Daniel. “Cukup. Saya juga akan memberi tahu kepada semua mitra bisnis kami di China tentang apa yang sudah terjadi hari ini. Saya ingin mereka tahu betapa bobroknya integritas Prawira Group.”Daniel tampak seperti dihantam badai. Wajahnya merah padam, tetapi kali ini bukan karena amarah, melainkan karena ketakutan. “Tuan Lee, tolong… tolong jangan lakukan itu. Anda tahu apa artinya bagi perusahaan kami jika reputasi kami hancur di pasar China. Kami tidak akan bisa bertahan. Saya mohon, beri kami kesempatan untuk memperbaiki kesalahan ini.”Mr. Lee menatapnya dengan dingin. “Kesempatan? Kesempatan itu Anda sudah sia-siakan ketika Anda memutuskan untuk bermain kotor. Saya tidak peduli berapa besar perusahaan Anda. Bagi kami, kejujuran adalah segalanya.”Setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya, Mr. Lee meraih koper itu dan menyerahkannya kembali kepada Daniel. “Ambil u