Dimas mengerutkan kening, matanya menatap tajam ke arah Daniel. "Apa maksudmu sebenarnya, Daniel? Coba jelaskan padaku lebih detail."Daniel menarik napas dalam, lalu memandang jauh ke luar jendela. Dengan suara rendah dan penuh tekad, dia mulai menjelaskan, "Aku akan memastikan Adrian tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan di manapun. Dengan koneksi kuat yang aku punya, aku akan meminta semua perusahaan yang kukenal untuk menutup pintu bagi Adrian. Bayangkan, siapa yang mau mempekerjakan seseorang yang dipecat karena menggelapkan uang perusahaan?"Dimas terdiam sejenak, mencerna informasi itu. Tiba-tiba, raut wajahnya berubah khawatir. "Tapi Daniel," ujarnya ragu-ragu, "kalau sampai Adrian tidak mempunyai pekerjaan, bagaimana dengan Anisa? Walaupun aku benci dengan keputusannya menikah dengan Adrian, bagaimanapun juga Anisa itu adikku. Aku tidak mau sampai dia hidup lebih susah."Seulas senyum licik tersungging di bibir Daniel. "Itulah tujuanku, Dimas," ucapnya penuh arti. Daniel be
Di sebuah butik mewah di mall terbesar kota, Anisa dengan cekatan merapikan tumpukan pakaian. Jemarinya menari di antara lipatan kain, menyusun display dengan presisi seorang profesional. Seorang wanita anggun mendekatinya, senyum ramah tersungging di wajahnya."Hei, Nis! Lihat kamu sibuk sekali. Bagaimana, sudah betah kerja di sini?" tanya wanita itu dengan nada riang.Anisa menoleh, tersenyum hangat. "Oh, Santi! Iya, aku betah banget. Makasih ya, sudah memberiku kesempatan ini. Kamu benar-benar penyelamat."Santi tertawa kecil. "Ah, jangan berlebihan. Aku justru beruntung dapat karyawan sepertimu. Pengalaman fashion-mu itu aset berharga lho, meskipun sempat 'cuti' jadi ibu rumah tangga.""Aduh, kamu bisa aja. Aku nggak sehebat itu kok," ujar Anisa, pipinya merona.Santi terdiam sejenak, raut wajahnya berubah serius. "Nis, boleh aku tanya sesuatu? Mungkin agak pribadi, tapi... aku penasaran."Anisa menaikkan alisnya. "Tentu, San. Ada apa?""Begini..." Santi menarik napas dalam. "Maaf
"Cukup!" teriak Santi. "Nyonya, saya minta Anda segera meninggalkan butik saya ini. Saya tidak akan membiarkan karyawan saya dipermalukan seperti ini. Dan kalian bertiga juga sudah mengganggu kenyamanan pelanggan saya yang lain"Dinda menatap Santi dengan geram. "Anda tidak tahu siapa saya! Saya bisa membuat butik ini bangkrut dalam seminggu!""Silakan saja," tantang Santi. "Tapi ingat, Nyonya. Reputasi Anda juga akan tercoreng jika orang-orang tahu bagaimana Anda memperlakukan karayawan saya yang sekaligus saudara ipar Anda sendiri. Apa anda tidak lihat berapa banyak ada CCTV di tempat ini"Dinda terdiam, sadar bahwa dia telah kalah. Dengan tatapan penuh kebencian ke arah Anisa, dia berbalik dan berkata, "Ini belum selesai. Kau akan menyesal, Anisa."Cukup!" Santi angkat bicara dengan nada final. "Silakan keluar dari butik saya sekarang, atau saya panggil keamanan!"Setelah kepergian Dinda yang dramatis, suasana di butik perlahan kembali tenang. Pelanggan yang sejak tadi menyaksikan
Flashback OnSuasana kelas di salah satu SMA ternama di Jakarta terasa riuh dengan celoteh para siswa yang mengisi waktu sebelum bel berbunyi. Di tengah keramaian itu, Anisa duduk tenang di bangkunya, matanya terfokus pada buku pelajaran di hadapannya. Tiba-tiba, sebuah bayangan jatuh menutupi halaman bukunya."Anisa!" Suara Dinda terdengar setengah berbisik, setengah berteriak. "Kamu kenal Dirga, kan?"Anisa mengangkat wajahnya, alisnya terangkat penuh tanya. "Maksudmu Dirga, kakak kelas kita? Yang jadi ketua tim basket itu?"Mata Dinda langsung berbinar. "Iya, iya! Dia yang kumaksud.""Memangnya ada apa dengan dia?" tanya Anisa, menutup bukunya dan memberikan perhatian penuh pada Dinda yang kini duduk di tepi mejanya.Dinda menggigit bibir bawahnya, pipinya merona merah. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia berkata, "Kamu... bisa kenalin aku nggak sama dia? Kamu kan kenal sama dia, kan?"Sebuah senyum jahil merekah di wajah Anisa. "Ooooh, jadi kamu naksir dia ya?""Ssssst!" Di
Anisa mengangguk. "Iya, Kak. Dia..." Anisa terdiam sejenak, teringat janjinya pada Dinda. "Dia orangnya baik kok, Kak. Pasti kakak suka.""Oh ya?" Dirga tersenyum, tapi entah mengapa senyumnya terasa berbeda di mata Anisa. "Kita lihat saja nanti."Mereka tiba di mobil Dirga. Saat Anisa hendak masuk, ia merasakan getaran di sakunya. Ada pesan dari Dinda:"Nis, gimana? Jadi nggak sama Kak Dirga? Aku udah nunggu di gerbang nih!"Anisa menatap pesan itu, lalu melirik Dirga yang sudah duduk di kursi pengemudi. Tiba-tiba, firasat aneh yang ia rasakan sejak tadi semakin kuat. Namun, ia mengabaikannya dan membalas pesan Dinda:"Jadi kok, Din. Kita jemput kamu di gerbang ya."Di gerbang sekolah, Dinda berdiri dengan gelisah, matanya terus mencari-cari mobil Dirga. Ketika akhirnya mobil itu muncul, jantungnya berdegup kencang."Kak, bisa berhenti sebentar? Itu Dinda sudah menunggu kita," ujar Anisa.Dirga hanya mengangguk singkat, wajahnya masih tanpa ekspresi saat ia menghentikan mobil di depa
Setelah beberapa lama mencari, Dinda akhirnya menemukan buku yang diinginkannya. Setelah membayar, dengan jantung berdebar, ia memberanikan diri mengajak Dirga."Kak, sebagai rasa terima kasih saya, gimana kalau kakak saya traktir makan di restoran itu?" Dinda menunjuk ke arah restoran di ujung mall, matanya penuh harap.Dirga menatap Dinda sejenak, lalu menggeleng. "Nggak usah, aku tidak lapar. Kita langsung aja pulang. Habis ini aku ada janji sama temanku untuk main basket," jawabnya dingin.Dinda merasa seperti ada yang meremas jantungnya. "Baiklah kalau begitu, kita langsung pulang saja," ujarnya, berusaha menyembunyikan kekecewaannya.Di dalam mobil, keheningan kembali menyelimuti mereka. Dinda sibuk dengan pikirannya, membayangkan skenario makan siang romantis yang kini hanya tinggal angan-angan.Tiba-tiba, Dirga menepikan mobilnya di jalan yang sepi. Dinda tersentak dari lamunannya."Kenapa berhenti, Kak?" tanyanya bingung.Dirga menatap lurus ke depan. "Aku mau ngomong sesuatu
Bella dan Cici saling melempar pandang cemas, tapi tak ada yang berani memotong. Dinda meletakkan gelasnya, senyum misterius tersungging di bibirnya."Lihat saja nanti," ia berkata, matanya berkilat penuh tekad dan sesuatu yang lebih gelap. "Anisa akan menyadari, bahwa ia telah membuat kesalahan terbesar dalam hidupnya ketika ia meremehkanku. Dan aku? Aku akan ada di sana, menyaksikan semuanya terjadi."Dengan kalimat itu, Dinda mengakhiri pembicaraan mereka, meninggalkan Bella dan Cici dalam keheningan yang dipenuhi antisipasi dan sedikit rasa takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya.Di sebuah kafe yang nyaman di pusat kota Jakarta, Siska duduk sendirian, jemarinya mengetuk-ngetuk cangkir kopi yang sudah setengah kosong. Matanya menatap jauh ke luar jendela, tapi pikirannya berada di tempat lain. Hiruk pikuk kota besar yang biasanya memenuhi pikirannya kini tak lebih dari sekadar latar belakang buram.Tiba-tiba, ponselnya berdering, memecah lamunannya. Nama "Ibu" muncul di layar
Sekolah mengadakan kompetisi bakat tahunan, dan baik Siska maupun Anisa memutuskan untuk ikut serta. Anisa, dengan suara emasnya, akan menyanyi. Siska, yang sudah berlatih karate selama bertahun-tahun, memutuskan untuk menampilkan demo bela diri.Selama berminggu-minggu sebelum kompetisi, rumah dipenuhi dengan suara Anisa yang berlatih. Ibu sering duduk di samping piano, memberikan komentar dan saran, kadang bahkan memanggil guru vokal untuk membantu Anisa.Sementara itu, Siska berlatih sendiri di halaman belakang. Setiap sore, ia menghabiskan berjam-jam menyempurnakan gerakannya, berkeringat di bawah terik matahari.Suatu hari, saat Siska sedang berlatih, Ibu keluar ke halaman."Siska, bisa tolong kecilkan suara hitunganmu? Anisa sedang berlatih di dalam, suaramu mengganggu konsentrasinya," pinta Ibu.Siska mengangguk, menelan kekecewaan. Ia bahkan tidak yakin ibunya tahu apa yang sedang ia latih.Malam sebelum kompetisi, keluarga berkumpul untuk makan malam. Ayah mengangkat gelasnya
Dimas terduduk di lantai, matanya memandang kosong ke arah pembatas tempat Daniel terjatuh. "Aku hampir menyelamatkannya... Aku hampir mengubah segalanya," gumamnya dengan suara bergetar.Adrian menepuk bahu Dimas dengan lembut. "Kau sudah melakukan yang terbaik. Dia memilih untuk meminta maaf. Setidaknya, dia pergi dengan hati yang tidak lagi dipenuhi kebencian."Mereka berdua terdiam, menatap langit malam yang dingin. Dalam keheningan itu, keduanya berjanji dalam hati bahwa mereka akan menjaga keluarga mereka dan tidak akan membiarkan kebencian seperti ini menghancurkan lagi.Meskipun akhir ini tragis, mereka tahu bahwa cerita ini mengajarkan mereka tentang arti pentingnya memaafkan dan melepaskan dendam..***Beberapa bulan setelah insiden tragis yang mengguncang kehidupan Adrian dan keluarganya, kehidupan akhirnya kembali berjalan normal. Waktu telah menjadi penyembuh yang luar biasa, perlahan tapi pasti mengobati luka-luka hati yang ditinggalkan oleh kejadian itu. Kehidupan baru
Adrian melangkah mendekat, tetap memeluk Alisha dengan hati-hati. "Dia selamat, Dimas. Aku dan polisi sudah berhasil menyelamatkannya. Kami tahu Daniel mungkin akan melakukan sesuatu yang nekat."Dimas menatap Adrian dengan kebingungan. "Tapi bagaimana mungkin...? Aku melihat sendiri, kalau dia... Daniel melemparnya..."Adrian menghela napas, mencoba menjelaskan di tengah emosi yang berkecamuk. "Sebelum aku ke sini, aku dan polisi sudah mempersiapkan segala kemungkinan. Kami memasang jaring pengaman di balkon kamar yang ada tepat di bawah rooftop ini. Saat Daniel melepaskan Alisha..." Adrian berhenti sejenak, menatap Alisha yang masih terisak. "...instingku benar. Jaring itu menyelamatkannya."Dimas tersandar lemas ke lantai, matanya mulai berkaca-kaca lagi, tetapi kali ini karena lega yang luar biasa. "Alisha... dia selamat. Dia benar-benar selamat..."Dimas menatap Adrian dengan penuh harap, suaranya gemetar ketika bertanya, "Bagaimana dengan Anisa dan semua anggota keluarga kita? A
Sementara itu, di rooftop yang penuh ketegangan, Dimas terus mencoba berbicara dengan Daniel. Dengan suara penuh harapan, ia berkata, “Daniel, aku mohon, lepaskan Alisha. Dia hanya seorang anak kecil, dia tidak bersalah. Kau tidak perlu melibatkan dia dalam dendammu ini.”Namun, Daniel tetap tak tergoyahkan. Dengan ekspresi penuh amarah, ia berteriak, “Kau tidak mengerti apa yang aku rasakan, Dimas! Aku sudah kehilangan segalanya. Adrian mengambil semua dariku—hidupku, mimpiku, bahkan wanita yang aku cintai! Dan sekarang, dia harus merasakan penderitaan yang sama.”Alisha terus menangis dalam dekapan Daniel, tangisannya semakin memilukan. Hati Dimas terasa hancur melihat keponakannya yang ketakutan. Ia tahu, jika ia tidak melakukan sesuatu, situasinya bisa menjadi lebih buruk. Dimas mencoba mengalihkan pikiran Daniel dengan berbicara lebih tenang. “Dengar, Daniel. Aku tahu kau terluka, dan aku tidak bisa menghapus rasa sakit itu. Tapi aku percaya kau masih punya hati. Jangan biarkan d
“Dengar kan aku baik-baik. Sebaiknya kalian berhenti berisik sekarang. Karena pertunjukanku yang kedua akan segera dimulai.”Kata-kata itu membuat Dimas dan Adrian saling berpandangan, bingung dan waspada.“Pertunjukan apa, Daniel? Apa yang sudah kau rencanakan?” tanya Adrian dengan suara tegang, mencoba mencari tahu apa maksud pria di depannya.Daniel hanya tertawa pelan, suara tawanya menggema di rooftop yang dingin. Belum sempat Adrian menuntut jawaban, tiba-tiba suara ledakan keras mengguncang udara, diikuti getaran yang terasa hingga ke tempat mereka berdiri.“Boom!” seru Daniel dengan nada puas, senyumnya semakin lebar melihat kepanikan yang mulai merayap di wajah Adrian dan Dimas.“Apa yang sudah kau lakukan, Daniel?!” teriak Dimas, suaranya penuh kepanikan. Adrian segera mengalihkan pandangannya ke arah suara ledakan, wajahnya memucat.Daniel menatap mereka dengan tatapan penuh kemenangan. “Tenang saja, ledakan kecil itu hanya untuk memberimu pilihan, Adrian. Kau mau menyelama
“Jangan mendekat!” balas pria itu, menolehkan wajahnya ke Adrian dengan mata merah dan penuh kebencian. “Kalau kau mendekat, aku tidak akan ragu-ragu untuk... untuk...” Ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya, tapi gesturnya sudah cukup jelas.Angin kencang malam itu membuat suasana semakin mencekam. Alisha menangis keras, tangannya mencoba meraih udara seolah meminta bantuan.“Kau tidak perlu melakukan ini,” kata Adrian, mencoba menenangkan situasi. “Apa pun masalahnya, kita bisa menyelesaikannya secara baik baik. Jangan melibatkan anak kecil yang tidak bersalah.”Pria itu menatap Adrian dengan ekspresi penuh rasa sakit. “Tidak bersalah? Semua kejadian ini adalah salahmu, Adrian! Hidupku hancur karena kau! Sekarang kau harus merasakan penderitaanku!”Adrian melangkah pelan, berhati-hati agar tidak memprovokasi. “Dengar, aku tidak tahu apa yang sudah kau alami, tapi aku bisa membantumu. Asal kau menyerahkan Alisha padaku. Dia tidak seharusnya berada dalam situasi seperti ini.”Pria it
Daniel mengepalkan tangannya, suaranya berbisik dingin, “Nikmati kebahagiaan kalian sekarang, Adrian. Sebentar lagi, aku akan memastikan tawa itu berubah menjadi jeritan kesedihan.”Ia menatap Anisa yang tersenyum cerah sambil memegang tangan Alisha. Pemandangan itu membuat hatinya terbakar. Ia memalingkan wajahnya sebentar, berusaha meredam emosi yang semakin memuncak. Dengan langkah perlahan namun penuh perhitungan, ia bergerak menuju belakang panggung kecil tempat perayaan berlangsung.Di atas panggung, Adrian dan Anisa melanjutkan nyanyian mereka, memimpin para tamu dalam perayaan. Alisha, yang kini genap dua tahun, tertawa riang di tengah sorakan semua orang. Suasana bahagia memenuhi ballroom, penuh dengan senyum dan tawa dari keluarga dan teman dekat.Namun, kegembiraan itu tiba-tiba terhenti. Dalam sekejap, lampu di seluruh ballroom padam, meninggalkan kegelapan yang pekat. Suara bisikan dan gumaman panik mulai terdengar dari para tamu.
Doni menelan ludah, merasa merinding oleh intensitas di mata bosnya. Ia bertanya hati-hati, “Kalau boleh tahu, Pak, apa rencana Bapak?”Daniel terdiam sejenak, memutar gelas minumannya di tangan. Cairan bening di dalamnya berputar lambat, seolah mencerminkan kekacauan yang bergejolak di dalam pikirannya. Setelah beberapa detik, ia menghela napas panjang dan tersenyum kecil, sebuah senyuman yang dingin dan penuh tekad. “Nanti juga kamu akan tahu, Doni. Yang jelas, aku akan membuat Adrian merasakan apa yang kurasakan sekarang. Kehilangan segalanya. Hancur. Dan aku akan pastikan dia tidak pernah bangkit lagi.” Suaranya dipenuhi bara dendam yang membakar setiap kata yang diucapkannya.Doni mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan kegelisahan di hatinya. “Baik, Pak Daniel. Saya percaya, apa pun yang Bapak lakukan pasti yang terbaik. Tapi... saya tetap harus mengingatkan, anda Pak. Pak Adrian itu bukan orang sembarangan. Dia punya uang, kekua
Sementara itu, di kediaman AdrianSenja baru saja turun, mewarnai langit dengan semburat jingga. Di ruang tamu rumah besar milik Adrian, Anisa sedang duduk membaca buku sambil menunggu suaminya pulang. Suara mesin mobil berhenti di halaman, membuatnya segera menutup buku dan bangkit menuju pintu.Ketika pintu terbuka, Adrian muncul dengan senyuman yang lebar. Langkahnya ringan, wajahnya berseri seperti seseorang yang baru saja memenangkan perang besar.Anisa menyipitkan mata, heran. “Mas? Kok kamu kelihatan bahagia sekali? Ada apa?” tanyanya, berjalan mendekat.Adrian hanya tersenyum, melepaskan jasnya dan menyerahkannya pada Anisa sambil berjalan menuju sofa. Anisa mengikutinya dengan rasa penasaran yang semakin membuncah.Setelah duduk, Adrian menepuk sofa di sebelahnya, memberi isyarat agar Anisa duduk di sampingnya. Anisa patuh, duduk dengan mata yang menatap tajam, menunggu jawaban.“Cerita dong, Mas. Jangan membuat aku semakin penasaran,” katanya sambil menyodorkan secangkir kop
Namun, Mr. Lee mengangkat tangan, menghentikan Daniel. “Cukup. Saya juga akan memberi tahu kepada semua mitra bisnis kami di China tentang apa yang sudah terjadi hari ini. Saya ingin mereka tahu betapa bobroknya integritas Prawira Group.”Daniel tampak seperti dihantam badai. Wajahnya merah padam, tetapi kali ini bukan karena amarah, melainkan karena ketakutan. “Tuan Lee, tolong… tolong jangan lakukan itu. Anda tahu apa artinya bagi perusahaan kami jika reputasi kami hancur di pasar China. Kami tidak akan bisa bertahan. Saya mohon, beri kami kesempatan untuk memperbaiki kesalahan ini.”Mr. Lee menatapnya dengan dingin. “Kesempatan? Kesempatan itu Anda sudah sia-siakan ketika Anda memutuskan untuk bermain kotor. Saya tidak peduli berapa besar perusahaan Anda. Bagi kami, kejujuran adalah segalanya.”Setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya, Mr. Lee meraih koper itu dan menyerahkannya kembali kepada Daniel. “Ambil u