Tawa Daniel memecah keheningan siang, mengejutkan Anisa dan Adrian. Tawanya begitu keras dan tidak wajar, membuat mereka berdua mundur selangkah, waspada."Ha... hahahaha!" Daniel terus tertawa, tubuhnya terguncang-guncang seolah kerasukan.Anisa, wajahnya pucat pasi, bertanya dengan suara bergetar, "Da-Daniel? Ada apa denganmu? Kenapa kau tertawa seperti ini?"Adrian segera menarik Anisa ke belakangnya, sikap protektifnya muncul. "Hei, apa-apaan ini? Kau sudah gila atau bagaimana, Daniel?"Daniel akhirnya berhenti tertawa, tapi senyum aneh masih tersungging di bibirnya. Ia mengusap pipinya yang memerah bekas tamparan Anisa, matanya berkilat berbahaya."Oh, Anisa... Anisa," Daniel berkata dengan nada mengejek. "Apa kau benar-benar tidak menyadari semua sikap dan perlakuanku selama ini? Setiap kali kita bertemu, setiap tatapan, setiap sentuhan... Apa kau tidak merasakannya?"Anisa, semakin kebingungan dan takut, bertanya, "A-apa maksudmu, Daniel? Aku tidak mengerti..."Dengan senyum li
"Apa? Bagaimana bisa?" Dimas terdengar terkejut. "Bukannya seharusnya semua berjalan lancar?""Seharusnya, ya," Daniel mendengus kesal. "Tapi si brengsek itu... entah bagaimana dia tiba-tiba muncul di rumahnya. Padahal seharusnya dia masih berada di kantor."Dimas terdiam sejenak. "Tunggu, jadi Adrian melihat semuanya? Saat kau pura-pura jatuh dan memeluk Anisa?""Tepat sekali," jawab Daniel, frustasi jelas terdengar dalam suaranya. "Dan kau tahu apa yang lebih parah? Orang suruhanmu itu tidak becus mencari tempat yang aman untuk mengambil foto kita berdua. Adrian melihat dia sedang bersembunyi di belakang pohon!""Sialan," Dimas mengumpat pelan. "Lalu apa yang terjadi?"Daniel tertawa getir. "Yah, singkat cerita, kami berkelahi. Dan... akhirnya aku mengaku pada Adrian kalau aku mencintai Anisa.""Kau apa?!" Dimas setengah berteriak. "Daniel, apa kau sudah gila?""Mungkin," Daniel menjawab ringan. "Tapi aku sudah muak berpura-pura, Dimas. Sudah waktunya Adrian tahu siapa lawannya.""D
Dokter menatap Anisa dengan tatapan heran, alisnya terangkat sedikit. "Maaf, Bu Anisa. Bisa Anda jelaskan mengapa Anda merasa tidak mungkin hamil? Hasil tes ini sangat jelas menunjukkan kehamilan."Anisa menelan ludah, matanya berkaca-kaca. Ia melirik Adrian yang juga terlihat sama bingungnya. Dengan suara bergetar, Anisa akhirnya berkata, "Dokter, saya... saya menggunakan KB IUD. Bagaimana mungkin saya bisa hamil?"Adrian menggenggam tangan istrinya lebih erat, memberikan dukungan tanpa kata.Dokter mengangguk paham, senyum pengertian terpancar di wajahnya. "Ah, saya mengerti kekhawatiran Anda, Bu Anisa. Memang benar IUD adalah salah satu metode kontrasepsi yang sangat efektif, tapi perlu Anda ketahui, tidak ada metode kontrasepsi yang 100% sempurna."Dokter mengambil sebuah model anatomi dan mulai menjelaskan dengan detail. "IUD bekerja dengan mencegah pembuahan, tapi dalam kasus yang sangat jarang, sekitar 1 dari 1000 pengguna, kehamilan masih bisa terjadi. Ini bisa disebabkan oleh
Setelah mengakhiri pembicaraan di telepon, wajah Adrian tampak pucat dan tegang. Ia berpaling ke arah Anisa, matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam."Sayang," Adrian memulai dengan suara berat, "ada masalah di kantor. Aku harus segera ke sana."Anisa, yang masih terkejut dengan teriakan Adrian sebelumnya, menatap suaminya dengan cemas. "Ada apa, Mas? Apa yang terjadi?"Adrian menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Kamu tidak apa-apa kan kalau aku tinggal sendirian bersama Alisha?""Tidak apa-apa, Mas. Aku bisa sendirian," jawab Anisa, berusaha menenangkan suaminya. "Tapi, sebenarnya ada masalah apa?"Adrian terdiam sejenak, seolah ragu untuk membagi beban yang baru saja ia terima. Akhirnya, dengan suara pelan, ia berkata, "Ada dana perusahaan yang hilang. Indikasinya dilakukan oleh karyawan di kantorku."Anisa menunggu, merasa ada sesuatu yang lebih berat yang belum disampaikan suaminya.Adrian menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Dan... semua bukti mengarah pada
Adrian mengetuk pintu ruangan Pak David dengan tangan gemetar. Suara berat menjawab dari dalam, "Masuk."Begitu pintu terbuka, Adrian merasakan atmosfer mencekam menyelimutinya. Tiga pasang mata menatapnya tajam, seolah-olah ingin menerkamnya hidup-hidup. Pak David, sang CEO, duduk di belakang meja besarnya, diapit oleh dua eksekutif senior lainnya."Silakan duduk, Adrian," ujar Pak David dengan nada datar.Adrian menelan ludah dan duduk di kursi yang ditunjuk. Jantungnya berdegup kencang.Pak David memulai tanpa basa-basi, "Adrian, kamu sudah dengar kabar mengenai perusahaan kita kehilangan uang senilai 5 miliar?""Dengar, Pak. Tapi demi Tuhan, bukan saya pelakunya!" Adrian menjawab cepat, suaranya bergetar."Jadi kamu sudah tahu bahwa kamu yang menjadi tersangka utamanya," Pak David melanjutkan. "Kalau begitu, bagus. Kami tidak perlu menjelaskan kronologi kejadiannya."Adrian berusaha menjelaskan, "Tapi Pak, semua itu tidak benar. Saya tidak pernah melakukan hal seperti itu.""Kalau
Adrian tiba di rumah dengan wajah lesu. Anisa menyambutnya di pintu, kekhawatiran terpancar jelas di matanya."Bagaimana, Mas? Apakah masalahnya sudah selesai?" tanya Anisa segera setelah mereka masuk ke dalam rumah.Adrian menggeleng lemah. "Belum, sayang. Semua bukti mengarah padaku. Aku tidak tahu siapa yang sudah memfitnahku.""Jadi mereka tetap menuduhmu, Mas?" Anisa bertanya lagi, suaranya bergetar."Iya, sayang," Adrian menjawab. Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan dengan ragu, "Bahkan...""Bahkan apa, Mas?" Anisa memotong, tidak sabar.Adrian menarik napas dalam. "Bahkan mereka memecatku, sayang.""Apa? Mereka memecatmu, Mas?" Anisa terkesiap, matanya membelalak tidak percaya."Iya, sayang," Adrian mengangguk sedih. "Dan aku juga harus mengembalikan uang perusahaan yang hilang sebanyak 5 miliar. Kalau tidak, mereka akan menjebloskanku ke penjara."Mendengar penjelasan Adrian, Anisa tidak bisa menahan tangisnya. Ia tidak bisa membayangkan suaminya masuk penjara, apalagi deng
Dimas mengerutkan kening, matanya menatap tajam ke arah Daniel. "Apa maksudmu sebenarnya, Daniel? Coba jelaskan padaku lebih detail."Daniel menarik napas dalam, lalu memandang jauh ke luar jendela. Dengan suara rendah dan penuh tekad, dia mulai menjelaskan, "Aku akan memastikan Adrian tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan di manapun. Dengan koneksi kuat yang aku punya, aku akan meminta semua perusahaan yang kukenal untuk menutup pintu bagi Adrian. Bayangkan, siapa yang mau mempekerjakan seseorang yang dipecat karena menggelapkan uang perusahaan?"Dimas terdiam sejenak, mencerna informasi itu. Tiba-tiba, raut wajahnya berubah khawatir. "Tapi Daniel," ujarnya ragu-ragu, "kalau sampai Adrian tidak mempunyai pekerjaan, bagaimana dengan Anisa? Walaupun aku benci dengan keputusannya menikah dengan Adrian, bagaimanapun juga Anisa itu adikku. Aku tidak mau sampai dia hidup lebih susah."Seulas senyum licik tersungging di bibir Daniel. "Itulah tujuanku, Dimas," ucapnya penuh arti. Daniel be
Di sebuah butik mewah di mall terbesar kota, Anisa dengan cekatan merapikan tumpukan pakaian. Jemarinya menari di antara lipatan kain, menyusun display dengan presisi seorang profesional. Seorang wanita anggun mendekatinya, senyum ramah tersungging di wajahnya."Hei, Nis! Lihat kamu sibuk sekali. Bagaimana, sudah betah kerja di sini?" tanya wanita itu dengan nada riang.Anisa menoleh, tersenyum hangat. "Oh, Santi! Iya, aku betah banget. Makasih ya, sudah memberiku kesempatan ini. Kamu benar-benar penyelamat."Santi tertawa kecil. "Ah, jangan berlebihan. Aku justru beruntung dapat karyawan sepertimu. Pengalaman fashion-mu itu aset berharga lho, meskipun sempat 'cuti' jadi ibu rumah tangga.""Aduh, kamu bisa aja. Aku nggak sehebat itu kok," ujar Anisa, pipinya merona.Santi terdiam sejenak, raut wajahnya berubah serius. "Nis, boleh aku tanya sesuatu? Mungkin agak pribadi, tapi... aku penasaran."Anisa menaikkan alisnya. "Tentu, San. Ada apa?""Begini..." Santi menarik napas dalam. "Maaf