"Halo, Dimas," sapa Daniel.
"Daniel, apa ada perkembangan terbaru? Apa kau sudah memastikan kalau mereka benar benar bertengkar" tanya Dimas tanpa basa-basi.
Daniel terkekeh. "Ya, sebelum aku meninggalkan rumah mereka, tadi aku sempat mengintip, untuk memastikan saja. Dan benar, mereka bertengkar hebat."
"Sempurna," Dimas terdengar puas. "Tapi jangan senang dulu. Ini baru permulaan."
"Maksudmu?" Daniel mengerutkan kening.
"Kita perlu memastikan retakan ini semakin besar," jelas Dimas. "Bagaimana kalau besok kau 'tidak sengaja' bertemu Anisa lagi?"
Daniel terdiam sejenak. "Apa tidak terlalu mencolok?"
"Justru itu pointnya," Dimas tertaw
Siska terus mencoba menghubungi Reza, jari-jarinya dengan cepat menekan nomor yang sudah sangat ia hafal. Namun, hanya nada sibuk yang menyambutnya. Kegelisahan mulai menggerogoti pikirannya, membayangkan berbagai skenario buruk yang mungkin terjadi.Dua jam berlalu bagaikan keabadian. Siska mondar-mandir di kamarnya, sesekali melirik ponselnya dengan harapan ada panggilan atau pesan dari Reza. Akhirnya, tepat pukul 23:45, ponselnya berdering."Reza!" serunya begitu mengangkat telepon. "Kemana saja kamu? Siapa wanita tadi? Kenapa teleponmu tidak bisa dihubungi? Pesta apa yang dia maksud?"Terdengar jeda sejenak sebelum Reza menjawab semua rentetan pertanyaan Siska, suaranya sedikit terengah. "Sayang, tenang dulu. Biar kujelaskan semuanya.satu satu""Jelaskan apa lagi, Reza? Aku dengar jelas ada suara wanita lain saat kita berbicara di telepon tadi!" Siska berseru, suaranya bergetar menahan emosi.Reza menarik napas dalam. "Dengar, wanita yang kamu dengar itu Lina, klien dari Samanta G
Reza membuka pintu kamar mandi hotel perlahan, matanya waspada menyapu sekeliling ruangan. Ia berbisik lembut, "Kamu sudah aman, sayang. Sekarang kamu bisa keluar."Seorang wanita cantik bergaun pesta keluar dari kamar mandi. Tubuhnya yang ramping berbalut gaun merah menyala yang memamerkan lekuk tubuhnya. Senyum menggoda tersungging di bibirnya yang merah."Istrimu memang benar-benar bodoh ya, sayang," ujar wanita itu sambil terkekeh. "Gampang sekali untuk dibodohi."Reza menyeringai, tangannya dengan cepat melingkari pinggang si wanita. "Kau benar, Lina. Siska memang terlalu naif."Lina menatap Reza lekat-lekat, jemarinya menelusuri dagu pria itu. "Mmm... tapi aku penasaran. Apa kau mencintai istrimu, sayang?""Tentu saja tidak," jawab Reza mantap, matanya berkilat dingin."Kalau begitu," Lina mendekatkan bibirnya ke telinga Reza, "kenapa tidak kau ceraikan saja dia dan nikahi aku?"Reza menangkup wajah Lina, menciumnya dalam-dalam sebelum menjawab, "Tidak semudah itu, sayang. Tujua
Reza terdiam sejenak, seolah mengumpulkan kekuatan untuk membuka luka lama. "Baiklah. Dulu, keluarga ayahku merupakan keluarga miskin. Ayahku dan Om Indrawan hidup serba kekurangan. Tapi ayahku... dia orang yang luar biasa.""Luar biasa bagaimana maksudmu?" Lina semakin tertarik."Dia rela mengorbankan pendidikannya agar Om Indrawan bisa sekolah. Kakek hanya mampu menyekolahkan satu anak, dan ayahku memilih untuk mengalah."Lina tertegun. "Wow... itu pengorbanan yang besar."Reza mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. "Ya, ayahku memang hebat. Dan Om Indrawan tidak pernah melupakan pengorbanan itu. Dia berhasil jadi pengusaha sukses dan sebagai balas budi, dia membiayai pendidikanku sampai ke luar negeri.""Lalu di mana masalahnya?" Lina bertanya hati-hati.Reza mendadak geram. "Daniel! Anak Om Indrawan itu! Dia tidak pernah menghargai perjuangan keluarga kami. Dia selalu membanggakan kesuksesan ayahnya, seolah-olah itu murni hasil kerja keras mereka sendiri!"Lina mengerti sekarang.
Suasana tegang semakin memuncak di ruang keluarga Hartono. Hartono, dengan wajah merah padam, menatap tajam istrinya."Kau berani mengancamku, Widia?" geramnya. "Aku akan tetap pada pendirianku!"Ibu Widia, meski gemetar, tetap berdiri tegak. "Ini bukan ancaman, pa. Ini pilihan. Pilihan antara kebahagiaan anak kita atau ambisimu! Dan kau tidak bisa terus-menerus mengatur hidup anak kita!" teriak Widia, suaranya tertdengar bergetar.Hartono mendengus. "Mengatur? Aku tidak mengatur kehidupannya, tapi aku sedang menyelamatkan masa depannya!""Menyelamatkan? Atau menghancurkan?" Widia menatap tajam suaminya. "Anisa bahagia dengan Adrian. Apa itu tidak cukup bagimu?"Hartono tertawa sinis, “cukup?” Aku akan merasa cukup , kalau Anisa sudah bercerai dengan suaminya dan menikah dengan pria pilihanku.” “Kau memang egois dan keras kepala, pa. Dari dulu kau tidak pernah mau berubah.” Teriak Widia.Tepat saat itu, Dimas dan Dinda masuk ke ruangan, mereka berdua terkejut melihat situasi yang t
Tanpa peringatan, Hartono menyambar ponsel dari tangan istrinya, Widia, dan membantingnya ke lantai marmer dengan penuh amarah. Pecahan kaca dan komponen elektronik berserakan di lantai."Apa yang sudah kamu lakukan?!" jerit Widia, matanya terbelalak menyaksikan ponselnya hancur berkeping-keping. "Kenapa kau membanting ponselku, Pa?!"Hartono berdiri tegak, dadanya naik turun menahan emosi yang meluap-luap. Matanya menyala-nyala, menatap tajam ke arah istrinya. "Itu pantas untukmu," desisnya dengan geram. "Kau pikir aku tidak tahu? Kau mencoba membocorkan rencana kita pada Anisa, kan?"Widia mundur selangkah, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Itu karena... karena kamu sudah keterlaluan," isaknya. "Kalian menggunakan cara-cara licik untuk memisahkan mereka berdua. Apa kau tidak pernah memikirkan perasaan anak kita sendiri?""DIAM!" Hartono berteriak lantang, suaranya bergema di dinding-dinding rumah mereka yang luas. "Kamu tidak perlu ikut campur! Aku lakukan ini semua unt
Anisa tersentak kaget mendengar teriakan Daniel. "Please Anisa, tolong bukakan pintu! Aku sudah tidak tahan, aku hanya ingin meminjam toilet di rumahmu!"Kebingungan Anisa semakin menjadi-jadi. Di satu sisi, ia paham betul betapa menyiksanya menahan buang air. Namun di sisi lain, membiarkan Daniel masuk ke rumah saat ia sendirian tetap terasa tidak pantas.Setelah beberapa saat menimbang, Anisa memutuskan untuk menghubungi Adrian terlebih dahulu. Ia tidak ingin ada kesalahpahaman lagi seperti kejadian kemarin."Halo, Mas?" suara Anisa bergetar saat Adrian mengangkat telepon."Ada apa, sayang? Kamu terdengar cemas," jawab Adrian.Anisa menjelaskan situasinya dengan cepat. Adrian terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Baiklah, sayang. Aku mengerti situasinya. Kamu boleh membiarkan Daniel masuk, tapi tolong jaga jarak dan segera suruh dia keluar setelah selesai, ya?"Dengan izin dari Adrian, Anisa bergegas ke pintu depan. Saat ia membuka pagar, pemandangan di hadapannya membuatnya t
Tawa Daniel memecah keheningan siang, mengejutkan Anisa dan Adrian. Tawanya begitu keras dan tidak wajar, membuat mereka berdua mundur selangkah, waspada."Ha... hahahaha!" Daniel terus tertawa, tubuhnya terguncang-guncang seolah kerasukan.Anisa, wajahnya pucat pasi, bertanya dengan suara bergetar, "Da-Daniel? Ada apa denganmu? Kenapa kau tertawa seperti ini?"Adrian segera menarik Anisa ke belakangnya, sikap protektifnya muncul. "Hei, apa-apaan ini? Kau sudah gila atau bagaimana, Daniel?"Daniel akhirnya berhenti tertawa, tapi senyum aneh masih tersungging di bibirnya. Ia mengusap pipinya yang memerah bekas tamparan Anisa, matanya berkilat berbahaya."Oh, Anisa... Anisa," Daniel berkata dengan nada mengejek. "Apa kau benar-benar tidak menyadari semua sikap dan perlakuanku selama ini? Setiap kali kita bertemu, setiap tatapan, setiap sentuhan... Apa kau tidak merasakannya?"Anisa, semakin kebingungan dan takut, bertanya, "A-apa maksudmu, Daniel? Aku tidak mengerti..."Dengan senyum li
"Apa? Bagaimana bisa?" Dimas terdengar terkejut. "Bukannya seharusnya semua berjalan lancar?""Seharusnya, ya," Daniel mendengus kesal. "Tapi si brengsek itu... entah bagaimana dia tiba-tiba muncul di rumahnya. Padahal seharusnya dia masih berada di kantor."Dimas terdiam sejenak. "Tunggu, jadi Adrian melihat semuanya? Saat kau pura-pura jatuh dan memeluk Anisa?""Tepat sekali," jawab Daniel, frustasi jelas terdengar dalam suaranya. "Dan kau tahu apa yang lebih parah? Orang suruhanmu itu tidak becus mencari tempat yang aman untuk mengambil foto kita berdua. Adrian melihat dia sedang bersembunyi di belakang pohon!""Sialan," Dimas mengumpat pelan. "Lalu apa yang terjadi?"Daniel tertawa getir. "Yah, singkat cerita, kami berkelahi. Dan... akhirnya aku mengaku pada Adrian kalau aku mencintai Anisa.""Kau apa?!" Dimas setengah berteriak. "Daniel, apa kau sudah gila?""Mungkin," Daniel menjawab ringan. "Tapi aku sudah muak berpura-pura, Dimas. Sudah waktunya Adrian tahu siapa lawannya.""D