"S-Siska, dengarkan aku," Reza tergagap, suaranya sedikit bergetar. "Aku tidak... maksudku, aku sama sekali tidak punya perasaan apa-apa pada Anisa. Sungguh!"
Siska melipat tangannya di dada, matanya menyipit curiga. "Oh ya? Lalu kenapa kamu terlihat sangat tidak suka saat Daniel menunjukkan ketertarikan padanya?" Reza menelan ludah dengan susah payah. Dia tahu harus meyakinkan Siska, meskipun itu berarti dia harus berbohong. "Sayang, dengar," Reza mencoba menenangkan suaranya. "Apa yang kurasakan dulu pada Anisa... itu sudah lama terkubur. Saat aku menikah denganmu dan menerima perjodohan ini, semua perasaan itu hilang. Kamu satu-satunya wanita dalam hidupku sekarang." Siska masih tampak ragu. "Benarkah? Lalu kenapa kamu begitu kesal tadi?" Reza menghela napas panjang, pikirannya berpacu mencari alasan yang masuk akal. "Itu karena... karena aku tahu seperti apa Daniel. Dia sepupuku, ingat? Aku tahu track record-nya dengan wanita. Aku hanya tidak ingin Anisa terluka." "Jadi kamu melakukan ini semua hanya untuk melindungi Anisa?" tanya Siska, masih tidak sepenuhnya yakin. "Tentu saja," Reza menjawab cepat, terlalu cepat mungkin. "Bagaimanapun juga Anisa itu kakakmu dan merupakan bagian dari keluarga ini. Wajar kan kalau aku ingin melindunginya?" Siska mendengus mendengar alasan Reza. "Melindungi Anisa? Yang benar saja, Reza! Aku ini saudaranya, dan aku saja tidak sepeduli itu dengan Anisa. Kenapa kamu yang repot-repot?" Reza terdiam, otaknya berputar cepat mencari alasan yang masuk akal. Dia tahu betul bahwa Siska, meskipun saudara Anisa, sangat membenci kakaknya itu. Fakta ini membuat situasinya semakin rumit. "Siska, dengar..." Reza mencoba menjelaskan, tapi Siska memotongnya. "Tidak, kamu yang dengar, Reza! Aku sudah muak dengan alasan-alasanmu yang tidak masuk akal. Kamu pikir aku bodoh? Jelas sekali ada sesuatu yang kamu sembunyikan!" Siska terus berbicara, suaranya semakin meninggi. "Apa sebenarnya hubunganmu dengan Anisa? Kenapa kamu begitu peduli padanya? Apa jangan-jangan selama ini..." "Cukup, Siska!" Reza berteriak, memotong omelan istrinya. "Kamu mau tahu kenapa aku peduli? Karena aku punya tanggung jawab! Karena ada hal-hal yang tidak kamu mengerti! Tapi kamu terlalu keras kepala untuk mendengarkan!" Ucapnya asal karena sudah tidak punya alasan lain untuk menutupi kebohongannya. Siska terkejut mendengar Reza membentaknya. "Apa maksudmu dengan tanggung jawab? Hal-hal apa yang tidak kumengerti? Jelaskan padaku, Reza!" Namun Reza sudah tidak bisa berpikir jernih. Amarah dan frustrasi telah menguasainya. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan melangkah ke arah pintu. "Mau kemana kamu? Kita belum selesai bicara!" Siska berteriak. Reza tidak menghiraukan. Dengan satu gerakan cepat, dia membuka pintu kamar dan keluar. Sebelum Siska sempat bereaksi, Reza membanting pintu dengan keras, suaranya bergema di seluruh rumah. Siska terdiam, terkejut dengan reaksi Reza yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Di luar kamar, langkah kaki Reza yang cepat dan berat terdengar menjauh. Tepat saat itu, pintu kamar kembali terbuka. Ayah Siska muncul dengan wajah cemas. "Ada apa ini? Kenapa Reza pergi begitu saja? Dia terlihat kesal dan marah." tanya Ayah Siska, matanya menyiratkan kekhawatiran. Siska hanya menggeleng lemah, berusaha menyembunyikan emosinya. "Tidak apa-apa, Yah. Hanya ribut biasa." Ayahnya mengangguk pelan, tidak ingin mendesak lebih jauh. "Baiklah, tapi ingat, Siska. Dalam pernikahan, komunikasi itu penting. Jangan biarkan masalah kecil menjadi besar." Siska hanya mengangguk, tidak berminat mendengar nasehat ayahnya saat ini. Melihat reaksi putrinya, sang ayah akhirnya memutuskan untuk pergi, meninggalkan Siska sendirian di kamar. Begitu pintu tertutup, Siska tidak bisa lagi menahan emosinya. Dia berteriak sekencang-kencangnya, melampiaskan semua amarah dan frustrasi yang terpendam. "ANISA SIALAN!" teriaknya, suaranya pecah oleh emosi. "Ini semua gara-gara kamu! Selalu saja kamu!" Siska menjambak rambutnya sendiri, air mata mulai mengalir di pipinya. "Dari dulu selalu saja Anisa, Anisa, dan Anisa! Apa bagusnya sih dia?!" Kenangan-kenangan pahit masa lalu mulai bermunculan di benaknya. Bagaimana dia selalu dibanding-bandingkan dengan Anisa yang sempurna di mata semua orang. Bagaimana dia selalu hidup di bayang-bayang kesuksesan kakaknya. "Bahkan Ibu pun selalu membedakan perlakuannya," Siska terisak, suaranya kini lebih pelan tapi penuh kepahitan. "Anisa selalu jadi anak emas, sementara aku... aku cuma pengganti, cuma cadangan." Siska jatuh terduduk di lantai, tubuhnya bergetar oleh isak tangis. Rasa dendam dan benci yang selama ini dia pendam kini meluap tak terkendali. "Aku benci kamu, Anisa," bisiknya dengan gigi terkatup. "Aku benci semua orang yang selalu memujamu. Dan sekarang... bahkan Reza pun..." Siska tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Pikiran bahwa suaminya mungkin masih memiliki perasaan untuk Anisa membuat hatinya serasa dicabik-cabik. "Aku tidak akan membiarkanmu mengambil Reza dariku," Siska berkata dengan suara rendah, penuh tekad. "Tidak akan kubiarkan kamu menghancurkan hidupku lagi, Anisa." Malam semakin larut, tapi Siska tetap terjaga, pikirannya dipenuhi oleh rencana-rencana untuk membalas dendam pada Anisa dan mempertahankan pernikahannya dengan Reza. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti: dia tidak akan menyerah tanpa perlawanan.Beberapa hari telah berlalu sejak pertemuan keluarga yang penuh ketegangan itu. Kehidupan Anisa kembali ke rutinitas normalnya, dipenuhi dengan tugas-tugas sebagai istri dan ibu muda.Pagi itu, seperti biasa, Anisa sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Adrian. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, bercampur dengan suara denting peralatan masak."Sayang, kamu lihat dasi biruku tidak?" suara Adrian terdengar dari kamar.Anisa tersenyum kecil. "Di laci kedua, Adrian. Aku sudah menyetrikanya semalam."Tiba-tiba, tangisan bayi memecah keheningan pagi. Alisha, putri mereka yang baru berusia 3 bulan, terbangun dari tidurnya."Biar aku yang urus," Adrian berkata cepat, melihat Anisa yang masih sibuk dengan penggorengan.Anisa mengangguk penuh terima kasih. "Terima kasih, sayang. Mungkin popoknya perlu diganti."Adrian bergegas ke kamar bayi. Tak lama kemudian, tangisan Alisha mereda, digantikan oleh suara tawa kecil dan celotehan Adrian yang mengajak putrinya bermain.Anisa tersenyum
"Kamu... Anisa, kan?" tanya lelaki itu, memecah keheningan di antara mereka.Anisa hanya diam, dahinya berkerut sementara dia berusaha mengingat-ingat di mana dia pernah bertemu dengan pria di hadapannya ini. Wajahnya terasa familiar, tapi Anisa tidak bisa menghubungkannya dengan ingatan yang jelas.Melihat kebingungan di wajah Anisa, lelaki itu tersenyum ramah dan mencoba membantu. "Mungkin kamu lupa. Aku Daniel, sepupu Reza. Kita pernah bertemu waktu makan malam di rumah orangtuamu beberapa hari yang lalu. Aku yang menawarkan pekerjaan padamu saat itu."Mendengar penjelasan itu, ingatan Anisa seketika menjadi jelas. "Ah!" serunya pelan, wajahnya memerah karena malu. "Iya, benar. Maaf, aku baru ingat."Daniel tertawa kecil, "Tidak apa-apa. Wajar kalau kamu lupa. Situasinya waktu itu memang agak... tegang."Anisa menundukkan kepalanya, merasa semakin malu mengingat kejadian malam itu. "Maaf ya, kamu jadi harus menyaksikan pertengkaran keluarga kami. Padahal kamu orang luar.""Hey, jang
Sosok misterius itu terus mengikuti Anisa dan Daniel, dengan hati-hati memilih tempat duduk yang cukup jauh namun masih memungkinkan untuk mengamati mereka. Dia memesan secangkir kopi, berpura-pura sibuk dengan laptopnya, sementara matanya terus mengawasi target."Ini akan jadi berita besar," gumamnya pelan, jari-jarinya siap di atas tombol kamera ponselnya. "Tinggal menunggu momen yang tepat..."Sementara itu, Daniel menuntun Anisa ke meja di pojok restoran. "Di sini bagaimana? Lebih tenang, jadi kita bisa ngobrol santai," ujarnya dengan senyum ramah.Anisa mengangguk setuju, "Boleh, terima kasih Daniel."Setelah memesan makanan, Daniel bertanya, "Jadi, Anisa, kamu jadi nge-charge HP-mu?"Anisa menggeleng, wajahnya terlihat menyesal. " Aku lupa bawa kabel charger. Bodoh sekali ya aku?""Oh, sayang sekali," Daniel menanggapi. "Tapi tidak apa-apa, kita nikmati makan siang ini saja dulu."Daniel mulai mengajukan berbagai pertanyaan tentang kehidupan Anisa. Awalnya, topik pembicaraan mas
Tring! Ponsel Adrian bergetar di atas meja kerjanya."Nomor tidak dikenal?" gumamnya, alisnya terangkat. Jarinya ragu-ragu sejenak sebelum membuka pesan itu.Detik berikutnya, wajahnya memucat. "Apa-apaan ini?"Di layar ponselnya, terpampang foto Anisa berjalan berdampingan dengan seorang pria asing di sebuah mall. Foto berikutnya membuat jantung Adrian seolah berhenti: tangan pria itu menyentuh bibir Anisa."Tidak... tidak mungkin," Adrian menggeleng keras, seolah berusaha mengusir bayangan itu dari pikirannya.Dengan tangan gemetar, dia mencoba menghubungi Anisa. Sekali, dua kali, tiga kali..."Ayolah, Anisa. Angkat teleponnya!" Adrian menggeram frustasi.Rekan kerjanya, Budi, menoleh dengan heran. "Ada apa, Dri? Kelihatannya panik banget."Adrian menggeleng, berusaha tersenyum. "Nggak apa-apa, Bud. Cuma... ada urusan keluarga."Namun pikirannya terus berkecamuk. 'Anisa tidak mungkin selingkuh. Pasti ada penjelasan untuk ini.'Setelah berkali-kali gagal menghubungi Anisa, Adrian tid
Jantung Anisa berdegup kencang saat Adrian memperlihatkan layar ponselnya. Di sana terpampang foto-foto Anisa berjalan berdua dengan Daniel di mall. Anisa terkesiap, tangannya refleks menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut."Adrian, dari mana kamu mendapatkan foto foto ini ?....Aku bisa jelaskan —" Anisa mulai berbicara, namun kata-katanya terputus saat Adrian menggeser ke foto berikutnya.Foto terakhir membuat dunia Anisa seolah berhenti berputar. Di sana, terlihat jelas Daniel sedang menyentuh bibir Anisa dengan jemarinya.Adrian menatap Anisa, matanya menyiratkan kesedihan dan kebingungan. "Darimana aku mendapat foto-foto ini... itu tidak penting. Yang aku inginkan sekarang adalah kejujuranmu, Anisa. Apa yang sebenarnya terjadi?"Anisa menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. "Baiklah, aku akan menceritakan semuanya dari awal," ujarnya lembut. "Aku tidak sengaja bertemu Daniel di supermarket. Dia mengajakku makan sebagai kompensasi karena aku menolak tawaran kerjanya.
Daniel terdiam sejenak, mendengarkan respons dari seberang telepon. Senyum liciknya semakin lebar."Ya, kau benar. Mereka pasti sedang bertengkar hebat sekarang. Foto-foto itu pasti sudah memancing kecemburuan Adrian."Ia menyandarkan tubuhnya ke jok mobil, terlihat sangat puas dengan dirinya sendiri."Langkah selanjutnya? Tentu, kita akan lanjutkan sesuai rencana. Tapi untuk saat ini, biarkan mereka 'menikmati' pertengkaran ini dulu."Daniel tertawa pelan, suaranya terdengar dingin"Baiklah, kita akan bicara lagi besok. Selamat malam, Dimas."Panggilan berakhir. Daniel menatap ke arah rumah Adrian dan Anisa sekali lagi, sebelum menyalakan mesin mobilnya."Selamat bermimpi buruk, Anisa sayang," gumamnya pelan sebelum menjalankan mobilnya, menghilang ke dalam kegelapan malam, menuju ke tempat peristirahatannya.Daniel memasuki apartemen mewahnya, pikirannya masih dipenuhi oleh Anisa. Dia langsung menuju kamar mandi, memutar keran bathtub dan membiarkan air hangat memenuhinya. Alunan mu
"Halo, Dimas," sapa Daniel."Daniel, apa ada perkembangan terbaru? Apa kau sudah memastikan kalau mereka benar benar bertengkar" tanya Dimas tanpa basa-basi.Daniel terkekeh. "Ya, sebelum aku meninggalkan rumah mereka, tadi aku sempat mengintip, untuk memastikan saja. Dan benar, mereka bertengkar hebat.""Sempurna," Dimas terdengar puas. "Tapi jangan senang dulu. Ini baru permulaan.""Maksudmu?" Daniel mengerutkan kening."Kita perlu memastikan retakan ini semakin besar," jelas Dimas. "Bagaimana kalau besok kau 'tidak sengaja' bertemu Anisa lagi?"Daniel terdiam sejenak. "Apa tidak terlalu mencolok?""Justru itu pointnya," Dimas tertaw
Siska terus mencoba menghubungi Reza, jari-jarinya dengan cepat menekan nomor yang sudah sangat ia hafal. Namun, hanya nada sibuk yang menyambutnya. Kegelisahan mulai menggerogoti pikirannya, membayangkan berbagai skenario buruk yang mungkin terjadi.Dua jam berlalu bagaikan keabadian. Siska mondar-mandir di kamarnya, sesekali melirik ponselnya dengan harapan ada panggilan atau pesan dari Reza. Akhirnya, tepat pukul 23:45, ponselnya berdering."Reza!" serunya begitu mengangkat telepon. "Kemana saja kamu? Siapa wanita tadi? Kenapa teleponmu tidak bisa dihubungi? Pesta apa yang dia maksud?"Terdengar jeda sejenak sebelum Reza menjawab semua rentetan pertanyaan Siska, suaranya sedikit terengah. "Sayang, tenang dulu. Biar kujelaskan semuanya.satu satu""Jelaskan apa lagi, Reza? Aku dengar jelas ada suara wanita lain saat kita berbicara di telepon tadi!" Siska berseru, suaranya bergetar menahan emosi.Reza menarik napas dalam. "Dengar, wanita yang kamu dengar itu Lina, klien dari Samanta G