Anisa menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab tawaran Daniel. Ruangan itu hening, menunggu jawabannya.
"Maaf. Aku menghargai tawaran anda, tapi aku harus menolak," ujar Anisa tegas.
Seketika, ruangan meledak dalam kekacauan.
"Kau gila!" Dimas menggebrak meja, membuat piring-piring bergetar. "Itu kesempatan emas, bodoh!"
Anisa berdiri, matanya berkilat-kilat. "Aku bukan bodoh, kak! Ini pilihanku sendiri!"
"Pilihan?" Ayahnya mendengus, bangkit dari kursinya. "Atau cucian otak dari suamimu yang tidak berguna itu?"
Adrian hendak membela diri, tapi Anisa mengangkat tangannya, menghentikannya.
"Bukan, Yah. Ini murni keinginanku sendiri. Aku ingin fokus menjadi ibu dan istri yang baik untuk Adrian dan Alisha."
Siska tertawa mengejek, suaranya melengking tinggi. "Oh, jadi sekarang kau mau jadi budak rumah tangga? Hebat sekali!"
"Diam kau!" bentak Anisa, membuat semua orang terkejut. Ini pertama kalinya mereka melihat Anisa begitu marah.
Reza berdiri, matanya menatap tajam Adrian. "Kau," ia menunjuk, "Kau yang membuat Anisa jadi begini. Apa yang sudah kau lakukan padanya, hah?"
Adrian balas menatap, tangannya terkepal. "Jaga mulutmu, Reza. Kau tidak tahu apa-apa tentang kami."
"Oh ya?" Reza mendekat, wajahnya hanya beberapa senti dari Adrian. "Aku tahu kau hanya parasit yang menempel pada Anisa. Memanfaatkan kecerdasannya untuk hidupmu yang menyedihkan."
"Cukup!" Anisa berteriak, menarik Adrian menjauh dari Reza.
Tiba-tiba, Ayah Anisa menghampiri Adrian, mencengkeram kerah bajunya. "Kau! Berani-beraninya kau merusak masa depan putriku!"
"Ayah, hentikan!" Anisa berusaha melerai, tapi ditahan oleh Dimas.
"Biarkan saja, biar dia tahu akibatnya karena sudah merebut adikku," geram Dimas.
Suasana semakin kacau. Ibu Anisa menangis di sudut, sementara Dinda dan Siska berteriak-teriak mengompori. Daniel, yang tawarannya memicu kekacauan ini, hanya berdiri terpaku.
Di tengah kekacauan itu, tangisan keras Alisha memecah udara. Bayi mungil itu, yang sedari tadi tenang dalam gendongan Anisa, kini menangis ketakutan.
"Lihat apa yang kalian lakukan!" teriak Anisa, air matanya mulai mengalir. "Kalian menakuti anakku!"
Tapi tidak ada yang mendengarkan. Ayah Anisa masih mencengkeram Adrian, sementara yang lain terus berteriak-teriak.
Tiba-tiba, suara pecahan kaca membuat semua orang terdiam. Anisa berdiri di samping meja, tangannya berdarah setelah memecahkan gelas.
"CUKUP!" teriaknya, suaranya menggema di ruangan yang mendadak sunyi.
Anisa berjalan ke arah Adrian, menariknya dari cengkeraman ayahnya. "Kami pergi. Dan jangan harap kami akan kembali."
"Anisa," ibunya terisak, "jangan, Nak..."
Tapi Anisa sudah tidak peduli. Dengan satu tangan menggendong Alisha yang masih menangis dan tangan lain memegang Adrian, ia berjalan ke arah pintu.
"Kalau kalian tidak bisa menghargai keluargaku," ujarnya dengan suara bergetar namun penuh tekad, "maka kalian bukan lagi keluargaku."
Dengan itu, Anisa membanting pintu, meninggalkan keluarganya yang terpaku dalam keterkejutan. Suara langkah kakinya yang menjauh terdengar bagai dentuman final bagi hubungan mereka.
Di dalam mobil, Anisa terisak pelan sambil menenangkan Alisha. Adrian menyetir mobil tuanya dalam diam, sesekali melirik istrinya dengan tatapan khawatir.
Mereka tahu, ini bukan hanya akhir dari makan malam yang kacau. Ini adalah awal dari kehidupan baru mereka, tanpa bayang-bayang keluarga Anisa.
*** Sementara itu dirumah kediaman orang tua Anisa sesaat setelah Anisa dan Adrian pergi. Pintu dibanting keras, meninggalkan keheningan mencekam di ruang makan. Kepergian Anisa dan Adrian menyisakan atmosfer berat yang menggantung di udara. Selama beberapa saat, tak ada yang berani bersuara.
Ayah Anisa yang pertama memecah kesunyian. Ia menggebrak meja dengan keras, membuat piring-piring bergetar. "Dasar anak tidak tahu diri!" geramnya.
"Sayang, tenanglah," Ibu Anisa mencoba menenangkan, meski air matanya masih mengalir.
Dimas mendengus keras. "Tenang? Bagaimana bisa tenang, Bu? Lihat apa yang sudah dilakukan si bodoh itu!"
"Benar," timpal Dinda. "Dia sudah mempermalukan keluarga kita. Dengan memilih hidup sengsara dengan pria miskin itu."
Siska tertawa sinis. "Coba bayangkan, dia menolak tawaran Daniel demi jadi ibu rumah tangga biasa. Sungguh menggelikan!"
Reza, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Aku masih tidak percaya Anisa bisa sebodoh ini. Dulu dia gadis paling cerdas yang kukenal."
"Pasti karena pengaruh suaminya itu," geram Ayah Anisa. "Pria itu pasti sudah mencuci otaknya."
Ibu Anisa terisak pelan. "Tapi... mereka terlihat bahagia. Mungkin kitanya saja yang terlalu keras pada mereka?"
"Bahagia?" Dimas tertawa mengejek. "Dengan hidup pas-pasan begitu? Ayolah, Bu. Anisa hanya terlalu gengsi untuk mengakui kesalahannya."
Perdebatan terus berlanjut. Masing-masing anggota keluarga mengutarakan kekesalan dan kekecewaan mereka terhadap pilihan Anisa. Mereka membahas bagaimana Anisa telah membuang masa depan cerahnya, bagaimana ia telah mengecewakan keluarga, dan betapa bodohnya keputusan yang ia ambil.
Di tengah hiruk pikuk itu, Daniel, yang sedari tadi hanya diam mendengarkan, tiba-tiba bersuara. Suaranya tenang namun tegas, membuat semua orang terdiam dan menoleh padanya.
"Kalian semua salah," ujarnya, matanya menatap tajam satu per satu anggota keluarga. "Anisa itu tidak bodoh. Dia justru sangat berani."
Reza menatap sepupunya dengan bingung. "Apa maksudmu, Dan?"
Daniel menarik napas dalam sebelum melanjutkan. Matanya menerawang, seolah melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh yang lain.
"Dan....aku... aku tertarik pada Anisa," ucapnya pelan, namun cukup keras untuk didengar semua orang.
Ruangan itu seketika hening. Semua mata terbelalak, menatap Daniel dengan campuran keterkejutan dan kebingungan.
"Apa?" Ayah Anisa yang pertama bereaksi. "Apa maksudmu, Daniel?"
Daniel menatap mereka semua, matanya penuh determinasi. "Aku tertarik padanya. Bukan hanya secara profesional, tapi... lebih dari itu."
Siska ternganga. "Tapi... tapi kau baru pertama kali bertemu dengannya hari ini!"
"Ya," Daniel mengangguk. "Dan itu cukup untuk membuatku kagum. Keberanian Anisa, ketegasannya, loyalitasnya... itu semua membuatku tertarik."
Reza bangkit dari kursinya, menatap Daniel dengan tatapan tidak percaya. "Kau bercanda kan, Dan? Dia itu sudah menikah! Dan juga sudah mempunyai anak!"
"Aku tahu," Daniel menjawab tenang. "Tapi itu tidak mengubah perasaanku."
Suasana kembali tegang. Semua orang saling pandang, tidak tahu harus bereaksi seperti apa terhadap pengakuan mengejutkan ini.
Ayah Anisa, yang wajahnya kini memerah entah karena marah atau bingung, akhirnya berkata dengan suara rendah dan berbahaya, "Lalu... apa yang akan kau lakukan, Daniel?"
Daniel menatap lurus ke mata Ayah Anisa. Matanya berkilat penuh tekad saat ia menjawab, "Aku akan merebutnya. Apapun yang terjadi."
Ayah Anisa, dengan mata menyipit penuh curiga, menatap Daniel lekat-lekat. "Apa maksudmu dengan 'merebutnya ', Daniel? Jelaskan padaku!"Ruangan itu seketika hening, semua mata tertuju pada Daniel yang berdiri tegak di ujung meja. Ia menarik napas dalam sebelum menjawab dengan suara mantap."Saya jatuh cinta pada Anisa, Pak. Pada saat pertama kali melihat dia." Daniel menatap satu per satu anggota keluarga. "Keberaniannya, ketegasannya... semua itu membuatku terpesona. Saya ingin merebutnya dari pria itu, memberikannya kehidupan yang lebih layak."Dimas, yang sedari tadi diam, tiba-tiba tertawa keras. "Ini dia! Inilah yang kita tunggu-tunggu!" Ia menepuk pundak ayahnya dengan semangat. "Ayah, ini kesempatan kita!"Ayah Anisa mengangguk, senyum licik tersungging di bibirnya. "Kau benar Dimas. Daniel, kau punya dukungan dan restu penuh dariku. Bawa anakku kembali kerumah ini""Tunggu dulu!" Ibu Anisa berseru, wajahnya pucat. "Kalian tidak bisa melakukan ini semua! Anisa sudah bahagia den
"S-Siska, dengarkan aku," Reza tergagap, suaranya sedikit bergetar. "Aku tidak... maksudku, aku sama sekali tidak punya perasaan apa-apa pada Anisa. Sungguh!" Siska melipat tangannya di dada, matanya menyipit curiga. "Oh ya? Lalu kenapa kamu terlihat sangat tidak suka saat Daniel menunjukkan ketertarikan padanya?" Reza menelan ludah dengan susah payah. Dia tahu harus meyakinkan Siska, meskipun itu berarti dia harus berbohong. "Sayang, dengar," Reza mencoba menenangkan suaranya. "Apa yang kurasakan dulu pada Anisa... itu sudah lama terkubur. Saat aku menikah denganmu dan menerima perjodohan ini, semua perasaan itu hilang. Kamu satu-satunya wanita dalam hidupku sekarang." Siska masih tampak ragu. "Benarkah? Lalu kenapa kamu begitu kesal tadi?" Reza menghela napas panjang, pikirannya berpacu mencari alasan yang masuk akal. "Itu karena... karena aku tahu seperti apa Daniel. Dia sepupuku, ingat? Aku tahu track record-nya dengan wanita. Aku hanya tidak ingin Anisa terluka." "Jadi kamu
Beberapa hari telah berlalu sejak pertemuan keluarga yang penuh ketegangan itu. Kehidupan Anisa kembali ke rutinitas normalnya, dipenuhi dengan tugas-tugas sebagai istri dan ibu muda.Pagi itu, seperti biasa, Anisa sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Adrian. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, bercampur dengan suara denting peralatan masak."Sayang, kamu lihat dasi biruku tidak?" suara Adrian terdengar dari kamar.Anisa tersenyum kecil. "Di laci kedua, Adrian. Aku sudah menyetrikanya semalam."Tiba-tiba, tangisan bayi memecah keheningan pagi. Alisha, putri mereka yang baru berusia 3 bulan, terbangun dari tidurnya."Biar aku yang urus," Adrian berkata cepat, melihat Anisa yang masih sibuk dengan penggorengan.Anisa mengangguk penuh terima kasih. "Terima kasih, sayang. Mungkin popoknya perlu diganti."Adrian bergegas ke kamar bayi. Tak lama kemudian, tangisan Alisha mereda, digantikan oleh suara tawa kecil dan celotehan Adrian yang mengajak putrinya bermain.Anisa tersenyum
"Kamu... Anisa, kan?" tanya lelaki itu, memecah keheningan di antara mereka.Anisa hanya diam, dahinya berkerut sementara dia berusaha mengingat-ingat di mana dia pernah bertemu dengan pria di hadapannya ini. Wajahnya terasa familiar, tapi Anisa tidak bisa menghubungkannya dengan ingatan yang jelas.Melihat kebingungan di wajah Anisa, lelaki itu tersenyum ramah dan mencoba membantu. "Mungkin kamu lupa. Aku Daniel, sepupu Reza. Kita pernah bertemu waktu makan malam di rumah orangtuamu beberapa hari yang lalu. Aku yang menawarkan pekerjaan padamu saat itu."Mendengar penjelasan itu, ingatan Anisa seketika menjadi jelas. "Ah!" serunya pelan, wajahnya memerah karena malu. "Iya, benar. Maaf, aku baru ingat."Daniel tertawa kecil, "Tidak apa-apa. Wajar kalau kamu lupa. Situasinya waktu itu memang agak... tegang."Anisa menundukkan kepalanya, merasa semakin malu mengingat kejadian malam itu. "Maaf ya, kamu jadi harus menyaksikan pertengkaran keluarga kami. Padahal kamu orang luar.""Hey, jang
Sosok misterius itu terus mengikuti Anisa dan Daniel, dengan hati-hati memilih tempat duduk yang cukup jauh namun masih memungkinkan untuk mengamati mereka. Dia memesan secangkir kopi, berpura-pura sibuk dengan laptopnya, sementara matanya terus mengawasi target."Ini akan jadi berita besar," gumamnya pelan, jari-jarinya siap di atas tombol kamera ponselnya. "Tinggal menunggu momen yang tepat..."Sementara itu, Daniel menuntun Anisa ke meja di pojok restoran. "Di sini bagaimana? Lebih tenang, jadi kita bisa ngobrol santai," ujarnya dengan senyum ramah.Anisa mengangguk setuju, "Boleh, terima kasih Daniel."Setelah memesan makanan, Daniel bertanya, "Jadi, Anisa, kamu jadi nge-charge HP-mu?"Anisa menggeleng, wajahnya terlihat menyesal. " Aku lupa bawa kabel charger. Bodoh sekali ya aku?""Oh, sayang sekali," Daniel menanggapi. "Tapi tidak apa-apa, kita nikmati makan siang ini saja dulu."Daniel mulai mengajukan berbagai pertanyaan tentang kehidupan Anisa. Awalnya, topik pembicaraan mas
Tring! Ponsel Adrian bergetar di atas meja kerjanya."Nomor tidak dikenal?" gumamnya, alisnya terangkat. Jarinya ragu-ragu sejenak sebelum membuka pesan itu.Detik berikutnya, wajahnya memucat. "Apa-apaan ini?"Di layar ponselnya, terpampang foto Anisa berjalan berdampingan dengan seorang pria asing di sebuah mall. Foto berikutnya membuat jantung Adrian seolah berhenti: tangan pria itu menyentuh bibir Anisa."Tidak... tidak mungkin," Adrian menggeleng keras, seolah berusaha mengusir bayangan itu dari pikirannya.Dengan tangan gemetar, dia mencoba menghubungi Anisa. Sekali, dua kali, tiga kali..."Ayolah, Anisa. Angkat teleponnya!" Adrian menggeram frustasi.Rekan kerjanya, Budi, menoleh dengan heran. "Ada apa, Dri? Kelihatannya panik banget."Adrian menggeleng, berusaha tersenyum. "Nggak apa-apa, Bud. Cuma... ada urusan keluarga."Namun pikirannya terus berkecamuk. 'Anisa tidak mungkin selingkuh. Pasti ada penjelasan untuk ini.'Setelah berkali-kali gagal menghubungi Anisa, Adrian tid
Jantung Anisa berdegup kencang saat Adrian memperlihatkan layar ponselnya. Di sana terpampang foto-foto Anisa berjalan berdua dengan Daniel di mall. Anisa terkesiap, tangannya refleks menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut."Adrian, dari mana kamu mendapatkan foto foto ini ?....Aku bisa jelaskan —" Anisa mulai berbicara, namun kata-katanya terputus saat Adrian menggeser ke foto berikutnya.Foto terakhir membuat dunia Anisa seolah berhenti berputar. Di sana, terlihat jelas Daniel sedang menyentuh bibir Anisa dengan jemarinya.Adrian menatap Anisa, matanya menyiratkan kesedihan dan kebingungan. "Darimana aku mendapat foto-foto ini... itu tidak penting. Yang aku inginkan sekarang adalah kejujuranmu, Anisa. Apa yang sebenarnya terjadi?"Anisa menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. "Baiklah, aku akan menceritakan semuanya dari awal," ujarnya lembut. "Aku tidak sengaja bertemu Daniel di supermarket. Dia mengajakku makan sebagai kompensasi karena aku menolak tawaran kerjanya.
Daniel terdiam sejenak, mendengarkan respons dari seberang telepon. Senyum liciknya semakin lebar."Ya, kau benar. Mereka pasti sedang bertengkar hebat sekarang. Foto-foto itu pasti sudah memancing kecemburuan Adrian."Ia menyandarkan tubuhnya ke jok mobil, terlihat sangat puas dengan dirinya sendiri."Langkah selanjutnya? Tentu, kita akan lanjutkan sesuai rencana. Tapi untuk saat ini, biarkan mereka 'menikmati' pertengkaran ini dulu."Daniel tertawa pelan, suaranya terdengar dingin"Baiklah, kita akan bicara lagi besok. Selamat malam, Dimas."Panggilan berakhir. Daniel menatap ke arah rumah Adrian dan Anisa sekali lagi, sebelum menyalakan mesin mobilnya."Selamat bermimpi buruk, Anisa sayang," gumamnya pelan sebelum menjalankan mobilnya, menghilang ke dalam kegelapan malam, menuju ke tempat peristirahatannya.Daniel memasuki apartemen mewahnya, pikirannya masih dipenuhi oleh Anisa. Dia langsung menuju kamar mandi, memutar keran bathtub dan membiarkan air hangat memenuhinya. Alunan mu