Share

Pilihan sulit

Suasana tegang masih menyelimuti ruang tamu keluarga besar Anisa. Ucapan terakhir sang ayah membuat semua orang terdiam, seolah menahan napas.

"Pa, jangan begitu," Ibu Anisa akhirnya angkat bicara, suaranya lembut namun tegas. "Mereka berdua datang dengan niat baik. Lihatlah, kita punya cucu sekarang."

Ayah Anisa mendengus, tapi matanya tak lepas dari bayi mungil dalam gendongan Adrian. Perlahan, sorot matanya melembut.

"Pa, coba kamu gendong cucu kita, lihat dia sangat lucu kan ?" ujar Ibu Anisa.

Dengan hati-hati, Ibu Anisa mengambil si kecil dari Adrian dan menyerahkannya pada sang suami. Untuk pertama kalinya, Anisa melihat ekspresi ayahnya berubah. Ada kelembutan yang tak pernah ia lihat sebelumnya saat pria itu menggendong cucunya.

"Siapa namanya?" tanya Ayah Anisa, masih menatap si bayi.

"Alisha," jawab Anisa pelan. "Artinya yang mulia dan dilindungi."

Ayah Anisa mengangguk pelan. Untuk beberapa saat, suasana hening. Hanya terdengar suara dengkuran halus Alisha.

"Baiklah," Ayah Anisa akhirnya bersuara. "Kalian boleh ikut makan malam. Tapi setelah itu, segera pergi."

Anisa merasakan kelegaan sekaligus kekecewaan. Setidaknya, mereka diberi kesempatan untuk tinggal sebentar.

Mereka berjalan menuju ruang makan. Di sana, Anisa melihat kakaknya, Dimas, bersama istrinya Dinda. Ada juga adiknya, Siska. Namun yang membuat Anisa terkejut adalah kehadiran Reza, pria yang dulu dijodohkan dengannya yang kini menikah dengan adiknya, bersama seorang pria lain yang ia tidak kenal.

Suasana di ruang makan keluarga besar Anisa terasa mencekam. Tatapan sinis dan bisikan-bisikan mencemooh terdengar dari berbagai penjuru meja. Anisa mengeratkan genggamannya pada tangan Adrian, berusaha menenangkan diri.

"Jadi, ini dia pengantin baru kita," sindir Dimas, kakak Anisa, dengan senyum mengejek. "Bagaimana rasanya hidup susah, Nis? Enak?"

Anisa menelan ludah, berusaha menahan emosi. "Kami baik-baik saja, Kak."

"Oh, tentu saja," Dinda, istri Dimas, menimpali dengan nada manis yang dibuat-buat. "Pasti sangat romantis ya, tinggal di kontrakan yang sempit. Seperti di film-film."

Tawa mengejek terdengar dari beberapa sudut meja. Anisa merasakan wajahnya memanas, campuran antara malu dan marah.

"Setidaknya kami ber tiga hidup bahagia," ujar Adrian tenang, berusaha diplomatik.

"Bahagia?" Ayah Anisa mendengus keras. "Dengan gaji pas-pasan begitu? Jangan bercanda, Nak. Kau pikir bisa menghidupi putriku dan cucuku dengan gaji seorang staff rendahan sepertimu?"

Adrian terdiam, matanya menatap piring di hadapannya. Anisa bisa merasakan tubuh suaminya menegang.

"Yah, beri mereka kesempatan," Ibu Anisa mencoba menengahi, tapi suaranya tenggelam oleh cemoohan yang lain.

"Kesempatan apa lagi, Bu?" Siska, adik Anisa, ikut menyerang. "Lihat saja penampilannya. Dengan menggunakan kemeja murahan begitu, yang membuat penampilannya seperti orang miskin, mau dibawa ke mana nama keluarga kita?"

Anisa menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan air mata yang mulai menggenang. Ia melirik Adrian yang masih berusaha tersenyum, meski sorot matanya menyiratkan luka.

"Sebenarnya, aku masih heran," Reza, mantan calon Anisa yang kini menjadi suami Siska, angkat bicara. "Kenapa kau lebih memilih...pria ini?" Ia menunjuk Adrian dengan dagunya. "Dibanding masa depan cerah yang kutawarkan?"

"Reza," Adrian akhirnya bersuara. "Tolong jaga ucapanmu."

"Oh, lihat siapa yang berani bicara sekarang," Reza tertawa mengejek. "Kau pikir kau siapa, hah? Staff rendahan berani-beraninya melawan seorang manager sepertiku?"

"Cukup!" Anisa berdiri, tak tahan lagi. "Kalian tidak berhak menghina suamiku!"

"Duduk, Anisa!" bentak Ayahnya. "Kau masih berani membela pria tidak berguna ini? Lihat, gara-gara dia kau jadi melawan keluargamu sendiri!"

"Adrian bukan pria tidak berguna!" Anisa berteriak, air matanya mulai mengalir. "Dia suamiku, ayah dari anakku!"

"Anakmu?" Dimas mendengus. "Maksudmu bayi malang yang harus hidup susah karena kebodohan ibunya?"

"Diam kau!" Adrian akhirnya kehilangan kesabaran. Ia berdiri, menatap tajam satu per satu anggota keluarga Anisa. "Kalian boleh menghinaku, tapi jangan sekali kali pernah menghina istri dan anakku"

Suasana semakin tegang. Semua orang terdiam, terkejut dengan ledakan Adrian yang biasanya tenang.

"Berani-beraninya kau!" Ayah Anisa bangkit, tangannya terkepal. "Keluar kau dari rumah ini! Bawa istrimu yang durhaka itu!"

"Dengan senang hati," Adrian menjawab dingin. Ia menggenggam tangan Anisa. "Ayo, sayang. Kita pergi dari rumah ini."

Tepat saat mereka hendak melangkah pergi, suara Daniel, sepupu Reza, memecah ketegangan.

"Tunggu sebentar," ujarnya tenang. "Sebelum kalian pergi, boleh aku  bertanya sesuatu pada 

Anisa?"

Semua mata tertuju pada Daniel yang tersenyum misterius. Anisa menatapnya bingung, tidak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Anisa," Daniel melanjutkan. "Aku dengar dulu kau lulusan terbaik di kampusmu. Apa itu benar?"

Pertanyaan itu membuat semua orang terdiam. Anisa mengangguk pelan, masih bingung dengan arah pembicaraan ini.

"Kalau begitu," Daniel tersenyum lebar. "Bagaimana kalau kuoffer kau posisi manager di perusahaanku? Dengan gaji tiga kali lipat dari gaji suamimu sekarang."

Ruangan itu mendadak sunyi. Semua mata kini tertuju pada Anisa, menunggu jawabannya dengan napas tertahan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status