Share

BAB 2 - Ini pacarku!

“Kau sudah siuman?” tanyanya seraya menepuk pundak Aruna.

Aruna berbalik badan sembari mengangkat kedua tangan pasrah dengan mata masih tertutup.

“Jangan apa-apakan diriku, tolong. Kalau bisa lepaskanlah diriku ... aku masih kecil belum siap menjadi seorang istri, aku tidak bisa apa-apa dan lihatlah diriku juga tidak menarik sama sekali!” cerocosnya tanpa membuka mata.

Pria itu mengernyitkan dahinya keheranan. Kemudian menjitak dahinya sampai keluar bunyi.

Taaaakkk ....

“Kau bicara apa?” tanyanya.

Aruna meringis kesakitan seraya mengelus-elus dahinya yang memerah.

“Awww sakit ....”

Kemudian ia mendongak membuka matanya melihat pada pria yang berdiri di hadapannya. Pria tinggi dengan perawakan gagah dan sangat tampan dengan rahang tegas serta mata coklat yang terlihat bersinar.

Pemandangan yang membuat Aruna terpana seakan terhipnotis.

“Apa yang kau lihat?” pria itu menjitak kembali dahi Aruna sehingga membuatnya tersadar.

“Siapa kau sebenarnya?” tanyanya.

“Kau yang siapa?” tanya Aruna.

“Kau pingsan di samping mobilku dan aku membawamu kemari ke rumahku! aku tidak menemukan identitasmu, Siapa kau?” jelasnya.

Aruna mengingat dirinya bersembunyi di dekat mobil. “Ooh ... kau pemilik mobil?” tanyanya.

Ia mengangguk.

Aruna merasa lega saat mendengar itu, ternyata pria ini bukanlah suruhan ibu tirinya. Ia mengulurkan tangan dengan percaya diri.

“Perkenalkan, aku Aruna ... terima kasih sudah menolongku dan maaf merepotkan ...” ucap Aruna.

Pria itu hanya melihat tangan Aruna dan mengabaikannya. Aruna kembali menarik tangannya.

"Kenapa kau pingsan di dekat mobilku?" tanyanya.

Perutnya tidak bisa di ajak kompromi, Aruna memegangi perutnya yang berbunyi dan terasa lapar.

“Kau kenapa?”

“Emmmh ... aku belum makan dari kemarin, aku lapar ... mungkin itu yang membuatku pingsan!" jawabnya jujur.

“Merepotkan!” gerutunya.

Aruna tersenyum tipis malu-malu.

“Haris, bawa dia ke dapur!” Suruhnya pada asisten pribadi yang sedari tadi mematung di belakangnya.

“Eh siapa namamu?” tanya Aruna.

“Namaku Valda!” jawabnya singkat seraya melengos pergi.

“Ikuti kami,” suruh Haris.

Aruna mengekor pada mereka berdua dan pergi ke dapur. Aruna duduk di kursi makan dan Valda bersiap untuk masak, memakai afron-nya dan mengeluarkan bahan-bahan makanan dari kulkas. Auranya tidak berubah, malah semakin menarik perhatian.

Valda cukup menjaga asupan makannya, ia selalu membuat makanan sehat sendiri dan jarang makan di luaran apalagi makan makanan junkfood.

“Ya Tuhan, pria ini terlihat begitu sempurna. Tampan, badan atletis, di tambah bisa masak ... oooh pria idaman ...” batin Aruna menatapnya tanpa berkedip.

Memasak memainkan alat masak dengan lihai, perlahan aroma masakan memenuhi ruangan itu. Semakin membuat perut Aruna keroncongan.

Tidak lama menunggu, makanan sudah siap. Valda menyajikan tiga porsi makanan di meja.

Scramble egg dengan brokoli dan wortel kukus lengkap dengan fotato wedges. Menu makanan yang Valda sajikan, itu sangat mengiurkan.

“Silahkan ...” ujar Valda lalu kemudian ia duduk.

Aruna menyantap makanan yang terhidang di hadapannya. Sesuai tampilannya yang menarik, rasanya juga sangat enak. Ia begitu menyukainya dan tidak menyangka akan seenak itu.

Menghabiskan makanannya dengan cepat karena sangat lapar.

“Rakus sekali kau?” cetus Valda.

“Aku tidak makan dari kemarin!” jawab Aruna.

“Apakah hidupmu semenyedihkan itu?” tanya Valda.

“Hmmm ... aku di kurung ibu tiriku dan tidak di beri makan,” jawab Aruna jujur.

Aruna berdiri dari duduknya dan membungkukkan badan pada Valda. “Terima kasih sudah menolongku, terima kasih sudah memberiku makan. Emmmh ... tapi aku tidak bisa membalasnya.”

Valda memperhatikan Aruna dengan saksama.

Aruna merasa tidak enak dan sedikit takut karena mereka orang asing. lalu memutuskan untuk pergi.

"Sepertinya aku akan pergi saja. sekali lagi terima kasih," ujar Aruna seraya pergi.

“Memang kau mau pergi kemana? Pulang?” tanya Valda.

Aruna hanya mendengus dengan nafas berat.

“Tidak punya tujuan?” tanya Valda.

“Ya, aku akan pergi kemana pun kaki ini membawanya. Aku tidak punya siapa-siapa lagi dan tidak mungkin untuk pulang," jawab Aruna dengan tersenyum. “Sekali lagi terima kasih,” sambungnya seraya berjalan ke pintu dengan terpincang-pincang.

Valda mengekor pada Aruna. “Apa kau butuh uang?”

Aruna terhenti, lalu ia berbalik badan mendongak pada Valda.

“Bagaimana kalau kau bekerja denganku?” Valda menawarinya.

Aruna tersenyum sembringah. “Kau serius mau memperkerjakanku? Mmmh ... tapi aku tidak mengerti apa-apa! Aku tidak punya bakat juga. Sepertinya tidak perlu ...” jawabnya pasrah.

Valda menatap Aruna dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ia memperhatikannya dengan saksama, kulit putih kemerahan, rambut panjang yang hitam, mata bulat dan berbadan langsing. Aruna terlihat begitu cantik walaupun dengan pakaian biasa.

Aruna menyadari kalau Valda menatapnya. Ia mundur beberapa langkah lalu dengan sigap menutup bagian dada dengan kedua tangannya, tapi kakinya yang masih sakit membuat ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Akan tetapi, dengan sigap Valda menarik tangan Aruna masuk ke dalam pelukannya.

Mata mereka saling bertemu, menatap begitu dekat.

“Ya Tuhan, kenapa dia terlihat tampan kalau dari dekat seperti ini. Oooh sempurna ...” batin Aruna memujinya.

Ia merasakan deru nafas Valda yang hangat serasa menusuk Sampai ke relung hatinya.

Waktu seakan berhenti beberapa saat. Kemudian Valda meniup Wajah Aruna yang membuatnya tersadar dan melepaskan diri dari pelukan Valda.

“Apa kau terpana dengan ketampananku?” cetus Valda percaya diri.

Aruna mengernyitkan dahinya seraya menyeringai. “Hahhh ... percaya diri sekali kamu?”

“Tidak ada perempuan yang tidak terpesona melihatku!” ujar Valda.

Aruna membuang nafas pasrah. “Terserahlah!– eh kamu loh yang sedari tadi menatapku. Jangan-jangan kau yang terpesona padaku?" ujarnya.

“Wanita sepertimu bukanlah seleraku, kau tidak menarik sama sekali. ya, tapi mungkin kalau di poles bisa cantik ...” ujar Valda tanpa melepaskan matanya menyapu tubuh Aruna dari atas sampai bawah.

Aruna memelototkan matanya dan semakin mengeratkan tangannya menutup dada.

“Ternyata semua lelaki sama saja! Tidak ... aku harus segera pergi!” batin Aruna.

Berbalik badan dan membuka pintu hendak pergi dengan kaki yang masih terpincang-pincang. Akan tetapi, Aruna di kejutkan oleh seorang perempuan yang berdiri di hadapannya. Terlihat siap mengetuk pintu.

“Mama ...” ujar Valda dari belakang Aruna. Kemudian mendekat pada Aruna dan dengan tiba-tiba merangkulnya dengan erat dan mesra.

Itu membuat Aruna terkejut dan melotot pada Valda.

“Kenapa pagi-pagi Mama datang kemari?” tanya Valda.

Perempuan itu adalah Defria-mama Valda. Berpenampilan modis dengan barang-barang branded menempel di tubuhnya.

“Siapa perempuan ini?” tanya Defria ketus.

“Masuklah!” ajak Valda pada Defria dan tidak melepaskan rangkulannya pada Aruna.

Defria masuk dan duduk dengan tenang di sofa. Valda juga mendudukkan Aruna di sampingnya tanpa melepaskan rangkulannya.

Aruna tidak bisa melepaskan rangkulan Valda karena begitu erat.

“Ini orang kenapa sih? Tiba-tiba ngerangkul kayak gini di depan wanita ini. Gak bener nih ...” batin Aruna. Mencoba melepaskan rangkulannya, tapi sangat sulit.

Valda menatap Aruna dengan tersenyum tipis. Lagi-lagi, Aruna terpesona seakan senyuman itu menghipnotisnya.

“Siapa dia?” tanya Defria ketus.

“Perkenalkan, ini pacarku ...” ungkapnya tiba-tiba.

Aruna terkejut.

“Pacarmu?” Defria tidak kalah terkejutnya.

“Iya, namanya—“ Valda lupa lalu menatap Aruna mengedipkan matanya agar menyebutkan nama sembari mencubit bahunya.

Aruna melotot kesal pada Valda lalu berganti menatap Defria dengan tersenyum. “Nama saya Aruna, Tante ....”

“Iya, namanya Aruna ... cantik, bukan?” tanya Valda.

Defria bangkit dari duduknya mendekat pada Aruna. Depan, samping, belakang di lihatnya dengan teliti.

“Kau yakin dia pacarmu? Apa tidak salah? Rambut kering berantakan, aroma tubuhnya juga tidak enak. Lihat kulit wajahnya, tidak terawat terlihat tidak sehat! Pakaiannya pun, itu pasti pakaian murahan,” tutur Defria penuh cercaan.

Kemudian ia duduk kembali dengan raut wajah yang kesal.

Valda menyadari apa yang Mama-nya tuturkan dan itu memang benar, tapi ia harus mengelakan itu.

“Aruna perempuan sederhana dan itu yang membuatku suka!” ujar Valda.

“Kau ini ... Papamu akan marah jika tahu semua ini. Kau harus nurut pada Papamu, Mama capek kalau harus mendengar kalian bertengkar terus. Mama tidak mau menjelaskan apa-apa pada Papamu, terserah padamu saja!” jelas Defria seraya melengos pergi.

“Mama jangan mengkhawatirkanku. Bye ...” teriak Valda seraya melambaikan tangan.

Aruna melihat kalau Defria sudah pergi, lalu ia mengibaskan tangan Valda dan bergeser menjauh darinya.

“Apa-apaan kau ini? Memegangku seenaknya. Iiih ... iiih ...” ujarnya seraya mengusap-usap bekas tangan Valda.

“Hehhh ... kau harusnya bersyukur. Banyak perempuan yang mengantri ingin di peluk olehku!”

“Aiish ...” Aruna mendelik. “Eh apa maksudmu mengatakan kalau aku pacarmu?” tanyanya.

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status