“Kau sudah siuman?” tanyanya seraya menepuk pundak Aruna.
Aruna berbalik badan sembari mengangkat kedua tangan pasrah dengan mata masih tertutup. “Jangan apa-apakan diriku, tolong. Kalau bisa lepaskanlah diriku ... aku masih kecil belum siap menjadi seorang istri, aku tidak bisa apa-apa dan lihatlah diriku juga tidak menarik sama sekali!” cerocosnya tanpa membuka mata. Pria itu mengernyitkan dahinya keheranan. Kemudian menjitak dahinya sampai keluar bunyi. Taaaakkk .... “Kau bicara apa?” tanyanya. Aruna meringis kesakitan seraya mengelus-elus dahinya yang memerah. “Awww sakit ....” Kemudian ia mendongak membuka matanya melihat pada pria yang berdiri di hadapannya. Pria tinggi dengan perawakan gagah dan sangat tampan dengan rahang tegas serta mata coklat yang terlihat bersinar. Pemandangan yang membuat Aruna terpana seakan terhipnotis. “Apa yang kau lihat?” pria itu menjitak kembali dahi Aruna sehingga membuatnya tersadar. “Siapa kau sebenarnya?” tanyanya. “Kau yang siapa?” tanya Aruna. “Kau pingsan di samping mobilku dan aku membawamu kemari ke rumahku! aku tidak menemukan identitasmu, Siapa kau?” jelasnya. Aruna mengingat dirinya bersembunyi di dekat mobil. “Ooh ... kau pemilik mobil?” tanyanya. Ia mengangguk. Aruna merasa lega saat mendengar itu, ternyata pria ini bukanlah suruhan ibu tirinya. Ia mengulurkan tangan dengan percaya diri. “Perkenalkan, aku Aruna ... terima kasih sudah menolongku dan maaf merepotkan ...” ucap Aruna. Pria itu hanya melihat tangan Aruna dan mengabaikannya. Aruna kembali menarik tangannya. "Kenapa kau pingsan di dekat mobilku?" tanyanya. Perutnya tidak bisa di ajak kompromi, Aruna memegangi perutnya yang berbunyi dan terasa lapar. “Kau kenapa?” “Emmmh ... aku belum makan dari kemarin, aku lapar ... mungkin itu yang membuatku pingsan!" jawabnya jujur. “Merepotkan!” gerutunya. Aruna tersenyum tipis malu-malu. “Haris, bawa dia ke dapur!” Suruhnya pada asisten pribadi yang sedari tadi mematung di belakangnya. “Eh siapa namamu?” tanya Aruna. “Namaku Valda!” jawabnya singkat seraya melengos pergi. “Ikuti kami,” suruh Haris. Aruna mengekor pada mereka berdua dan pergi ke dapur. Aruna duduk di kursi makan dan Valda bersiap untuk masak, memakai afron-nya dan mengeluarkan bahan-bahan makanan dari kulkas. Auranya tidak berubah, malah semakin menarik perhatian. Valda cukup menjaga asupan makannya, ia selalu membuat makanan sehat sendiri dan jarang makan di luaran apalagi makan makanan junkfood. “Ya Tuhan, pria ini terlihat begitu sempurna. Tampan, badan atletis, di tambah bisa masak ... oooh pria idaman ...” batin Aruna menatapnya tanpa berkedip. Memasak memainkan alat masak dengan lihai, perlahan aroma masakan memenuhi ruangan itu. Semakin membuat perut Aruna keroncongan. Tidak lama menunggu, makanan sudah siap. Valda menyajikan tiga porsi makanan di meja. Scramble egg dengan brokoli dan wortel kukus lengkap dengan fotato wedges. Menu makanan yang Valda sajikan, itu sangat mengiurkan. “Silahkan ...” ujar Valda lalu kemudian ia duduk. Aruna menyantap makanan yang terhidang di hadapannya. Sesuai tampilannya yang menarik, rasanya juga sangat enak. Ia begitu menyukainya dan tidak menyangka akan seenak itu. Menghabiskan makanannya dengan cepat karena sangat lapar. “Rakus sekali kau?” cetus Valda. “Aku tidak makan dari kemarin!” jawab Aruna. “Apakah hidupmu semenyedihkan itu?” tanya Valda. “Hmmm ... aku di kurung ibu tiriku dan tidak di beri makan,” jawab Aruna jujur. Aruna berdiri dari duduknya dan membungkukkan badan pada Valda. “Terima kasih sudah menolongku, terima kasih sudah memberiku makan. Emmmh ... tapi aku tidak bisa membalasnya.” Valda memperhatikan Aruna dengan saksama. Aruna merasa tidak enak dan sedikit takut karena mereka orang asing. lalu memutuskan untuk pergi. "Sepertinya aku akan pergi saja. sekali lagi terima kasih," ujar Aruna seraya pergi. “Memang kau mau pergi kemana? Pulang?” tanya Valda. Aruna hanya mendengus dengan nafas berat. “Tidak punya tujuan?” tanya Valda. “Ya, aku akan pergi kemana pun kaki ini membawanya. Aku tidak punya siapa-siapa lagi dan tidak mungkin untuk pulang," jawab Aruna dengan tersenyum. “Sekali lagi terima kasih,” sambungnya seraya berjalan ke pintu dengan terpincang-pincang. Valda mengekor pada Aruna. “Apa kau butuh uang?” Aruna terhenti, lalu ia berbalik badan mendongak pada Valda. “Bagaimana kalau kau bekerja denganku?” Valda menawarinya. Aruna tersenyum sembringah. “Kau serius mau memperkerjakanku? Mmmh ... tapi aku tidak mengerti apa-apa! Aku tidak punya bakat juga. Sepertinya tidak perlu ...” jawabnya pasrah. Valda menatap Aruna dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ia memperhatikannya dengan saksama, kulit putih kemerahan, rambut panjang yang hitam, mata bulat dan berbadan langsing. Aruna terlihat begitu cantik walaupun dengan pakaian biasa. Aruna menyadari kalau Valda menatapnya. Ia mundur beberapa langkah lalu dengan sigap menutup bagian dada dengan kedua tangannya, tapi kakinya yang masih sakit membuat ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Akan tetapi, dengan sigap Valda menarik tangan Aruna masuk ke dalam pelukannya. Mata mereka saling bertemu, menatap begitu dekat. “Ya Tuhan, kenapa dia terlihat tampan kalau dari dekat seperti ini. Oooh sempurna ...” batin Aruna memujinya. Ia merasakan deru nafas Valda yang hangat serasa menusuk Sampai ke relung hatinya. Waktu seakan berhenti beberapa saat. Kemudian Valda meniup Wajah Aruna yang membuatnya tersadar dan melepaskan diri dari pelukan Valda. “Apa kau terpana dengan ketampananku?” cetus Valda percaya diri. Aruna mengernyitkan dahinya seraya menyeringai. “Hahhh ... percaya diri sekali kamu?” “Tidak ada perempuan yang tidak terpesona melihatku!” ujar Valda. Aruna membuang nafas pasrah. “Terserahlah!– eh kamu loh yang sedari tadi menatapku. Jangan-jangan kau yang terpesona padaku?" ujarnya. “Wanita sepertimu bukanlah seleraku, kau tidak menarik sama sekali. ya, tapi mungkin kalau di poles bisa cantik ...” ujar Valda tanpa melepaskan matanya menyapu tubuh Aruna dari atas sampai bawah. Aruna memelototkan matanya dan semakin mengeratkan tangannya menutup dada. “Ternyata semua lelaki sama saja! Tidak ... aku harus segera pergi!” batin Aruna. Berbalik badan dan membuka pintu hendak pergi dengan kaki yang masih terpincang-pincang. Akan tetapi, Aruna di kejutkan oleh seorang perempuan yang berdiri di hadapannya. Terlihat siap mengetuk pintu. “Mama ...” ujar Valda dari belakang Aruna. Kemudian mendekat pada Aruna dan dengan tiba-tiba merangkulnya dengan erat dan mesra. Itu membuat Aruna terkejut dan melotot pada Valda. “Kenapa pagi-pagi Mama datang kemari?” tanya Valda. Perempuan itu adalah Defria-mama Valda. Berpenampilan modis dengan barang-barang branded menempel di tubuhnya. “Siapa perempuan ini?” tanya Defria ketus. “Masuklah!” ajak Valda pada Defria dan tidak melepaskan rangkulannya pada Aruna. Defria masuk dan duduk dengan tenang di sofa. Valda juga mendudukkan Aruna di sampingnya tanpa melepaskan rangkulannya. Aruna tidak bisa melepaskan rangkulan Valda karena begitu erat. “Ini orang kenapa sih? Tiba-tiba ngerangkul kayak gini di depan wanita ini. Gak bener nih ...” batin Aruna. Mencoba melepaskan rangkulannya, tapi sangat sulit. Valda menatap Aruna dengan tersenyum tipis. Lagi-lagi, Aruna terpesona seakan senyuman itu menghipnotisnya. “Siapa dia?” tanya Defria ketus. “Perkenalkan, ini pacarku ...” ungkapnya tiba-tiba. Aruna terkejut. “Pacarmu?” Defria tidak kalah terkejutnya. “Iya, namanya—“ Valda lupa lalu menatap Aruna mengedipkan matanya agar menyebutkan nama sembari mencubit bahunya. Aruna melotot kesal pada Valda lalu berganti menatap Defria dengan tersenyum. “Nama saya Aruna, Tante ....” “Iya, namanya Aruna ... cantik, bukan?” tanya Valda. Defria bangkit dari duduknya mendekat pada Aruna. Depan, samping, belakang di lihatnya dengan teliti. “Kau yakin dia pacarmu? Apa tidak salah? Rambut kering berantakan, aroma tubuhnya juga tidak enak. Lihat kulit wajahnya, tidak terawat terlihat tidak sehat! Pakaiannya pun, itu pasti pakaian murahan,” tutur Defria penuh cercaan. Kemudian ia duduk kembali dengan raut wajah yang kesal. Valda menyadari apa yang Mama-nya tuturkan dan itu memang benar, tapi ia harus mengelakan itu. “Aruna perempuan sederhana dan itu yang membuatku suka!” ujar Valda. “Kau ini ... Papamu akan marah jika tahu semua ini. Kau harus nurut pada Papamu, Mama capek kalau harus mendengar kalian bertengkar terus. Mama tidak mau menjelaskan apa-apa pada Papamu, terserah padamu saja!” jelas Defria seraya melengos pergi. “Mama jangan mengkhawatirkanku. Bye ...” teriak Valda seraya melambaikan tangan. Aruna melihat kalau Defria sudah pergi, lalu ia mengibaskan tangan Valda dan bergeser menjauh darinya. “Apa-apaan kau ini? Memegangku seenaknya. Iiih ... iiih ...” ujarnya seraya mengusap-usap bekas tangan Valda. “Hehhh ... kau harusnya bersyukur. Banyak perempuan yang mengantri ingin di peluk olehku!” “Aiish ...” Aruna mendelik. “Eh apa maksudmu mengatakan kalau aku pacarmu?” tanyanya.“Ya itu maksudku, pekerjaan untukmu.” Aruna mengernyit tidak mengerti dengan apa yang Valda katakan. “Aku akan memberikanmu pekerjaan sebagai pacar pura-puraku. Bagaimana?” ujar Valda. “Tidak ... tidak ...” Aruna tegas menolaknya. Ia bangkit dari duduknya dan hendak pergi mendekat pada pintu. “Tunggu ... kau akan mendapatkan bayaran yang besar. Apa kau tidak butuh uang?” tanya Valda. Aruna menghentikan langkahnya. “Bayaran yang besar? Apa aku ambil saja tawarannya, toh hanya pacar pura-pura saja. Kalau sekarang aku pergi, akan pergi kemana? Tidak mungkin aku pulang ke rumah dan tanpa uang bagaimana aku bisa hidup di luaran sana. Kalaupun bekerja, akan bekerja apa?” batin Aruna bergelut. “Cepatlah berpikirnya!” cetus Valda. Aruna berbalik badan melihat pada Valda. “Hanya pacar pura-pura saja, kan?” tanya Aruna. “Ya, hanya pacar pura-pura. Paling beberapa kali menghadiri acara dan jika bertemu orangtuaku setelah itu selesai ...” jelas Valda. “Benar bay
Valda bangkit dari duduknya. “Semua perempuan sama saja, kalau tidak gila uang, ya gila pria tidak cukup satu pria. Mana ada perempuan tulus!” cetusnya. Haris mengangguk mengerti. “Pergilah ... belikan apa yang dia butuhkan dan bawalah dia ke dokter. sepertinya kaki dia masih sakit.” Valda menyerahkan satu black card miliknya. Haris berlalu pergi. “Emmmh setelah kepergian Marisa, mana mungkin aku percaya lagi pada perempuan. Aku tidak akan pernah mencintai siapapun lagi termasuk anak cengeng yang yang dulu di jodohkan oleh Papa dan aku tidak akan pernah menikahinya!” gumam Valda. Valda memang mempunyai trauma soal cinta. Masa lalunya bersama Marisa cukup membunuh hatinya. Di sisi lain .... Aruna sudah memakai kembali pakaiannya. Untung saja mesin cuci canggih bisa mengeringkan dengan cepat. Pintu ada yang mengetuk, Aruna bergegas pergi. Akan tetapi, ia ragu untuk membukanya. Pintu terus di ketuk. “Siapa, ya?” Tokkk ... tokkk .... Aruna menghela nafas panja
Karin mendapatkan telepon dari kantor polisi perihal kedua preman yang di bawa ke kantor polisi. Kemudian ia dan Nanda pergi kesana. Tidak butuh waktu lama, Karin bisa membebaskan mereka dengan uang jaminan. Kembali ke rumah, Karin marah besar kepada mereka berdua. “Untuk bulan ini, gaji kalian saya potong untuk mengganti uang yang saya bayarkan pada polisi!” cetusnya. “Terima kasih, Nyonya ....” “Lagi pula Mami ngapain sih belain mereka dan menjamin mereka. Biarkan saja mereka membusuk di penjaraa, kerja juga gak becus!” timpal Nanda. “Jangan mengajari Mami. Mereka di penjara, siapa yang akan memberikan informasi tentang Aruna. Bodoh sekali kau!” cerca Karin. Nanda anak kandungnya sendiri, tetapi ia memperlakukannya seperti itu. Menganggapnya bodoh tidak berguna dan hanya beban karena Nanda adalah anak dari hasil hubungan gelap. Ayahnya tidak tahu siapa dan dimana? “Kenapa kalian bisa di kantor polisi?” tanya Karin dengan bertolak pinggang sembari menghisap sebata
Mengendus sekali lagi mulut Aruna dan memang benar kalau Aruna meneguk wine miliknya sehingga ia mabuk dan bersikap aneh. “Kau sangat tampan di lihat dari dekat seperti ini ...” cetus Aruna seraya tertawa kecil. Kemudian dengan tiba-tiba Aruna menyosor bibir Valda menciuminya dengan liar. Itu membuat Valda terkejut dan tidak menyangka, ia sadar kalau Aruna seperti itu karena di bawah pengaruh alkohol. Valda mencoba melepaskannya, tetapi Aruna semakin liar. Sebagai lelaki normal, tubuhnya seakan terpancing dan ia membalas ciumann Aruna tanpa sadar menikmatinya. Aruna mendorong tubuh Valda sampai terbaring di sofa. Ciumann mereka sempat terlepas, tetapi Aruna melakukannya lagi dengan posisi ia di atasnya Valda. Valda tidak menyangka Aruna mampu melakukan hal seperti ini padahal dirinya terlihat lugu. Anehnya tubuh Valda tidak menolak itu, malah hawa panas menguasai tubuhnya. “Mmmmh ... ciuman pertamaku untukmu ...” cetus Aruna dengan tertawa kecil. “Jangan lakukan la
Valda membawa pakaian begitu banyaknya dan memberikan semua itu pada Aruna sampai menutupi wajahnya. Tubuhnya yang mungil kesulitan memegangi pakaian sebanyak itu dan Aruna hampir saja terjatuh untung Valda menahannya. “Kau lemah sekali!” ujar Valda seraya mengambil sebagian pakaiannya. “Kau dengan tiba-tiba memberikan pakaian sebanyak ini padaku, Aissshhh ...” Aruna mendelik. Valda memasukkan pakaian-pakaian itu ke dalam ruang ganti dan Aruna masuk. Ia mencoba setiap pakaian itu. Dress-dress seksi yang Valda pilihkan untuknya. Bahu yang terbuka lebar bahkan sampai belahan dadanya terlihat dengan panjang di atas lutut. “Pakaian apa ini?” gumam Aruna. Ia keluar dan memperlihatkannya pada Valda sembari menutupi dadanya yang terbuka membuatnya tidak nyaman. “Itu tidak cocok untukmu!” cetus Valda. Aruna kembali masuk dengan kesal dan mengganti dengan pakaian lainnya. Keluar masuk dengan pakaian gonta ganti dan Valda selalu mengatakan tidak cocok. “Aku sudah mencoba
“Papa minta kalian menikah secepatnya! Untuk persiapan biar Papa yang atur. Kalian siapkan saja diri kalian!” Chand bangkit dari duduknya berlalu pergi di ikuti oleh Defria. “Pa ... Pa ... itu terlalu cepat! Kami belum siap.” Teriak Valda. Akan tetapi, Chand mengabaikannya. Melihat hal itu, Haris berpindah ke meja Valda. “Ada masalah, Tuan?” tanyanya. Valda hanya menggelengkan kepala. “Hehh ... kenapa jadi menikah?” tanya Aruna. Valda menghela nafas dan menatap Aruna. “Aku tidak tahu!” pasrahnya. “Sesuai perjanjian, hanya pacar pura-pura. Tidak lebih!” pungkas Aruna. Valda berpikir sejenak, dirinya terjebak dalam permainannya sendiri. Tidak terpikir akan seserius dan sejauh ini. “Hehhh ... kenapa kau diam saja?” Aruna menepuk lengan Valda. Valda tersadar. “Aku akan memikirkannya lagi nanti. Ayo pulanglah!” ajaknya. “Aku lapar. Kita disini belum makan sama sekali,” ujar Aruna seraya memegangi perutnya. Valda kembali duduk lalu membuka buku menu. Ia memes
“Kau gila!” cetus Valda. “Ti–tidak ... jangan berpikiran macam-macam terhadap kami. Saya sudah menikah dan punya anak perempuan usia tiga tahun,” elak Haris. Aruna menatap Valda tajam. “Apa? Bisa-bisanya kau menuduhku seperti itu. Gila ...” cerca Valda. “Ya lagi pula dirimu seperti apa yang aku katakan tadi, tapi tidak punya pacar. Padahal aku pikir orangtuamu tidak ada salahnya mencarikanmu jodoh yang setara. Jika tidak ingin di jodohkan, gampang bagimu untuk mencari wanita yang setara. Kalau bukan penyuka sesama, ya apalagi?” tutur Aruna. Valda gemas dengan bibir mungil Aruna yang sedari tadi nyerocos tidak hentinya. Ia mendekat padanya dan tanpa aba-aba melahap bibir mungil itu dengan bibirnya. Membuat Aruna terkejut ia meremas bantal sofa di sampingnya. Haris tidak kalah terkejutnya, ia bangkit dari duduknya seraya memalingkan wajah dan berlalu pergi meninggalkan mereka berdua. Valda begitu menikmatinya, bibir Aruna seakan menjadi candu yang terngiang-ngiang.
“Mobil siapa itu?” sentak Karin pada sopir. Aruna melihat Valda dan Haris keluar dari mobil. Ia merasa sedikit lega dan tenang. “Siapa mereka?” “Tidak tahu, nyonya,” jawab sopir. “Kalian turunlah dan tanya ada perlu apa,” suruh Karin pada kedua preman itu. Dua preman itu menghadapi Valda. Mereka terlihat bicara serius dan Karin penasaran lalu turun dari mobil. “Kau diam disini!” ucapnya pada Aruna. “Tunggu, Mami ...” Aruna ikut turun karena takut terjadi hal yang tidak di inginkan. “Kau diam di mobil, kenapa kau ikut turun?” sentak Karin. “Aruna ...” panggil Valda. Mendengar panggilan itu, Karin mendekat pada Valda. “Siapa kau? Menghentikan mobil saya seenaknya! Kau mengenali Aruna?” “Kau yang siapa? Kenapa kau membawa Aruna?” tanya Valda. “Ini kesempatan bagus, mungkin Tuhan memang mengirimkan Valda untuk menyelamatkanku dari ibu tiriku. Hmmm ...” batin Aruna mengesampingkan kejadian semalam. “Saya ibunya Aruna! Ya terserah saya kalau mau membawanya