Mengendus sekali lagi mulut Aruna dan memang benar kalau Aruna meneguk wine miliknya sehingga ia mabuk dan bersikap aneh.
“Kau sangat tampan di lihat dari dekat seperti ini ...” cetus Aruna seraya tertawa kecil. Kemudian dengan tiba-tiba Aruna menyosor bibir Valda menciuminya dengan liar. Itu membuat Valda terkejut dan tidak menyangka, ia sadar kalau Aruna seperti itu karena di bawah pengaruh alkohol. Valda mencoba melepaskannya, tetapi Aruna semakin liar. Sebagai lelaki normal, tubuhnya seakan terpancing dan ia membalas ciumann Aruna tanpa sadar menikmatinya. Aruna mendorong tubuh Valda sampai terbaring di sofa. Ciumann mereka sempat terlepas, tetapi Aruna melakukannya lagi dengan posisi ia di atasnya Valda. Valda tidak menyangka Aruna mampu melakukan hal seperti ini padahal dirinya terlihat lugu. Anehnya tubuh Valda tidak menolak itu, malah hawa panas menguasai tubuhnya. “Mmmmh ... ciuman pertamaku untukmu ...” cetus Aruna dengan tertawa kecil. “Jangan lakukan lagi!” Valda bangkit dari berbaringnya dan mendudukkan Aruna. Lalu ia berdiri dan merapikan pakaiannya. “Aaagghhh tampannya ... jangan tinggalkan akuuuu ...” seru Aruna manja. Valda menggelengkan kepala, Aruna sudah mulai bicara melantur. Ia memapahnya membawa ke kamar dan menidurkannya. “Lagi pula kenapa kau meneguk wine-ku?” gumam Valda. Aruna sudah memejamkan matanya, tetapi mulutnya masih melantur bicara tidak jelas. Dress yang Aruna kenakan menyingkap, itu membuat perasaan Valda tidak karuan. Rudal yang terkurung terbangun ingin melepaskan diri, ia menarik selimut dan menutupi tubuh Aruna kemudian berlalu pergi ke kamarnya. “Aku harus menyelesaikannya!” Valda berlalu ke kamar mandi. Beberapa saat berdiri di bawah shower untuk melepaskan hasratnya. Dirinya adalah lelaki sejati, ia tidak pernah merusak perempuan mana pun. Valda punya prinsip yang kuat soal itu. Keesokan harinya .... Valda bangun terlambat tidak seperti biasanya, ia tertidur begitu pulas. Ponselnya berdering sedari tadi yang membuatnya terbangun. Meraih ponselnya dan melihat kalau Haris yang menghubungi. Dia sudah menunggu di loby apartemen. “Ya Tuhan, bagaimana bisa aku terlambat seperti ini!” bangkit dari tidurnya dan bergegas mandi. Sementara itu, Aruna terbangun dengan kepala yang terasa pusing dan tiba-tiba perutnya mual. Ia bergegas ke kamar mandi dan muntah. “Sepertinya aku salah makan! Kepalaku juga keleyengan, kenapa ya?” gumam Aruna. Ia mencuci muka lalu keluar dari kamar, ia mengambil air putih dan meneguknya lalu duduk terdiam di kursi makan. Tidak lama kemudian, Valda keluar dari kamar dan menghampiri Aruna yang bengong. Ia mengambil roti dan mengolesnya dengan selai strawberry dengan tatapan tidak lepas dari Aruna. “Kau baru bangun?” tanya Valda. Aruna mengangguk lemas. "Kau kenapa?" tanya Valda ragu. ia mencoba tidak mengingat kejadian semalam. “Kepalaku pusing dan perutku mual!” jawab Aruna lemas. Valda menghabiskan rotinya lalu bangkit dari duduknya siap untuk pergi. “Kau semalam meneguk wine-ku dan kau mabuk!” ungkap Valda lalu ia bergegas pergi. Aruna menatap kepergian Valda sembari menyerap perkataannya. “Wine– Mabuk?” gumamnya. Aruna mengingat kalau dirinya meneguk minuman yang rasanya aneh dan setelah itu tidak mengingat apa-apa lagi. “Ya Tuhan, bukannya orang mabuk selalu melakukan hal yang tidak-tidak? Apa yang aku lakukan semalam? Apa aku melakukan hal aneh? Aku harus menanyakannya pada Valda!” gerutu Aruna lalu ia bangkit dari duduknya dan pergi ke kamar mengambil ponselnya dan hendak menghubungi Valda, tapi ia mengurungkan niatnya. Berpikir sejenak seraya mondar mandir. Aruna memutuskan untuk bertanya lewat pesan. “Maaf, apa aku melakukan hal aneh semalam? Lagi pula itu salahmu karena menaruh wine sembarangan di gelas yang sama!” isi pesan yang Aruna kirimkan. Valda yang baru saja sampai di kantor membuka pesan Aruna yang di terima Liam belas menit yang lalu. Kemudian senyuman tersungging di bibirnya, mengingat hal semalam bibir Aruna masih terasa. Kemudian ia membalas pesan Aruna. “Memangnya kau tidak ingat apapun?” Menunggu beberapa saat sembari memutar-mutar kursi duduknya dengan senyuman tidak lepas dari bibirnya. “Kenapa jadi aneh seperti ini perasaanku?” gumam Valda. Ponselnya berbunyi dan itu balasan dari Aruna. “Cepat katakan, apa yang aku lakukan?” isi pesannya. “Apa benar kau ingin tahu?” balas Valda. “Ya!” balasnya lagi. Valda membuka rekaman cctv semalam dan mengirimkan bagian adegan semalam kepada Aruna. Ia tertawa menyeringai. “Tuan ... kita harus pergi sekarang. Tuan ...” panggil Haris yang sedari tadi sudah mematung di hadapan Valda. “Apa?” tanya Valda menatap Haris. “Hmmm ... pagi ini kita akan pergi meeting bertemu dengan client dari Korea,” jawab Haris. Ia merasa ada yang aneh dengan bosnya itu. Valda melihat jam di tangannya lalu bangkit dan berlalu pergi di ikuti oleh Haris. Di sisi lain Aruna histeris melihat rekaman yang Valda kirimkan sampai ponselnya terlempar. Rekaman dirinya berciuman dengan Valda dan rekaman itu terpotong sampai mereka masuk kamar berdua. “Apa yang Valda lakukan padaku di dalam kamar? Aagggghhh tidak ...” Aruna memeluk erat tubuhnya sendiri. Ia merasa ternodai, merasa marah, kesal dan sedih bercampur menjadi satu. Aruna tidak bisa menahan lagi air matanya. Ia menangis di pojok tempat tidur sampai tersedu-sedu. “Valda mengatakan padaku tidak akan macam-macam, tapi kenapa dia memanfaatkan situasiku yang seperti itu?” gerutu Aruna. Aruna tidak mengamati video itu dengan jelas. Padahal kenyataannya Arunalah yang mulai lebih dulu. Setelah selesai meeting, Valda kembali ke kantor. Ia mengecek ponselnya dan tidak mendapatkan pesan balasan dari Aruna. “Kemana dia?” gumamnya. “Apa ada sesuatu?” tanya Haris. Ia menyadari ada sedikit yang aneh dari bosnya itu. “Tidak ada. Jadwalku selanjutnya apa?” tanya Valda. “Tidak ada jadwal keluar lagi. Eh iya nanti malam jangan lupa acara makan malam bersama Tuan besar dan Nyonya,” jawab Haris. “Haduh aku malas!” ujar Valda tidak semangat. “Kalau tidak datang kemungkinan besar akan terjadi perjodohan, jadi saya sarankan untuk datang bersama Aruna.” Haris mengingatkan. “Kau benar! Baiklah, aku akan pergi bersama Aruna. Kau pergilah!” suruhnya. Haris berlalu pergi. Valda kembali mengecek ponselnya dan tidak mendapati balasan dari Aruna. Kemudian ia mengecek cctv dari ponselnya. Tidak menemukan keberadaannya di luar kamar, lalu ia mengecek cctv yang ada di dalam kamar. Awalnya ia ragu-ragu, tetapi takut terjadi apa-apa padanya. Ia melihat Aruna tergeletak di pinggir tempat tidur dan tidak bergerak. “Aruna!” Bangkit dari duduknya dan bergegas pergi. Haris melihat kepergian Valda dan mengikutinya. “Tuan, anda akan pergi kemana?” tanyanya. “Oh aku akan pulang dulu, sepertinya terjadi sesuatu pada Aruna. Kau tetap di kantor saja,” ucap Valda. Kemudian ia pergi melajukan mobilnya. Sesampainya di apartemen. Valda bergegas ke kamar Aruna dan mendekatinya. “Aruna ...” ia membangunkannya. Aruna membuka matanya lalu terduduk dan menatap Valda dengan mata sembabnya. “Kau tidak pingsan?” tanya Valda. Aruna mengernyitkan dahinya. “Aku melihat di cctv kau tergeletak dan aku pikir kau pingsan.” Tunjuknya pada cctv yang terpasang di pojok atas pintu. Aruna melihat ke arah yang Valda tunjuk. “Kau pasang cctv di kamar ini? Keterlaluan sekali!” Ia marah sembari memukul-mukul lengan Valda. “Bu–bukan begitu maksudku—“ “Lalu apa? Kau ternyata mesum!” tuduh Aruna. “Kau jangan berkata yang tidak-tidak padaku! Sudahlah bangun dan pergi mandi. Dirimu terlihat menyedihkan!” gerutu Valda. Aruna bangkit dari duduknya berkacak pinggang menatap Valda. “Kau menciumiku seperti itu dan membawaku ke kamar. Apa yang kau lakukan padaku di dalam kamar?” ungkap Aruna. Valda menghela nafas panjang dan kembali menunjukkan rekaman cctv itu. Ia menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya, ia juga menunjukkan kalau dirinya tidak lama di kamar Aruna. “Kau yang tiba-tiba menyosor padaku, bersikap liar dan kau menyalahkanku? Disana jelas kau yang memulai!” jelas Valda membela diri. Aruna merasa malu, dalam rekaman jelas kalau dirinya yang memulai. Ia juga heran kenapa dirinya bisa seperti itu. “Pergi mandi dan kita akan pergi keluar. Aku tunggu!” suruh Valda lalu ia keluar dari kamar Aruna. “Hehhh awas! Kau jangan mengintip-intip lagi dari cctv. Tidak sopan!” ujar Aruna. Valda tidak menghiraukan apa yang Aruna katakan. Ia duduk di sofa menunggunya lalu ia mengabari Haris kalau dirinya tidak akan kembali ke kantor. Beberapa saat menunggu akhirnya Aruna selesai dan keluar dari kamar. Dengan mengenakan t-shirt berwarna putih di padukan dengan celana jeans dan sepatu cats. Tidak lupa rambutnya ia kuncir. Gaya casual membuatnya terlihat imut dan lucu. “Aku sudah siap, kita pergi kemana?” tanya Aruna. Perasaannya sudah lebih baik dari sebelumnya walaupun ada sedikit rasa malu. “Kenapa gayamu seperti itu?” tanya Valda. “Ada yang salah?” Aruna memeriksa pakaiannya sendiri. “Urakan sekali! Bernampilanlah yang anggun agar terlihat elegan dan berkelas!” ujar Valda. Aruna mengernyit kesal. “Cepatlah!” Valda berjalan lebih dulu dan Aruna mengikutinya. Valda membawa Aruna ke sebuah salon yang besar dan ternama. Ia bertemu dengan pemiliknya yang kebetulan adalah istri temannya. Ia mengatakan ingin membuat Aruna cantik dan berbeda dari sebelumnya. Ia menyerahkan sepenuhnya pada Salma. “Aku akan di apakan?” bisik Aruna pada Valda. “Tidak perlu banyak bertanya, nikmati saja!” ujar Valda. “Haii ... ayo ikut denganku. Aku akan membuatmu menjadi lebih cantik ...” ujar Salma dan membawanya masuk. Aruna pasrah. Sebelumnya ia sering melakukan treatment bersama teman-temannya. Setahun terakhir memang tidak pernah melakukannya lagi. Dari mulai di rapikan rambutnya, facial wajah, manicure padicure dan lainnya. Setelah berjam-jam melakukan perawatan, akhirnya Aruna selesai dan Salma membawanya ke hadapan Valda yang setia menunggu. “Lihatlah, Aruna sudah selesai. Tambah cantik, bukan?” ujar Salma. Valda mendongak dan melihat Aruna. Model rambut yang baru dengan di gerai membuatnya menjadi terlihat lebih fresh di tambah dengan make up tipis, membuatnya semakin manis. Valda tersenyum tipis dan memuji kinerja salon Salma. “Aruna pada dasarnya sudah cantik, mau di buat seperti apapun akan tetap cantik,” pujinya. Aruna tersipu malu apalagi Valda menatapnya berbeda dari sebelumnya. “Semuanya berapa? Aku akan membayarnya di kasir.” Valda berjalan ke kasir. “No ... no ... tidak masalah, semuanya gratis. Ini spesial dariku dan mas Handi,” ujar Salma. “Kau serius? Tapi bisnis tetaplah bisnis,” ujar Valda. “Jangan. Tidak apa-apa, kebaikanmu pada kami tidak sepadan dengan perawatan yang aku berikan pada Aruna. It’s oke ...” ujar Salma. “Baiklah kalau begitu. Terima kasih, sampaikan salamku pada Handi. Sukses terus, kami pergi ...” Valda berlalu pergi dan Aruna mengekor padanya tanpa banyak bicara. Di dalam mobil mereka hanya terdiam, kemudian Valda menghentikan mobilnya di sebuah butik ternama. “Kemarin aku sudah belanja pakaian banyak, apa sekarang harus belanja lagi?” ujar Aruna. Ia tahu kalau itu adalah butik pakaian-pakaian perempuan. “Pakaian apa yang kau pilih? Itu tidak cocok!” Valda turun dari mobil dan Aruna mengikutinya dengan cemberut. Lagi dan lagi, Valda menyapa pemilik butik itu. Ia mengenalinya dan dia menyuruh Valda untuk mengambil pakaian yang di butuhkan tanpa membayarnya. “Hemmm ... senangnya jadi dirimu, pergi kesana kemari selalu mendapatkan gratisan!” cetus Aruna. “Kau tidak tahu apa-apa, tidak perlu banyak bicara. Aku akan pilihkan pakaian untukmu, tunggulah!” Valda berkeliling butik dan mengambil beberapa pakaian. Begitupun Aruna, ia berkeliling melihat-lihat pakaian disana dan terkejut karena harga satu baju berkisar lima sampai puluhan juta. “Sudah lama aku tidak shopping pakaian mahal. Melihat ini semua, aku terkejut!” gumamnya.Valda membawa pakaian begitu banyaknya dan memberikan semua itu pada Aruna sampai menutupi wajahnya. Tubuhnya yang mungil kesulitan memegangi pakaian sebanyak itu dan Aruna hampir saja terjatuh untung Valda menahannya. “Kau lemah sekali!” ujar Valda seraya mengambil sebagian pakaiannya. “Kau dengan tiba-tiba memberikan pakaian sebanyak ini padaku, Aissshhh ...” Aruna mendelik. Valda memasukkan pakaian-pakaian itu ke dalam ruang ganti dan Aruna masuk. Ia mencoba setiap pakaian itu. Dress-dress seksi yang Valda pilihkan untuknya. Bahu yang terbuka lebar bahkan sampai belahan dadanya terlihat dengan panjang di atas lutut. “Pakaian apa ini?” gumam Aruna. Ia keluar dan memperlihatkannya pada Valda sembari menutupi dadanya yang terbuka membuatnya tidak nyaman. “Itu tidak cocok untukmu!” cetus Valda. Aruna kembali masuk dengan kesal dan mengganti dengan pakaian lainnya. Keluar masuk dengan pakaian gonta ganti dan Valda selalu mengatakan tidak cocok. “Aku sudah mencoba
“Papa minta kalian menikah secepatnya! Untuk persiapan biar Papa yang atur. Kalian siapkan saja diri kalian!” Chand bangkit dari duduknya berlalu pergi di ikuti oleh Defria. “Pa ... Pa ... itu terlalu cepat! Kami belum siap.” Teriak Valda. Akan tetapi, Chand mengabaikannya. Melihat hal itu, Haris berpindah ke meja Valda. “Ada masalah, Tuan?” tanyanya. Valda hanya menggelengkan kepala. “Hehh ... kenapa jadi menikah?” tanya Aruna. Valda menghela nafas dan menatap Aruna. “Aku tidak tahu!” pasrahnya. “Sesuai perjanjian, hanya pacar pura-pura. Tidak lebih!” pungkas Aruna. Valda berpikir sejenak, dirinya terjebak dalam permainannya sendiri. Tidak terpikir akan seserius dan sejauh ini. “Hehhh ... kenapa kau diam saja?” Aruna menepuk lengan Valda. Valda tersadar. “Aku akan memikirkannya lagi nanti. Ayo pulanglah!” ajaknya. “Aku lapar. Kita disini belum makan sama sekali,” ujar Aruna seraya memegangi perutnya. Valda kembali duduk lalu membuka buku menu. Ia memes
“Kau gila!” cetus Valda. “Ti–tidak ... jangan berpikiran macam-macam terhadap kami. Saya sudah menikah dan punya anak perempuan usia tiga tahun,” elak Haris. Aruna menatap Valda tajam. “Apa? Bisa-bisanya kau menuduhku seperti itu. Gila ...” cerca Valda. “Ya lagi pula dirimu seperti apa yang aku katakan tadi, tapi tidak punya pacar. Padahal aku pikir orangtuamu tidak ada salahnya mencarikanmu jodoh yang setara. Jika tidak ingin di jodohkan, gampang bagimu untuk mencari wanita yang setara. Kalau bukan penyuka sesama, ya apalagi?” tutur Aruna. Valda gemas dengan bibir mungil Aruna yang sedari tadi nyerocos tidak hentinya. Ia mendekat padanya dan tanpa aba-aba melahap bibir mungil itu dengan bibirnya. Membuat Aruna terkejut ia meremas bantal sofa di sampingnya. Haris tidak kalah terkejutnya, ia bangkit dari duduknya seraya memalingkan wajah dan berlalu pergi meninggalkan mereka berdua. Valda begitu menikmatinya, bibir Aruna seakan menjadi candu yang terngiang-ngiang.
“Mobil siapa itu?” sentak Karin pada sopir. Aruna melihat Valda dan Haris keluar dari mobil. Ia merasa sedikit lega dan tenang. “Siapa mereka?” “Tidak tahu, nyonya,” jawab sopir. “Kalian turunlah dan tanya ada perlu apa,” suruh Karin pada kedua preman itu. Dua preman itu menghadapi Valda. Mereka terlihat bicara serius dan Karin penasaran lalu turun dari mobil. “Kau diam disini!” ucapnya pada Aruna. “Tunggu, Mami ...” Aruna ikut turun karena takut terjadi hal yang tidak di inginkan. “Kau diam di mobil, kenapa kau ikut turun?” sentak Karin. “Aruna ...” panggil Valda. Mendengar panggilan itu, Karin mendekat pada Valda. “Siapa kau? Menghentikan mobil saya seenaknya! Kau mengenali Aruna?” “Kau yang siapa? Kenapa kau membawa Aruna?” tanya Valda. “Ini kesempatan bagus, mungkin Tuhan memang mengirimkan Valda untuk menyelamatkanku dari ibu tiriku. Hmmm ...” batin Aruna mengesampingkan kejadian semalam. “Saya ibunya Aruna! Ya terserah saya kalau mau membawanya
Aruna terdiam sejenak sembari menatap Valda, ia ragu menceritakan tentang keluarganya. “Katakan saja, siapa tahu aku bisa membantumu,” ucap Valda. “Emmmh ... ya memang aku bukan orang susah. Mobil yang ibu tiriku pakai, itu mobil peninggalan Papiku dan masih ada dua mobil lagi di rumah. Papiku dulunya punya banyak bisnis, tapi kata ibu tiriku setelah meninggal sebagian bisnis Papi di jual untuk membayar hutang-hutang yang di tinggalkan. Termasuk rumah besar kenangan yang dulu aku tinggali bersama Mami dan Papi juga sudah terjual,” jelas Aruna. Valda cukup memahaminya, bukan hal aneh jika dalam bisnis ada hutang piutang. “Bisnis apa Papimu? Siapa tahu aku mengetahuinya,” tanya Valda. Aruna hanya menggelengkan kepala. “Kau ini sebagai anak kok tidak tahu!” Valda mengernyit. “Ya aku baru menyadarinya sekarang, ternyata Papi menyuruhku untuk sekolah bisnis agar aku bisa meneruskan bisnisnya. Tetapi, dulu aku tidak pernah mau sekolah bisnis dan kekeh dengan keinginanku
Valda dan Aruna memasuki rumah besar itu. Nuansa putih gold membuat rumah terlihat mewah di tambah dengan ornamen barang-barang mahal. “Rumah ini sama persis dengan rumahku yang dulu,” gumam Aruna. “Jangan membuat masalah! Bersikaplah anggun ...” ucap Valda. Kedatangan mereka tidak di sambut baik oleh Defria dan Chand. Mereka hanya duduk diam. “Ma, Pa, kami datang,” ucap Valda. Lalu mereka duduk di sofa dengan tangan tetap bergandengan. “Mau ngapain kalian datang kemari?” tanya Defria ketus. “Kami datang kemari ingin menyampaikan kepada kalian kalau kami siap menikah,” ungkap Valda. Defria terkejut, tapi Chand sudah menduga ini akan terjadi dan wajahnya datar tanpa ekspresi. “Pa, bagaimana ini?” bisik Defria. “Hmmm ...” Chand mendengus kesal lalu ia bangkit dari duduknya. “Baiklah kalau memang itu keputusan kalian, tapi setelah menikah kalian harus tinggal di rumah ini!” ujarnya. Valda dan Aruna saling melihat. Bagaimana mungkin mereka tinggal di rumah ini
“Apa yang kau lakukan, Valda?” Defria bergegas membangunkan Delova. "Aku tidak apa-apa, Ma." Valda tidak menghiraukannya, ia mendekati Aruna mengangkat tubuhnya ke dalam pangkuannya. “Aruna ... bangunlah!” ujarnya. Kemudian ia bergegas memberinya nafas buatan dan tidak lama Aruna tersadar. Terbatuk dengan air keluar dari mulutnya. Uhuuuk ... uhuuukkk .... “Kau tidak apa-apa?” tanya Valda sembari menepuk-nepuk punggung Aruna. Aruna melihat semua orang dan menatap Elisha dengan tajam. “Apa yang terjadi, bagaimana bisa kau jatuh ke kolam renang?” tanya Valda lagi. Aruna melihat kalau Elisha tidak merasa bersalah. Wajahnya biasa saja malah seperti menantang dirinya. “A–aku terpeleset dan aku tidak bisa berenang,” jawab Aruna berbohong. Ia melihat Delova yang basah kuyup dan Valda keadaan kering. “Halah ... kau ini membuat heboh saja! Berenang saja tidak bisa!” cetus Defria ketus. Chand tidak banyak bicara dan melengos pergi begitu saja. “Bibi, sepertin
“Kau cemburu, yaaa ...” goda Aruna seraya menarik turunkan alisnya. “Jangan-jangan kau jatuh cinta padaku? Apa kau jatuh cinta pada pandangan pertama?” ia semakin menggodanya. “Jangan terlalu percaya diri!” Valda mendelik kemudian masuk ke kamar mandi membanting pintu begitu kencang. Aruna cekikikan menahan tawanya. “Cepatlah ganti pakaianmu, nanti aku tinggal kau!” Teriak Valda dari kamar mandi. Aruna menutup mulutnya dengan tangan dan berhenti tertawa. Lalu ia masuk ke ruangan pakaian untuk mengganti bajunya. Alangkah terkejutnya saat masuk ke ruangan itu. Pakaian berjajar rapi sesuai jenis dan warnanya, sepatu berbagai model dan merek, tas-tas kerja, koper-koper besar berjajar, dasi, sabuk tersusun rapi seperti masuk ke dalam toko. “Ya Tuhan, sepertinya isi lemari ini mengalahkan isi lemari perempuan. Belum lagi di apartemen pakaian yang sehari-hari dia pakai, pasti banyak juga karena aku melihat Valda selalu memakai pakaian yang berbeda,” gumam Aruna seraya mengge