Valda membawa pakaian begitu banyaknya dan memberikan semua itu pada Aruna sampai menutupi wajahnya. Tubuhnya yang mungil kesulitan memegangi pakaian sebanyak itu dan Aruna hampir saja terjatuh untung Valda menahannya.
“Kau lemah sekali!” ujar Valda seraya mengambil sebagian pakaiannya. “Kau dengan tiba-tiba memberikan pakaian sebanyak ini padaku, Aissshhh ...” Aruna mendelik. Valda memasukkan pakaian-pakaian itu ke dalam ruang ganti dan Aruna masuk. Ia mencoba setiap pakaian itu. Dress-dress seksi yang Valda pilihkan untuknya. Bahu yang terbuka lebar bahkan sampai belahan dadanya terlihat dengan panjang di atas lutut. “Pakaian apa ini?” gumam Aruna. Ia keluar dan memperlihatkannya pada Valda sembari menutupi dadanya yang terbuka membuatnya tidak nyaman. “Itu tidak cocok untukmu!” cetus Valda. Aruna kembali masuk dengan kesal dan mengganti dengan pakaian lainnya. Keluar masuk dengan pakaian gonta ganti dan Valda selalu mengatakan tidak cocok. “Aku sudah mencoba semua bajunya dan kau bilang semuanya tidak cocok. Aku capek iiih ...” keluh Aruna dengan wajah cemberut. Valda kembali berkeliling dan mendapatkan mini dress berwarna hitam bagian bahu tertutup. “Ini coba lagi!” Valda menyodorkannya. “Ini yang terakhir, aku tidak mau mencoba baju lagi!” Aruna mengambilnya dengan ketus. Menunggu beberapa saat dan akhirnya Aruna keluar. Dress cantik membalut tubuhnya yang ramping. Terlihat pas dan cantik tidak berlebihan, tapi tidak sederhana juga. Valda bangkit dari duduknya dan tersenyum tipis. “Ya ini lumayan!” “Lumayan ... lumayan ...” gerutu Aruna kesal. “Sekarang kita pergi untuk menemui orang tuaku,” ujar Valda. “Acara apa?” tanya Aruna. Ia mengikuti langkah Valda yang pergi menemui pemilik butik. “Acara makan malam saja, nanti kau jangan lupa mengaku jadi pacarku dan bersikap manislah!” jawab Valda. “Oke ... aku akan bekerja dengan baik!” ucap Aruna. Setelah pamit pada pemilik butik, mereka pergi ke restoran yang sudah Chand kabarkan. Disana sudah ada Haris yang menunggu mereka. “Kau amati dari sana, saat aku membutuhkanmu akan mudah memanggil.” Tunjuk Valda pada meja di ujung kanan. Haris mengangguk dan berlalu pergi. “Apa kau selalu pergi kemana pun bersama Haris?” tanya Aruna. “Tentu saja, dia asisten pribadiku!” jawab Valda. “Termasuk persoalan pribadi?” tanya Aruna. “Tidak perlu banyak tanya. Nanti kau bisa mengatakan kalau dirimu anak pengusaha besar dan orang tuamu mengurus bisnis di luar negeri,” ujar Valda. “Aku tidak mau berbohong! Jawab jujur saja ...” ucap Aruna menolak. “Katakan saja sesuai perintahku! Mereka datang ...” ujar Valda. Chand dan Defria tiba dengan heran karena melihat Valda datang bersama Aruna. Padahal Mereka mengundang relasi Chand dan membawa putrinya. “Kau apa-apaan membawa perempuan ini?” tegur Defria. “Valda ... kau mau cari masalah?” timpal Chand. Aruna hendak mencium tangan orang tua Valda, tapi mereka mengabaikannya. Ia menarik tangannya kembali dan menyapanya dengan sopan membungkukkan badannya. “Selamat malam, om, Tante ...” ucapnya. Seperti bukan pura-pura, di abaikan rasanya tidak enak. “Papa Mama jangan seperti itu pada Aruna!” ujar Valda. “Kau tahu malam ini akan ada pertemuan dengan paman Alex dan putrinya dan kau malah membawa perempuan ini?” ungkap Chand seraya menunjuk Aruna. Aruna mendengar apa yang mereka bicarakan. “Oh Valda membawaku kemari untuk menolak perjodohan. Hmmm dasar!” batin Aruna. “Aku sudah mengatakan berkali-kali tidak mau di jodohkan. Aku punya pacar, Aruna ...” jelas Valda. “Kau ini benar-benar! Lihatlah, Pama Alex tiba dengan putrinya ...” ujar Chand lalu ia pergi menyambutnya. Valda duduk di samping Aruna dan menggenggam tangannya agar meyakinkan semua orang. Aruna melihat tangannya lalu menatap Valda. Perasaannya menjadi aneh dan tangannya terasa dingin. Suasana menjadi canggung, semua orang sudah duduk setelah saling menyapa. Alex sudah memfokuskan diri pada Valda dan Aruna yang begitu dekat. Itu membuatnya bertanya-tanya. “Apakah ini ada yang salah? Kau mengatakan akan menjodohkan anak kita, tapi anakmu punya perempuan lain. Bagaimana ini?” ujarnya. “Sebelumnya maafkan aku, ini di luar apa yang aku harapkan—“ Chand tidak bisa bicara banyak. “Haaa ... ini penghinaan bagiku!” ucap Alex. “Tunggu, bukan maksud kami seperti itu. Ya, kami akui kami yang salah, tapi mohon maafkan kami ...” timpal Defria. Walaupun perjodohan tidak terjadi, hubungan relasi baik tidak boleh putus begitu saja. “Dia sudah ada perempuan lain, memangnya aku perempuan apa, pa. Ayo pergi! Untuk apa disini memalukan.” Anak perempuan Alex melengos pergi meninggalkan meja. “Aku tidak terima putriku di permalukan seperti ini. Hubungan bisnis kita berakhir sampai disini, perusahaanku tidak akan pernah mengambil kain dari pabrikmu lagi! Nanti akan aku kirimkan berkas pembatalan kerja samanya,” pungkas Alex seraya berlalu pergi. Chand bangkit dari duduknya mengejar Alex. “Lihatlah apa yang kamu lakukan!” ujar Defria pada Valda. “Kenapa Mama menyalahkanku?” ujar Valda. “Gara-gara kamu menolak perjodohan tadi, pak Alex membatalkan kerja samanya. Pasti Papa akan marah padamu!” jelas Defria. Aruna merasa bersalah, tapi melihat Valda dia tidak terlihat berdosa. Tetap santai dan datar dengan sedikit senyuman tersungging di bibirnya. “Aku sudah banyak mendatangkan client dan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar. Kehilangan satu relasi akan aku ganti puluhan relasi lainnya!” sombong Valda. “Kau ini benar-benar keras kepala sama dengan Papamu!” cetus Defria merengut. Aruna hanya diam menyimak mereka bicara dan menggelengkan kepala melihat Valda yang bersikap sombong. Defria mendelik pada Aruna tidak menyapanya sama sekali. Aruna melempar senyuman pun di abaikannya. Valda melihat itu dan menggenggam erat tangan Aruna. Ia bersikap seperti kekasih sungguhan pada umumnya. “Santai saja!” bisik Valda. Aruna mengangguk dan tersenyum. Tidak lama kemudian, Chand kembali dengan wajah maramnya. Valda tahu kalau Papanya itu sangat marah. “Ini semua gara-gara dirimu! Alex pergi dan membatalkan kerja sama yang sudah terjalin dari lama,” ujarnya. “Satu relasi hilang akan aku datangkan puluhan relasi lainnya!” cetus Valda santai. Chand hanya diam, memang tidak dapat di pungkiri kalau Valda mampu melakukan itu. Banyak relasi yang datang karena Valda. “Sudahlah, jangan jodoh-jodohkanku dengan siapapun lagi. Aku sudah punya pacar dan Aruna orang yang aku cintai!” jelas Valda seraya mengeratkan genggamannya. Aruna hanya diam menunduk. Merasa tidak enak, tapi ini harus ia lakukan. “Kau selalu mengatakan tidak percaya cinta? Sejak kapan kau berubah?” ujar Chand. Valda menatap Aruna dengan tersenyum seraya berkata, “semenjak aku bertemu dengan Aruna. Aku percaya lagi dengan cinta dan aku sangat mencintainya!” Aruna baru pertama kali ini menyaksikan seorang pria mengatakan hal seperti ini secara langsung kepadanya. Hatinya jadi bergetar dan tangannya terasa dingin. Ia terbawa perasaan. “Memang dia siapa? Anak siapa? Bisa-bisanya seorang Valda luluh,” cetus Chand. “Dia—“ Valda bicara terjeda karena Aruna menarik tangannya. “Saya bukan siapa-siapa, hanya orang biasa dan kedua orang tuaku sudah meninggal,” cetus Aruna jujur. Valda mengernyitkan dahinya menatap Aruna karena ia tidak mengatakan apa yang di suruhnya. “Kau anak yatim piatu?” tanya Chand. Aruna mengangguk. Chand menatap Valda penuh amarah. “Bisa-bisanya kau memilih perempuan seperti ini? Apa kau tidak berpikir panjang?” cercanya. Valda melepaskan nafas berat, ia kesal pada Aruna karena tidak bicara sesuai apa yang di katakannya. Akan tetapi, dirinya harus membela Aruna di hadapan Chan dan Defria. “Itulah cinta, tidak pandang kasta atau rupa. Pokoknya aku tidak ingin di jodoh-jodohkan lagi dengan siapa pun dan untuk kali ini Papa tidak bisa memisahkan kami!” jelas Valda. “Om, Tante, maaf karena diriku kalian bertengkar dengan Valda. Ya, aku sadar mungkin diriku tidaklah setara dengan kalian. Tetapi cinta kita sudah bersatu, aku harap kalian mengerti.” Aruna mengikuti dramanya. Defria mendelik dan tidak ingin bicara dengan Aruna begitu pun Chand yang mengabaikannya. “Valda ... kau harus mendengarkan Papa. Atau—“ “Atau apa?” Valda memotong pembicaraan Chand. “Papa mau mengancamku mencelakai Aruna atau akan mencoretku dari daftar warisan? Atau menendang ku dari perusahaan? Silahkan!” sambungnya santai. Chand hanya terdiam, ia tidak mungkin melakukan itu. Menendang Valda sama saja menghancurkan perusahaannya sendiri. Banyak perusahaan pesaing yang iri karena adanya Valda. “Aku tidak mau di jodoh-jodohkan lagi!” tegasnya. Valda bersikap santai, ia tahu kalau dirinya adalah aset berharga bagi perusahaan. Chand tidak akan mungkin menendangnya. Kalau pun itu terjadi, ia tidak akan kesusahan atau menjadi gelandangan. Dari pengalamannya terdahulu selalu di ancam akan di tendang, ia mulai membangun bisnis sendiri. Dari mulai tempat gym, penyewaan lapangan olahraga dan penyewaan gedung serbaguna. Chand mengatur nafasnya. “Kalau begitu kalian secepatnya menikah!” cetusnya. Itu membuat Valda dan Aruna terkejut. Valda tidak berpikir kalau Chand akan putus asa seperti itu dan memintanya menikah dengan Aruna. Mereka saling melihat dan itu tidak ada dalam skenario.“Papa minta kalian menikah secepatnya! Untuk persiapan biar Papa yang atur. Kalian siapkan saja diri kalian!” Chand bangkit dari duduknya berlalu pergi di ikuti oleh Defria. “Pa ... Pa ... itu terlalu cepat! Kami belum siap.” Teriak Valda. Akan tetapi, Chand mengabaikannya. Melihat hal itu, Haris berpindah ke meja Valda. “Ada masalah, Tuan?” tanyanya. Valda hanya menggelengkan kepala. “Hehh ... kenapa jadi menikah?” tanya Aruna. Valda menghela nafas dan menatap Aruna. “Aku tidak tahu!” pasrahnya. “Sesuai perjanjian, hanya pacar pura-pura. Tidak lebih!” pungkas Aruna. Valda berpikir sejenak, dirinya terjebak dalam permainannya sendiri. Tidak terpikir akan seserius dan sejauh ini. “Hehhh ... kenapa kau diam saja?” Aruna menepuk lengan Valda. Valda tersadar. “Aku akan memikirkannya lagi nanti. Ayo pulanglah!” ajaknya. “Aku lapar. Kita disini belum makan sama sekali,” ujar Aruna seraya memegangi perutnya. Valda kembali duduk lalu membuka buku menu. Ia memes
“Kau gila!” cetus Valda. “Ti–tidak ... jangan berpikiran macam-macam terhadap kami. Saya sudah menikah dan punya anak perempuan usia tiga tahun,” elak Haris. Aruna menatap Valda tajam. “Apa? Bisa-bisanya kau menuduhku seperti itu. Gila ...” cerca Valda. “Ya lagi pula dirimu seperti apa yang aku katakan tadi, tapi tidak punya pacar. Padahal aku pikir orangtuamu tidak ada salahnya mencarikanmu jodoh yang setara. Jika tidak ingin di jodohkan, gampang bagimu untuk mencari wanita yang setara. Kalau bukan penyuka sesama, ya apalagi?” tutur Aruna. Valda gemas dengan bibir mungil Aruna yang sedari tadi nyerocos tidak hentinya. Ia mendekat padanya dan tanpa aba-aba melahap bibir mungil itu dengan bibirnya. Membuat Aruna terkejut ia meremas bantal sofa di sampingnya. Haris tidak kalah terkejutnya, ia bangkit dari duduknya seraya memalingkan wajah dan berlalu pergi meninggalkan mereka berdua. Valda begitu menikmatinya, bibir Aruna seakan menjadi candu yang terngiang-ngiang.
“Mobil siapa itu?” sentak Karin pada sopir. Aruna melihat Valda dan Haris keluar dari mobil. Ia merasa sedikit lega dan tenang. “Siapa mereka?” “Tidak tahu, nyonya,” jawab sopir. “Kalian turunlah dan tanya ada perlu apa,” suruh Karin pada kedua preman itu. Dua preman itu menghadapi Valda. Mereka terlihat bicara serius dan Karin penasaran lalu turun dari mobil. “Kau diam disini!” ucapnya pada Aruna. “Tunggu, Mami ...” Aruna ikut turun karena takut terjadi hal yang tidak di inginkan. “Kau diam di mobil, kenapa kau ikut turun?” sentak Karin. “Aruna ...” panggil Valda. Mendengar panggilan itu, Karin mendekat pada Valda. “Siapa kau? Menghentikan mobil saya seenaknya! Kau mengenali Aruna?” “Kau yang siapa? Kenapa kau membawa Aruna?” tanya Valda. “Ini kesempatan bagus, mungkin Tuhan memang mengirimkan Valda untuk menyelamatkanku dari ibu tiriku. Hmmm ...” batin Aruna mengesampingkan kejadian semalam. “Saya ibunya Aruna! Ya terserah saya kalau mau membawanya
Aruna terdiam sejenak sembari menatap Valda, ia ragu menceritakan tentang keluarganya. “Katakan saja, siapa tahu aku bisa membantumu,” ucap Valda. “Emmmh ... ya memang aku bukan orang susah. Mobil yang ibu tiriku pakai, itu mobil peninggalan Papiku dan masih ada dua mobil lagi di rumah. Papiku dulunya punya banyak bisnis, tapi kata ibu tiriku setelah meninggal sebagian bisnis Papi di jual untuk membayar hutang-hutang yang di tinggalkan. Termasuk rumah besar kenangan yang dulu aku tinggali bersama Mami dan Papi juga sudah terjual,” jelas Aruna. Valda cukup memahaminya, bukan hal aneh jika dalam bisnis ada hutang piutang. “Bisnis apa Papimu? Siapa tahu aku mengetahuinya,” tanya Valda. Aruna hanya menggelengkan kepala. “Kau ini sebagai anak kok tidak tahu!” Valda mengernyit. “Ya aku baru menyadarinya sekarang, ternyata Papi menyuruhku untuk sekolah bisnis agar aku bisa meneruskan bisnisnya. Tetapi, dulu aku tidak pernah mau sekolah bisnis dan kekeh dengan keinginanku
Valda dan Aruna memasuki rumah besar itu. Nuansa putih gold membuat rumah terlihat mewah di tambah dengan ornamen barang-barang mahal. “Rumah ini sama persis dengan rumahku yang dulu,” gumam Aruna. “Jangan membuat masalah! Bersikaplah anggun ...” ucap Valda. Kedatangan mereka tidak di sambut baik oleh Defria dan Chand. Mereka hanya duduk diam. “Ma, Pa, kami datang,” ucap Valda. Lalu mereka duduk di sofa dengan tangan tetap bergandengan. “Mau ngapain kalian datang kemari?” tanya Defria ketus. “Kami datang kemari ingin menyampaikan kepada kalian kalau kami siap menikah,” ungkap Valda. Defria terkejut, tapi Chand sudah menduga ini akan terjadi dan wajahnya datar tanpa ekspresi. “Pa, bagaimana ini?” bisik Defria. “Hmmm ...” Chand mendengus kesal lalu ia bangkit dari duduknya. “Baiklah kalau memang itu keputusan kalian, tapi setelah menikah kalian harus tinggal di rumah ini!” ujarnya. Valda dan Aruna saling melihat. Bagaimana mungkin mereka tinggal di rumah ini
“Apa yang kau lakukan, Valda?” Defria bergegas membangunkan Delova. "Aku tidak apa-apa, Ma." Valda tidak menghiraukannya, ia mendekati Aruna mengangkat tubuhnya ke dalam pangkuannya. “Aruna ... bangunlah!” ujarnya. Kemudian ia bergegas memberinya nafas buatan dan tidak lama Aruna tersadar. Terbatuk dengan air keluar dari mulutnya. Uhuuuk ... uhuuukkk .... “Kau tidak apa-apa?” tanya Valda sembari menepuk-nepuk punggung Aruna. Aruna melihat semua orang dan menatap Elisha dengan tajam. “Apa yang terjadi, bagaimana bisa kau jatuh ke kolam renang?” tanya Valda lagi. Aruna melihat kalau Elisha tidak merasa bersalah. Wajahnya biasa saja malah seperti menantang dirinya. “A–aku terpeleset dan aku tidak bisa berenang,” jawab Aruna berbohong. Ia melihat Delova yang basah kuyup dan Valda keadaan kering. “Halah ... kau ini membuat heboh saja! Berenang saja tidak bisa!” cetus Defria ketus. Chand tidak banyak bicara dan melengos pergi begitu saja. “Bibi, sepertin
“Kau cemburu, yaaa ...” goda Aruna seraya menarik turunkan alisnya. “Jangan-jangan kau jatuh cinta padaku? Apa kau jatuh cinta pada pandangan pertama?” ia semakin menggodanya. “Jangan terlalu percaya diri!” Valda mendelik kemudian masuk ke kamar mandi membanting pintu begitu kencang. Aruna cekikikan menahan tawanya. “Cepatlah ganti pakaianmu, nanti aku tinggal kau!” Teriak Valda dari kamar mandi. Aruna menutup mulutnya dengan tangan dan berhenti tertawa. Lalu ia masuk ke ruangan pakaian untuk mengganti bajunya. Alangkah terkejutnya saat masuk ke ruangan itu. Pakaian berjajar rapi sesuai jenis dan warnanya, sepatu berbagai model dan merek, tas-tas kerja, koper-koper besar berjajar, dasi, sabuk tersusun rapi seperti masuk ke dalam toko. “Ya Tuhan, sepertinya isi lemari ini mengalahkan isi lemari perempuan. Belum lagi di apartemen pakaian yang sehari-hari dia pakai, pasti banyak juga karena aku melihat Valda selalu memakai pakaian yang berbeda,” gumam Aruna seraya mengge
Valda menidurkan Aruna di kamarnya. Tidak ingin terjadi hal yang tidak di inginkan, ia bergegas keluar dan pergi ke kamarnya. "Kenapa Aruna membuat perasaanku selalu tidak karuan?" batin Valda. Keesokan harinya .... Aruna benar-benar tertidur begitu lelap. Terbangun di pagi hari dan menyadari kalau dirinya berada di kamar. Menatap keluar jendela dengan mata memicing. “Emmm sudah pagi. Perasaan semalam aku tertidur di mobil Valda— ya Tuhan ... apa Valda yang membawaku ke kamar?” Aruna bergumam sembari mengecek pakaiannya. “Sepertinya tidak terjadi yang macam-macam. Semenjak kejadian ciuman itu, aku takut Valda melakukan hal yang tidak-tidak. Walau pun mulutnya mengatakan tidak tertarik, tapi bisa saja terjadi seperti waktu itu!” gumamnya. Ia berlalu pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sementara itu, Valda sudah bergelut di dapur. Setiap pagi ia selalu membuat sarapan sehat sendiri. Ia tidak lupa membuatkannya juga untuk Aruna. Setelah selesai menyajikannya