“Papa minta kalian menikah secepatnya! Untuk persiapan biar Papa yang atur. Kalian siapkan saja diri kalian!” Chand bangkit dari duduknya berlalu pergi di ikuti oleh Defria.
“Pa ... Pa ... itu terlalu cepat! Kami belum siap.” Teriak Valda. Akan tetapi, Chand mengabaikannya. Melihat hal itu, Haris berpindah ke meja Valda. “Ada masalah, Tuan?” tanyanya. Valda hanya menggelengkan kepala. “Hehh ... kenapa jadi menikah?” tanya Aruna. Valda menghela nafas dan menatap Aruna. “Aku tidak tahu!” pasrahnya. “Sesuai perjanjian, hanya pacar pura-pura. Tidak lebih!” pungkas Aruna. Valda berpikir sejenak, dirinya terjebak dalam permainannya sendiri. Tidak terpikir akan seserius dan sejauh ini. “Hehhh ... kenapa kau diam saja?” Aruna menepuk lengan Valda. Valda tersadar. “Aku akan memikirkannya lagi nanti. Ayo pulanglah!” ajaknya. “Aku lapar. Kita disini belum makan sama sekali,” ujar Aruna seraya memegangi perutnya. Valda kembali duduk lalu membuka buku menu. Ia memesan beberapa makanan untuk mereka santap. Aruna tidak banyak bicara, ia tahu kalau Valda memikirkan perihal pernikahan itu. Begitu pun Haris, ia tidak banyak bertanya. Pesanan datang dan mereka makan malam bersama. Valda hanya makan beberapa suap dan berlalu pergi ingin menunggu di luar. “Apa yang terjadi? Aku mendengar soal pernikahan,” tanya Haris pada Aruna yang fokus pada makanannya. “Papa Valda meminta kami untuk menikah!” jawabnya dengan mulut penuh makanan. “Telan dulu makananmu itu. Menjijikkan!” cetus Haris. Aruna menelan makanannya dan meneguk minuman di hadapannya. “Aku akan bekerja sesuai perjanjian, hanya pacar pura-pura!” ujarnya. “Hmm ....” Selesai makan, Aruna dan Haris berlalu pergi. “Dimana Valda?” tanya Aruna. “Mungkin di mobil,” jawabnya. Saat keluar dari restoran, Aruna melihat Karin dan Nanda keluar dari mobil. Mereka berjalan menuju ke restoran itu. Ia panik gelagapan melihat sekitar lalu berlari sembari menunduk agar tidak bertemu dengan mereka. “Heiii kau mau kemana?” panggil Haris heran. Ia berjalan mengejar Aruna dan berpapasan dengan Karin juga Nanda. Aruna membuang nafas lega. Ia bersembunyi di balik tanaman yang cukup gelap. “Untung saja aku cepat bersembunyi, kalau tidak– ibu tiriku akan membawaku pulang dan menikahkanku dengan pria tua!” gerutunya. Valda yang sedari tadi berdiri di belakang Aruna, menepuk pundaknya dan itu membuat Aruna terkejut. Berbalik badan dengan tiba-tiba membuat keseimbangannya goyah dan terjatuh ke dalam pelukan Valda. “Kau mengejutkanku!” gumam Aruna. Lalu ia mendongak menatap Valda. Dalam kegelapan, ketampanannya masih terlihat jelas seakan wajahnya bercahaya. Valda membenarkan tubuh Aruna sampai berdiri tegak. “Kau sedang apa?” tanyanya. “A–aku sedang melihat seseorang!” jawabnya sembari melihat ke arah restoran. “Siapa?” Valda melihat ke arah Aruna melihat lalu Haris yang muncul. “Bu–bukan siapa-siapa kok! Katanya mau pulang?” ujar Aruna. Valda berlalu ke mobilnya dan Aruna bergegas mengikuti. “Haris, ikutlah ke apartemen.” Pinta Valda. “Baik, Tuan.” Angguk Haris. Valda melajukan mobilnya dan Haris mengikuti dari belakang. Di dalam mobil, Aruna tidak bicara apapun. Melihat Valda yang begitu serius, ia takut untuk bertanya. “Wajahnya cukup menyeramkan kalau serius seperti itu. Duuh ... gimana ini? Orangtua Valda meminta untuk menikah sedangkan kita hanya pura-pura pacaran,” batinnya. Pertanyaan-pertanyaan memenuhi pikirannya, tetapi ia tahan untuk tidak bertanya sekarang. Sementara itu, Chand dan Defria sampai di rumah. Defria tidak hentinya mengomel karena tidak setuju soal pernikahan Valda dan Aruna. “Papa ... jawab dong!” “Apa?” ujar Chand. “Papa kenapa malah menyuruh mereka menikah? Apa Papa mau punya menantu yatim piatu dan apa kata orang nanti?” tanyanya. “Ya tidaklah! Kita harus punya menantu yang setara dari keluarga yang sama seperti kita derajatnya,” jawab Chand. “Lalu kenapa malah menyuruh mereka menikah? Aku gak mau punya menantu seperti perempuan itu. Kampungan! Apa kata teman-temanku nanti?” cerocos Defria. “Kau tenang saja! Pernikahan mereka tidak akan pernah terjadi. Valda tidak akan mau menikah, dia tidak serius dengan perempuan itu. Valda tidak percaya cinta,” jelas Chand. “Aku harap apa yang kamu katakan itu benar. Aku tidak bisa membayangkan jika dia menjadi menantuku!” ujar Defria. “Tapi putri pak Alex tidak mungkin mau setelah pertemuan tadi,” sambungnya. “Masih banyak gadis yang akan aku pilihkan untuk Valda. Tenang saja,” ujarnya santai. Ia berusaha tetap tenang walau pun sebenarnya ada rasa was-was karena Chand tahu kalau Valda sama keras kepala dengan dirinya. Bukan tidak mungkin jika Valda memaksakan menikah dengan Aruna. “Sepertinya kalian sedang membahas hal serius?” tiba-tiba Delova muncul dari pintu depan. Dengan tangan menenteng helm dan jaketnya. Chand melihat kedatangan Delova, tapi mengabaikannya. “Kau baru pulang, sayang?” sambut Defria lembut. “Iya, Ma. Ada apa?” tanyanya. Delova sudah biasa di abaikan oleh sang Papa. Dirinya di anggap tidak berguna, bahkan di anggap tidak ada karena tidak punya kemampuan dalam urusan bisnis. Bukan karena kurangnya pendidikan, tapi Delova memang tidak mampu akan hal itu. Pelajaran-pelajaran formal tentang bisnis tidak masuk di otaknya. Dirinya lebih condong ke arah fisik olahraga. Banyak prestasi yang ia dapat di bidang olahraga. Ia juga pernah bergabung menjadi tim basket nasional selama tiga tahun dengan segudang prestasi dan sekarang ia memilih menjadi seorang pembalap. Delova dan Valda begitu berbeda. Jadi, sang Papa juga membedakannya. Chand lebih menganggap Valda karena menguntungkan bagi perusahaan. “Papa meminta kakakmu untuk menikah,” jawab Defria. Beda halnya dengan Defria, dirinya memperlakukan Delova dengan manja dan lembut. Dirinyalah yang membuat Delova bertahan di rumah itu. “Perjodohan lagi?” tanya Delova. “Ya ...”angguk Defria. “Sudahlah, Pa, Ma. Tidak perlu menjodoh-jodohkan seperti itu, pernikahan itu harus di dasari cinta. Biarkan kak Valda menikah dengan pilihannya,” ucap Delova. “Kau jangan ikut campur! Kau tidak tahu apa-apa soal bisnis. Urus saja dirimu sendiri,” ketus Chand bicara tanpa melihat Delova. “Sudah sayang, sudah!” ujar Defria. “Papamu tidak salah ingin menjodohkan kakakmu karena wanita pilihan kakakmu tidaklah setara dengan kita dan anak yatim. Makanya Mama juga setuju untuk kakakmu di jodohkan dengan wanita terbaik,” sambungnya. Delova mendengus kesal dengan senyuman menyeringai. “Harusnya kalian sadar, kenapa kak Valda keluar dari rumah ini dan tidak mau tinggal bersama kalian? Ya, ini ... dari remaja yang di bicarakan perjodohan, perjodohan terus! masih untung kak Valda masih mau mengabdi di perusahaan." “Jangan mengajariku! Kau tidak ada gunanya di rumah ini jangan banyak bicara!” pungkas Chand seraya melengos pergi. Amarah Delova sudah menggebu, tapi Defria menenangkan dan menjaganya agar tidak tersulut emosi. “Sudah ... sudah ... sana pergilah ke kamarmu dan mandi. Badanmu bau matahari ...” ujar Defria bercanda. Delova tersenyum dan pergi ke kamarnya. Defria sangat penurut pada suaminya, tapi perihal Delova ia sedikit membangkang karena begitu menyayanginya. Di sisi lain .... Valda, Aruna dan Haris sampai di apartemen. Mereka duduk bertiga di sofa ruang tamu untuk berdiskusi. “Ada masalah apa, Tuan?” tanya Haris membuka obrolan. Valda menatap Aruna seraya berkata, “Papaku meminta kami untuk menikah.” Haris terdiam sejenak. “Hmmm ... lalu?” tanya Haris. “Kau ini! Kami hanya pacar pura-pura saja, bagaimana mungkin bisa menikah?” timpal Aruna tegas. “Kau diam saja dulu!” ujar Valda. Aruna mendelik kesal. “Papa mendesak untuk menikah secepatnya dan dia yang akan menyiapkan semuanya. Aku harus bagaimana?” tanya Valda. Haris menatap Valda dan Aruna bergantian. “Beri aku solusi!” desak Valda pada Haris. “Mungkin solusinya– ya hanya menikah,” cetus Haris ragu-ragu. Aruna dan Valda saling melihat. “Tidak! Itu bukan solusi, pekerjaanku hanya sebagai pacar pura-pura. Jika sudah selesai kalian bisa membayarku dan aku akan pergi!” jelas Aruna menolaknya. “Tidak bisa seperti itu! Kau terlibat dan harus ikut tanggung jawab,” cetus Valda. “Diiih ... kok gitu? Aku tidak mau menikah denganmu!” Aruna mengernyit. “Lagi pula siapa yang ingin menikah denganmu. Tidak cantik, tidak menarik, tidak kaya, tidak ada yang bisa di banggakan!” cerca Valda begitu menghinanya. Aruna mendelik kesal. “Kau memang tampan, kaya, berpendidikan tinggi, dari keluarga terpandang, tapi jomblo sampai pacar saja harus sewa,” balasnya. “Jangan-jangan, kau tidak suka perempuan?” Aruna menuduh Valda penyuka sesama jenis. Valda mengernyitkan dahinya. “Haaahhh ... jangan-jangan di antara kalian berdua juga ada sesuatu yang spesial? Berdalih bos dan asisten, tapi sebenarnya kalian—“ Aruna menatap Valda dan Haris bergantian dengan mata melotot dan mulut menganga.“Kau gila!” cetus Valda. “Ti–tidak ... jangan berpikiran macam-macam terhadap kami. Saya sudah menikah dan punya anak perempuan usia tiga tahun,” elak Haris. Aruna menatap Valda tajam. “Apa? Bisa-bisanya kau menuduhku seperti itu. Gila ...” cerca Valda. “Ya lagi pula dirimu seperti apa yang aku katakan tadi, tapi tidak punya pacar. Padahal aku pikir orangtuamu tidak ada salahnya mencarikanmu jodoh yang setara. Jika tidak ingin di jodohkan, gampang bagimu untuk mencari wanita yang setara. Kalau bukan penyuka sesama, ya apalagi?” tutur Aruna. Valda gemas dengan bibir mungil Aruna yang sedari tadi nyerocos tidak hentinya. Ia mendekat padanya dan tanpa aba-aba melahap bibir mungil itu dengan bibirnya. Membuat Aruna terkejut ia meremas bantal sofa di sampingnya. Haris tidak kalah terkejutnya, ia bangkit dari duduknya seraya memalingkan wajah dan berlalu pergi meninggalkan mereka berdua. Valda begitu menikmatinya, bibir Aruna seakan menjadi candu yang terngiang-ngiang.
“Mobil siapa itu?” sentak Karin pada sopir. Aruna melihat Valda dan Haris keluar dari mobil. Ia merasa sedikit lega dan tenang. “Siapa mereka?” “Tidak tahu, nyonya,” jawab sopir. “Kalian turunlah dan tanya ada perlu apa,” suruh Karin pada kedua preman itu. Dua preman itu menghadapi Valda. Mereka terlihat bicara serius dan Karin penasaran lalu turun dari mobil. “Kau diam disini!” ucapnya pada Aruna. “Tunggu, Mami ...” Aruna ikut turun karena takut terjadi hal yang tidak di inginkan. “Kau diam di mobil, kenapa kau ikut turun?” sentak Karin. “Aruna ...” panggil Valda. Mendengar panggilan itu, Karin mendekat pada Valda. “Siapa kau? Menghentikan mobil saya seenaknya! Kau mengenali Aruna?” “Kau yang siapa? Kenapa kau membawa Aruna?” tanya Valda. “Ini kesempatan bagus, mungkin Tuhan memang mengirimkan Valda untuk menyelamatkanku dari ibu tiriku. Hmmm ...” batin Aruna mengesampingkan kejadian semalam. “Saya ibunya Aruna! Ya terserah saya kalau mau membawanya
Aruna terdiam sejenak sembari menatap Valda, ia ragu menceritakan tentang keluarganya. “Katakan saja, siapa tahu aku bisa membantumu,” ucap Valda. “Emmmh ... ya memang aku bukan orang susah. Mobil yang ibu tiriku pakai, itu mobil peninggalan Papiku dan masih ada dua mobil lagi di rumah. Papiku dulunya punya banyak bisnis, tapi kata ibu tiriku setelah meninggal sebagian bisnis Papi di jual untuk membayar hutang-hutang yang di tinggalkan. Termasuk rumah besar kenangan yang dulu aku tinggali bersama Mami dan Papi juga sudah terjual,” jelas Aruna. Valda cukup memahaminya, bukan hal aneh jika dalam bisnis ada hutang piutang. “Bisnis apa Papimu? Siapa tahu aku mengetahuinya,” tanya Valda. Aruna hanya menggelengkan kepala. “Kau ini sebagai anak kok tidak tahu!” Valda mengernyit. “Ya aku baru menyadarinya sekarang, ternyata Papi menyuruhku untuk sekolah bisnis agar aku bisa meneruskan bisnisnya. Tetapi, dulu aku tidak pernah mau sekolah bisnis dan kekeh dengan keinginanku
Valda dan Aruna memasuki rumah besar itu. Nuansa putih gold membuat rumah terlihat mewah di tambah dengan ornamen barang-barang mahal. “Rumah ini sama persis dengan rumahku yang dulu,” gumam Aruna. “Jangan membuat masalah! Bersikaplah anggun ...” ucap Valda. Kedatangan mereka tidak di sambut baik oleh Defria dan Chand. Mereka hanya duduk diam. “Ma, Pa, kami datang,” ucap Valda. Lalu mereka duduk di sofa dengan tangan tetap bergandengan. “Mau ngapain kalian datang kemari?” tanya Defria ketus. “Kami datang kemari ingin menyampaikan kepada kalian kalau kami siap menikah,” ungkap Valda. Defria terkejut, tapi Chand sudah menduga ini akan terjadi dan wajahnya datar tanpa ekspresi. “Pa, bagaimana ini?” bisik Defria. “Hmmm ...” Chand mendengus kesal lalu ia bangkit dari duduknya. “Baiklah kalau memang itu keputusan kalian, tapi setelah menikah kalian harus tinggal di rumah ini!” ujarnya. Valda dan Aruna saling melihat. Bagaimana mungkin mereka tinggal di rumah ini
“Apa yang kau lakukan, Valda?” Defria bergegas membangunkan Delova. "Aku tidak apa-apa, Ma." Valda tidak menghiraukannya, ia mendekati Aruna mengangkat tubuhnya ke dalam pangkuannya. “Aruna ... bangunlah!” ujarnya. Kemudian ia bergegas memberinya nafas buatan dan tidak lama Aruna tersadar. Terbatuk dengan air keluar dari mulutnya. Uhuuuk ... uhuuukkk .... “Kau tidak apa-apa?” tanya Valda sembari menepuk-nepuk punggung Aruna. Aruna melihat semua orang dan menatap Elisha dengan tajam. “Apa yang terjadi, bagaimana bisa kau jatuh ke kolam renang?” tanya Valda lagi. Aruna melihat kalau Elisha tidak merasa bersalah. Wajahnya biasa saja malah seperti menantang dirinya. “A–aku terpeleset dan aku tidak bisa berenang,” jawab Aruna berbohong. Ia melihat Delova yang basah kuyup dan Valda keadaan kering. “Halah ... kau ini membuat heboh saja! Berenang saja tidak bisa!” cetus Defria ketus. Chand tidak banyak bicara dan melengos pergi begitu saja. “Bibi, sepertin
“Kau cemburu, yaaa ...” goda Aruna seraya menarik turunkan alisnya. “Jangan-jangan kau jatuh cinta padaku? Apa kau jatuh cinta pada pandangan pertama?” ia semakin menggodanya. “Jangan terlalu percaya diri!” Valda mendelik kemudian masuk ke kamar mandi membanting pintu begitu kencang. Aruna cekikikan menahan tawanya. “Cepatlah ganti pakaianmu, nanti aku tinggal kau!” Teriak Valda dari kamar mandi. Aruna menutup mulutnya dengan tangan dan berhenti tertawa. Lalu ia masuk ke ruangan pakaian untuk mengganti bajunya. Alangkah terkejutnya saat masuk ke ruangan itu. Pakaian berjajar rapi sesuai jenis dan warnanya, sepatu berbagai model dan merek, tas-tas kerja, koper-koper besar berjajar, dasi, sabuk tersusun rapi seperti masuk ke dalam toko. “Ya Tuhan, sepertinya isi lemari ini mengalahkan isi lemari perempuan. Belum lagi di apartemen pakaian yang sehari-hari dia pakai, pasti banyak juga karena aku melihat Valda selalu memakai pakaian yang berbeda,” gumam Aruna seraya mengge
Valda menidurkan Aruna di kamarnya. Tidak ingin terjadi hal yang tidak di inginkan, ia bergegas keluar dan pergi ke kamarnya. "Kenapa Aruna membuat perasaanku selalu tidak karuan?" batin Valda. Keesokan harinya .... Aruna benar-benar tertidur begitu lelap. Terbangun di pagi hari dan menyadari kalau dirinya berada di kamar. Menatap keluar jendela dengan mata memicing. “Emmm sudah pagi. Perasaan semalam aku tertidur di mobil Valda— ya Tuhan ... apa Valda yang membawaku ke kamar?” Aruna bergumam sembari mengecek pakaiannya. “Sepertinya tidak terjadi yang macam-macam. Semenjak kejadian ciuman itu, aku takut Valda melakukan hal yang tidak-tidak. Walau pun mulutnya mengatakan tidak tertarik, tapi bisa saja terjadi seperti waktu itu!” gumamnya. Ia berlalu pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sementara itu, Valda sudah bergelut di dapur. Setiap pagi ia selalu membuat sarapan sehat sendiri. Ia tidak lupa membuatkannya juga untuk Aruna. Setelah selesai menyajikannya
“Ya Tuhan akhirnya aku bisa bertemu denganmu, Aruna ...” ternyata Pras datang menemuinya. “Ka–kau tahu dari mana aku ada disini?” tanya Aruna terkejut. Pras menarik tangan Aruna mendudukkannya di kursi taman. “Aku datang ke rumahmu dan ibumu mengatakan kalau dirimu pergi dari rumah, kabur. Apa yang terjadi?” tanyanya. Ia tidak mengatakan kalau dirinya di suruh Karin untuk mengintainya. “Kau tahu sendiri bagaimana perlakuan ibu tiriku. Aku kabur karena akan di jodohkan dengan pria tua!” jawab Aruna. “Hmmm sabar ya ... berarti kau meninggalkan semua warisan dari Papimu dong?" tanya Pras. "Hmmm ... tidak pedulilah dengan semua itu, yang penting hidupku tidak tersiksa!" cetus Aruna. "Ya aku mengerti! eh apa kau punya pacar sekarang?” tanya Pras memastikan. Aruna menatap Pras. “Tau dari mana kau?” tanyanya. “A–aku hanya menebak saja!” “Kau pasti menguntitku, kan?” tebak Aruna. Ia tahu sifat temannya itu, selalu ingin tahu tentang dirinya. “Aku akan menikah!” ungkapn