“Papa minta kalian menikah secepatnya! Untuk persiapan biar Papa yang atur. Kalian siapkan saja diri kalian!” Chand bangkit dari duduknya berlalu pergi di ikuti oleh Defria.
“Pa ... Pa ... itu terlalu cepat! Kami belum siap.” Teriak Valda. Akan tetapi, Chand mengabaikannya. Melihat hal itu, Haris berpindah ke meja Valda. “Ada masalah, Tuan?” tanyanya. Valda hanya menggelengkan kepala. “Hehh ... kenapa jadi menikah?” tanya Aruna. Valda menghela nafas dan menatap Aruna. “Aku tidak tahu!” pasrahnya. “Sesuai perjanjian, hanya pacar pura-pura. Tidak lebih!” pungkas Aruna. Valda berpikir sejenak, dirinya terjebak dalam permainannya sendiri. Tidak terpikir akan seserius dan sejauh ini. “Hehhh ... kenapa kau diam saja?” Aruna menepuk lengan Valda. Valda tersadar. “Aku akan memikirkannya lagi nanti. Ayo pulanglah!” ajaknya. “Aku lapar. Kita disini belum makan sama sekali,” ujar Aruna seraya memegangi perutnya. Valda kembali duduk lalu membuka buku menu. Ia memesan beberapa makanan untuk mereka santap. Aruna tidak banyak bicara, ia tahu kalau Valda memikirkan perihal pernikahan itu. Begitu pun Haris, ia tidak banyak bertanya. Pesanan datang dan mereka makan malam bersama. Valda hanya makan beberapa suap dan berlalu pergi ingin menunggu di luar. “Apa yang terjadi? Aku mendengar soal pernikahan,” tanya Haris pada Aruna yang fokus pada makanannya. “Papa Valda meminta kami untuk menikah!” jawabnya dengan mulut penuh makanan. “Telan dulu makananmu itu. Menjijikkan!” cetus Haris. Aruna menelan makanannya dan meneguk minuman di hadapannya. “Aku akan bekerja sesuai perjanjian, hanya pacar pura-pura!” ujarnya. “Hmm ....” Selesai makan, Aruna dan Haris berlalu pergi. “Dimana Valda?” tanya Aruna. “Mungkin di mobil,” jawabnya. Saat keluar dari restoran, Aruna melihat Karin dan Nanda keluar dari mobil. Mereka berjalan menuju ke restoran itu. Ia panik gelagapan melihat sekitar lalu berlari sembari menunduk agar tidak bertemu dengan mereka. “Heiii kau mau kemana?” panggil Haris heran. Ia berjalan mengejar Aruna dan berpapasan dengan Karin juga Nanda. Aruna membuang nafas lega. Ia bersembunyi di balik tanaman yang cukup gelap. “Untung saja aku cepat bersembunyi, kalau tidak– ibu tiriku akan membawaku pulang dan menikahkanku dengan pria tua!” gerutunya. Valda yang sedari tadi berdiri di belakang Aruna, menepuk pundaknya dan itu membuat Aruna terkejut. Berbalik badan dengan tiba-tiba membuat keseimbangannya goyah dan terjatuh ke dalam pelukan Valda. “Kau mengejutkanku!” gumam Aruna. Lalu ia mendongak menatap Valda. Dalam kegelapan, ketampanannya masih terlihat jelas seakan wajahnya bercahaya. Valda membenarkan tubuh Aruna sampai berdiri tegak. “Kau sedang apa?” tanyanya. “A–aku sedang melihat seseorang!” jawabnya sembari melihat ke arah restoran. “Siapa?” Valda melihat ke arah Aruna melihat lalu Haris yang muncul. “Bu–bukan siapa-siapa kok! Katanya mau pulang?” ujar Aruna. Valda berlalu ke mobilnya dan Aruna bergegas mengikuti. “Haris, ikutlah ke apartemen.” Pinta Valda. “Baik, Tuan.” Angguk Haris. Valda melajukan mobilnya dan Haris mengikuti dari belakang. Di dalam mobil, Aruna tidak bicara apapun. Melihat Valda yang begitu serius, ia takut untuk bertanya. “Wajahnya cukup menyeramkan kalau serius seperti itu. Duuh ... gimana ini? Orangtua Valda meminta untuk menikah sedangkan kita hanya pura-pura pacaran,” batinnya. Pertanyaan-pertanyaan memenuhi pikirannya, tetapi ia tahan untuk tidak bertanya sekarang. Sementara itu, Chand dan Defria sampai di rumah. Defria tidak hentinya mengomel karena tidak setuju soal pernikahan Valda dan Aruna. “Papa ... jawab dong!” “Apa?” ujar Chand. “Papa kenapa malah menyuruh mereka menikah? Apa Papa mau punya menantu yatim piatu dan apa kata orang nanti?” tanyanya. “Ya tidaklah! Kita harus punya menantu yang setara dari keluarga yang sama seperti kita derajatnya,” jawab Chand. “Lalu kenapa malah menyuruh mereka menikah? Aku gak mau punya menantu seperti perempuan itu. Kampungan! Apa kata teman-temanku nanti?” cerocos Defria. “Kau tenang saja! Pernikahan mereka tidak akan pernah terjadi. Valda tidak akan mau menikah, dia tidak serius dengan perempuan itu. Valda tidak percaya cinta,” jelas Chand. “Aku harap apa yang kamu katakan itu benar. Aku tidak bisa membayangkan jika dia menjadi menantuku!” ujar Defria. “Tapi putri pak Alex tidak mungkin mau setelah pertemuan tadi,” sambungnya. “Masih banyak gadis yang akan aku pilihkan untuk Valda. Tenang saja,” ujarnya santai. Ia berusaha tetap tenang walau pun sebenarnya ada rasa was-was karena Chand tahu kalau Valda sama keras kepala dengan dirinya. Bukan tidak mungkin jika Valda memaksakan menikah dengan Aruna. “Sepertinya kalian sedang membahas hal serius?” tiba-tiba Delova muncul dari pintu depan. Dengan tangan menenteng helm dan jaketnya. Chand melihat kedatangan Delova, tapi mengabaikannya. “Kau baru pulang, sayang?” sambut Defria lembut. “Iya, Ma. Ada apa?” tanyanya. Delova sudah biasa di abaikan oleh sang Papa. Dirinya di anggap tidak berguna, bahkan di anggap tidak ada karena tidak punya kemampuan dalam urusan bisnis. Bukan karena kurangnya pendidikan, tapi Delova memang tidak mampu akan hal itu. Pelajaran-pelajaran formal tentang bisnis tidak masuk di otaknya. Dirinya lebih condong ke arah fisik olahraga. Banyak prestasi yang ia dapat di bidang olahraga. Ia juga pernah bergabung menjadi tim basket nasional selama tiga tahun dengan segudang prestasi dan sekarang ia memilih menjadi seorang pembalap. Delova dan Valda begitu berbeda. Jadi, sang Papa juga membedakannya. Chand lebih menganggap Valda karena menguntungkan bagi perusahaan. “Papa meminta kakakmu untuk menikah,” jawab Defria. Beda halnya dengan Defria, dirinya memperlakukan Delova dengan manja dan lembut. Dirinyalah yang membuat Delova bertahan di rumah itu. “Perjodohan lagi?” tanya Delova. “Ya ...”angguk Defria. “Sudahlah, Pa, Ma. Tidak perlu menjodoh-jodohkan seperti itu, pernikahan itu harus di dasari cinta. Biarkan kak Valda menikah dengan pilihannya,” ucap Delova. “Kau jangan ikut campur! Kau tidak tahu apa-apa soal bisnis. Urus saja dirimu sendiri,” ketus Chand bicara tanpa melihat Delova. “Sudah sayang, sudah!” ujar Defria. “Papamu tidak salah ingin menjodohkan kakakmu karena wanita pilihan kakakmu tidaklah setara dengan kita dan anak yatim. Makanya Mama juga setuju untuk kakakmu di jodohkan dengan wanita terbaik,” sambungnya. Delova mendengus kesal dengan senyuman menyeringai. “Harusnya kalian sadar, kenapa kak Valda keluar dari rumah ini dan tidak mau tinggal bersama kalian? Ya, ini ... dari remaja yang di bicarakan perjodohan, perjodohan terus! masih untung kak Valda masih mau mengabdi di perusahaan." “Jangan mengajariku! Kau tidak ada gunanya di rumah ini jangan banyak bicara!” pungkas Chand seraya melengos pergi. Amarah Delova sudah menggebu, tapi Defria menenangkan dan menjaganya agar tidak tersulut emosi. “Sudah ... sudah ... sana pergilah ke kamarmu dan mandi. Badanmu bau matahari ...” ujar Defria bercanda. Delova tersenyum dan pergi ke kamarnya. Defria sangat penurut pada suaminya, tapi perihal Delova ia sedikit membangkang karena begitu menyayanginya. Di sisi lain .... Valda, Aruna dan Haris sampai di apartemen. Mereka duduk bertiga di sofa ruang tamu untuk berdiskusi. “Ada masalah apa, Tuan?” tanya Haris membuka obrolan. Valda menatap Aruna seraya berkata, “Papaku meminta kami untuk menikah.” Haris terdiam sejenak. “Hmmm ... lalu?” tanya Haris. “Kau ini! Kami hanya pacar pura-pura saja, bagaimana mungkin bisa menikah?” timpal Aruna tegas. “Kau diam saja dulu!” ujar Valda. Aruna mendelik kesal. “Papa mendesak untuk menikah secepatnya dan dia yang akan menyiapkan semuanya. Aku harus bagaimana?” tanya Valda. Haris menatap Valda dan Aruna bergantian. “Beri aku solusi!” desak Valda pada Haris. “Mungkin solusinya– ya hanya menikah,” cetus Haris ragu-ragu. Aruna dan Valda saling melihat. “Tidak! Itu bukan solusi, pekerjaanku hanya sebagai pacar pura-pura. Jika sudah selesai kalian bisa membayarku dan aku akan pergi!” jelas Aruna menolaknya. “Tidak bisa seperti itu! Kau terlibat dan harus ikut tanggung jawab,” cetus Valda. “Diiih ... kok gitu? Aku tidak mau menikah denganmu!” Aruna mengernyit. “Lagi pula siapa yang ingin menikah denganmu. Tidak cantik, tidak menarik, tidak kaya, tidak ada yang bisa di banggakan!” cerca Valda begitu menghinanya. Aruna mendelik kesal. “Kau memang tampan, kaya, berpendidikan tinggi, dari keluarga terpandang, tapi jomblo sampai pacar saja harus sewa,” balasnya. “Jangan-jangan, kau tidak suka perempuan?” Aruna menuduh Valda penyuka sesama jenis. Valda mengernyitkan dahinya. “Haaahhh ... jangan-jangan di antara kalian berdua juga ada sesuatu yang spesial? Berdalih bos dan asisten, tapi sebenarnya kalian—“ Aruna menatap Valda dan Haris bergantian dengan mata melotot dan mulut menganga.“Kau gila!” cetus Valda. “Ti–tidak ... jangan berpikiran macam-macam terhadap kami. Saya sudah menikah dan punya anak perempuan usia tiga tahun,” elak Haris. Aruna menatap Valda tajam. “Apa? Bisa-bisanya kau menuduhku seperti itu. Gila ...” cerca Valda. “Ya lagi pula dirimu seperti apa yang aku katakan tadi, tapi tidak punya pacar. Padahal aku pikir orangtuamu tidak ada salahnya mencarikanmu jodoh yang setara. Jika tidak ingin di jodohkan, gampang bagimu untuk mencari wanita yang setara. Kalau bukan penyuka sesama, ya apalagi?” tutur Aruna. Valda gemas dengan bibir mungil Aruna yang sedari tadi nyerocos tidak hentinya. Ia mendekat padanya dan tanpa aba-aba melahap bibir mungil itu dengan bibirnya. Membuat Aruna terkejut ia meremas bantal sofa di sampingnya. Haris tidak kalah terkejutnya, ia bangkit dari duduknya seraya memalingkan wajah dan berlalu pergi meninggalkan mereka berdua. Valda begitu menikmatinya, bibir Aruna seakan menjadi candu yang terngiang-ngiang.
“Mobil siapa itu?” sentak Karin pada sopir. Aruna melihat Valda dan Haris keluar dari mobil. Ia merasa sedikit lega dan tenang. “Siapa mereka?” “Tidak tahu, nyonya,” jawab sopir. “Kalian turunlah dan tanya ada perlu apa,” suruh Karin pada kedua preman itu. Dua preman itu menghadapi Valda. Mereka terlihat bicara serius dan Karin penasaran lalu turun dari mobil. “Kau diam disini!” ucapnya pada Aruna. “Tunggu, Mami ...” Aruna ikut turun karena takut terjadi hal yang tidak di inginkan. “Kau diam di mobil, kenapa kau ikut turun?” sentak Karin. “Aruna ...” panggil Valda. Mendengar panggilan itu, Karin mendekat pada Valda. “Siapa kau? Menghentikan mobil saya seenaknya! Kau mengenali Aruna?” “Kau yang siapa? Kenapa kau membawa Aruna?” tanya Valda. “Ini kesempatan bagus, mungkin Tuhan memang mengirimkan Valda untuk menyelamatkanku dari ibu tiriku. Hmmm ...” batin Aruna mengesampingkan kejadian semalam. “Saya ibunya Aruna! Ya terserah saya kalau mau membawanya
Aruna terdiam sejenak sembari menatap Valda, ia ragu menceritakan tentang keluarganya. “Katakan saja, siapa tahu aku bisa membantumu,” ucap Valda. “Emmmh ... ya memang aku bukan orang susah. Mobil yang ibu tiriku pakai, itu mobil peninggalan Papiku dan masih ada dua mobil lagi di rumah. Papiku dulunya punya banyak bisnis, tapi kata ibu tiriku setelah meninggal sebagian bisnis Papi di jual untuk membayar hutang-hutang yang di tinggalkan. Termasuk rumah besar kenangan yang dulu aku tinggali bersama Mami dan Papi juga sudah terjual,” jelas Aruna. Valda cukup memahaminya, bukan hal aneh jika dalam bisnis ada hutang piutang. “Bisnis apa Papimu? Siapa tahu aku mengetahuinya,” tanya Valda. Aruna hanya menggelengkan kepala. “Kau ini sebagai anak kok tidak tahu!” Valda mengernyit. “Ya aku baru menyadarinya sekarang, ternyata Papi menyuruhku untuk sekolah bisnis agar aku bisa meneruskan bisnisnya. Tetapi, dulu aku tidak pernah mau sekolah bisnis dan kekeh dengan keinginanku
Valda dan Aruna memasuki rumah besar itu. Nuansa putih gold membuat rumah terlihat mewah di tambah dengan ornamen barang-barang mahal. “Rumah ini sama persis dengan rumahku yang dulu,” gumam Aruna. “Jangan membuat masalah! Bersikaplah anggun ...” ucap Valda. Kedatangan mereka tidak di sambut baik oleh Defria dan Chand. Mereka hanya duduk diam. “Ma, Pa, kami datang,” ucap Valda. Lalu mereka duduk di sofa dengan tangan tetap bergandengan. “Mau ngapain kalian datang kemari?” tanya Defria ketus. “Kami datang kemari ingin menyampaikan kepada kalian kalau kami siap menikah,” ungkap Valda. Defria terkejut, tapi Chand sudah menduga ini akan terjadi dan wajahnya datar tanpa ekspresi. “Pa, bagaimana ini?” bisik Defria. “Hmmm ...” Chand mendengus kesal lalu ia bangkit dari duduknya. “Baiklah kalau memang itu keputusan kalian, tapi setelah menikah kalian harus tinggal di rumah ini!” ujarnya. Valda dan Aruna saling melihat. Bagaimana mungkin mereka tinggal di rumah ini
“Apa yang kau lakukan, Valda?” Defria bergegas membangunkan Delova. "Aku tidak apa-apa, Ma." Valda tidak menghiraukannya, ia mendekati Aruna mengangkat tubuhnya ke dalam pangkuannya. “Aruna ... bangunlah!” ujarnya. Kemudian ia bergegas memberinya nafas buatan dan tidak lama Aruna tersadar. Terbatuk dengan air keluar dari mulutnya. Uhuuuk ... uhuuukkk .... “Kau tidak apa-apa?” tanya Valda sembari menepuk-nepuk punggung Aruna. Aruna melihat semua orang dan menatap Elisha dengan tajam. “Apa yang terjadi, bagaimana bisa kau jatuh ke kolam renang?” tanya Valda lagi. Aruna melihat kalau Elisha tidak merasa bersalah. Wajahnya biasa saja malah seperti menantang dirinya. “A–aku terpeleset dan aku tidak bisa berenang,” jawab Aruna berbohong. Ia melihat Delova yang basah kuyup dan Valda keadaan kering. “Halah ... kau ini membuat heboh saja! Berenang saja tidak bisa!” cetus Defria ketus. Chand tidak banyak bicara dan melengos pergi begitu saja. “Bibi, sepertin
“Kau cemburu, yaaa ...” goda Aruna seraya menarik turunkan alisnya. “Jangan-jangan kau jatuh cinta padaku? Apa kau jatuh cinta pada pandangan pertama?” ia semakin menggodanya. “Jangan terlalu percaya diri!” Valda mendelik kemudian masuk ke kamar mandi membanting pintu begitu kencang. Aruna cekikikan menahan tawanya. “Cepatlah ganti pakaianmu, nanti aku tinggal kau!” Teriak Valda dari kamar mandi. Aruna menutup mulutnya dengan tangan dan berhenti tertawa. Lalu ia masuk ke ruangan pakaian untuk mengganti bajunya. Alangkah terkejutnya saat masuk ke ruangan itu. Pakaian berjajar rapi sesuai jenis dan warnanya, sepatu berbagai model dan merek, tas-tas kerja, koper-koper besar berjajar, dasi, sabuk tersusun rapi seperti masuk ke dalam toko. “Ya Tuhan, sepertinya isi lemari ini mengalahkan isi lemari perempuan. Belum lagi di apartemen pakaian yang sehari-hari dia pakai, pasti banyak juga karena aku melihat Valda selalu memakai pakaian yang berbeda,” gumam Aruna seraya mengge
Valda menidurkan Aruna di kamarnya. Tidak ingin terjadi hal yang tidak di inginkan, ia bergegas keluar dan pergi ke kamarnya. "Kenapa Aruna membuat perasaanku selalu tidak karuan?" batin Valda. Keesokan harinya .... Aruna benar-benar tertidur begitu lelap. Terbangun di pagi hari dan menyadari kalau dirinya berada di kamar. Menatap keluar jendela dengan mata memicing. “Emmm sudah pagi. Perasaan semalam aku tertidur di mobil Valda— ya Tuhan ... apa Valda yang membawaku ke kamar?” Aruna bergumam sembari mengecek pakaiannya. “Sepertinya tidak terjadi yang macam-macam. Semenjak kejadian ciuman itu, aku takut Valda melakukan hal yang tidak-tidak. Walau pun mulutnya mengatakan tidak tertarik, tapi bisa saja terjadi seperti waktu itu!” gumamnya. Ia berlalu pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sementara itu, Valda sudah bergelut di dapur. Setiap pagi ia selalu membuat sarapan sehat sendiri. Ia tidak lupa membuatkannya juga untuk Aruna. Setelah selesai menyajikannya
“Ya Tuhan akhirnya aku bisa bertemu denganmu, Aruna ...” ternyata Pras datang menemuinya. “Ka–kau tahu dari mana aku ada disini?” tanya Aruna terkejut. Pras menarik tangan Aruna mendudukkannya di kursi taman. “Aku datang ke rumahmu dan ibumu mengatakan kalau dirimu pergi dari rumah, kabur. Apa yang terjadi?” tanyanya. Ia tidak mengatakan kalau dirinya di suruh Karin untuk mengintainya. “Kau tahu sendiri bagaimana perlakuan ibu tiriku. Aku kabur karena akan di jodohkan dengan pria tua!” jawab Aruna. “Hmmm sabar ya ... berarti kau meninggalkan semua warisan dari Papimu dong?" tanya Pras. "Hmmm ... tidak pedulilah dengan semua itu, yang penting hidupku tidak tersiksa!" cetus Aruna. "Ya aku mengerti! eh apa kau punya pacar sekarang?” tanya Pras memastikan. Aruna menatap Pras. “Tau dari mana kau?” tanyanya. “A–aku hanya menebak saja!” “Kau pasti menguntitku, kan?” tebak Aruna. Ia tahu sifat temannya itu, selalu ingin tahu tentang dirinya. “Aku akan menikah!” ungkapn
Valda menyusul Chand ke ruangan kerjanya. “Papa ....” “Ada apa lagi?” tanya Chand tanpa memedulikan kehadiran Valda. “Pa, jangan marah padaku dan Aruna seperti ini. Ya, aku tahu papa ingin kita semua berkumpul. Akan tetapi, aku juga tidak ingin rumah tanggaku berantakan.” Valda menjelaskannya. “Jadi benar, Aruna yang memintamu untuk pergi dari rumah ini?” cetus Chand. “Bukan begitu, pa. Aku hanya ingin membuat Aruna nyaman. Setelah kejadian kemarin tentang kesalahpahamannya dengan Delova, itu membuatnya takut,” jawab Valda. Chand menatap Valda dengan pasrah. Tidak ada gunanya bersikap selalu egois dan malah membuatnya semakin jauh dengan Valda. “Pa, jarak dari apartemen ke rumah ini tidaklah jauh. Mungkin nanti kami bisa setiap hari datang ke rumah ini. Pa, kebahagiaanku dengan bersama Aruna!” tegas Valda. Sementara itu, Aruna yang mendengar percakapan mereka merasa semakin bersalah. “
“Delova ...” panggil Valda.“Ada apa?” tatap Delova heran.Valda mencoba mengontrol emosinya, bagaimana pun dengan keadaan Delova seperti ini membuat hatinya terenyuh dan merasa kasihan.“Hmmm ... aku tahu kau menemui Aruna. Katakan jujur padaku, apa yang kau katakan padanya? Aku memang mengikhlaskannya untukmu, tapi kau tidak bisa sembarangan memfitnahku!” ungkap Valda.Chand dan Defria menghampiri mereka berdua. Berdiri diantara mereka dan mencoba menghentikan Valda agar tidak melakukan hal yang tidak-tidak.“Jangan sakiti adikmu lagi!” cetus Defria.“Papa tahu ini semua salah perempuan itu!” tunjuk Chand pada Aruna yang berdiri di pintu kamar.Aruna menatap semua orang bergantian, apa yang sekarang terjadi memang salah dirinya.“Apa maksud Papa? Jangan salahkan Aruna seperti itu!” timpal Delova membela Aruna.Valda menatap Delova dengan penuh amarah. Aruna tahu kemarahan itu dan harus menghentikannya.“Tu–tunggu ... emmmh Valda, k
Aruna melangkah dengan sembarang, sesekali wajahnya menengadah menatap langit yang mulai meredup. Lampu-lampu jalanan cukup terang menyinari langkahnya.“Apakah Elisha benar-benar serius dengan apa yang di katakannya? Tapi Valda mengatakan hal lainnya,” gumamnya.“Aruna ....”Sebuah mobil hitam berhenti dan terdengar suara tidak asing memanggilnya.Aruna menoleh ke arah sumber suara dan senyuman tersungging di bibirnya.“Delova ...” mendekati mobil itu dengan antusias.“Kau mau kemana?” tanya Delova. Ia bicara dari dalam mobil dan hanya membuka kaca mobilnya.“Aku mau pulang, barusan habis ngajar les piano,” jawabnya.Delova membuka pintu mobil dan meminta Aruna untuk masuk. Ia akan mengantarnya pulang.Awalnya Aruna menolak karena merasa tidak enak, tapi Delova memaksanya. Terpaksa ia masuk dan di antar pulang oleh Delova.“Kau sudah lebih baik?” tanya Aruna penasaran. Bagaimana pun ia sangat khawatir pada keadaan Delova.“Aku
Saat makan malam, Elisha datang menghampiri semua orang tanpa rasa malu. Sekarang ia berani kembali datang setelah tahu Aruna pergi.Defria dan Chand menyambutnya dengan ramah sama seperti sebelumnya. Sementara Valda merasa risih dan tidak nyaman.“Kenapa dia datang lagi kemari?” ujar Delova.Karena selesai makan, Valda beranjak pergi meninggalkan meja makan tanpa bicara dengan siapa pun.Elisha menatap kepergian Valda dan ia harus mengerti mendekatinya pelan-pelan membiarkannya pergi begitu saja.Keesokan harinya ....Di sore hari Aruna pergi ke rumah Grace untuk mengajari Briel bermain piano. Ia memulai pekerjaannya dengan semangat dan riang.Grace menyambutnya dengan hangat dan membawanya ke ruangan musik.“Hallo kakak cantik ...” sambut Briel.“Haiii cantik ... apa kau siap? Wah pianomu sangat bagus. Aku juga punya piano–“ cetusnya lalu bicara terhenti karena teringat dengan piano yang Valda belikan.“Cepatlah kakak, aku tidak sa
Wajah Aruna berubah menjadi tersenyum berbinar, senang akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan.“Kakak serius?”Grace mengangguk seraya tersenyum.“Wah aku senang kalau kakak cantik akan menjadi guru les pianoku. Dari pada pak tua yang ketus itu!” cetus Briel.“Terima kasih, ya, kak.” Aruna menundukkan badannya hormat.“Kau bisa datang ke rumahku setiap sore mulai besok,” ucap Grace.Kemudian Grace meminta nomor ponsel Aruna agar mudah untuk di hubungi.Aruna sangat senang dan cukup antusias. Berbincang sebentar lalu ia berlalu pulang.Berdiri di pinggir jalan melihat kepergian Grace dan Briel. Dirinya di tawari untuk di antar pulang, tapi Aruna menolaknya.“Semoga hidupku berjalan baik ke depannya dan di pertemukan dengan orang-orang baik. Perlahan harus melupakan tentang Valda! ya harus ...” Aruna berdoa.Karena tidak perlu mencari kerja lagi, ia memutuskan untuk kembali pulang ke rumah dengan menaiki taxi online yang di pesannya.
Valda menghentikan mobilnya di tengah perjalanan. Memendamkan wajahnya pada setir mobil. Menyesali kenapa terlambat mencari Aruna?“Aruna pergi kemana? Aku harus mencarinya kemana lagi?” pikirnya.Setelah terdiam beberapa saat, Valda kembali melajukan mobilnya. Sepertinya ia sudah tahu akan pergi kemana.Ia pergi ke rumah kedua, menemui pelayan yang menjaga rumah itu dan bertanya apakah Aruna datang ke rumah itu atau tidak. Ternyata pelayan mengatakan kalau Aruna tidak ada datang.Valda kembali melajukan mobilnya menuju ke makam orang tua Aruna. Ia sedikit bernafas lega, melihat kelopak bunga di atas makam. Memegangnya dan kelopak bunga itu baru.“Sepertinya Aruna baru saja dari sini.” Melihat sekitar berharap Aruna masih ada disana.“Hmmm ... Aruna sudah pergi!”Saat hendak berlalu pergi, Valda menghentikan langkahnya. Ia berjongkok diantara nisan kedua orang tua Aruna.“Maafkan aku ... aku tidak bisa menjaga Aruna dengan baik dan malah membi
Sampai di rumah dengan cepat, ia mencari keberadaan Aruna. Pergi ke kamar dan tidak mendapati keberadaan Aruna. Mencoba menghubungi beberapa kali, tapi nihil masih tetap tidak bisa di hubungi. Saat akan keluar dari kamar, matanya terhenti pada meja samping tempat tidur. Ia menemukan catatan yang Aruna tinggalkan. Sebelum membacanya, ia melihat sebuah cek dan uang tunai. “Cek satu milyar dan uang. Apa ini?” gumamnya. Membaca catatan yang Aruna tulis itu. “Valda, mungkin saat kau membaca ini aku sudah pergi. Maafkan aku telah membuat Delova menderita. Ini semua salahku membuatmu marah pada Delova. Mungkin memang lebih baik aku pergi, aku tidak ingin menjadi penyebab kau bertengkar dengan Delova. Satu hal yang harus kau tahu kalau antara aku dan Delova tidak ada hubungan apa-apa. Aku menganggapnya hanya sebagai kakak yang baik padaku. Kau jangan salah paham dan marah pada Delova, dia tidak salah. Untuk cek dan uang ini, aku tidak bisa menerimanya. Tolong sampaikan pad
Aruna bangkit dari duduknya dan berjalan perlahan mendekati ruangan rawat Delova. Menatapnya dari kaca pada pintu. Melihat kalau Delova sudah bangun dengan keadaannya yang memprihatinkan, kepala, tangan dan kaki terbalut perban.“Hmmm syukurlah kau baik-baik saja, ini semua gara-gara aku!” lirih Aruna bergumam.“Hmm ....”Suara seseorang di belakang Aruna yang tidak asing. Aruna membalikkan badannya melihat kepada orang itu.“Papa ....”“Apa kau bisa ikut papa pulang ke rumah?” tanya Chand.Aruna melirik semua orang di dalam ruangan.“Delova baik-baik saja dan sudah ada yang menjaganya!” cetus Chand.Aruna berganti melirik Chand dan tersenyum getir. Ia mengangguk setuju untuk ikut pulang, perasaan tidak enak menggelayut di hatinya.Di perjalanan pulang, tidak ada obrolan di dalam mobil. Hening ....Sampai di rumah, sebelum turun dari mobil Chand berkata padanya. “Temui papa di ruangan kerja papa!”Ia turun lebih dulu dan Aruna t
“Semuanya, mohon maaf. Jangan membuat keributan, itu akan mengganggu pasien! Saat ini pasien membutuhkan banyak darah. Siapa diantara kalian yang memiliki golongan darah AB negatif?” ujar dokter. “AB negatif?” gumam Chand. “Itu cukup langka dan kami di rumah sakit kehabisan stok. Kami baru menghubungi bank darah pusat dan itu butuh waktu lama,” jelas Dokter. Defria terkulai lemas terduduk di kursi. Ia menangis tersedu. “Dokter, aku dan istriku memiliki golongan darah yang berbeda. Ba–bagaimana?” cetus Chand. “Kalau bisa cari saudara atau kerabat dekat, biasanya akan ada yang sama. Tolong secepatnya sebelum darah dari bank pusat tersedia,” ucap dokter lalu melengos pergi. Chand tertegun sejenak. Ia berpikir harus mencari darah kemana? “Ma, darahku juga tidak sama. Siapa yang bisa kita hubungi?” tanya Valda seraya menenangkan Defria. Ia merasa bersalah dengan apa yang telah di lakukan. Penyesalan tidak ada gu