Aruna terdiam sejenak sembari menatap Valda, ia ragu menceritakan tentang keluarganya. “Katakan saja, siapa tahu aku bisa membantumu,” ucap Valda. “Emmmh ... ya memang aku bukan orang susah. Mobil yang ibu tiriku pakai, itu mobil peninggalan Papiku dan masih ada dua mobil lagi di rumah. Papiku dulunya punya banyak bisnis, tapi kata ibu tiriku setelah meninggal sebagian bisnis Papi di jual untuk membayar hutang-hutang yang di tinggalkan. Termasuk rumah besar kenangan yang dulu aku tinggali bersama Mami dan Papi juga sudah terjual,” jelas Aruna. Valda cukup memahaminya, bukan hal aneh jika dalam bisnis ada hutang piutang. “Bisnis apa Papimu? Siapa tahu aku mengetahuinya,” tanya Valda. Aruna hanya menggelengkan kepala. “Kau ini sebagai anak kok tidak tahu!” Valda mengernyit. “Ya aku baru menyadarinya sekarang, ternyata Papi menyuruhku untuk sekolah bisnis agar aku bisa meneruskan bisnisnya. Tetapi, dulu aku tidak pernah mau sekolah bisnis dan kekeh dengan keinginanku
Valda dan Aruna memasuki rumah besar itu. Nuansa putih gold membuat rumah terlihat mewah di tambah dengan ornamen barang-barang mahal. “Rumah ini sama persis dengan rumahku yang dulu,” gumam Aruna. “Jangan membuat masalah! Bersikaplah anggun ...” ucap Valda. Kedatangan mereka tidak di sambut baik oleh Defria dan Chand. Mereka hanya duduk diam. “Ma, Pa, kami datang,” ucap Valda. Lalu mereka duduk di sofa dengan tangan tetap bergandengan. “Mau ngapain kalian datang kemari?” tanya Defria ketus. “Kami datang kemari ingin menyampaikan kepada kalian kalau kami siap menikah,” ungkap Valda. Defria terkejut, tapi Chand sudah menduga ini akan terjadi dan wajahnya datar tanpa ekspresi. “Pa, bagaimana ini?” bisik Defria. “Hmmm ...” Chand mendengus kesal lalu ia bangkit dari duduknya. “Baiklah kalau memang itu keputusan kalian, tapi setelah menikah kalian harus tinggal di rumah ini!” ujarnya. Valda dan Aruna saling melihat. Bagaimana mungkin mereka tinggal di rumah ini
“Apa yang kau lakukan, Valda?” Defria bergegas membangunkan Delova. "Aku tidak apa-apa, Ma." Valda tidak menghiraukannya, ia mendekati Aruna mengangkat tubuhnya ke dalam pangkuannya. “Aruna ... bangunlah!” ujarnya. Kemudian ia bergegas memberinya nafas buatan dan tidak lama Aruna tersadar. Terbatuk dengan air keluar dari mulutnya. Uhuuuk ... uhuuukkk .... “Kau tidak apa-apa?” tanya Valda sembari menepuk-nepuk punggung Aruna. Aruna melihat semua orang dan menatap Elisha dengan tajam. “Apa yang terjadi, bagaimana bisa kau jatuh ke kolam renang?” tanya Valda lagi. Aruna melihat kalau Elisha tidak merasa bersalah. Wajahnya biasa saja malah seperti menantang dirinya. “A–aku terpeleset dan aku tidak bisa berenang,” jawab Aruna berbohong. Ia melihat Delova yang basah kuyup dan Valda keadaan kering. “Halah ... kau ini membuat heboh saja! Berenang saja tidak bisa!” cetus Defria ketus. Chand tidak banyak bicara dan melengos pergi begitu saja. “Bibi, sepertin
“Kau cemburu, yaaa ...” goda Aruna seraya menarik turunkan alisnya. “Jangan-jangan kau jatuh cinta padaku? Apa kau jatuh cinta pada pandangan pertama?” ia semakin menggodanya. “Jangan terlalu percaya diri!” Valda mendelik kemudian masuk ke kamar mandi membanting pintu begitu kencang. Aruna cekikikan menahan tawanya. “Cepatlah ganti pakaianmu, nanti aku tinggal kau!” Teriak Valda dari kamar mandi. Aruna menutup mulutnya dengan tangan dan berhenti tertawa. Lalu ia masuk ke ruangan pakaian untuk mengganti bajunya. Alangkah terkejutnya saat masuk ke ruangan itu. Pakaian berjajar rapi sesuai jenis dan warnanya, sepatu berbagai model dan merek, tas-tas kerja, koper-koper besar berjajar, dasi, sabuk tersusun rapi seperti masuk ke dalam toko. “Ya Tuhan, sepertinya isi lemari ini mengalahkan isi lemari perempuan. Belum lagi di apartemen pakaian yang sehari-hari dia pakai, pasti banyak juga karena aku melihat Valda selalu memakai pakaian yang berbeda,” gumam Aruna seraya mengge
Valda menidurkan Aruna di kamarnya. Tidak ingin terjadi hal yang tidak di inginkan, ia bergegas keluar dan pergi ke kamarnya. "Kenapa Aruna membuat perasaanku selalu tidak karuan?" batin Valda. Keesokan harinya .... Aruna benar-benar tertidur begitu lelap. Terbangun di pagi hari dan menyadari kalau dirinya berada di kamar. Menatap keluar jendela dengan mata memicing. “Emmm sudah pagi. Perasaan semalam aku tertidur di mobil Valda— ya Tuhan ... apa Valda yang membawaku ke kamar?” Aruna bergumam sembari mengecek pakaiannya. “Sepertinya tidak terjadi yang macam-macam. Semenjak kejadian ciuman itu, aku takut Valda melakukan hal yang tidak-tidak. Walau pun mulutnya mengatakan tidak tertarik, tapi bisa saja terjadi seperti waktu itu!” gumamnya. Ia berlalu pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sementara itu, Valda sudah bergelut di dapur. Setiap pagi ia selalu membuat sarapan sehat sendiri. Ia tidak lupa membuatkannya juga untuk Aruna. Setelah selesai menyajikannya
“Ya Tuhan akhirnya aku bisa bertemu denganmu, Aruna ...” ternyata Pras datang menemuinya. “Ka–kau tahu dari mana aku ada disini?” tanya Aruna terkejut. Pras menarik tangan Aruna mendudukkannya di kursi taman. “Aku datang ke rumahmu dan ibumu mengatakan kalau dirimu pergi dari rumah, kabur. Apa yang terjadi?” tanyanya. Ia tidak mengatakan kalau dirinya di suruh Karin untuk mengintainya. “Kau tahu sendiri bagaimana perlakuan ibu tiriku. Aku kabur karena akan di jodohkan dengan pria tua!” jawab Aruna. “Hmmm sabar ya ... berarti kau meninggalkan semua warisan dari Papimu dong?" tanya Pras. "Hmmm ... tidak pedulilah dengan semua itu, yang penting hidupku tidak tersiksa!" cetus Aruna. "Ya aku mengerti! eh apa kau punya pacar sekarang?” tanya Pras memastikan. Aruna menatap Pras. “Tau dari mana kau?” tanyanya. “A–aku hanya menebak saja!” “Kau pasti menguntitku, kan?” tebak Aruna. Ia tahu sifat temannya itu, selalu ingin tahu tentang dirinya. “Aku akan menikah!” ungkapn
Aruna melepaskan pelukannya mendongak pada Valda dan tersenyum. “Terima kasih.”Valda merasa tersentuh, jantungnya berdebar lebih kencang. Kemudian ia memalingkan wajahnya dan berlalu ke mobil. Dengan senang Aruna mengekor padanya.Aruna memberitahukan makam orang tuanya dan Valda melaju ke tempat yang ia sebutkan.“Eh aku melihat perempuan yang semalam itu di kantormu,” ujar Aruna membuka obrolan.“Oh Elisha, dia bekerja di kantorku!” jawabnya tanpa melihat pada Aruna.“Pantas saja ada di kantormu. Berarti selalu bertemu setiap hari dong? Sepertinya dia sangat menyukaimu?” tebak Aruna.Valda melirik Aruna dengan tajam. “Tidak perlu banyak bertanya dan jangan campuri urusan pribadiku!” ucapnya.Aruna menutup mulutnya dengan tangan dan memalingkan wajahnya menatap keluar jendela.Tidak lama kemudian mereka sampai di makam orang tua Aruna. Ia turun dari mobil dan Valda hanya menunggunya di mobil.“Di lihat-lihat kasihan sekali dia!” cetus V
“Kau pergi saja sana kalau bicara hal itu terus!” ujar Valda.“Ti–tidak ... aku mau minta makan,” jawab Delova. Ia berlalu ke dapur dan duduk di kursi makan.Valda tidak bicara lagi dan mulai bergelut dengan alat masak. Ia fokus pada masakannya sementara Delova terus menatap pada pintu kamar Aruna yang tidak kunjung terbuka.“Aku harus membuktikan kalau apa yang aku katakan itu benar!” batin Delova.Beberapa saat menunggu, makanan selesai dan menyajikannya di meja. Delova melahapnya dengan cepat.“Makan pelan-pelan!” ujar Valda.“Dimana Aruna, kenapa dia tidak makan bersama kita?” tanya Delova.“Kalau mau makan pasti dia keluar!” jawab Valda.Delova mengernyit, timbul pertanyaan di kepalanya kenapa tidak perhatian seperti itu.Sampai selesai makan, Aruna tidak keluar dari kamarnya. Delova memutuskan untuk pulang saja, pamit pada Valda yang fokus pada laptopnya.“Jangan kebut-kebutan!” cetus Valda.“Aku pembalap, tidak perlu meng