Karin mendapatkan telepon dari kantor polisi perihal kedua preman yang di bawa ke kantor polisi. Kemudian ia dan Nanda pergi kesana. Tidak butuh waktu lama, Karin bisa membebaskan mereka dengan uang jaminan.
Kembali ke rumah, Karin marah besar kepada mereka berdua. “Untuk bulan ini, gaji kalian saya potong untuk mengganti uang yang saya bayarkan pada polisi!” cetusnya. “Terima kasih, Nyonya ....” “Lagi pula Mami ngapain sih belain mereka dan menjamin mereka. Biarkan saja mereka membusuk di penjaraa, kerja juga gak becus!” timpal Nanda. “Jangan mengajari Mami. Mereka di penjara, siapa yang akan memberikan informasi tentang Aruna. Bodoh sekali kau!” cerca Karin. Nanda anak kandungnya sendiri, tetapi ia memperlakukannya seperti itu. Menganggapnya bodoh tidak berguna dan hanya beban karena Nanda adalah anak dari hasil hubungan gelap. Ayahnya tidak tahu siapa dan dimana? “Kenapa kalian bisa di kantor polisi?” tanya Karin dengan bertolak pinggang sembari menghisap sebatang rokok. “Kami sudah berhasil menangkap Nona Aruna. Hanya saja dia ada yang menyelamatkan dan mereka membawa kami ke kantor polisi,” jawabnya seraya tertunduk. “Siapa? Kalian sudah aku bayar mahal-mahal, kok kalah? Badan saja besar, tapi kalah!” ujar Karin kesal. “Mereka dua orang dan sangat kuat!” jawabnya. Karin menghela nafas panjang dan menampar mereka satu persatu. Plakkkk ... plakkkk .... “Ini terkahir kalinya kalian gagal, setelah ini tidak boleh gagal lagi!” ancam Karin. “Baik, Nyonya ...” angguknya patuh. “Kerahkan orang-orangmu, cari yang kuat. Aku tidak mau tahu kau harus membawa Aruna kemari hidup atau pun mati!” ujar Karin menggebu. Karin mengusir mereka pergi dan ia duduk di samping Nanda kemudian meneguk minuman di hadapannya. “Aaaghhh ... anak ingusan itu merepotkan saja!” gerutunya. “Mami, aku mau jalan-jalan sama temenku. Bagi uang lagi dong?” ucapnya seraya menadahkan telapak tangannya. Plakkk .... Karin memukul kepala Nanda dengan majalah yang di pegangnya. “Dasar anak bodoh! Uang-uang saja yang kau pikirkan, Mami lagi pusing mikirin saudara tirimu itu!” bentak Karin. “Iiiih Mami marah-marah melulu!” Nanda melengos pergi. Sementara itu, Haris mengantarkan Aruna ke apartemen lalu ia kembali ke kantor dan menemui Valda. “Kenapa kau lama sekali?” tanya Valda. “Tadi ada sedikit masalah,” jawabnya. Valda memperhatikan Haris lalu bangkit dari duduknya. “Apa yang terjadi denganmu?” Valda melihat pakaian dan rambut Haris tidak rapi seperti biasanya. “Ini soal Nona Aruna. Tadi dia di kejar-kejar oleh dua orang preman,” jelasnya. “Preman?” “Iya.” Haris menceritakan apa yang terjadi pada mereka. “Kenapa preman mencari Aruna? Apakah dia sedang dalam masalah dengan orang lain?” tanya Valda. “Saya tidak tahu, Tuan. Saya tidak menanyakan apa-apa padanya,” jawab Haris. Kemudian ia memberikan kartu yang sebelumnya Valda berikan. “Rapikan dulu dirimu dan istirahatlah sebentar, nanti kemari lagi!” suruh Valda. Haris mengangguk lalu ia pergi keruangannya. “Hemmm sepertinya Aruna memang sedang dalam masalah!” gumam Valda. Ponselnya berdering dan ternyata Chand yang menghubungi. Ia di suruh untuk datang menemuinya. Dengan terpaksa Valda pergi menemui Chand, ia tahu apa yang akan di bicarakannya. Sampai di kantor Chand .... Gedung menjulang tinggi tempat perusahaan Mallory bernaung. Perusahaan yang bergerak di bidang fashion itu sangat terkenal dan besar. Dari mulai produksi bahan mentah sampai bahan jadi yang di ekspor ke berbagai negara. Valda adalah anak sulung yang akan mewarisi itu semua dan sekarang dirinya memegang cabang perusahaan Mallory bagian pengolahan kain. Nantinya dirinyalah yang akan mengurus itu semua menggantikan Chand. Valda masuk keruangan Chand dengan di sambut tatapan tidak suka. Ia duduk di kursi di hadapan Chand. “Kau pasti sudah tahu kenapa Papa memanggilmu kemari?” tanya Chand. “Tidak!” jawab Valda datar. Chand bangkit dari duduknya. “Kau ini jangan pura-pura tidak tahu. Mama sudah ceritakan semuanya,” ungkapnya. “Oh, itu. Aku pikir mama tidak mengatakannya,” jawab Valda masih santai. “Kau benar punya pacar?” tanya Chand. Valda mengangguk ragu. “Papa selalu bilang padamu, kau sudah di jodohkan dan akan menikah dengan wanita pilihan Papa yang jelas asal usulnya!” ujar Chand. “Perjodohan, perjodohan, capek aku mendengarnya.” “Sebenarnya sahabat Papa tidak tahu keberadaannya dimana, tapi Papa sudah janji akan menikahkan kalian. Tunggu sebentar lagi, biarkan Papa menemukannya.” Terdengar menyenangkan, jika tidak di temukan maka perjodohan tidak akan terjadi. “Untuk apa di cari lagi. Bertahun-tahun tidak ada kabar, ya pasti sudah melupakan semuanya. Tidak perlulah ada perjodohan seperti itu,” ujar Valda. Chand berpikir. “Hmmm ... ya memang terlalu lama kalau terus menunggu, usiamu sudah semakin bertambah. Kau harus menikah ...” ucapnya. “Sudahlah, pa. Aku tidak mau di jodohkan seperti itu, lagi pula aku juga tidak tertarik untuk menikah!” ceplos Valda. “Kalau kau tidak tertarik untuk menikah, kenapa kau pacaran? Tidak ada Anak sahabat Papa, nanti Papa bisa Carikan lagi jodoh lain untukmu. Banyak anak gadis relasi Papa yang cantik dan berpendidikan,” jelas Chand menggebu. Valda mengernyit, ia merasa salah bicara. “Putuskan pacarmu dan menikah dengan pilihan Papa! Pernikahan tidak perlu cinta, terjalinnya dua keluarga dapat memperpanjang relasi dan melebarkan bisnis.” Chand berujar begitu karena ia tahu kalau Valda tidak percaya cinta dan memiliki kekasih hanya untuk kesenangannya saja. “Apa yang harus aku katakan?” batin Valda. “Usiamu sudah cukup untuk menikah, semakin lama kau tidak menikah maka akan semakin banyak omongan dari orang lain. Apalagi kau pewaris utama keluarga Mallory, harus segera mempunyai keturunan!” jelas Chand. “Apa?” Valda terkejut. “Makanya kau harus menikah, punya keturunan jangan hanya main-main pacaran-pacaran tidak jelas!” tambah Valda. “Aku tidak ingin membahasnya lagi!” Valda bangkit dari duduknya dan hendak pergi. “Tunggu ... kau tidak bisa menolak lagi, besok malam Papa akan mengatur makan malam untuk pertemuan mu dengan anak relasi Papa. Kau tidak boleh menolaknya ...” ujar Chand. Valda melengos pergi tanpa bicara apapun lagi. Ia kembali ke kantor dengan wajah yang di tekuk kesal. “Apa yang terjadi, Tuan? Anda pergi tanpa memberitahu saya,” sambut Haris. “Saya baru saja menemui Papa!” jawabnya lemas. “Apa ada masalah?” tanya Haris. “Masalah besar! Papa akan mengatur makan malam untuk pertemuan dengan anak relasinya. Aku akan di jodohkan dengan perempuan lain lagi, bukan bocah cengeng yang dulu!” jelasnya. “Oh, sudah lain lagi?” tanya Haris. “Menikah dengan anak relasinya akan membuat relasi semakin panjang dan bisnis semakin melebar! Hahhh shiiit ...” ucap Valda mengulang apa yang Chand katakan. “Apakah sama sekali tidak ada perempuan yang Tuan incar? Teman kuliah, atau relasi yang mungkin pernah di temui?” tanya Haris. Ia tahu kalau bosnya sering bertemu rekan bisnis yang masih single dan cantik juga menarik. “Hahhh tidak ada dan tidak mau mengincar siapapun!” keluhnya dengan mendengus. “Aku harus bagaimana?” tanya Valda. “Emmmh bukannya Tuan sudah menyewa Aruna untuk menjadi pacar pura-pura. Bawa saja dia besok malam dan kenalkan pada keluarga Tuan,” saran Haris. “Papa sudah menyuruhku untuk memutuskan Aruna. Aku harus menikah, tidak boleh cuman pacaran!” jelas Valda. “Kenalkan saja sebagai calon istri, saya yakin kalau Tuan serius ingin menikah pasti dengan siapapun akan di setujui. Untuk ke depannya, jadi menikah atau tidak tinggal di pikirkan lagi solusinya,” jelas Haris dengan idenya. Valda berpikir seraya mondar mandir saran yang Haris berikan tidaklah buruk dan ia bisa mempertimbangkan itu. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Valda menyelesaikan pekerjaannya dan berlalu pulang. Haris tidak ikut ke apartemen, ia menyuruhnya untuk langsung pulang. Hari ini terasa lebih lelah dari hari biasanya. Masuk apartemen dan ia terkejut karena begitu berantakan. Bantal sofa berantakan, paperbag bekas belanjaan berserakan di lantai. Ia pergi ke dapur dan melihat bekas makan di meja tidak di rapikan, ia juga melihat wastafel dengan piring dan gelas kotor. “Apa-apaan ini?” gumamnya. Valda sudah tahu siapa yang melakukan itu. Bergegas mengetuk pintu kamar Aruna sekuat tenaga seakan ingin merobohkan pintu itu. “Aruna ... Aruna ...” meggedor pintu sembari berteriak-teriak. Beberapa saat menunggu, Aruna keluar. Berdiri di depan Valda sembari menguncir rambutnya yang berantakan. “Apa yang kau lakukan dengan apartemenku?” tanya Valda. Aruna melihat sekitar dan menggelengkan kepala. “tidak ada!” jawabnya polos. Valda menarik tangan Aruna di bawanya berkeliling. “Lihatlah, ruang tamu, dapur, meja makan, semuanya kotor! Kau jorok sekali! Aku tidak suka semua ini kotor,” jelas Valda. “Ya nanti aku bereskan! Sekarang aku ingin tidur dulu.” Aruna hendak pergi, tapi Valda menahannya. “Aku tidak mau tahu, kau harus membereskan semuanya sekarang juga! Kau menumpang disini, setidaknya kau tahu diri.” Valda melengos pergi ke kamarnya menutup pintu dengan kencang. “Ya Tuhan, kenapa dia marah-marah terus sih? Sensitif sekali ...” gumam Aruna. Ia menguap beberapa kali dan malas membersihkan semuanya, akan tetapi ia cukup sadar diri dan membersihkan semuanya dari mulai ruang tamu sampai cuci piring. Aruna terbiasa akan hal itu karena sebelumnya Karin selalu menyuruh Aruna beres-beres seperti ini. “Capek banget!” Aruna menuang air ke dalam gelas dan meneguknya lalu ia pergi ke kamar. Tidak lama kemudian, Valda keluar dari kamar dan melihat hasil kerja Aruna. Ia tersenyum tipis dan memuji kalau Aruna bisa melakukan itu. Ingin mengajaknya ngobrol untuk menanyakan tentang preman itu, tapi ia mengurungkan niatnya. Valda mempunyai pekerjaan yang belum selesai, seperti biasa ia menuangkan wine untuk menemani malamnya. Meneguknya sedikit dan ia biarkan di meja makan untuk mengambil laptop. Aruna keluar dari kamar dengan mata sayupnya menahan kantuk, ia meneguk air minum di meja sampai habis. Wajahnya mengernyit, ternyata ia salah mengambil gelas. Ia meneguk wine milik Valda. “Air putih ini terasa aneh!” Ia menatap gelas yang di pegangnya. Ini kali pertama dirinya meminum minuman seperti itu. kadungan alkohol yang tinggi membuat kepala langsung pusing. Berjalan sempoyongan ke kamarnya, tetapi langkahnya semakin tidak karuan. Ia hampir terjatuh dan Valda menangkap tubuh Aruna. "Kau kenapa?" tanya Valda. Aruna tersenyum lebar menatap Valda lalu melingkarkan kedua tangannya pada leher Valda. "Tampannyaaa ..." cetus Aruna seraya bersikap manja. Valda mendekatkan hidungnya pada mulut Aruna dan ia mengenali bau mulutnya itu. "Apa Aruna meneguk wine milikku?"Mengendus sekali lagi mulut Aruna dan memang benar kalau Aruna meneguk wine miliknya sehingga ia mabuk dan bersikap aneh. “Kau sangat tampan di lihat dari dekat seperti ini ...” cetus Aruna seraya tertawa kecil. Kemudian dengan tiba-tiba Aruna menyosor bibir Valda menciuminya dengan liar. Itu membuat Valda terkejut dan tidak menyangka, ia sadar kalau Aruna seperti itu karena di bawah pengaruh alkohol. Valda mencoba melepaskannya, tetapi Aruna semakin liar. Sebagai lelaki normal, tubuhnya seakan terpancing dan ia membalas ciumann Aruna tanpa sadar menikmatinya. Aruna mendorong tubuh Valda sampai terbaring di sofa. Ciumann mereka sempat terlepas, tetapi Aruna melakukannya lagi dengan posisi ia di atasnya Valda. Valda tidak menyangka Aruna mampu melakukan hal seperti ini padahal dirinya terlihat lugu. Anehnya tubuh Valda tidak menolak itu, malah hawa panas menguasai tubuhnya. “Mmmmh ... ciuman pertamaku untukmu ...” cetus Aruna dengan tertawa kecil. “Jangan lakukan la
Valda membawa pakaian begitu banyaknya dan memberikan semua itu pada Aruna sampai menutupi wajahnya. Tubuhnya yang mungil kesulitan memegangi pakaian sebanyak itu dan Aruna hampir saja terjatuh untung Valda menahannya. “Kau lemah sekali!” ujar Valda seraya mengambil sebagian pakaiannya. “Kau dengan tiba-tiba memberikan pakaian sebanyak ini padaku, Aissshhh ...” Aruna mendelik. Valda memasukkan pakaian-pakaian itu ke dalam ruang ganti dan Aruna masuk. Ia mencoba setiap pakaian itu. Dress-dress seksi yang Valda pilihkan untuknya. Bahu yang terbuka lebar bahkan sampai belahan dadanya terlihat dengan panjang di atas lutut. “Pakaian apa ini?” gumam Aruna. Ia keluar dan memperlihatkannya pada Valda sembari menutupi dadanya yang terbuka membuatnya tidak nyaman. “Itu tidak cocok untukmu!” cetus Valda. Aruna kembali masuk dengan kesal dan mengganti dengan pakaian lainnya. Keluar masuk dengan pakaian gonta ganti dan Valda selalu mengatakan tidak cocok. “Aku sudah mencoba
“Papa minta kalian menikah secepatnya! Untuk persiapan biar Papa yang atur. Kalian siapkan saja diri kalian!” Chand bangkit dari duduknya berlalu pergi di ikuti oleh Defria. “Pa ... Pa ... itu terlalu cepat! Kami belum siap.” Teriak Valda. Akan tetapi, Chand mengabaikannya. Melihat hal itu, Haris berpindah ke meja Valda. “Ada masalah, Tuan?” tanyanya. Valda hanya menggelengkan kepala. “Hehh ... kenapa jadi menikah?” tanya Aruna. Valda menghela nafas dan menatap Aruna. “Aku tidak tahu!” pasrahnya. “Sesuai perjanjian, hanya pacar pura-pura. Tidak lebih!” pungkas Aruna. Valda berpikir sejenak, dirinya terjebak dalam permainannya sendiri. Tidak terpikir akan seserius dan sejauh ini. “Hehhh ... kenapa kau diam saja?” Aruna menepuk lengan Valda. Valda tersadar. “Aku akan memikirkannya lagi nanti. Ayo pulanglah!” ajaknya. “Aku lapar. Kita disini belum makan sama sekali,” ujar Aruna seraya memegangi perutnya. Valda kembali duduk lalu membuka buku menu. Ia memes
“Kau gila!” cetus Valda. “Ti–tidak ... jangan berpikiran macam-macam terhadap kami. Saya sudah menikah dan punya anak perempuan usia tiga tahun,” elak Haris. Aruna menatap Valda tajam. “Apa? Bisa-bisanya kau menuduhku seperti itu. Gila ...” cerca Valda. “Ya lagi pula dirimu seperti apa yang aku katakan tadi, tapi tidak punya pacar. Padahal aku pikir orangtuamu tidak ada salahnya mencarikanmu jodoh yang setara. Jika tidak ingin di jodohkan, gampang bagimu untuk mencari wanita yang setara. Kalau bukan penyuka sesama, ya apalagi?” tutur Aruna. Valda gemas dengan bibir mungil Aruna yang sedari tadi nyerocos tidak hentinya. Ia mendekat padanya dan tanpa aba-aba melahap bibir mungil itu dengan bibirnya. Membuat Aruna terkejut ia meremas bantal sofa di sampingnya. Haris tidak kalah terkejutnya, ia bangkit dari duduknya seraya memalingkan wajah dan berlalu pergi meninggalkan mereka berdua. Valda begitu menikmatinya, bibir Aruna seakan menjadi candu yang terngiang-ngiang.
“Mobil siapa itu?” sentak Karin pada sopir. Aruna melihat Valda dan Haris keluar dari mobil. Ia merasa sedikit lega dan tenang. “Siapa mereka?” “Tidak tahu, nyonya,” jawab sopir. “Kalian turunlah dan tanya ada perlu apa,” suruh Karin pada kedua preman itu. Dua preman itu menghadapi Valda. Mereka terlihat bicara serius dan Karin penasaran lalu turun dari mobil. “Kau diam disini!” ucapnya pada Aruna. “Tunggu, Mami ...” Aruna ikut turun karena takut terjadi hal yang tidak di inginkan. “Kau diam di mobil, kenapa kau ikut turun?” sentak Karin. “Aruna ...” panggil Valda. Mendengar panggilan itu, Karin mendekat pada Valda. “Siapa kau? Menghentikan mobil saya seenaknya! Kau mengenali Aruna?” “Kau yang siapa? Kenapa kau membawa Aruna?” tanya Valda. “Ini kesempatan bagus, mungkin Tuhan memang mengirimkan Valda untuk menyelamatkanku dari ibu tiriku. Hmmm ...” batin Aruna mengesampingkan kejadian semalam. “Saya ibunya Aruna! Ya terserah saya kalau mau membawanya
Aruna terdiam sejenak sembari menatap Valda, ia ragu menceritakan tentang keluarganya. “Katakan saja, siapa tahu aku bisa membantumu,” ucap Valda. “Emmmh ... ya memang aku bukan orang susah. Mobil yang ibu tiriku pakai, itu mobil peninggalan Papiku dan masih ada dua mobil lagi di rumah. Papiku dulunya punya banyak bisnis, tapi kata ibu tiriku setelah meninggal sebagian bisnis Papi di jual untuk membayar hutang-hutang yang di tinggalkan. Termasuk rumah besar kenangan yang dulu aku tinggali bersama Mami dan Papi juga sudah terjual,” jelas Aruna. Valda cukup memahaminya, bukan hal aneh jika dalam bisnis ada hutang piutang. “Bisnis apa Papimu? Siapa tahu aku mengetahuinya,” tanya Valda. Aruna hanya menggelengkan kepala. “Kau ini sebagai anak kok tidak tahu!” Valda mengernyit. “Ya aku baru menyadarinya sekarang, ternyata Papi menyuruhku untuk sekolah bisnis agar aku bisa meneruskan bisnisnya. Tetapi, dulu aku tidak pernah mau sekolah bisnis dan kekeh dengan keinginanku
Valda dan Aruna memasuki rumah besar itu. Nuansa putih gold membuat rumah terlihat mewah di tambah dengan ornamen barang-barang mahal. “Rumah ini sama persis dengan rumahku yang dulu,” gumam Aruna. “Jangan membuat masalah! Bersikaplah anggun ...” ucap Valda. Kedatangan mereka tidak di sambut baik oleh Defria dan Chand. Mereka hanya duduk diam. “Ma, Pa, kami datang,” ucap Valda. Lalu mereka duduk di sofa dengan tangan tetap bergandengan. “Mau ngapain kalian datang kemari?” tanya Defria ketus. “Kami datang kemari ingin menyampaikan kepada kalian kalau kami siap menikah,” ungkap Valda. Defria terkejut, tapi Chand sudah menduga ini akan terjadi dan wajahnya datar tanpa ekspresi. “Pa, bagaimana ini?” bisik Defria. “Hmmm ...” Chand mendengus kesal lalu ia bangkit dari duduknya. “Baiklah kalau memang itu keputusan kalian, tapi setelah menikah kalian harus tinggal di rumah ini!” ujarnya. Valda dan Aruna saling melihat. Bagaimana mungkin mereka tinggal di rumah ini
“Apa yang kau lakukan, Valda?” Defria bergegas membangunkan Delova. "Aku tidak apa-apa, Ma." Valda tidak menghiraukannya, ia mendekati Aruna mengangkat tubuhnya ke dalam pangkuannya. “Aruna ... bangunlah!” ujarnya. Kemudian ia bergegas memberinya nafas buatan dan tidak lama Aruna tersadar. Terbatuk dengan air keluar dari mulutnya. Uhuuuk ... uhuuukkk .... “Kau tidak apa-apa?” tanya Valda sembari menepuk-nepuk punggung Aruna. Aruna melihat semua orang dan menatap Elisha dengan tajam. “Apa yang terjadi, bagaimana bisa kau jatuh ke kolam renang?” tanya Valda lagi. Aruna melihat kalau Elisha tidak merasa bersalah. Wajahnya biasa saja malah seperti menantang dirinya. “A–aku terpeleset dan aku tidak bisa berenang,” jawab Aruna berbohong. Ia melihat Delova yang basah kuyup dan Valda keadaan kering. “Halah ... kau ini membuat heboh saja! Berenang saja tidak bisa!” cetus Defria ketus. Chand tidak banyak bicara dan melengos pergi begitu saja. “Bibi, sepertin