Share

Bab 4 - Shopping

Valda bangkit dari duduknya. “Semua perempuan sama saja, kalau tidak gila uang, ya gila pria tidak cukup satu pria. Mana ada perempuan tulus!” cetusnya.

Haris mengangguk mengerti.

“Pergilah ... belikan apa yang dia butuhkan dan bawalah dia ke dokter. sepertinya kaki dia masih sakit.” Valda menyerahkan satu black card miliknya.

Haris berlalu pergi.

“Emmmh setelah kepergian Marisa, mana mungkin aku percaya lagi pada perempuan. Aku tidak akan pernah mencintai siapapun lagi termasuk anak cengeng yang yang dulu di jodohkan oleh Papa dan aku tidak akan pernah menikahinya!” gumam Valda.

Valda memang mempunyai trauma soal cinta. Masa lalunya bersama Marisa cukup membunuh hatinya.

Di sisi lain ....

Aruna sudah memakai kembali pakaiannya. Untung saja mesin cuci canggih bisa mengeringkan dengan cepat.

Pintu ada yang mengetuk, Aruna bergegas pergi. Akan tetapi, ia ragu untuk membukanya. Pintu terus di ketuk.

“Siapa, ya?”

Tokkk ... tokkk ....

Aruna menghela nafas panjang, memegang gagang pintu dengan perlahan dan membukanya.

Klekkk ....

“Kenapa kau lama sekali?” todong Haris.

“Ternyata anda!”

“Ayo pergi. Ikuti aku!” Haris menutup pintu dan Aruna berpindah ke belakangnya.

Haris berjalan tanpa banyak bicara apapun dan Aruna mengekor padanya.

“Kita akan pergi kemana?” tanya Aruna.

Haris tidak menjawab dan terus berjalan sampai ke parkiran. Ia membukakan pintu mobil untuk Aruna.

“Masuklah,” suruhnya.

Tanpa banyak bertanya lagi, Aruna masuk dan duduk. Haris duduk di kursi kemudi dan melajukan mobilnya.

“Kita mau pergi kemana?” tanya Aruna penasaran.

“Sesuai perintah Tuan.”

"Iya kemana? jawab saja kok susah!" cetus Aruna.

"Tuan menyuruh saya untuk membawamu ke dokter memeriksakan kakimu. lalu setelah itu kita pergi ke mall untuk membeli kebutuhanmu," jelas Haris.

"Tidak ... tidak ... aku tidak perlu ke dokter. kakiku sudah lebih baik, besok juga sembuh." Aruna menolaknya.

"Kau yakin?" tanya Haris.

"Oke. Aku tidak masalah," jawab Aruna.

"Baiklah!"

Aruna melihat jalanan yang cukup asing dan belum pernah ia lalui.

Satu tahun tinggal di kota ini, tapi dirinya di larang keluar oleh Karin. Kecuali kalau di ajak, itupun di jadikan pembantu yang membawa barang-barang belanjaan.

Haris menghentikan mobilnya di depan sebuah mall besar di kota itu. Memarkirkan mobilnya dan merek turun.

“Tuan meminta saya untuk menemani Nona membeli kebutuhan. Dari mulai pakaian dan lainnya termasuk handphone,” jawabnya.

“Hahaha ... Nona. Terdengar lucu ... panggil saja Aruna!” ucap Aruna dengan tertawa kecil.

“Silahkan!”

“Aku boleh membeli apapun yang aku mau?” tanya Aruna.

“Silahkan!” ujar Haris.

Aruna mendelik lalu berjalan lebih dulu. Setiap toko yang ia lewati, ia masuki dan membeli beberapa barang. Pakaian, tas, sepatu, beberapa make up dan perintilan lainnya.

“Ya Tuhan, sudah lama aku tidak shopping seperti ini. Aaaa rindunya ...” ucap Aruna seraya berjalan perlahan karena kakinya belum sepenuhnya sembuh.

Dua tangan Haris sudah menenteng banyak belanjaan dan ia hanya bergeleng kepala melihat tingkahnya.

“Benar kata Tuan, perempuan sama saja!”

Tidak lupa mereka masuk ke toko ponsel dan memilih ponsel baru untuk Aruna gunakan. Ia memilih ponsel Paling mahal keluaran terbaru, Aruna tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini.

“Apa ada yang akan di beli lagi?” tanya Haris setelah keluar dari toko ponsel.

Aruna melihat paperbag yang sudah banyak dan ia merasa itu sudah cukup. Lalu menggelengkan kepala seraya tersenyum.

“Mari pulang,” ajak Haris.

Aruna mengangguk dan berjalan mengekor pada Haris.

Sampai di mobil, Haris merapikan barang belanjaannya di bagasi.

“Emmmh aku lapar. Apa bisa kita makan dulu?” tanya Aruna memohon.

“Tidak. Saya harus segera kembali ke kantor!” jawabnya datar.

“Aku lapar!” rengek Aruna.

“Hmmm ... tunggu saja disini, biar saya yang beli makanan untukmu. Mau makanan apa?” tanya Haris.

“Oke ... aku mau ayam goreng crispy saja. Yang banyak ...” pinta Aruna.

Tanpa bicara lagi, Haris berlalu pergi. Aruna menunggunya diluar mobil sembari berjalan-jalan kecil di sekitaran parkiran dan memainkan ponsel.

Saat fokus dengan ponsel barunya, Aruna tidak menyadari kalau dua orang mengawasinya dan menyergapnya memegangi kedua tangan Aruna.

“Hehhh ... siapa kalian? Lepaskan!” ujar Aruna mencoba melepaskan diri.

“Akhirnya kami menemukanmu! Jangan berontak, ayo kita pulang dan temui ibumu!” ujarnya.

Aruna melihat kedua orang itu dan ia menyadari kalau mereka adalah preman suruhan ibu tirinya.

“Kalian! Lepaskan aku ... lepaskan ...” Aruna mencoba melepaskan diri.

“Kau tidak akan bisa kabur lagi!”

“Tolong ... tolong ...” Aruna berteriak.

Salah satu preman membekap mulut Aruna. Itu di jadikan kesempatan untuk melepaskan diri. Lalu ia menggigitnya dengan keras sampai tangannya terlepas dan menendang kemaluan preman yang satunya yang masih memegangi tangan Aruna.

Aruna lari menjauhi mereka sekuat tenaga dengan kaki yang masih sedikit sakit. Haris yang baru saja keluar dari Restoran cepat saji melihatnya.

“Kenapa dia lari? Apakah dia kabur? Wah tidak bisa di biarkan!” Haris mengejar Aruna.

Preman itu pun mengejar Aruna dan Haris menyadarinya.

“Apa Aruna di kejar orang-orang itu?” gumamnya.

Merasa kasihan pada Aruna, Haris menghubungi anak buahnya untuk datang agar melawan orang-orang itu. Lalu ia mengejar Aruna.

Haris melihat kalau kedua orang itu telah mendapatkan Aruna memegangi kedua tangannya. Ia berusaha menghajar kedua orang itu dan mereka bisa Haris kalahkan.

“Haiii kau hati-hati ...” teriak Aruna. Ia mencoba meminta bantuan, tapi nihil.

Kedua preman bangkit lagi dan memegangi Haris dan menghajarnya. Aruna mendekati mereka dan mencoba membantunya, tapi nihil malah dirinya yang tersungkur.

Tiba-tiba seorang pemotor berhenti dan menolong Haris sampai preman itu tersungkur tidak berdaya.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Haris pada Aruna.

“Aku baik-baik saja,” jawabnya.

“Kalian baik-baik saja?” tanya pemotor itu pada Haris dan Aruna. Kemudian melepaskan helm yang di pakainya.

Pria tampan berambut gondrong di balik helm itu.

“Tuan Delova ...” ujar Haris.

“Pak Haris ... apa yang terjadi?” tanyanya.

Ternyata itu adalah Delova, adik kandung Valda.

“Saya juga tidak tahu,” jawab Haris lalu menatap Aruna.

“Maafkan aku. Gara-gara diriku anda jadi babak belur,” ujar Aruna. “Terima kasih untuk Anda.” Ia membungkukkan badannya pada Delova.

“Oke ... eh, bukannya kamu perempuan semalam?” tanya Delova seraya memperhatikannya dengan saksama. Ia ingat pakaian yang di pakai Aruna.

Aruna mengingat kejadian semalam dan memang motornya dan perawakan orang itu juga sama.

“Oh semalam kau yang menyelamatkanku? Terima kasih, terima kasih ... maaf, semalam aku pergi bersembunyi karena takut kalau kau kalah dan aku tertangkap lagi,” jelas Aruna.

“Mereka orang yang sama semalam mengejarmu, kan?” tanya Delova menunjuk preman yang terkapar.

Aruna mengangguk.

Anak buah Haris datang dan Haris menyuruhnya untuk membawa mereka ke kantor polisi.

“Terima kasih, untuk kalian.” Aruna kembali membungkukkan badannya.

Tiba-tiba ponsel Haris berdering dan Valda yang menghubungi menyuruhnya untuk segera kembali ke kantor.

“Aruna, kita harus pulang sekarang,” ajak Haris. “Terima kasih tuan Delova, kami harus pergi sekarang,” ujarnya pada Delova.

“Baiklah, kalian hati-hati!” ujar Delova.

“Sekali lagi terima kasih,” ucap Aruna lalu mengekor pada Haris dan masuk ke mobil.

Delova memperhatikan mereka sampai mobilnya pergi tidak terlihat lagi.

“Siapa perempuan itu? Kenapa bisa bersama Haris?” gumam Delova. “Bukannya Haris sudah punya istri? Kasihan juga perempuan itu, pasti dia sedang dalam masalah besar sampai di kejar-kejar preman seperti itu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status