Valda bangkit dari duduknya. “Semua perempuan sama saja, kalau tidak gila uang, ya gila pria tidak cukup satu pria. Mana ada perempuan tulus!” cetusnya.
Haris mengangguk mengerti. “Pergilah ... belikan apa yang dia butuhkan dan bawalah dia ke dokter. sepertinya kaki dia masih sakit.” Valda menyerahkan satu black card miliknya. Haris berlalu pergi. “Emmmh setelah kepergian Marisa, mana mungkin aku percaya lagi pada perempuan. Aku tidak akan pernah mencintai siapapun lagi termasuk anak cengeng yang yang dulu di jodohkan oleh Papa dan aku tidak akan pernah menikahinya!” gumam Valda. Valda memang mempunyai trauma soal cinta. Masa lalunya bersama Marisa cukup membunuh hatinya. Di sisi lain .... Aruna sudah memakai kembali pakaiannya. Untung saja mesin cuci canggih bisa mengeringkan dengan cepat. Pintu ada yang mengetuk, Aruna bergegas pergi. Akan tetapi, ia ragu untuk membukanya. Pintu terus di ketuk. “Siapa, ya?” Tokkk ... tokkk .... Aruna menghela nafas panjang, memegang gagang pintu dengan perlahan dan membukanya. Klekkk .... “Kenapa kau lama sekali?” todong Haris. “Ternyata anda!” “Ayo pergi. Ikuti aku!” Haris menutup pintu dan Aruna berpindah ke belakangnya. Haris berjalan tanpa banyak bicara apapun dan Aruna mengekor padanya. “Kita akan pergi kemana?” tanya Aruna. Haris tidak menjawab dan terus berjalan sampai ke parkiran. Ia membukakan pintu mobil untuk Aruna. “Masuklah,” suruhnya. Tanpa banyak bertanya lagi, Aruna masuk dan duduk. Haris duduk di kursi kemudi dan melajukan mobilnya. “Kita mau pergi kemana?” tanya Aruna penasaran. “Sesuai perintah Tuan.” "Iya kemana? jawab saja kok susah!" cetus Aruna. "Tuan menyuruh saya untuk membawamu ke dokter memeriksakan kakimu. lalu setelah itu kita pergi ke mall untuk membeli kebutuhanmu," jelas Haris. "Tidak ... tidak ... aku tidak perlu ke dokter. kakiku sudah lebih baik, besok juga sembuh." Aruna menolaknya. "Kau yakin?" tanya Haris. "Oke. Aku tidak masalah," jawab Aruna. "Baiklah!" Aruna melihat jalanan yang cukup asing dan belum pernah ia lalui. Satu tahun tinggal di kota ini, tapi dirinya di larang keluar oleh Karin. Kecuali kalau di ajak, itupun di jadikan pembantu yang membawa barang-barang belanjaan. Haris menghentikan mobilnya di depan sebuah mall besar di kota itu. Memarkirkan mobilnya dan merek turun. “Tuan meminta saya untuk menemani Nona membeli kebutuhan. Dari mulai pakaian dan lainnya termasuk handphone,” jawabnya. “Hahaha ... Nona. Terdengar lucu ... panggil saja Aruna!” ucap Aruna dengan tertawa kecil. “Silahkan!” “Aku boleh membeli apapun yang aku mau?” tanya Aruna. “Silahkan!” ujar Haris. Aruna mendelik lalu berjalan lebih dulu. Setiap toko yang ia lewati, ia masuki dan membeli beberapa barang. Pakaian, tas, sepatu, beberapa make up dan perintilan lainnya. “Ya Tuhan, sudah lama aku tidak shopping seperti ini. Aaaa rindunya ...” ucap Aruna seraya berjalan perlahan karena kakinya belum sepenuhnya sembuh. Dua tangan Haris sudah menenteng banyak belanjaan dan ia hanya bergeleng kepala melihat tingkahnya. “Benar kata Tuan, perempuan sama saja!” Tidak lupa mereka masuk ke toko ponsel dan memilih ponsel baru untuk Aruna gunakan. Ia memilih ponsel Paling mahal keluaran terbaru, Aruna tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. “Apa ada yang akan di beli lagi?” tanya Haris setelah keluar dari toko ponsel. Aruna melihat paperbag yang sudah banyak dan ia merasa itu sudah cukup. Lalu menggelengkan kepala seraya tersenyum. “Mari pulang,” ajak Haris. Aruna mengangguk dan berjalan mengekor pada Haris. Sampai di mobil, Haris merapikan barang belanjaannya di bagasi. “Emmmh aku lapar. Apa bisa kita makan dulu?” tanya Aruna memohon. “Tidak. Saya harus segera kembali ke kantor!” jawabnya datar. “Aku lapar!” rengek Aruna. “Hmmm ... tunggu saja disini, biar saya yang beli makanan untukmu. Mau makanan apa?” tanya Haris. “Oke ... aku mau ayam goreng crispy saja. Yang banyak ...” pinta Aruna. Tanpa bicara lagi, Haris berlalu pergi. Aruna menunggunya diluar mobil sembari berjalan-jalan kecil di sekitaran parkiran dan memainkan ponsel. Saat fokus dengan ponsel barunya, Aruna tidak menyadari kalau dua orang mengawasinya dan menyergapnya memegangi kedua tangan Aruna. “Hehhh ... siapa kalian? Lepaskan!” ujar Aruna mencoba melepaskan diri. “Akhirnya kami menemukanmu! Jangan berontak, ayo kita pulang dan temui ibumu!” ujarnya. Aruna melihat kedua orang itu dan ia menyadari kalau mereka adalah preman suruhan ibu tirinya. “Kalian! Lepaskan aku ... lepaskan ...” Aruna mencoba melepaskan diri. “Kau tidak akan bisa kabur lagi!” “Tolong ... tolong ...” Aruna berteriak. Salah satu preman membekap mulut Aruna. Itu di jadikan kesempatan untuk melepaskan diri. Lalu ia menggigitnya dengan keras sampai tangannya terlepas dan menendang kemaluan preman yang satunya yang masih memegangi tangan Aruna. Aruna lari menjauhi mereka sekuat tenaga dengan kaki yang masih sedikit sakit. Haris yang baru saja keluar dari Restoran cepat saji melihatnya. “Kenapa dia lari? Apakah dia kabur? Wah tidak bisa di biarkan!” Haris mengejar Aruna. Preman itu pun mengejar Aruna dan Haris menyadarinya. “Apa Aruna di kejar orang-orang itu?” gumamnya. Merasa kasihan pada Aruna, Haris menghubungi anak buahnya untuk datang agar melawan orang-orang itu. Lalu ia mengejar Aruna. Haris melihat kalau kedua orang itu telah mendapatkan Aruna memegangi kedua tangannya. Ia berusaha menghajar kedua orang itu dan mereka bisa Haris kalahkan. “Haiii kau hati-hati ...” teriak Aruna. Ia mencoba meminta bantuan, tapi nihil. Kedua preman bangkit lagi dan memegangi Haris dan menghajarnya. Aruna mendekati mereka dan mencoba membantunya, tapi nihil malah dirinya yang tersungkur. Tiba-tiba seorang pemotor berhenti dan menolong Haris sampai preman itu tersungkur tidak berdaya. “Kau tidak apa-apa?” tanya Haris pada Aruna. “Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Kalian baik-baik saja?” tanya pemotor itu pada Haris dan Aruna. Kemudian melepaskan helm yang di pakainya. Pria tampan berambut gondrong di balik helm itu. “Tuan Delova ...” ujar Haris. “Pak Haris ... apa yang terjadi?” tanyanya. Ternyata itu adalah Delova, adik kandung Valda. “Saya juga tidak tahu,” jawab Haris lalu menatap Aruna. “Maafkan aku. Gara-gara diriku anda jadi babak belur,” ujar Aruna. “Terima kasih untuk Anda.” Ia membungkukkan badannya pada Delova. “Oke ... eh, bukannya kamu perempuan semalam?” tanya Delova seraya memperhatikannya dengan saksama. Ia ingat pakaian yang di pakai Aruna. Aruna mengingat kejadian semalam dan memang motornya dan perawakan orang itu juga sama. “Oh semalam kau yang menyelamatkanku? Terima kasih, terima kasih ... maaf, semalam aku pergi bersembunyi karena takut kalau kau kalah dan aku tertangkap lagi,” jelas Aruna. “Mereka orang yang sama semalam mengejarmu, kan?” tanya Delova menunjuk preman yang terkapar. Aruna mengangguk. Anak buah Haris datang dan Haris menyuruhnya untuk membawa mereka ke kantor polisi. “Terima kasih, untuk kalian.” Aruna kembali membungkukkan badannya. Tiba-tiba ponsel Haris berdering dan Valda yang menghubungi menyuruhnya untuk segera kembali ke kantor. “Aruna, kita harus pulang sekarang,” ajak Haris. “Terima kasih tuan Delova, kami harus pergi sekarang,” ujarnya pada Delova. “Baiklah, kalian hati-hati!” ujar Delova. “Sekali lagi terima kasih,” ucap Aruna lalu mengekor pada Haris dan masuk ke mobil. Delova memperhatikan mereka sampai mobilnya pergi tidak terlihat lagi. “Siapa perempuan itu? Kenapa bisa bersama Haris?” gumam Delova. “Bukannya Haris sudah punya istri? Kasihan juga perempuan itu, pasti dia sedang dalam masalah besar sampai di kejar-kejar preman seperti itu.”Karin mendapatkan telepon dari kantor polisi perihal kedua preman yang di bawa ke kantor polisi. Kemudian ia dan Nanda pergi kesana. Tidak butuh waktu lama, Karin bisa membebaskan mereka dengan uang jaminan. Kembali ke rumah, Karin marah besar kepada mereka berdua. “Untuk bulan ini, gaji kalian saya potong untuk mengganti uang yang saya bayarkan pada polisi!” cetusnya. “Terima kasih, Nyonya ....” “Lagi pula Mami ngapain sih belain mereka dan menjamin mereka. Biarkan saja mereka membusuk di penjaraa, kerja juga gak becus!” timpal Nanda. “Jangan mengajari Mami. Mereka di penjara, siapa yang akan memberikan informasi tentang Aruna. Bodoh sekali kau!” cerca Karin. Nanda anak kandungnya sendiri, tetapi ia memperlakukannya seperti itu. Menganggapnya bodoh tidak berguna dan hanya beban karena Nanda adalah anak dari hasil hubungan gelap. Ayahnya tidak tahu siapa dan dimana? “Kenapa kalian bisa di kantor polisi?” tanya Karin dengan bertolak pinggang sembari menghisap sebata
Mengendus sekali lagi mulut Aruna dan memang benar kalau Aruna meneguk wine miliknya sehingga ia mabuk dan bersikap aneh. “Kau sangat tampan di lihat dari dekat seperti ini ...” cetus Aruna seraya tertawa kecil. Kemudian dengan tiba-tiba Aruna menyosor bibir Valda menciuminya dengan liar. Itu membuat Valda terkejut dan tidak menyangka, ia sadar kalau Aruna seperti itu karena di bawah pengaruh alkohol. Valda mencoba melepaskannya, tetapi Aruna semakin liar. Sebagai lelaki normal, tubuhnya seakan terpancing dan ia membalas ciumann Aruna tanpa sadar menikmatinya. Aruna mendorong tubuh Valda sampai terbaring di sofa. Ciumann mereka sempat terlepas, tetapi Aruna melakukannya lagi dengan posisi ia di atasnya Valda. Valda tidak menyangka Aruna mampu melakukan hal seperti ini padahal dirinya terlihat lugu. Anehnya tubuh Valda tidak menolak itu, malah hawa panas menguasai tubuhnya. “Mmmmh ... ciuman pertamaku untukmu ...” cetus Aruna dengan tertawa kecil. “Jangan lakukan la
Valda membawa pakaian begitu banyaknya dan memberikan semua itu pada Aruna sampai menutupi wajahnya. Tubuhnya yang mungil kesulitan memegangi pakaian sebanyak itu dan Aruna hampir saja terjatuh untung Valda menahannya. “Kau lemah sekali!” ujar Valda seraya mengambil sebagian pakaiannya. “Kau dengan tiba-tiba memberikan pakaian sebanyak ini padaku, Aissshhh ...” Aruna mendelik. Valda memasukkan pakaian-pakaian itu ke dalam ruang ganti dan Aruna masuk. Ia mencoba setiap pakaian itu. Dress-dress seksi yang Valda pilihkan untuknya. Bahu yang terbuka lebar bahkan sampai belahan dadanya terlihat dengan panjang di atas lutut. “Pakaian apa ini?” gumam Aruna. Ia keluar dan memperlihatkannya pada Valda sembari menutupi dadanya yang terbuka membuatnya tidak nyaman. “Itu tidak cocok untukmu!” cetus Valda. Aruna kembali masuk dengan kesal dan mengganti dengan pakaian lainnya. Keluar masuk dengan pakaian gonta ganti dan Valda selalu mengatakan tidak cocok. “Aku sudah mencoba
“Papa minta kalian menikah secepatnya! Untuk persiapan biar Papa yang atur. Kalian siapkan saja diri kalian!” Chand bangkit dari duduknya berlalu pergi di ikuti oleh Defria. “Pa ... Pa ... itu terlalu cepat! Kami belum siap.” Teriak Valda. Akan tetapi, Chand mengabaikannya. Melihat hal itu, Haris berpindah ke meja Valda. “Ada masalah, Tuan?” tanyanya. Valda hanya menggelengkan kepala. “Hehh ... kenapa jadi menikah?” tanya Aruna. Valda menghela nafas dan menatap Aruna. “Aku tidak tahu!” pasrahnya. “Sesuai perjanjian, hanya pacar pura-pura. Tidak lebih!” pungkas Aruna. Valda berpikir sejenak, dirinya terjebak dalam permainannya sendiri. Tidak terpikir akan seserius dan sejauh ini. “Hehhh ... kenapa kau diam saja?” Aruna menepuk lengan Valda. Valda tersadar. “Aku akan memikirkannya lagi nanti. Ayo pulanglah!” ajaknya. “Aku lapar. Kita disini belum makan sama sekali,” ujar Aruna seraya memegangi perutnya. Valda kembali duduk lalu membuka buku menu. Ia memes
“Kau gila!” cetus Valda. “Ti–tidak ... jangan berpikiran macam-macam terhadap kami. Saya sudah menikah dan punya anak perempuan usia tiga tahun,” elak Haris. Aruna menatap Valda tajam. “Apa? Bisa-bisanya kau menuduhku seperti itu. Gila ...” cerca Valda. “Ya lagi pula dirimu seperti apa yang aku katakan tadi, tapi tidak punya pacar. Padahal aku pikir orangtuamu tidak ada salahnya mencarikanmu jodoh yang setara. Jika tidak ingin di jodohkan, gampang bagimu untuk mencari wanita yang setara. Kalau bukan penyuka sesama, ya apalagi?” tutur Aruna. Valda gemas dengan bibir mungil Aruna yang sedari tadi nyerocos tidak hentinya. Ia mendekat padanya dan tanpa aba-aba melahap bibir mungil itu dengan bibirnya. Membuat Aruna terkejut ia meremas bantal sofa di sampingnya. Haris tidak kalah terkejutnya, ia bangkit dari duduknya seraya memalingkan wajah dan berlalu pergi meninggalkan mereka berdua. Valda begitu menikmatinya, bibir Aruna seakan menjadi candu yang terngiang-ngiang.
“Mobil siapa itu?” sentak Karin pada sopir. Aruna melihat Valda dan Haris keluar dari mobil. Ia merasa sedikit lega dan tenang. “Siapa mereka?” “Tidak tahu, nyonya,” jawab sopir. “Kalian turunlah dan tanya ada perlu apa,” suruh Karin pada kedua preman itu. Dua preman itu menghadapi Valda. Mereka terlihat bicara serius dan Karin penasaran lalu turun dari mobil. “Kau diam disini!” ucapnya pada Aruna. “Tunggu, Mami ...” Aruna ikut turun karena takut terjadi hal yang tidak di inginkan. “Kau diam di mobil, kenapa kau ikut turun?” sentak Karin. “Aruna ...” panggil Valda. Mendengar panggilan itu, Karin mendekat pada Valda. “Siapa kau? Menghentikan mobil saya seenaknya! Kau mengenali Aruna?” “Kau yang siapa? Kenapa kau membawa Aruna?” tanya Valda. “Ini kesempatan bagus, mungkin Tuhan memang mengirimkan Valda untuk menyelamatkanku dari ibu tiriku. Hmmm ...” batin Aruna mengesampingkan kejadian semalam. “Saya ibunya Aruna! Ya terserah saya kalau mau membawanya
Aruna terdiam sejenak sembari menatap Valda, ia ragu menceritakan tentang keluarganya. “Katakan saja, siapa tahu aku bisa membantumu,” ucap Valda. “Emmmh ... ya memang aku bukan orang susah. Mobil yang ibu tiriku pakai, itu mobil peninggalan Papiku dan masih ada dua mobil lagi di rumah. Papiku dulunya punya banyak bisnis, tapi kata ibu tiriku setelah meninggal sebagian bisnis Papi di jual untuk membayar hutang-hutang yang di tinggalkan. Termasuk rumah besar kenangan yang dulu aku tinggali bersama Mami dan Papi juga sudah terjual,” jelas Aruna. Valda cukup memahaminya, bukan hal aneh jika dalam bisnis ada hutang piutang. “Bisnis apa Papimu? Siapa tahu aku mengetahuinya,” tanya Valda. Aruna hanya menggelengkan kepala. “Kau ini sebagai anak kok tidak tahu!” Valda mengernyit. “Ya aku baru menyadarinya sekarang, ternyata Papi menyuruhku untuk sekolah bisnis agar aku bisa meneruskan bisnisnya. Tetapi, dulu aku tidak pernah mau sekolah bisnis dan kekeh dengan keinginanku
Valda dan Aruna memasuki rumah besar itu. Nuansa putih gold membuat rumah terlihat mewah di tambah dengan ornamen barang-barang mahal. “Rumah ini sama persis dengan rumahku yang dulu,” gumam Aruna. “Jangan membuat masalah! Bersikaplah anggun ...” ucap Valda. Kedatangan mereka tidak di sambut baik oleh Defria dan Chand. Mereka hanya duduk diam. “Ma, Pa, kami datang,” ucap Valda. Lalu mereka duduk di sofa dengan tangan tetap bergandengan. “Mau ngapain kalian datang kemari?” tanya Defria ketus. “Kami datang kemari ingin menyampaikan kepada kalian kalau kami siap menikah,” ungkap Valda. Defria terkejut, tapi Chand sudah menduga ini akan terjadi dan wajahnya datar tanpa ekspresi. “Pa, bagaimana ini?” bisik Defria. “Hmmm ...” Chand mendengus kesal lalu ia bangkit dari duduknya. “Baiklah kalau memang itu keputusan kalian, tapi setelah menikah kalian harus tinggal di rumah ini!” ujarnya. Valda dan Aruna saling melihat. Bagaimana mungkin mereka tinggal di rumah ini