“Ya itu maksudku, pekerjaan untukmu.”
Aruna mengernyit tidak mengerti dengan apa yang Valda katakan. “Aku akan memberikanmu pekerjaan sebagai pacar pura-puraku. Bagaimana?” ujar Valda. “Tidak ... tidak ...” Aruna tegas menolaknya. Ia bangkit dari duduknya dan hendak pergi mendekat pada pintu. “Tunggu ... kau akan mendapatkan bayaran yang besar. Apa kau tidak butuh uang?” tanya Valda. Aruna menghentikan langkahnya. “Bayaran yang besar? Apa aku ambil saja tawarannya, toh hanya pacar pura-pura saja. Kalau sekarang aku pergi, akan pergi kemana? Tidak mungkin aku pulang ke rumah dan tanpa uang bagaimana aku bisa hidup di luaran sana. Kalaupun bekerja, akan bekerja apa?” batin Aruna bergelut. “Cepatlah berpikirnya!” cetus Valda. Aruna berbalik badan melihat pada Valda. “Hanya pacar pura-pura saja, kan?” tanya Aruna. “Ya, hanya pacar pura-pura. Paling beberapa kali menghadiri acara dan jika bertemu orangtuaku setelah itu selesai ...” jelas Valda. “Benar bayarannya besar?” tanya Aruna. “Ya, aku tahu kau pasti butuh uang.” “Ini hanya pacaran pura-pura dan tidak akan lama!” batin Aruna meyakinkan dirinya sendiri. “Baiklah ... aku setuju, tapi jangan macam-macam padaku, ya ...” ujar Aruna. Valda mengernyitkan dahinya. “Lagi pula dirimu tidak menarik sama sekali!” Aruna mendengus kesal. “Aku akan membayarmu seratus juta. Kau akan tinggal dimana?” tanya Valda. “Oke seratus juta tidak masalah. Emmmh masalah tempat tinggal aku tidak tahu,” jawab Aruna. Valda melihat sekitar seraya berkata, “kau bisa tinggal di apartemen ini, jadi saat aku butuh dirimu gampang!” “Tinggal dengan kalian?” tanyanya menatap Valda dan Haris bergantian. “Berdua saja. Haris punya rumah sendiri,” ujar Valda. “Hehh ... tidak-tidak, bagaimana kalau nanti kau apa-apakan aku,” ujarnya seraya menutupi bagian dada dengan tangannya. “Jangan terlalu percaya diri, aku tidak suka perempuan sepertimu. Tidak menarik sama sekali!" Rambut berantakan, pakaian jelek, wajahmu kusam sekali, badanmu tidak ada bagus-bagusnya!" Terdengar sangat menghina. “Aisssh ...” Aruna mendengus. Lalu memegangi rambutnya dan mengendus tubuhnya sendiri, ia sadar sangat berantakan karena memang dari kemarin belum mandi. “Kau bisa tidur di kamar itu.” Tunjuknya pada pintu di sebelah kanan. Aruna melihat pada arah yang Valda tunjukkan. “Aku akan pergi ke kantor, kau bisa diam disini ...” ujar Valda. “Kau percaya meninggalkanku sendirian disini?” tanya Aruna. Valda menunjuk setiap sudut, terpasang cctv yang canggih. “Kau paham?” ucap Valda. Aruna hanya mengangguk. Kemudian Valda berlalu pergi di ikuti oleh Haris dan ia tinggal sendirian. Masuk ke kamar yang Valda tunjukkan dan berkeliling kamar itu dengan kaki yang masih terpincang-pincang. Pergi ke kamar mandi dan ia ingin mandi, tapi tidak ada baju ganti. Hanya ada bathrobe di dalam lemari lalu ia keluar kamar dan berkeliling di dalam apartemen itu. Aruna menemukan tempat cuci, lalu ia ada ide. Kembali ke kamar dan melepaskan semua pakaiannya. Ia hanya mengenakan bathrobe lalu mencuci semua pakaiannya, menunggu sebentar lalu mengeringkannya. “Dengan begini aku bisa membersihkan diri dan memakai baju bersih,” ujarnya senang. Aruna membersihkan diri, menikmati apa yang ada. Sementara itu .... Defria bergegas pergi ke kantor Chand-suaminya. Ia ingin mengabarkan apa yang baru saja di ketahui tentang anaknya. Mengatakan tidak ingin bicara apa-apa pada Chand, tapi mulutnya begitu gatal ingin bercerita. “Pa ... Papa ...” Defria tiba-tiba masuk. “Tumben datang kemari?” tanya Chand. “Ada hal penting!” ia duduk dengan nafas terengah-engah karena berjalan terburu-buru. “Ada apa? Aku sedang sibuk.” “Putra sulungmu!” ujar Defria. “Kenapa dia?” tanyanya penasaran. “Tadi aku pergi ke apartemennya dan disana ada perempuan,” ungkap Defria. “Memangnya kenapa kalau ada perempuan?” “Valda mengatakan kalau perempuan itu pacarnya. Pasti antara mereka hubungannya sudah sangat jauh, masa pagi-pagi dia sudah ada di apartemen Valda. Pasti perempuan itu menginap ...” jelas Defria. Chand meletakkan bolpoint-nya lalu bangkit dari duduknya dan pindah ke samping Defria. “Valda punya pacar?” Defria mengangguk. “Kenapa gak Mama larang dan usir perempuan itu. Valda sudah di jodohkan dan tidak boleh punya pacar!” ujar Chand. “Bagaimana bisa aku mengusirnya, anakmu sama keras kepalanya denganmu!” ujar Defria. “Ini tidak bisa di diamkan!” cetus Chand. “Pa, memangnya kapan Valda akan di nikahkan dengan anak sahabatmu? Kasihan juga Valda, dia sudah berusia tiga puluh tahun. Setiap pacaran selalu di larang,” tanya Defria. “Itulah masalahnya. Aku masih belum bisa menemukan Harsa sekarang berada dimana. Perusahaan yang dulu, sudah bukan miliknya lagi. aku tidak tahu dia pindah kemana," jelas Chand. “Menurutku lupakan saja perjodohan itu. Lagi pula itu terjadi lima belas tahun yang lalu. Mungkin Harsa sudah melupakannya!” ujar Defria. “Janji tetaplah janji!” “Hmmm ... padahal anak teman-temanku banyak yang cantik dan berpendidikan bagus. Bahkan ada yang sudah mempunyai bisnis sendiri,” ujar Defria. Chand terlihat berpikir, apa yang Defria katakan memang ada benarnya juga. Di umurnya sekarang Valda harus sudah menikah dan mempunyai keturunan. “Nanti kita bicarakan lagi di rumah. Sekarang pulanglah, aku sangat sibuk ...” ujar Chand. “hahhh kebiasaan!” ketus Defria seraya melengos pergi. Di sisi lain .... Aruna selesai mandi, ia memeriksa pakaiannya dan belum benar-benar kering. “Sementara aku pakai ini saja dulu, lagi pula tidak ada siapa-siapa disini.” Aruna pergi ke dapur dan membuka kulkas. Ia mencari-cari makanan. Ternyata ia merasa lapar kembali karena makanan yang Valda masak, porsinya sedikit. “Tidak ada camilan!” gumam Aruna. Sayuran dan buah-buahan tersedia cukup banyak di dalam kulkas. Kemudian Aruna mengambil satu buah apel mencucinya lalu duduk di kursi makan menikmati apel itu sembari mengompres kakinya yang sakit dengan air dingin. “Hmmm ... cuman jadi pacar pura-pura, mendapatkan uang dan aku menikmati hidup enak seperti ini. Sekarang aku bebas dari ibu tiriku, saat aku mendapatkan uang dari Valda, aku akan pergi keluar kota dan memulai hidup baru yang sederhana. Aku jadi rindu mami dan papi, kalau mereka masih ada pasti hidupku akan bahagia tidak seperti ini!” gumamnya sembari menikmati apel segigit demi segigit. Apa yang Aruna lakukan dalam pantauan Valda. Ia melihat cctv dari ponselnya. “Dia tidak melakukan hal aneh. Sepertinya dia penurut dan gampang di arahkan, dengan begitu akan dengan mudah mengaturnya. Dia hanya pakai bathrobe, kamu pergilah dan ajak dia untuk membeli pakaian. Beli apapun yang dia butuhkan, sekalian belikan dia ponsel juga,” ujar Valda. “Baiklah.” Angguk Haris. “Kenapa Tuan mau menjadikannya pacar pura-pura dan membayarnya? Anda tampan, banyak uang, perempuan mana yang akan menolak anda?” tanya Haris penasaran. Ia tahu betul kalau bosnya itu punya pesona luar biasa. Jangankan puluhan perempuan, mungkin ribuan juga akan ngantri untuk menjadi pasangannya. Kenapa Valda melakukan itu?Valda bangkit dari duduknya. “Semua perempuan sama saja, kalau tidak gila uang, ya gila pria tidak cukup satu pria. Mana ada perempuan tulus!” cetusnya. Haris mengangguk mengerti. “Pergilah ... belikan apa yang dia butuhkan dan bawalah dia ke dokter. sepertinya kaki dia masih sakit.” Valda menyerahkan satu black card miliknya. Haris berlalu pergi. “Emmmh setelah kepergian Marisa, mana mungkin aku percaya lagi pada perempuan. Aku tidak akan pernah mencintai siapapun lagi termasuk anak cengeng yang yang dulu di jodohkan oleh Papa dan aku tidak akan pernah menikahinya!” gumam Valda. Valda memang mempunyai trauma soal cinta. Masa lalunya bersama Marisa cukup membunuh hatinya. Di sisi lain .... Aruna sudah memakai kembali pakaiannya. Untung saja mesin cuci canggih bisa mengeringkan dengan cepat. Pintu ada yang mengetuk, Aruna bergegas pergi. Akan tetapi, ia ragu untuk membukanya. Pintu terus di ketuk. “Siapa, ya?” Tokkk ... tokkk .... Aruna menghela nafas panja
Karin mendapatkan telepon dari kantor polisi perihal kedua preman yang di bawa ke kantor polisi. Kemudian ia dan Nanda pergi kesana. Tidak butuh waktu lama, Karin bisa membebaskan mereka dengan uang jaminan. Kembali ke rumah, Karin marah besar kepada mereka berdua. “Untuk bulan ini, gaji kalian saya potong untuk mengganti uang yang saya bayarkan pada polisi!” cetusnya. “Terima kasih, Nyonya ....” “Lagi pula Mami ngapain sih belain mereka dan menjamin mereka. Biarkan saja mereka membusuk di penjaraa, kerja juga gak becus!” timpal Nanda. “Jangan mengajari Mami. Mereka di penjara, siapa yang akan memberikan informasi tentang Aruna. Bodoh sekali kau!” cerca Karin. Nanda anak kandungnya sendiri, tetapi ia memperlakukannya seperti itu. Menganggapnya bodoh tidak berguna dan hanya beban karena Nanda adalah anak dari hasil hubungan gelap. Ayahnya tidak tahu siapa dan dimana? “Kenapa kalian bisa di kantor polisi?” tanya Karin dengan bertolak pinggang sembari menghisap sebata
Mengendus sekali lagi mulut Aruna dan memang benar kalau Aruna meneguk wine miliknya sehingga ia mabuk dan bersikap aneh. “Kau sangat tampan di lihat dari dekat seperti ini ...” cetus Aruna seraya tertawa kecil. Kemudian dengan tiba-tiba Aruna menyosor bibir Valda menciuminya dengan liar. Itu membuat Valda terkejut dan tidak menyangka, ia sadar kalau Aruna seperti itu karena di bawah pengaruh alkohol. Valda mencoba melepaskannya, tetapi Aruna semakin liar. Sebagai lelaki normal, tubuhnya seakan terpancing dan ia membalas ciumann Aruna tanpa sadar menikmatinya. Aruna mendorong tubuh Valda sampai terbaring di sofa. Ciumann mereka sempat terlepas, tetapi Aruna melakukannya lagi dengan posisi ia di atasnya Valda. Valda tidak menyangka Aruna mampu melakukan hal seperti ini padahal dirinya terlihat lugu. Anehnya tubuh Valda tidak menolak itu, malah hawa panas menguasai tubuhnya. “Mmmmh ... ciuman pertamaku untukmu ...” cetus Aruna dengan tertawa kecil. “Jangan lakukan la
Valda membawa pakaian begitu banyaknya dan memberikan semua itu pada Aruna sampai menutupi wajahnya. Tubuhnya yang mungil kesulitan memegangi pakaian sebanyak itu dan Aruna hampir saja terjatuh untung Valda menahannya. “Kau lemah sekali!” ujar Valda seraya mengambil sebagian pakaiannya. “Kau dengan tiba-tiba memberikan pakaian sebanyak ini padaku, Aissshhh ...” Aruna mendelik. Valda memasukkan pakaian-pakaian itu ke dalam ruang ganti dan Aruna masuk. Ia mencoba setiap pakaian itu. Dress-dress seksi yang Valda pilihkan untuknya. Bahu yang terbuka lebar bahkan sampai belahan dadanya terlihat dengan panjang di atas lutut. “Pakaian apa ini?” gumam Aruna. Ia keluar dan memperlihatkannya pada Valda sembari menutupi dadanya yang terbuka membuatnya tidak nyaman. “Itu tidak cocok untukmu!” cetus Valda. Aruna kembali masuk dengan kesal dan mengganti dengan pakaian lainnya. Keluar masuk dengan pakaian gonta ganti dan Valda selalu mengatakan tidak cocok. “Aku sudah mencoba
“Papa minta kalian menikah secepatnya! Untuk persiapan biar Papa yang atur. Kalian siapkan saja diri kalian!” Chand bangkit dari duduknya berlalu pergi di ikuti oleh Defria. “Pa ... Pa ... itu terlalu cepat! Kami belum siap.” Teriak Valda. Akan tetapi, Chand mengabaikannya. Melihat hal itu, Haris berpindah ke meja Valda. “Ada masalah, Tuan?” tanyanya. Valda hanya menggelengkan kepala. “Hehh ... kenapa jadi menikah?” tanya Aruna. Valda menghela nafas dan menatap Aruna. “Aku tidak tahu!” pasrahnya. “Sesuai perjanjian, hanya pacar pura-pura. Tidak lebih!” pungkas Aruna. Valda berpikir sejenak, dirinya terjebak dalam permainannya sendiri. Tidak terpikir akan seserius dan sejauh ini. “Hehhh ... kenapa kau diam saja?” Aruna menepuk lengan Valda. Valda tersadar. “Aku akan memikirkannya lagi nanti. Ayo pulanglah!” ajaknya. “Aku lapar. Kita disini belum makan sama sekali,” ujar Aruna seraya memegangi perutnya. Valda kembali duduk lalu membuka buku menu. Ia memes
“Kau gila!” cetus Valda. “Ti–tidak ... jangan berpikiran macam-macam terhadap kami. Saya sudah menikah dan punya anak perempuan usia tiga tahun,” elak Haris. Aruna menatap Valda tajam. “Apa? Bisa-bisanya kau menuduhku seperti itu. Gila ...” cerca Valda. “Ya lagi pula dirimu seperti apa yang aku katakan tadi, tapi tidak punya pacar. Padahal aku pikir orangtuamu tidak ada salahnya mencarikanmu jodoh yang setara. Jika tidak ingin di jodohkan, gampang bagimu untuk mencari wanita yang setara. Kalau bukan penyuka sesama, ya apalagi?” tutur Aruna. Valda gemas dengan bibir mungil Aruna yang sedari tadi nyerocos tidak hentinya. Ia mendekat padanya dan tanpa aba-aba melahap bibir mungil itu dengan bibirnya. Membuat Aruna terkejut ia meremas bantal sofa di sampingnya. Haris tidak kalah terkejutnya, ia bangkit dari duduknya seraya memalingkan wajah dan berlalu pergi meninggalkan mereka berdua. Valda begitu menikmatinya, bibir Aruna seakan menjadi candu yang terngiang-ngiang.
“Mobil siapa itu?” sentak Karin pada sopir. Aruna melihat Valda dan Haris keluar dari mobil. Ia merasa sedikit lega dan tenang. “Siapa mereka?” “Tidak tahu, nyonya,” jawab sopir. “Kalian turunlah dan tanya ada perlu apa,” suruh Karin pada kedua preman itu. Dua preman itu menghadapi Valda. Mereka terlihat bicara serius dan Karin penasaran lalu turun dari mobil. “Kau diam disini!” ucapnya pada Aruna. “Tunggu, Mami ...” Aruna ikut turun karena takut terjadi hal yang tidak di inginkan. “Kau diam di mobil, kenapa kau ikut turun?” sentak Karin. “Aruna ...” panggil Valda. Mendengar panggilan itu, Karin mendekat pada Valda. “Siapa kau? Menghentikan mobil saya seenaknya! Kau mengenali Aruna?” “Kau yang siapa? Kenapa kau membawa Aruna?” tanya Valda. “Ini kesempatan bagus, mungkin Tuhan memang mengirimkan Valda untuk menyelamatkanku dari ibu tiriku. Hmmm ...” batin Aruna mengesampingkan kejadian semalam. “Saya ibunya Aruna! Ya terserah saya kalau mau membawanya
Aruna terdiam sejenak sembari menatap Valda, ia ragu menceritakan tentang keluarganya. “Katakan saja, siapa tahu aku bisa membantumu,” ucap Valda. “Emmmh ... ya memang aku bukan orang susah. Mobil yang ibu tiriku pakai, itu mobil peninggalan Papiku dan masih ada dua mobil lagi di rumah. Papiku dulunya punya banyak bisnis, tapi kata ibu tiriku setelah meninggal sebagian bisnis Papi di jual untuk membayar hutang-hutang yang di tinggalkan. Termasuk rumah besar kenangan yang dulu aku tinggali bersama Mami dan Papi juga sudah terjual,” jelas Aruna. Valda cukup memahaminya, bukan hal aneh jika dalam bisnis ada hutang piutang. “Bisnis apa Papimu? Siapa tahu aku mengetahuinya,” tanya Valda. Aruna hanya menggelengkan kepala. “Kau ini sebagai anak kok tidak tahu!” Valda mengernyit. “Ya aku baru menyadarinya sekarang, ternyata Papi menyuruhku untuk sekolah bisnis agar aku bisa meneruskan bisnisnya. Tetapi, dulu aku tidak pernah mau sekolah bisnis dan kekeh dengan keinginanku