Share

Bab 2 Suamiku Dihina

Usai permasalahan kemarin, aku hanya bisa bersabar. Jika aku terlalu memaksakan Mas Giora, percuma, pria itu tak akan melakukan sesuatu yang tak ia suka.

Untuk menenangkan diri, aku pun berjalan ke dapur, mencoba memasak sayur yang kubeli kemarin. Namun, aku lupa jika bahan-bahan dapur ternyata sudah habis.

"Mas Giora!"

Aku berteriak memanggil nama suamiku, memintanya untuk membeli garam dan lada. Tetapi, meskipun sudah kupanggil berkali-kali, dia tetap tidak muncul. Aku mendengus kesal ketika tidak menemukan siapapun.

"Mas!"

Aku melirik kearah jam yang ada di dinding dan tersadar jika ini sudah terlalu sore. Ke mana laki-laki itu sebenarnya? Apa dia belum pulang juga dari pasar? Jangan bilang kalau jualannya belum laku. Siapa suruh hanya menjual ikan lele dan emas saja.

Aku akhirnya memutuskan untuk datang ke pasar, karena kebetulan letak pasar dengan rumah kami memang hanya berjarak satu kilometer.

Aku sangat terkejut kala menapakkan kakiku di pasar. Pasar yang biasanya tentram, sore itu terdengar sangat gaduh. Tak hanya itu, semoa orang tiba-tiba menatapku dan berbisik-bisik dengan orang di sebelahnya, seolah menggosipi sesuatu.

"Liat tuh, istrinya si tukang ikan akhirnya datang!" Teriak salah satu wanita berdaster coklat di seberangku.

"Iya, mana bau amis yah, jangan dekat-dekat, ih!" Wanita lain menambahkan, dengan jemari sembari menutup hidungnya.

Tersindir, aku lantas mencium bajuku untuk memastikan perkataan mereka. Namun, aku tak mencium bau amis sama sekali dari tubuhku, aku hanya mencium bau deterjen yang biasa kugunakan.

"Apa maksud kalian berbicara seperti itu?" marahku dengan nada yang sedikit kesal kepada ibu-ibu yang ada di sana.

Aku merasa jengah ketika melihat wajah mereka tak merasa bersalah sama sekali, padahal mereka baru saja berbicara hal yang buruk padaku.

"Kenapa? Gak terima? Memang benar, kan? Suamimu itu penjual ikan, makanya kamu dan suamimu pasti bau amis!"

"Hati-hati kalau bicara ya, Bu!"

Aku benar-benar dibuat marah dengan hal ini. Hampir saja aku emosi dan membuat keributan di sini. Tetapi mengingat kalau di sini adalah sebuah pasar dan pastinya akan riuh, aku pun mengulurkan niatku.

Setidaknya, aku masih waras sekarang untuk menahan emosi. Namun, tak ada satu menit aku menahan emosi, tiba-tiba seorang menghampiriku.

"Lisa, itu suami kamu."

"Kenapa dengan suamiku?" tanyaku dengan heran karena mereka tiba-tiba membicarakan suamiku.

"Lebih baik kamu lihat sendiri sana."

Jawaban dari orang tadi membuatku penasaran. Seketika, panik menguasai diriku, Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Apakah pria itu melalukan kesalahan? Atau jangan-jangan dia membuat kerusuhan?

Akhirnya, aku memutuskan untuk berjalan ke sana dan mencaritahu apa yang terjadi sebenarnya. Sampai matanya melihat kegaduhan yang jauh lebih besar dari ketika aku masuk ke pasar.

Ternyata, Ibuku tengah berbicara di depan umum bersama dengan suamiku, membuat semua orang mengangkat kepalanya, mencoba mengetahui apa yang sedang terjadi.

Aku ikut penasaran dengan apa yang dikatakan oleh ibuku, namun karena keadaan yang amat tidak kondusif, aku pun tak mampu mendengar dengan jelas. Terpaksa, aku mendorong beberapa orang agar aku bisa maju.

"Tinggalkan anakku, kamu itu tidak berguna sebagai suami! Karena kamu cuma bisa jualan ikan, kamu jadi gak bisa ngasih nafkah dengan benar!"

Ketika aku sudah mulai maju, akhirnya aku mendengar ucapan ibu. Manikku seketika membulat, tak menyangka jika ibuku sendiri akan hadir, dan mempermalukan suamiku di depan semua orang.

"Maaf, Ibu. Tapi, aku mencintai Lisa, jadi, aku tidak akan meninggalkan dia."

"Cih, memangnya kamu bisa menghidupi Lisa?! Dia hidup dalam kesengsaraan gara-gara kamu,!

"Bagaimanapun itu, aku sudah berjanji akan membahagiakan dia, Bu."

Manikku mulai berlinang. Selama ini, Mas Giora jarang sekali mengungkapkan rasa cintanya melalui kata-kata. Oleh karena itu, pembelaan Mas Giora kepada ibuku jelas membuat hatiku tersentuh.

"Tapi kamu tak berubah sama sekali sejak kamu menikah dengan Lisa, Giora! Lebih baik kamu ceraikan anakku, dia akan aku nikahkan dengan laki-laki kaya dan juga berduit!"

Aku yang sudah tidak tahan ketika mendengar suamiku dihina sendiri oleh ibuku, akhirnya aku memutuskan untuk semakin maju ke depan, menerobos barikade warga yang penasaran dengan konflik kami.

"Cukup, Bu. Jangan menghina suamiku seperti itu." ucapku perlahan.

"Lisa! Kamu datang-datang malah membela laki-laki tidak berguna ini dibandingkan dengan ibumu sendiri! Kamu lupa? Aku yang sudah melahirkan kamu, dan mengurus kamu selama ini. Kok, kamu malah bela dia? Mau jadi anak durhaka?" kata ibuku yang kini mengarahkan pandangannya padaku. Aku bisa melihat, tatapan marah dan juga kecewa yang bercampur menjadi satu di matanya.

Bahkan, banyak orang yang kini malah menatap iba kepada ibuku, membela ibuku yang sebelumnya berucap kasar pada suamiku.

"Iya Lisa, benar kata ibumu. Lebih baik kamu tinggalkan saja suamimu yang tidak berguna itu."

Aku melotot tajam ketika mendengar hal tersebut, lagian aku tidak mau berpisah dengan Mas Giora. Aku sangat mencintainya dan tidak mau berpisah dengan dirinya begitu saja.

"Sudah, ini semua urusan aku, kalian juga gak berhak ikut menghina suamiku!" Aku akhirnya memberanikan diri, berteriak kepada "penonton" yang ada di pasar itu. Mata mereka masih tertuju pada kami, sembari sesekali berbisik ke orang di sebelahnya.

Saat itu, emosi mulai menguasai diriku. Namun, tepat ketika aku ingin beranjang bangun, Mas Giora menyentuh tanganku dengan lembut, mencoba menenangkan diriku.

Mengapa dirinya bisa begitu tenang? Apa dia tak merasa marah sama sekali? Padahal, hinaan tadi bahkan tak ditujukan untuk diriku, tapi untuk dirinya.

"Sudah, Lisa, kamu jangan emosi. Apa yang mereka bilang tentang diriku memang benar adanya," ujar Giora.

Tak mempedulikan ucapanku sebelumnya, tetap saja ada yang berkomentar. "Tuh kan, kamu dengar sendiri apa yang dikatakan oleh suami tidak berguna kamu itu. Sudah lebih baik kamu tinggalkan dia sekarang."

"Aku tidak akan meninggalkan Mas Giora." ucapku tegas ke semua orang, termasuk ibuku sendiri.

Mencoba menguatkan diri, aku mengarahkan manikku ke arah suamiku yang hanya menatapku dengan sendu. Pria itu tersenyum kecil, merasa puas dan bahagia dengan jawabanku. Padahal, aku yakin, dalam hati dia tetap merasa takut kepada ibuku.

"Kalau begitu maumu, awas saja. Jangan sampai dalam waktu dekat, kamu menangis-nangis di hadapan ibumu karena kemiskinan suamimu itu!"

Ibuku mengatakan itu sebagai ancaman, lalu memutuskan untuk pergi begitu saja.

"Maafkan ibuku yah, Mas."

Mas Giora hanya mengangguk saja, sambil tersenyum tipis kearah ku. Apakah dia tak merasakan amarah sama sekali? Setelah semua ucapan Ibu, bahkan warga sekitar? Atau ... ia hanya berusaha menutupi emosinya agar aku juga tidak patah hati?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status