Usai permasalahan kemarin, aku hanya bisa bersabar. Jika aku terlalu memaksakan Mas Giora, percuma, pria itu tak akan melakukan sesuatu yang tak ia suka.
Untuk menenangkan diri, aku pun berjalan ke dapur, mencoba memasak sayur yang kubeli kemarin. Namun, aku lupa jika bahan-bahan dapur ternyata sudah habis. "Mas Giora!" Aku berteriak memanggil nama suamiku, memintanya untuk membeli garam dan lada. Tetapi, meskipun sudah kupanggil berkali-kali, dia tetap tidak muncul. Aku mendengus kesal ketika tidak menemukan siapapun. "Mas!" Aku melirik kearah jam yang ada di dinding dan tersadar jika ini sudah terlalu sore. Ke mana laki-laki itu sebenarnya? Apa dia belum pulang juga dari pasar? Jangan bilang kalau jualannya belum laku. Siapa suruh hanya menjual ikan lele dan emas saja. Aku akhirnya memutuskan untuk datang ke pasar, karena kebetulan letak pasar dengan rumah kami memang hanya berjarak satu kilometer. Aku sangat terkejut kala menapakkan kakiku di pasar. Pasar yang biasanya tentram, sore itu terdengar sangat gaduh. Tak hanya itu, semoa orang tiba-tiba menatapku dan berbisik-bisik dengan orang di sebelahnya, seolah menggosipi sesuatu. "Liat tuh, istrinya si tukang ikan akhirnya datang!" Teriak salah satu wanita berdaster coklat di seberangku. "Iya, mana bau amis yah, jangan dekat-dekat, ih!" Wanita lain menambahkan, dengan jemari sembari menutup hidungnya. Tersindir, aku lantas mencium bajuku untuk memastikan perkataan mereka. Namun, aku tak mencium bau amis sama sekali dari tubuhku, aku hanya mencium bau deterjen yang biasa kugunakan. "Apa maksud kalian berbicara seperti itu?" marahku dengan nada yang sedikit kesal kepada ibu-ibu yang ada di sana. Aku merasa jengah ketika melihat wajah mereka tak merasa bersalah sama sekali, padahal mereka baru saja berbicara hal yang buruk padaku. "Kenapa? Gak terima? Memang benar, kan? Suamimu itu penjual ikan, makanya kamu dan suamimu pasti bau amis!" "Hati-hati kalau bicara ya, Bu!" Aku benar-benar dibuat marah dengan hal ini. Hampir saja aku emosi dan membuat keributan di sini. Tetapi mengingat kalau di sini adalah sebuah pasar dan pastinya akan riuh, aku pun mengulurkan niatku. Setidaknya, aku masih waras sekarang untuk menahan emosi. Namun, tak ada satu menit aku menahan emosi, tiba-tiba seorang menghampiriku. "Lisa, itu suami kamu." "Kenapa dengan suamiku?" tanyaku dengan heran karena mereka tiba-tiba membicarakan suamiku. "Lebih baik kamu lihat sendiri sana." Jawaban dari orang tadi membuatku penasaran. Seketika, panik menguasai diriku, Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Apakah pria itu melalukan kesalahan? Atau jangan-jangan dia membuat kerusuhan? Akhirnya, aku memutuskan untuk berjalan ke sana dan mencaritahu apa yang terjadi sebenarnya. Sampai matanya melihat kegaduhan yang jauh lebih besar dari ketika aku masuk ke pasar. Ternyata, Ibuku tengah berbicara di depan umum bersama dengan suamiku, membuat semua orang mengangkat kepalanya, mencoba mengetahui apa yang sedang terjadi. Aku ikut penasaran dengan apa yang dikatakan oleh ibuku, namun karena keadaan yang amat tidak kondusif, aku pun tak mampu mendengar dengan jelas. Terpaksa, aku mendorong beberapa orang agar aku bisa maju. "Tinggalkan anakku, kamu itu tidak berguna sebagai suami! Karena kamu cuma bisa jualan ikan, kamu jadi gak bisa ngasih nafkah dengan benar!" Ketika aku sudah mulai maju, akhirnya aku mendengar ucapan ibu. Manikku seketika membulat, tak menyangka jika ibuku sendiri akan hadir, dan mempermalukan suamiku di depan semua orang. "Maaf, Ibu. Tapi, aku mencintai Lisa, jadi, aku tidak akan meninggalkan dia." "Cih, memangnya kamu bisa menghidupi Lisa?! Dia hidup dalam kesengsaraan gara-gara kamu,! "Bagaimanapun itu, aku sudah berjanji akan membahagiakan dia, Bu." Manikku mulai berlinang. Selama ini, Mas Giora jarang sekali mengungkapkan rasa cintanya melalui kata-kata. Oleh karena itu, pembelaan Mas Giora kepada ibuku jelas membuat hatiku tersentuh. "Tapi kamu tak berubah sama sekali sejak kamu menikah dengan Lisa, Giora! Lebih baik kamu ceraikan anakku, dia akan aku nikahkan dengan laki-laki kaya dan juga berduit!" Aku yang sudah tidak tahan ketika mendengar suamiku dihina sendiri oleh ibuku, akhirnya aku memutuskan untuk semakin maju ke depan, menerobos barikade warga yang penasaran dengan konflik kami. "Cukup, Bu. Jangan menghina suamiku seperti itu." ucapku perlahan. "Lisa! Kamu datang-datang malah membela laki-laki tidak berguna ini dibandingkan dengan ibumu sendiri! Kamu lupa? Aku yang sudah melahirkan kamu, dan mengurus kamu selama ini. Kok, kamu malah bela dia? Mau jadi anak durhaka?" kata ibuku yang kini mengarahkan pandangannya padaku. Aku bisa melihat, tatapan marah dan juga kecewa yang bercampur menjadi satu di matanya. Bahkan, banyak orang yang kini malah menatap iba kepada ibuku, membela ibuku yang sebelumnya berucap kasar pada suamiku. "Iya Lisa, benar kata ibumu. Lebih baik kamu tinggalkan saja suamimu yang tidak berguna itu." Aku melotot tajam ketika mendengar hal tersebut, lagian aku tidak mau berpisah dengan Mas Giora. Aku sangat mencintainya dan tidak mau berpisah dengan dirinya begitu saja. "Sudah, ini semua urusan aku, kalian juga gak berhak ikut menghina suamiku!" Aku akhirnya memberanikan diri, berteriak kepada "penonton" yang ada di pasar itu. Mata mereka masih tertuju pada kami, sembari sesekali berbisik ke orang di sebelahnya. Saat itu, emosi mulai menguasai diriku. Namun, tepat ketika aku ingin beranjang bangun, Mas Giora menyentuh tanganku dengan lembut, mencoba menenangkan diriku. Mengapa dirinya bisa begitu tenang? Apa dia tak merasa marah sama sekali? Padahal, hinaan tadi bahkan tak ditujukan untuk diriku, tapi untuk dirinya. "Sudah, Lisa, kamu jangan emosi. Apa yang mereka bilang tentang diriku memang benar adanya," ujar Giora. Tak mempedulikan ucapanku sebelumnya, tetap saja ada yang berkomentar. "Tuh kan, kamu dengar sendiri apa yang dikatakan oleh suami tidak berguna kamu itu. Sudah lebih baik kamu tinggalkan dia sekarang." "Aku tidak akan meninggalkan Mas Giora." ucapku tegas ke semua orang, termasuk ibuku sendiri. Mencoba menguatkan diri, aku mengarahkan manikku ke arah suamiku yang hanya menatapku dengan sendu. Pria itu tersenyum kecil, merasa puas dan bahagia dengan jawabanku. Padahal, aku yakin, dalam hati dia tetap merasa takut kepada ibuku. "Kalau begitu maumu, awas saja. Jangan sampai dalam waktu dekat, kamu menangis-nangis di hadapan ibumu karena kemiskinan suamimu itu!" Ibuku mengatakan itu sebagai ancaman, lalu memutuskan untuk pergi begitu saja. "Maafkan ibuku yah, Mas." Mas Giora hanya mengangguk saja, sambil tersenyum tipis kearah ku. Apakah dia tak merasakan amarah sama sekali? Setelah semua ucapan Ibu, bahkan warga sekitar? Atau ... ia hanya berusaha menutupi emosinya agar aku juga tidak patah hati?Pasca kejadian di pasar beberapa hari yang lalu, Mas Giora tetap memegang pendiriannya untuk berjualan ikan. Memang, suamiku terkadang keras kepala, tak peduli betapa banyak penghinaan dari keluargaku dan juga orang lain, tetap saja dia hanya membalasnya dengan senyum dan tenang. Akhirnya, pagi itu, aku menemani Mas Giora untuk berjualan ikan di pasar, karena kebetulan aku bosan di rumah saja. "Mas Giora, saya mau beli ikan lele dong." ucap seorang wanita yang suaranya sangat familiar di telingaku. "Mau berapa?" tanya Giora. Benar dugaanku, rupanya itu adalah Wita, 'temanku' yang tempo hari menghina suamiku. Cih, katanya segan, tapi sekarang malah datang membeli ikan di lapak suamiku. Tidak tahu malu sekali wanita itu datang ke sini, bahkan dia juga sudah memutuskan pertemanan denganku hanya karena kami miskin. "Ini, ikannya." Mas Giora dengan ramah mengatakan itu sambil memberikan ikan yang sudah dibungkus dengan plastik berwarna hitam. Aku yang kesal melihat Wita pun l
'Mengapa pria itu menyebut Giora Tuan?'Aku hanya bisa membatin, lalu mengarahkan tatapanku ke Mas Giora yang sedang membersihkan limbah ikan. Bisa jadi, pria di hadapanku adalah temannya yang memang sedang mencari Mas Giora. Atau jangan-jangan ... dia adalah rentenir yang ingin menagih hutang? Pikiranku seketika membuat diriku sendiri panik, aku pun langsung menghampiri Mas Giora dan berbisik pelan, "Mas, Mas tidak pinjam uang pada rentenir, kan?" "Kamu ngomong apa, Lisa? Tentu saja tidak," ujar Mas Giora santai. Jawaban Mas Giora membuatku menghela napas lega. Lagipula, tak mungkin orang yang segan seperti suamiku mencari-cari pinjaman. "Itu ... Mas. Ada yang nyariin kamu, dia bukan rentenir, kan?" bisikku lagi, sembari menunjuk-nunjuk ke arah pria tak dikenal tadi. "Ah, bukan kok." Setelah melihat pria itu, Mas Giora membereskan pekerjaanya, dan mengeringkan tangannya dengan lap. Tak lama, dia langsung menghampiri pria tak dikenal itu. "Saya bukan rentenir kok, B
"Saya bisa membayarnya." Mas Giora mengatakan itu di depan Martin. Dia terlihat sedikit serius sambil mengepalkan tangannya. Sepertinya dia marah dan tidak suka dengan Martin. Martin malah tertawa ketika mendengar penuturan dari Mas Giora barusan. Dia terlihat sangat meremehkan, bahkan aku tidak yakin sama sekali dengan hal ini. "Apa aku tidak salah dengar? Kamu mau membayar hutang? Laki-laki miskin seperti kamu yang hanya jualan ikan saja memangnya gajinya berapa?" sindirnya sambil mendorong Mas Giora. "Saya akan membayar semua hutang tersebut, jadi lebih baik kamu pergi dari sini," usir Mas Giora yang sepertinya sudah dibuat kesal sekarang. Aku hanya melihat Mas Giora dengan sekilas saja. Dia benar-benar berani ketika melawan Martin sekarang. "Kamu mau jadi seorang gigolo untuk membayar hutangmu itu, Giora. Tapi bagus sih, biar istrimu merasa jijik ketika melihatmu nanti," sindir Martin. Bugh Mas Giora memukul Martin dengan sedikit keras. Aku langsung menahan tangan M
Pagi hari yang begitu cerah. Aku masih memeluk Mas Giora dengan hangat, laki-laki itu masih pulas dalam tidurnya dan seketika aku ingin menggodanya. "Mas bangun." Aku membisikan sesuatu di telinganya agar dia bangun. Terdengar suara serak yang seperti candu itu, dia memeluk diriku dengan erat. "Mas pagi Lisa." "Iya, Mas Giora biasanya selalu bangun pagi. Kenapa sekarang terlihat susah bangun," ujarku heran dengan suamiku. Seketika Mas Giora langsung bangun, dia menatap kearah diriku. "Maaf Lisa." Aku akhirnya memutuskan untuk ikut bangun juga. "Mas Giora tidak usah meminta maaf seperti itu. Memangnya Mas Giora punya salah denganku?" tanyaku dengan heran. "Ah tidak, aku akan bekerja mencari uang untuk melunasi hutangku," ujar Mas Giora. Aku jadi merasa bersalah karena sudah membebankan semuanya pada Mas Giora. Lagian semuanya juga bukan sepenuhnya salahku. "Maafkan ibuku yah Mas. Kita jadi semakin susah," ujarku sambil menundukkan kepalanya. Mas Giora malah m
Pipiku memerah setelah selesai mandi bersama dengan Mas Giora. Sekarang suamiku sudah berangkat kerja. Aku bahkan lupa membuat sarapan untuk suamiku karena tadi kami berdua main di kamar mandi. Tidak usah aku ceritakan semuanya, kalian semuanya sudah tahu. Aku merasa malu ketika mengingat hal tersebut. Sampai terdengar suara ketukan dari arah pintu. Tok tok tok Aku mendengus kesal ketika mendengar suara yang begitu gaduh, aku yang kesal pun akhirnya memutuskan untuk ke sana. Baru juga membuka pintu, mataku langsung membulat ketika melihat siapa orang yang masuk ke rumah. "Ibu," panggilku. Ibuku langsung menatapku dengan sekilas. Sebelum dia memamerkan sebuah kalung emas yang begitu sangat berat, tidak tahu berapa karat tetapi aku malah membencinya. "Liat kalung yang aku pakai ini Lisa? Suami kamu tidak akan sanggup membelikan ini untuk kamu," ujarnya sedikit pamer. Aku tahu kalau Mas Giora tidak bisa membelikan kalung yang begitu bagus seperti yang dipakai ol
Aku yang penasaran pun akhirnya mengambil foto tersebut dan melihat Mas Giora dengan seseorang yang tidak asing. Aku teringat kalau orang tersebut adalah orang yang datang ke pasar waktu itu. "Apa ini?" tanyaku karena penasaran. "Masih mau bertanya lagi, ini suamimu bersama dengan seseorang yang mencurigakan. Laki-laki itu juga jago berkelahi kamu tahu." Aku menaikan sebelah alisku dengan erat. Tidak paham dengan maksud dari Martin barusan. "Memangnya kenapa kalau dia jago berkelahi?" kataku. Hani yang ada di sana pun ikut menimbrung pembicaraan antara aku dengan Martin barusan. "Lisa, kamu ini memang wanita bodoh yah. Maksud Martin adalah laki-laki yang bersama dengan suamimu itu adalah seorang preman. Pasti dia yang bekerjasama dengan suami kamu untuk melakukan kejahatan." Martin tersenyum ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Hani barusan. "Nah, Hani saja paham dengan yang aku maksud. Masa kamu tidak paham." Aku menggelengkan kepala, tidak mungkin kalau Mas Giora mel
"Mas Giora aku datang."Aku menghampiri Mas Giora yang tengah meladeni para pembeli, dia tengah sibuk karena aku tahu kalau dia tengah bekerja keras untuk melunasi hutang ibu. Andai saja ibu tidak meminjam uang kepada Martin, mungkin saja suaminya tidak akan sibuk seperti sekarang. "Mas," panggilku. Mas Giora menoleh ke arahku dengan sekilas. Dia masih meladeni para pembeli yang memang sangat antri sekali. Syukurlah karena tempat ini sedikit rame pengunjung sekarang. "Sebentar sayang, masih banyak pembeli."Aku hanya duduk di tempat tunggu sambil menunggu Mas Giora yang memang tengah meladeni orang-orang yang ada di sana. Ketika aku tengah duduk sambil menunggu. Tiba-tiba aku memikirkan sesuatu. Ada hal yang membuat aku merasa penasaran sekarang. Aku melihat sebuah amplop coklat yang ada di bawah. Akhirnya aku yang penasaran pun memutuskan untuk membukanya. Mataku langsung membulat ketika melihat uang yang ada di sana. Ada banyak uang yang tidak bisa aku hitung, Mas Giora tidak
Aku panik datang ke rumah sakit untuk memastikan keadaan ayah sekarang. Ada rasa khawatir dalam hatiku ketika mengetahui kalau ayah sakit. Sampai mataku melihat kearah ibu yang tengah duduk sambil menangis. "Kenapa ayah bisa dikeroyok?" tanyaku dengan khawatir. "Dia berusaha untuk menolong ibu. Tadi ada pencuri yang hampir akan membawa emas ibu." Aku malah terlihat kesal dan ingin mengumpat sekarang. Salah sendiri selalu pamer barang berharga. Sudah lihat banyak orang yang iri dan menginginkan benda tersebut. Tetapi aku masih menahan untuk tidak memaki di sini. Terlebih aku ingin melihat kondisi ayah sekarang. Ada rasa yang membuat aku merasa penasaran. "Lagian kenapa Ibu malah pamer kalung emas segala. Tidak sadar ada orang yang iri dan menginginkan itu," umpatku. "Kamu menyalahkan ibu? Anak tidak tahu diri!" "Sudahlah, Bu. Lain kali jangan pamer lagi," kataku sambil menghela napas. Ibu malah menatap kearah diriku dengan pandangan tidak sukanya. "Kenapa kamu malah melarang i
Waktu istirahat telah tiba, rasanya lelah sekali karena banyak sekali yang harus aku kerjakan sekarang. Walaupun semuanya bukan tugasku, tetapi aku mengerjakan semuanya dengan baik. "Seharusnya kamu tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh mereka untuk mengerjakan tugas ini, apalagi ini bukan bagian kamu," kata Yuna yang ikut membelaku. "Iya gak papa."Aku mengatakan itu karena memang merasa masih baru. Tidak menyangka kalau mereka akan menyuruh aku mengerjakan banyak sekali pekerjaan. "Kamu terlalu baik. Tadi Hana juga malah menyuruh kamu seperti itu.""Yaudah lebih baik kita ke kantin yuk, aku lapar. Kamu tahu tempatnya kan?" tanyaku pada Yuna. "Aku tahu, kalau begitu ikut aku," ajak Yuna sambil menarik tanganku. Aku hanya mengikutinya saja dengan sekilas. Bersama dengan Yuna yang kini membantuku dengan baik. Sampai tak lama kemudian, kita berdua berada di tempat kantin kantor. "Ini kantin kantor?" tanyaku melihat dengan seksama. "Iya, tempat ini memang sedikit bagus. Kamu
Mas Giora kini tengah berada di dekatku. Sebenernya aku ingin memikirkan sesuatu untuk sekarang. Bahkan aku tidak yakin kalau hal ini akan terjadi padanya. "Kamu sudah siap Lisa?" tanya Mas Giora yang kini menatap kearah diriku dengan sekilas. Aku melihat kearah cermin dan melihat penampilan diriku. Terlihat sangat cantik dan begitu elegan, aku senang karena bisa berada di dekatnya seperti ini. "Aku sudah siap.""Kalau begitu, ayo kita berangkat bersama," ajak Mas Giora. Aku berpikir sejenak, tidak mau jika jadi bahan gosip orang lain. Terlebih semua orang juga tidak tahu hubungan aku dengan Mas Giora sudah menikah. "Eh tidak usah Mas, aku akan berangkat sendiri saja.""Loh kenapa?" tanya Mas Giora yang terlihat kebingungan karena aku menjawab seperti itu. Tetapi aku punya alasan sendiri dengan hal ini. "Aku tidak mau kalau ada rumor tentangku nanti. Lagian ini adalah hari pertama aku masuk ke kantor Mas," kataku berusaha menjelaskan. "Baiklah, jika itu yang kamu mau." Aku te
Malam sudah larut, dan aku masih menunggu di ruang tamu dengan gelisah. Setiap detik terasa begitu lama. Perasaan cemasku semakin menggelora setelah mendengar perkataan Nia tadi pagi. Kata-katanya seperti terngiang-ngiang dalam pikiranku, menambah kecemasan yang sudah menggunung."Kenapa, Mas Giora belum pulang juga?" aku bergumam dengan nada kesal, meskipun sebenarnya aku tak tahu harus berkata apa. Wajahku terasa tegang, tubuhku tidak bisa diam. Entah mengapa, hatiku terasa berat.Tak lama kemudian, suara klakson mobil terdengar di luar rumah. Hati yang tadinya cemas kini sedikit lega. Aku buru-buru berdiri dan melangkah ke pintu dengan harapan yang muncul kembali. Setelah beberapa detik, aku melihat Mas Giora keluar dari mobil. Matanya menangkap pandanganku yang sudah menunggunya dengan penuh harap. Aku tak bisa menahan senyum, meski dalam hatiku masih ada kekhawatiran yang belum reda.Mas Giora hanya tersenyum kecil dan berjalan mendekat. Namun, aku bisa melihat kelelahan di wajah
Aku memikirkan sesuatu, sampai pada akhirnya aku teringat. Bisa-bisanya aku berpikir seperti ini. Tetapi apa yang dikatakan oleh pembantu itu memang mencurigakan. Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi Serin. Siapa tahu kalau wanita itu bisa membantuku untuk menyelidiki kasus ini. "Hallo Serin.""Ah Lisa, tumben sekali kamu menghubungiku.""Kamu sedang sibuk Serin?" tanyaku padanya. "Tidak, memangnya kenapa?" tanya Serin yang penasaran sepertinya. "Kamu bisa ke rumahku sekarang, kebetulan ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu," kataku padanya. "Baiklah, mempeng masih siang. Aku akan datang ke sana. Tunggu aku," ujar Serin. "Iya siap. Kalau begitu aku tutup dulu."Akhirnya aku memutuskan untuk mematikan sambungan telepon. Ada rasa yang membuat aku bahagia, setidaknya semuanya sesuai dengan keinginan diriku. Setelah menelepon Serin, aku berjalan menuju ruang keluarga, tempat di mana banyak kenangan tertanam. Aku duduk di sana, memandangi bingkai foto yang berse
Aku sudah rapi dengan pakaian yang kukenakan, tetapi hatiku gelisah. Mas Giora belum juga kembali, dan aku merasa ada yang tidak beres. Ke mana dia pergi? Aku mencari-cari tanda keberadaannya, namun tidak menemukannya. Aku turun ke bawah, mencoba mencari jawaban.Dengan langkah yang cepat, aku mendekati salah satu pelayan yang sedang sibuk di ruang tamu. "Apa ada yang melihat Mas Giora?" tanyaku, berusaha tetap tenang meski kecemasan mulai merayapi pikiranku.Pelayan itu berhenti sejenak, lalu menjawab, "Tadi beliau keluar bersama Tomas, Nyonya."Aku menahan napas sejenak, mencoba mencerna kata-katanya. "Apa dia bilang akan pergi ke mana?" tanyaku, rasa penasaran yang tak terelakkan membuatku bertanya lebih lanjut.Pelayan itu menggelengkan kepala dengan raut wajah kebingungan. "Tidak, Nyonya. Beliau tidak bilang akan ke mana."Aku menunduk, merasa sedikit lega sekaligus khawatir. Tidak ada petunjuk, hanya ketidakpastian. Mengapa dia tidak memberi tahu ke mana tujuannya? Apakah itu ha
Aku menatap Mas Giora sekilas, bingung dan tercengang dengan pernyataan yang baru saja keluar dari mulutnya. Tidak pernah aku bayangkan bahwa dia akan berpikir sejauh ini. Bahkan, aku sendiri masih merasa seperti ada yang salah dan sulit untuk memahaminya."Tomas, coba kamu jelaskan!" kataku, suaraku sedikit meninggi, tak bisa menyembunyikan kekesalan yang mulai mengalir dalam darahku.Namun, sebelum Tomas bisa merespon, Mas Giora mendekat dan menarik tanganku dengan lembut. Aku terdiam sejenak, merasa hangatnya pelukan yang tiba-tiba menyelimuti tubuhku."Maafkan aku, Lisa. Sebenernya semuanya ini adalah permintaanku. Aku tidak mau kalau sampai Tomas ketahuan kaki tanganku selama ini," ujar Mas Giora. "Jadi kamu juga ikut adil," kataku mendengus. Tomas juga ikut menjelaskan semuanya padaku. "sebenernya ini permintaan suamimu."Mas Giora melihat ke arah diriku kembali, dia terlihat meminta maaf padaku dengan sekilas. "Maafkan aku Lisa. Aku tidak bermaksud untuk berbohong padamu.""B
Mobil yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti di depan sebuah gerbang besar yang terbuat dari besi tempa. Di balik gerbang itu, terbentang perumahan yang begitu sangat mewah, setiap rumah tampak seperti istana dengan halaman yang luas, tertata rapi, dan pepohonan tinggi yang menambah kesan anggun. Suasana begitu tenang, seolah-olah waktu berhenti di sini. Aku terkejut, tak bisa menahan mata yang melirik ke segala arah."Ini rumah siapa?" tanyaku, suaraku terdengar sedikit tergetar saat melihat sebuah rumah megah di ujung jalan, berdiri tegak dengan desain modern yang dipadu dengan elemen klasik. Sekilas, rumah itu memancarkan kekayaan dan kemewahan yang luar biasa.Aku menoleh ke arah Mas Giora yang duduk di sampingku, sedikit bingung. Tidak mungkin ini rumah Mas Giora, kan? Aku selalu mengenalnya sebagai sosok yang sederhana, tidak pernah berbicara tentang rumah seperti ini. Hati aku berdebar-debar, perasaan ingin tahu menggebu.Mas Giora tersenyum tipis, tidak banyak bicara. Dia kemud
Aku tersenyum puas melihat Mas Giora berjalan mendekat. Rasanya seperti beban berat yang telah lama aku pikul akhirnya terlepas. Dia datang tepat pada waktunya, menyelamatkanku dari pernikahan yang tak pernah aku inginkan. Setidaknya kini aku bisa merasa sedikit lega. "Mas Giora..." aku menyebut namanya dengan suara yang bergetar, penuh harapan. Namun, sebelum Mas Giora bisa menjawab, suara keras Martin menyela. "Lisa dan keluarganya masih memiliki hutang padaku! Aku tidak akan membebaskan dia begitu saja!" Tangannya mencekal erat pergelangan tanganku, membuatku sedikit terkejut dan merasa terjebak kembali dalam jaringnya. Dengan wajah tenang dan penuh keyakinan, Mas Giora berdiri di hadapanku. Tanpa ragu, dia menatap Martin dan berkata, "Aku akan membayarnya." Nada suaranya tegas, tanpa ada keraguan sedikit pun. Pernyataan itu bukan hanya tentang uang atau kewajiban. Ada sesuatu yang lebih, sebuah janji untuk membebaskan aku dari belenggu yang tak terlihat, dan aku bisa merasakan
Hari berikutnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa di dalam sebuah kamar. Berusaha untuk kabur pun tidak bisa. Aku hanya berharap Serin akan segara menemukan aku. Sampai tiba-tiba pintu terbuka dan muncul dua orang wanita yang datang bersama dengan ibu. "Ibu."Aku terbangun dalam keadaan bingung, melihat pintu yang terbuka lebar. Kecemasan dan harapan bercampur aduk dalam diriku. Tanpa berpikir panjang, aku berusaha untuk melarikan diri. Namun, saat aku melangkah, tanganku tiba-tiba ditarik dengan kasar oleh ibuku."Jangan berusaha untuk kabur, di luar akan banyak orang," katanya dengan nada tegas.Pernyataan itu membuatku tertegun. "Apa maksudnya?" tanyaku, rasa ingin tahuku semakin membara. Aku menatapnya, mencari jawaban di wajahnya yang tampak cemas.Namun, ibuku hanya terdiam, matanya menghindar dari pandanganku. Dia tidak memberi penjelasan, dan semakin lama aku semakin bingung. Apa yang sebenarnya terjadi di luar? Kenapa ia begitu takut? Perasaan terjebak menghimpitku, membuat