Pagi hari yang begitu cerah. Aku masih memeluk Mas Giora dengan hangat, laki-laki itu masih pulas dalam tidurnya dan seketika aku ingin menggodanya.
"Mas bangun." Aku membisikan sesuatu di telinganya agar dia bangun. Terdengar suara serak yang seperti candu itu, dia memeluk diriku dengan erat. "Mas pagi Lisa." "Iya, Mas Giora biasanya selalu bangun pagi. Kenapa sekarang terlihat susah bangun," ujarku heran dengan suamiku. Seketika Mas Giora langsung bangun, dia menatap kearah diriku. "Maaf Lisa." Aku akhirnya memutuskan untuk ikut bangun juga. "Mas Giora tidak usah meminta maaf seperti itu. Memangnya Mas Giora punya salah denganku?" tanyaku dengan heran. "Ah tidak, aku akan bekerja mencari uang untuk melunasi hutangku," ujar Mas Giora. Aku jadi merasa bersalah karena sudah membebankan semuanya pada Mas Giora. Lagian semuanya juga bukan sepenuhnya salahku. "Maafkan ibuku yah Mas. Kita jadi semakin susah," ujarku sambil menundukkan kepalanya. Mas Giora malah memelukku dengan erat. Dia berusaha untuk menenangkan aku dengan baik. "Tidak apa Lisa. Aku pasti akan secepatnya mengumpulkan uang itu." Raut wajah Mas Giora justru terlihat sedikit tenang. Aku jadi merasa lega karena sudah melihat dia dengan sekilas. Setidaknya semuanya sudah jadi lebih baik sekarang. "Mas Giora yakin?" tanyaku sedikit ragu. "Tidak usah dipikirkan, nanti akan aku selesaikan dengan baik. Aku tidak akan membiarkan kamu menikah dengan Martin." Aku langsung memeluk Mas Giora dengan mesra. Siapa juga yang mau menikah dengan Matin, laki-laki yang terlihat angkuh dan pasti akan melakukan kejahatan. "Lagian aku juga tidak mau kalau menikah dengan Marina. Aku cukup mencintai suamiku," kataku sambil menggoda Mas Giora yang kini tersenyum padaku dengan manis. Aku tidak menyangka sama sekali ketika melihat Mas Giora yang pasti akan merasa senang setelah ini. Aku juga lega ketika semuanya jadi lebih baik. "Kamu juga bisa gombal Lisa." "Iya dong, aku gombal hanya sama Mas Giora saja," kataku dengan bangga. Aku merasa senang ketika hubungan antara aku dengan Mas Giora sudah menjadi lebih baik. "Sekarang kita bangun yuk. Aku akan mandi dulu," ujar Mas Giora. Aku memeluk Mas Giora dari belakang, seolah aku tidak mau kehilangan laki-laki tersebut. Walaupun dia laki-laki miskin tetapi aku tetap senang bisa berada dekat dengan laki-laki itu. "Mandi bersama yuk?" ajakku dengan menggoda dirinya. Mas Giora malah tersenyum miring dan dia langsung mengendong diriku secara tiba-tiba. Jujur saja aku sedikit terkejut dengan tingkahnya yang satu ini. Bahkan dia tidak menyangka sama sekali. "Mas." Aku memekik pelan, padahal aku bermaksud untuk menggodanya saja tadi. Tetapi Mas Giora malah mengganggap itu dengan serius. Dia membawa diriku ke kamar mandi kita berdua. Mas Giora mengambil gayung berbentuk hati yang memang sengaja aku beli di pasar kemarin. Gayung yang memang terlihat legend karena sudah banyak dipakai oleh orang-orang banyak lainnya. Aku yakin di rumah kalian semuanya juga punya. Lalu aku kembali menatap kearah Mas Giora. Deg Astaga Mas Giora sudah hampir membuka bajunya dan memperlihatkan tubuhnya kekarnya. Pemandangan yang begitu sangat luar biasa. Jangan sampai dia melihat air liurku menetas hanya karena melihat hal ini. Sungguh aku benar-benar dibuat malu dengan hal ini. "Mas Giora," suaraku sudah mulai parau. Sial, ini memang sedikit agak memalukan. Bahkan sekarang Mas Giora sudah menuntun tanganku pada tubuh kekarnya. Benar-benar menggoda imanku saja. Padahal niatku tadi hanya bercanda, tetapi dia malah menganggap semuanya dengan serius. "Kenapa hm? Ayo usapkan aku sabun." Mas Giora menggodaku dengan lembut, sialan suamiku ini. Benar-benar tidak tahan dengan hal ini. Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil sabun dan mengusap tubuhnya. "Ingat untuk hanya memperlihatkan tubuh kekar ini padaku saja, jangan pernah memperlihatkan pada wanita lain," ujarku dengan nada sedikit mengancam. Enak saja kalau suamiku ini memperhatikan tubuh kekarnya pada orang lain. Jelas aku tidak mau kalau semuanya terjadi seperti ini. Mas Giora malah tertawa ketika aku mengatakan hal itu padanya. Lalu dia mencolek pipiku dengan lembut. "Kamu bisa posesif juga Lisa," ujar Mas Giora yang malah menggodaku. Aku mencebikan bibir ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Mas Giora barusan. "Memangnya aku salah menggoda suamiku sendiri?" tanganku dengan berani. Mas Giora memberikan kecupan di bibirku dengan sekilas. Sebelum akhirnya dia kembali berbicara sambil melirik kearah diriku. "Baiklah, aku akan memperlihatkan ini semuanya hanya padamu seorang," ujar Mas Giora yang langsung mengambil alih sabun yang ada di tanganku tadi. "Janji yah," ujarku. "Iya janji." Mas Giora mengatakan itu sambil membasuh bajuku dengan air, dia mencoba untuk membuka pakaikan yang aku gunakan. "Mas," ujarku ketika merasa dingin. "Sini gantian giliran aku yang mengusap dirimu dengan sabun Lisa." Mas Giora hanya mengatakan itu sambil mengedipkan matanya. Aku merasa bahaya sekarang. Sebelum akhirnya aku berdiri dan hendak akan pergi. Tetapi sial karena lantai yang begitu sangat licin, aku hampir saja terjatuh dari sana. Beruntung sekali karena Mas Giora lebih sigap menahan tubuhku agar tidak jatuh. "Mas Giora." Aku benar-benar merasa gugup sekarang, terlebih sekarang aku berada di dalam pangkuan pria itu. "Makanya jangan kabur-kaburan kaya gitu. Kewalat kan kamu sekarang. Hampir saja kamu terjatuh tadi. Beruntung sekali aku bisa membantu menyelamatkan kamu tadi. Kalau tidak, bagaimana dengan nasibmu selanjutnya," ujar Mas Giora. Aku hanya bisa tersenyum sekilas ketika mendengar omelan dari Mas Giora barusan. Aku menyadari kesalahanku sekarang. "Maaf yah Mas." "Sekarang diam dan jangan banyak gerak. Biar aku yang sabuni," ujar Giora yang kini hendak akan menyabuni tubuhku. Sampai akhirnya aku merasa sesuatu yang sedikit agak tegang disana. Pipiku langsung memerah ketika sadar akan hal tersebut. Mas Giora langsung menyatukan bibirnya padaku dengan lembut. Aku bahkan tidak tahu kalau dia akan berpikir seperti ini. sampai pada akhirnya kita berdua mandi bersama dan aku merasa senang karena bisa menghabiskan waktu berdua bersama dengan suamiku tercinta. Terlepas dari masalah kami yang memang begitu rumit. "Kamu tenang saja Lisa. aku bisa melunasi suaminya," bisik Mas Giora pada telingaku dengan sedikit agak sensual.Pipiku memerah setelah selesai mandi bersama dengan Mas Giora. Sekarang suamiku sudah berangkat kerja. Aku bahkan lupa membuat sarapan untuk suamiku karena tadi kami berdua main di kamar mandi. Tidak usah aku ceritakan semuanya, kalian semuanya sudah tahu. Aku merasa malu ketika mengingat hal tersebut. Sampai terdengar suara ketukan dari arah pintu. Tok tok tok Aku mendengus kesal ketika mendengar suara yang begitu gaduh, aku yang kesal pun akhirnya memutuskan untuk ke sana. Baru juga membuka pintu, mataku langsung membulat ketika melihat siapa orang yang masuk ke rumah. "Ibu," panggilku. Ibuku langsung menatapku dengan sekilas. Sebelum dia memamerkan sebuah kalung emas yang begitu sangat berat, tidak tahu berapa karat tetapi aku malah membencinya. "Liat kalung yang aku pakai ini Lisa? Suami kamu tidak akan sanggup membelikan ini untuk kamu," ujarnya sedikit pamer. Aku tahu kalau Mas Giora tidak bisa membelikan kalung yang begitu bagus seperti yang dipakai ol
Aku yang penasaran pun akhirnya mengambil foto tersebut dan melihat Mas Giora dengan seseorang yang tidak asing. Aku teringat kalau orang tersebut adalah orang yang datang ke pasar waktu itu. "Apa ini?" tanyaku karena penasaran. "Masih mau bertanya lagi, ini suamimu bersama dengan seseorang yang mencurigakan. Laki-laki itu juga jago berkelahi kamu tahu." Aku menaikan sebelah alisku dengan erat. Tidak paham dengan maksud dari Martin barusan. "Memangnya kenapa kalau dia jago berkelahi?" kataku. Hani yang ada di sana pun ikut menimbrung pembicaraan antara aku dengan Martin barusan. "Lisa, kamu ini memang wanita bodoh yah. Maksud Martin adalah laki-laki yang bersama dengan suamimu itu adalah seorang preman. Pasti dia yang bekerjasama dengan suami kamu untuk melakukan kejahatan." Martin tersenyum ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Hani barusan. "Nah, Hani saja paham dengan yang aku maksud. Masa kamu tidak paham." Aku menggelengkan kepala, tidak mungkin kalau Mas Giora mel
"Mas Giora aku datang."Aku menghampiri Mas Giora yang tengah meladeni para pembeli, dia tengah sibuk karena aku tahu kalau dia tengah bekerja keras untuk melunasi hutang ibu. Andai saja ibu tidak meminjam uang kepada Martin, mungkin saja suaminya tidak akan sibuk seperti sekarang. "Mas," panggilku. Mas Giora menoleh ke arahku dengan sekilas. Dia masih meladeni para pembeli yang memang sangat antri sekali. Syukurlah karena tempat ini sedikit rame pengunjung sekarang. "Sebentar sayang, masih banyak pembeli."Aku hanya duduk di tempat tunggu sambil menunggu Mas Giora yang memang tengah meladeni orang-orang yang ada di sana. Ketika aku tengah duduk sambil menunggu. Tiba-tiba aku memikirkan sesuatu. Ada hal yang membuat aku merasa penasaran sekarang. Aku melihat sebuah amplop coklat yang ada di bawah. Akhirnya aku yang penasaran pun memutuskan untuk membukanya. Mataku langsung membulat ketika melihat uang yang ada di sana. Ada banyak uang yang tidak bisa aku hitung, Mas Giora tidak
Aku panik datang ke rumah sakit untuk memastikan keadaan ayah sekarang. Ada rasa khawatir dalam hatiku ketika mengetahui kalau ayah sakit. Sampai mataku melihat kearah ibu yang tengah duduk sambil menangis. "Kenapa ayah bisa dikeroyok?" tanyaku dengan khawatir. "Dia berusaha untuk menolong ibu. Tadi ada pencuri yang hampir akan membawa emas ibu." Aku malah terlihat kesal dan ingin mengumpat sekarang. Salah sendiri selalu pamer barang berharga. Sudah lihat banyak orang yang iri dan menginginkan benda tersebut. Tetapi aku masih menahan untuk tidak memaki di sini. Terlebih aku ingin melihat kondisi ayah sekarang. Ada rasa yang membuat aku merasa penasaran. "Lagian kenapa Ibu malah pamer kalung emas segala. Tidak sadar ada orang yang iri dan menginginkan itu," umpatku. "Kamu menyalahkan ibu? Anak tidak tahu diri!" "Sudahlah, Bu. Lain kali jangan pamer lagi," kataku sambil menghela napas. Ibu malah menatap kearah diriku dengan pandangan tidak sukanya. "Kenapa kamu malah melarang i
Mas Giora datang ke rumah sakit, aku melihat raut wajah khawatir dalam dirinya. Aku langsung memeluknya dengan erat. Jujur saja aku sendiri merasa sedih dengan kondisi ayahku sekarang. "Mas."Aku bisa menangis di pelukan suamiku sendiri. Rasanya memang nyaman ketika aku memeluk suamiku sendiri seperti ini. dMas Giora mengelus kepalaku dengan lembut. Dia membelai rambutku, seolah dia tahu apa yang tengah aku rasakan sekarang. "Bagaimana keadaan ayah?" tanya Mas Giora. "Dia cidera kaki, untuk sementara ayah harus pakai kursi roda.""Yaudah. Kalau begitu, aku ingin melihat kondisinya di dalam," kata Mas Giora. Aku mencegah Mas Giora untuk masuk ke dalam sekarang. Tentu saja karena aku tahu di dalam ruangan ayah ada ibu. Aku tidak mau kalau Mas Giora nanti malah akan dimaki oleh ibu. Apalagi Ibu adalah orang yang selalu menghina harga diri Mas Giora. Aku tidak mau kalau sampai hal itu terjadi pada suamiku. "Kenapa, Lisa?" tanya Mas Giora ketika tangannya aku cegah. Aku tidak mau ka
Aku bersama dengan ibu tengah menunggu Mas Giora datang. Dia sedikit lama sekali kembali ke sini. Aku merasa sedikit khawatir sekarang. "Mana suami kamu? Kenapa belum kembali?" tanya Ibu. "Iya sabar dong Bu." "Paling juga ditahan dia, karena uangnya kurang," ledek ibuku. Aku terdiam karena khawatir dengan perkataan ibu barusan. Bagaimana kalau Mas Giora kurang uangnya? Lagian dia juga tidak pernah cerita kalau punya uang lebih. Jadi sekarang aku yang malah dibuat kebingungan sekarang. "Maafkan ayah nak. Giora jadi harus membayar semua biaya rumah sakit," kata Ayah yang kini meminta maaf padaku. Rasanya tidak enak setelah mendengar apa yang ayah katakan barusan. "Tidak usah meminta maaf ayah. Mas Giora ada uangnya kok."Aku hanya tidak ingin membuat ayah khawatir. Sambil menggenggam tangannya dan aku mengupas jeruk untuk ayah. "Suami kamu memang tidak berguna.""Sudah ibu, jangan menghina Mas Giora terus!" Aku sedikit kesal ketika ibu yang terus menghina Mas Giora terus. Aku ju
"Tomas."Aku terkejut ketika melihat orang yang keluar dari mobil tersebut adalah Tomas. Kebetulan sekali dia datang ke sini, tetapi mobil siapa yang dia bawah. Bukan mobil milik Tomas bukan."Ah iya, Lisa."Tomas mengatakan itu dengan nada yang sedikit canggung. Apa mungkin karena di sini ada suamiku, makanya dia terlihat sangat gugup seperti itu. "Kamu kok bisa ada di sini?" tanyaku heran.Tomas tidak menjawab pertanyaan dariku dan dia malah menatap kearah Mas Giora yang memang tidak jauh dari sana. "Ah kalian berdua silahkan masuk ke dalam mobil," ujar Tomas. Aku tidak salah dengar bukan, kenapa Tomas dengan mudah mengatakan itu kepada kami berdua. Tentu saja aku penasaran dengan hal ini. "Ini mobil bukan milik kamu,kan Tomas?" tanyaku penasaran. "Ah tentu saja bukan milikku. Ini mobil milik majikanku," ujar Tomas. "Kalau begitu kami berdua tidak mau naik ke dalam mobil tersebut. Apalagi itu milik majikan kamu. Bagaimana kalau mobilnya kotor setelah kita tumpangi?" kataku pad
Aku senang karena Mas Giora sudah mau mengucapakan terimakasih banyak kepada Tomas. Apalagi dia sudah banyak membantu dirinya. "Yaudah kalau begitu ayo kita pergi ke rumah," ajak Mas Giora. Aku hanya melirik kearah Mas Giora sambil tersenyum. Dia sepertinya memang ingin pulang sekarang. Aku tidak mau mencegah dia untuk pulang."Baiklah, kalau begitu aku pamit."Tomas kembali masuk ke dalam mobilnya dan dia akhirnya memutuskan untuk pergi dari sini. Aku hanya bisa melihatnya dengan sekilas. "Tomas baik banget yah sama kita," kakaku dengan jujur. "Iya."Mas Giora menjawab dengan singkat, sepertinya dia memang tidak tertarik sama sekali dengan Tomas. Apa mungkin tebakanku memang benar, kalau Mas Giora tengah cemburu karena aku membahas Tomas. "Mas kenapa diam saja ketika aku membahas tentang Tomas? Apa Mas cemburu?" tanyaku karena memang merasa penasaran. Mas Giora menoleh kearah diriku dengan sekilas. "Sudahlah, Lisa. Aku tidak cemburu sama sekali. Kita ke rumah sekarang yuk," aja
Aku sudah rapi dengan pakaian yang kukenakan, tetapi hatiku gelisah. Mas Giora belum juga kembali, dan aku merasa ada yang tidak beres. Ke mana dia pergi? Aku mencari-cari tanda keberadaannya, namun tidak menemukannya. Aku turun ke bawah, mencoba mencari jawaban.Dengan langkah yang cepat, aku mendekati salah satu pelayan yang sedang sibuk di ruang tamu. "Apa ada yang melihat Mas Giora?" tanyaku, berusaha tetap tenang meski kecemasan mulai merayapi pikiranku.Pelayan itu berhenti sejenak, lalu menjawab, "Tadi beliau keluar bersama Tomas, Nyonya."Aku menahan napas sejenak, mencoba mencerna kata-katanya. "Apa dia bilang akan pergi ke mana?" tanyaku, rasa penasaran yang tak terelakkan membuatku bertanya lebih lanjut.Pelayan itu menggelengkan kepala dengan raut wajah kebingungan. "Tidak, Nyonya. Beliau tidak bilang akan ke mana."Aku menunduk, merasa sedikit lega sekaligus khawatir. Tidak ada petunjuk, hanya ketidakpastian. Mengapa dia tidak memberi tahu ke mana tujuannya? Apakah itu ha
Aku menatap Mas Giora sekilas, bingung dan tercengang dengan pernyataan yang baru saja keluar dari mulutnya. Tidak pernah aku bayangkan bahwa dia akan berpikir sejauh ini. Bahkan, aku sendiri masih merasa seperti ada yang salah dan sulit untuk memahaminya."Tomas, coba kamu jelaskan!" kataku, suaraku sedikit meninggi, tak bisa menyembunyikan kekesalan yang mulai mengalir dalam darahku.Namun, sebelum Tomas bisa merespon, Mas Giora mendekat dan menarik tanganku dengan lembut. Aku terdiam sejenak, merasa hangatnya pelukan yang tiba-tiba menyelimuti tubuhku."Maafkan aku, Lisa. Sebenernya semuanya ini adalah permintaanku. Aku tidak mau kalau sampai Tomas ketahuan kaki tanganku selama ini," ujar Mas Giora. "Jadi kamu juga ikut adil," kataku mendengus. Tomas juga ikut menjelaskan semuanya padaku. "sebenernya ini permintaan suamimu."Mas Giora melihat ke arah diriku kembali, dia terlihat meminta maaf padaku dengan sekilas. "Maafkan aku Lisa. Aku tidak bermaksud untuk berbohong padamu.""B
Mobil yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti di depan sebuah gerbang besar yang terbuat dari besi tempa. Di balik gerbang itu, terbentang perumahan yang begitu sangat mewah, setiap rumah tampak seperti istana dengan halaman yang luas, tertata rapi, dan pepohonan tinggi yang menambah kesan anggun. Suasana begitu tenang, seolah-olah waktu berhenti di sini. Aku terkejut, tak bisa menahan mata yang melirik ke segala arah."Ini rumah siapa?" tanyaku, suaraku terdengar sedikit tergetar saat melihat sebuah rumah megah di ujung jalan, berdiri tegak dengan desain modern yang dipadu dengan elemen klasik. Sekilas, rumah itu memancarkan kekayaan dan kemewahan yang luar biasa.Aku menoleh ke arah Mas Giora yang duduk di sampingku, sedikit bingung. Tidak mungkin ini rumah Mas Giora, kan? Aku selalu mengenalnya sebagai sosok yang sederhana, tidak pernah berbicara tentang rumah seperti ini. Hati aku berdebar-debar, perasaan ingin tahu menggebu.Mas Giora tersenyum tipis, tidak banyak bicara. Dia kemud
Aku tersenyum puas melihat Mas Giora berjalan mendekat. Rasanya seperti beban berat yang telah lama aku pikul akhirnya terlepas. Dia datang tepat pada waktunya, menyelamatkanku dari pernikahan yang tak pernah aku inginkan. Setidaknya kini aku bisa merasa sedikit lega. "Mas Giora..." aku menyebut namanya dengan suara yang bergetar, penuh harapan. Namun, sebelum Mas Giora bisa menjawab, suara keras Martin menyela. "Lisa dan keluarganya masih memiliki hutang padaku! Aku tidak akan membebaskan dia begitu saja!" Tangannya mencekal erat pergelangan tanganku, membuatku sedikit terkejut dan merasa terjebak kembali dalam jaringnya. Dengan wajah tenang dan penuh keyakinan, Mas Giora berdiri di hadapanku. Tanpa ragu, dia menatap Martin dan berkata, "Aku akan membayarnya." Nada suaranya tegas, tanpa ada keraguan sedikit pun. Pernyataan itu bukan hanya tentang uang atau kewajiban. Ada sesuatu yang lebih, sebuah janji untuk membebaskan aku dari belenggu yang tak terlihat, dan aku bisa merasakan
Hari berikutnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa di dalam sebuah kamar. Berusaha untuk kabur pun tidak bisa. Aku hanya berharap Serin akan segara menemukan aku. Sampai tiba-tiba pintu terbuka dan muncul dua orang wanita yang datang bersama dengan ibu. "Ibu."Aku terbangun dalam keadaan bingung, melihat pintu yang terbuka lebar. Kecemasan dan harapan bercampur aduk dalam diriku. Tanpa berpikir panjang, aku berusaha untuk melarikan diri. Namun, saat aku melangkah, tanganku tiba-tiba ditarik dengan kasar oleh ibuku."Jangan berusaha untuk kabur, di luar akan banyak orang," katanya dengan nada tegas.Pernyataan itu membuatku tertegun. "Apa maksudnya?" tanyaku, rasa ingin tahuku semakin membara. Aku menatapnya, mencari jawaban di wajahnya yang tampak cemas.Namun, ibuku hanya terdiam, matanya menghindar dari pandanganku. Dia tidak memberi penjelasan, dan semakin lama aku semakin bingung. Apa yang sebenarnya terjadi di luar? Kenapa ia begitu takut? Perasaan terjebak menghimpitku, membuat
Aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah ibu, pikiran melayang ke kenangan-kenangan masa lalu. Angin berhembus lembut, namun suasana hatiku terasa berat. Tiba-tiba, dari kejauhan, aku melihat sosok yang membuatku terhenti sejenak. Martin, teman lama yang selalu bisa mengusik ketenanganku."Lisa, kamu masih ingat yah dengan ibuku?" tanyanya, nada suaranya mengandung kepalsuan yang kutangkap dengan cepat."Bukan urusan kamu, Martin!" balasku, berusaha menahan nada sinis yang tak bisa kuhindari. Keberadaannya selalu mengingatkanku pada masa-masa sulit, saat hubungan keluargaku masih rumit. Dia terus mendekat, ekspresi wajahnya menunjukkan rasa ingin tahu yang berlebihan.Martin tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema di sepanjang jalan sepi itu. Tawa itu bukan hanya konyol, tetapi penuh penghinaan. "Hahaha, kamu masih saja sombong. Suamimu sudah masuk penjara sekarang. Jadi aku bisa bebas mendekati," katanya, dengan senyum yang semakin memperlihatkan niat jahatnya.Ketika dia
Setelah pertemuan yang menegangkan dengan Mas Giora, aku dan Serin memutuskan untuk kembali ke apartemen. Dalam perjalanan, suasana terasa canggung, banyak pikiran mengganggu benak kami. Sesampainya di apartemen, Serin membuka pintu. “Ayo masuk,” ujarnya, tetapi ada nada cemas dalam suaranya. Aku melangkah masuk, merasakan hawa dingin yang aneh. Begitu pintu tertutup, kami segera menyadari sesuatu yang tidak beres. Lampu di ruang tamu menyala terang, padahal kami yakin sudah mematikannya sebelum pergi. Kami saling pandang, bingung. “Apakah kamu menghidupkannya?” tanyaku, suara bergetar. Serin menggelengkan kepala, wajahnya pucat. “Tidak. Kita pasti sudah mematikannya.” Kami melangkah perlahan ke ruang tamu, perasaan tegang menjalari setiap langkah. Bayangan-bayangan di dinding tampak bergerak, dan suara berisik dari dalam apartemen seolah memanggil kami. “Apa yang terjadi?” Serin berbisik, suaranya hampir tak terdengar. Di antara keraguan dan rasa takut, kami tahu kami harus me
Aku sudah melaporkan semua kejahatan beserta bukti tentang suaminya Hani yang membakar rumahku. Sejujurnya aku sama sekali tidak menyangka dengan hal ini. Bahkan aku tidak habis pikir kalau semuanya akan jadi seperti ini. Aku juga awalnya tidak menyangka sama sekali. "Sudah selesai?" ujar Serin menghampiri aku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, aku senang karena semuanya sudah selesai. Tidak ada yang dikhawatirkan lagi untuk sekarang.""Syukurlah kalau begitu.""Sekarang kita temui suami kamu," ajak Serin. Aku tersenyum ketika mendengar hal tersebut. Terlebih semuanya sudah berjalan dengan baik. Leon tidak tahu harus berbuat apalagi setelah ini. Dia memang melakukan semuanya dengan baik. Sampai tak lama kemudian, dia teringat akan sesuatu sekarang. "Tunggu dulu.""Kenapa?" tanya Serin sambil melirik kearah diriku. "Semua laporan tentang suaminya Hani tengah di proses. Tapi bagaimana aku memberitahu Mas Giora.""Kamu takut memberitahu Mas Giora kalau rumah kamu t
Aku berkeliling melihat bekas kebakaran ini, beruntung aku dan Mas Giora sedang tidak ada di rumah, jadi tidak ada korban. "Aduh kasian sekali gubuknya terbakar." Hani mengatakan itu sambil tertawa dengan puas. Dia paling senang kalau melihat aku yang menderita seperti ini. "Diam kamu," balasku. "Sekarang kamu tidak punya rumah lagi," hina Hani sambil melihat kearahku. Memang aku sudah tidak punya tempat tinggal lagi sekarang. Apa yang dikatakan oleh Hani memang benar, sebelum akhirnya Serin merangkulku. "Kata siapa Lisa tidak punya rumah lagi? Giora punya rumah banyak asal kamu tahu," ujar Serin. Hani yang mendengar itu pun malah tertawa. "Memangnya aku tidak tahu kalau dia hanya penjual ikan saja. Mana mungkin kalau dia punya rumah banyak. Jangan mimpi!" Benar juga yang dikatakan oleh Hani, Serin sampai mau berbohong hanya untuk membelaku. "Terserah kalau tidak percaya, ayo Lisa kita pergi dari sini," ajak Serin. Aku hanya mengangguk saja, kita berdua akhir