Share

Bab 3 Menggoda Suami Tampan

Pasca kejadian di pasar beberapa hari yang lalu, Mas Giora tetap memegang pendiriannya untuk berjualan ikan. Memang, suamiku terkadang keras kepala, tak peduli betapa banyak penghinaan dari keluargaku dan juga orang lain, tetap saja dia hanya membalasnya dengan senyum dan tenang. 

Akhirnya, pagi itu, aku menemani Mas Giora untuk berjualan ikan di pasar, karena kebetulan aku bosan di rumah saja. 

"Mas Giora, saya mau beli ikan lele dong." ucap seorang wanita yang suaranya sangat familiar di telingaku.

"Mau berapa?" tanya Giora.

Benar dugaanku, rupanya itu adalah Wita, 'temanku' yang tempo hari menghina suamiku. Cih, katanya segan, tapi sekarang malah datang membeli ikan di lapak suamiku. Tidak tahu malu sekali wanita itu datang ke sini, bahkan dia juga sudah memutuskan pertemanan denganku hanya karena kami miskin.

"Ini, ikannya." Mas Giora dengan ramah mengatakan itu sambil memberikan ikan yang sudah dibungkus dengan plastik berwarna hitam.

Aku yang kesal melihat Wita pun langsung saja menyindir dirinya. "Kamu kemarin bilang tidak mau berhubungan dengan aku dan suamiku, sekarang malah beli ikan yang dijual oleh suamiku," sindirku dengan tajam.

Biarkan saja dia akan berkata apa setelah ini, aku juga tidak peduli sama sekali. Lagipula, hinaan-hinaan dari dirinya dan juga Hani masih saja terngiang di otakku.

Setelah aku menyindirnya, Wita malah menatapku dengan pandangan jijik, seolah aku ini adalah kotoran. Dia tertawa sambil menatapku dingin.

"Harusnya kamu bersyukur Lisa, karena ada orang seperti aku yang mau membeli ikan dari suamimu yang tidak berguna ini, bayangkan kalau gak ada aku? Lapak dagangan suamimu bakal sepi pembeli, tau!?" sindir Wita dengan nada penuh kemenangan.

Aku mengepalkan tangan, tak kuasa untuk berbuat sesuatu ke wajahnya yang menyebalkan, tetapi karena tangan kekar suamiku yang menahannya aku tidak jadi melakukan hal tersebut.

"Cih, masih berani melawan dan mengataiku, dasar orang miskin."

Wita melemparkan selembar uang berwarna merah kepada kami, lalu dia tertawa dengan puas ke arah kami, seolah menghina kami di hadapan orang-orang yang ada di pasar.

"Ambil saja kembaliannya. Aku tahu kalau kalian orang miskin yang sangat membutuhkan itu. Jangan sok pura-pura menolak," ledek Wita kembali.

Aku mengambilnya dan memberikan kembali kepada Wita. "Sepertinya kamu yang butuh bantuan sosial bukan aku. Ambil saja uang itu, aku tidak butuh uang haram."

Aku sengaja mengatakan itu karena aku dengar dari warga sekitar, kalau Wita dan suaminya tiba-tiba kaya mendadak karena judi yang kerap dilakukan oleh suaminya.

"Cih, dasar sombong, sudah tau hidup melarat, dikasih bantuan malah kurang ajar." Wita menyinyir, lalu langsung pergi begitu saja.

Aku menatap kesal wanita sombong tersebut, bisa-bisanya dia malah mengatai suamiku dengan seperti itu.

"Jangan dilayani, dia juga pelanggan."

Aku menatap kearah Mas Giora yang terlalu baik menilai orang. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan manusia yang menjadi suamiku ini. Mengapa dia masih bisa berpikir positif dalam segala hal?

"Lain kali kalau ada sesuatu datang ke sini, jangan terima dia. Enak saja dia datang ke sini sambil menghina kita. Kamu tidak ingat kejadian dia datang ke rumah waktu itu bersama dengan Hani. Mereka hanya ingin pamer kekayaan saja. Aku benci dengan orang kaya," ujarku dengan jujur.

Aku memperhatikan ekspresi dari Mas Giora yang tidak berkata apapun.  Apa aku salah bicara, sampai akhirnya aku memutuskan untuk menepuk pundaknya.

"Kenapa Mas malah melamun?" tanyaku heran.

"Ah tidak, lebih baik kamu pulang sekarang yah. Aku tidak mau kalau kamu panas-panasan di pasar seperti ini," kata Mas Giora.

Aku terharu ketika mendengar alasan dirinya yang memang sangat perhatian. Tetapi, aku ingin tetap bersama dengan suamiku. Walaupun aku biasanya tak begitu suka berlama-lama di pasar ini. 

"Tidak mau, Mas. Khusus untuk hari ini yah Mas, aku akan menemani Mas untuk berjualan."

Aku berkata dengan jujur sekarang, terlebih aku merasa kasihan dengan pekerjaan yang dia jalani sekarang. Rasanya, tidak tega saja ketika melihat dia berkerja seperti ini. Belum juga dengan hinaan orang-orang yang tidak suka.

Mas Giora menggelengkan kepalanya, "Tidak usah yah. Kamu bekerja saja di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah," ujar suamiku.

"Aku tidak terima penolakan, pokoknya aku mau temani Mas bekerja di sini," kataku dengan nada penekanan.

Mas Giora hanya tersenyum sambil mengelus kepalaku dengan lembut. "Kamu memang keras kepala, Lisa."

"Iya, makanya aku istri kamu. Gak beda jauh, kan?" jawabku dengan santai, sembari menampikkan senyum di wajahku.

"Kalau begitu kamu duduk di sana yah," ujar Mas Giora, jemarinya menunjuk ke kursi kayu tempatnya biasa beristirahat di lapak pasar. 

Aku hanya bisa mengangguk. Sembari terduduk, aku menyaksikan Mas Giora melayani pembeli, dan memotong-motong ikan dengan ototnya yang terbentuk, membuatku tetap kagum kepadanya. 

Sampai waktu sore telah tiba, aku merasa sedikit lelah.

"Akhirnya sekarang bisa pulang juga." Aku mengatakan itu sambil merentangkan tangan, ada rasa lega di dalam hatiku sekarang.

"Lain kali kamu jangan sampe seperti ini," ucap Mas Giora, tangan kekarnya mengelus elus pundakku.

"Iya Mas." Aku hanya tersenyum dengan tipis saja, sampai aku melihat ada seseorang yang datang menghampiri Giora.

Laki-laki tersebut memakai baju yang begitu sangat rapi. "Siapa dia? Apa dia datang untuk membeli ikan?" batinku dalam hati.

"Maaf, toko kami sudah tutup. Ikannya juga sudah habis. Mungkin bisa membeli ini lain waktu," ujarku bukan untuk mengusirnya, tetapi jualan kami hari ini memang sudah habis.

Namun, orang tak dikenal itu malah menyimpulkan senyum dan menatapku dengan aneh. "Ah, maaf, saya ke sini bukan untuk membeli ikan, tetapi untuk bertemu dengan Tuan...eh maksud saya Giora."

Tuan? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status