'Mengapa pria itu menyebut Giora Tuan?'
Aku hanya bisa membatin, lalu mengarahkan tatapanku ke Mas Giora yang sedang membersihkan limbah ikan. Bisa jadi, pria di hadapanku adalah temannya yang memang sedang mencari Mas Giora.
Atau jangan-jangan ... dia adalah rentenir yang ingin menagih hutang?
Pikiranku seketika membuat diriku sendiri panik, aku pun langsung menghampiri Mas Giora dan berbisik pelan, "Mas, Mas tidak pinjam uang pada rentenir, kan?" "Kamu ngomong apa, Lisa? Tentu saja tidak," ujar Mas Giora santai. Jawaban Mas Giora membuatku menghela napas lega. Lagipula, tak mungkin orang yang segan seperti suamiku mencari-cari pinjaman. "Itu ... Mas. Ada yang nyariin kamu, dia bukan rentenir, kan?" bisikku lagi, sembari menunjuk-nunjuk ke arah pria tak dikenal tadi. "Ah, bukan kok."Setelah melihat pria itu, Mas Giora membereskan pekerjaanya, dan mengeringkan tangannya dengan lap. Tak lama, dia langsung menghampiri pria tak dikenal itu.
"Saya bukan rentenir kok, Bu," jawab orang tersebut dengan sopan sembari tersenyumAh, jadi malu aku. Ternyata ucapanku didengar oleh pria tak dikenal itu.
"Eh Pak, jangan panggil Bu, panggil Lisa saja," jawabku pelan, membalas senyumannya. Dari tampilan dan tutur bicaranya, sepertinya orang ini adalah orang baik. Namun, di dalam pikiranku, aku tetap tak terpikir siapa pria ini sebenarnya? Pria ini terlalu rapi untuk dicap sebagai teman Mas Giora. Bagaimana pria ini bisa kenal dengan Mas Giora? Padahal, aku selalu mengira kalau Mas Giora tidak punya teman, karena selama ini dia terlihat sendiri dan jarang dekat dengan orang lain. "Baik, Lisa," ujarnya sedikit gugup tapi arah matanya malah melirik kearah Mas Giora. Aku otomatis melirik ke arah Mas Giora juga, tetapi dia tampak biasa saja sambil tiba-tiba merangkul diriku dengan sedikit mesra. "Katakan apa yang ingin kamu bicarakan, Tomas?" ujar Giora, wajahnya tiba-tiba berubah serius. Aku baru tahu kalau nama orang tersebut adalah Tomas, dia sepertinya dekat dengan Mas Giora. Mungkin saja orang itu adalah temannya. "Anu, Tuan..." Giora seketika melihat ke arah diriku dengan sekilas, sebelum akhirnya dia memotong pembicaraan Tomas dan menatapku mesra. "Lisa, bisa kamu pergi sebentar?" pinta Mas Giora. Diam-diam, aku merasa heran sendiri, kenapa juga Mas Giora malah menyuruh aku untuk pergi sebentar. Memangnya, apa yang akan dibicarakan oleh Mas Giora dengan orang tak dikenal itu? Tetapi, jika aku tidak mau pergi, maka Mas Giora tidak akan mengatakan apapun juga. Padahal, dalam hati aku masih bertanya-tanya siapa dan apa pekerjaan pria bernama Tomas yang berpakaian rapi itu."Baik, Mas. Kalau begitu aku izin pergi beli sayur di depan," ujarku sembari menjauh dari mereka berdua.
Lebih baik aku menuruti keinginan dari suamiku saja, tapi diam-diam aku akan mendengarkan pembicaraan mereka. Setelah aku berjalan sedikit menjauh, aku mengendap-endap agar bisa mengintip dan juga mendengarkan topik pembicaraan antara Mas Giora dengan pria itu. Namun, entah mengapa, ketika aku melihat dari jauh, sosok Mas Giora dengan Tomas tidak terlihat sama sekali. "Ke mana mereka?" Bisa-bisanya aku malah kehilangan jejak mereka. Memangnya seberapa penting sih, isi pembicaraan Mas Giora dengan si Tomas Tomas itu? Kenapa mereka harus pergi begitu aja, bahkan sampai tak terlihat dari mataku. Masih tak ingin menyerah, aku pun berjalan mengelilingi pasar demi mencari keberadaan suamiku. Namun naas, aku malah bertemu dengan preman pasar dengan tato dan tindik yang menyeramkan. "Hai cantik," sapa orang tersebut yang berusaha untuk mencolek. Segan, aku pun menepis tangannya. \"Jangan mencoba untuk menyentuhku!" ancamku. Tanganku sudah mengepal dengan kuat, ancang-ancang jika pria-pria menjijikkan itu benar-benar berani menyentuhku.
"Kamu galak juga rupanya cantik, tetapi kita suka," ujar dua orang preman tersebut yang tiba-tiba menarik tangan aku. "Lepaskan!"Seketika, aku sangat panik, pria-pria itu menahan pergelangan tanganku sampai aku benar-benar tak bisa bergerak.
"Temani kita bersenang-senang, yuk!" ujar preman tersebut yang memojokkan di tembok dan berusaha meraba tubuhku. "Tolong!" Aku berteriak sekencang mungkin. Namun, tetap saja, pasar ini sudah hening karena sudah bukan jam operasionalnya. Aku hanya bisa menangis, dan menanyakan keberadaan suamiku. Di mana dia sebenarnya!?Berteriak ketika orang-orang tersebut berusaha untuk melakukan kejahatan terhadap diriku.
"Hentikan!"Sebuah suara familiar tiba-tiba datang dari belakang. Itu dia, penyelamatku yang kerap dihina manusia lain.
Beberapa pukulan dilayangkan oleh Mas Giora dan membuat orang jahat itu melepaskan tanganku. "Jangan berani-beraninya kalian menyentuh istri saya.""Hah, kau tidak usah ikut campur," ujar orang jahat tersebut yang kini menatap kami dengan pandangan yang begitu sangat tajam.
Jujur saja, aku merasa amat ketakutan ketika melihat dua orang jahat itu ancang-ancang untuk menyerang Mas Giora secara bersamaan.
Bugh!
Tiba-tiba, terdegar suara tonjokan yang amat keras, membuatku menutup mata. Suara tersebut membuat jantungku seakan ingin jatuh. Apakah itu Mas Giora yang akhirnya tumbang?
Namun, suara berikutnya seketika membuatku sangat lega, dan aku pun membuka mata. Mas Giora kini sudah di depanku, menyentuhku dengan lembut, dan memelukku untuk menenangkan aku.
"Pergi kalian dari sini, jangan pernah menganggu lagi," usir Mas Giora.
Aku hanya bisa bersorak ria di dalam hati. Akhirnya Mas Giora bisa mengusir para bedebah yang berusaha untuk membuat aku celaka seperti itu. Aku merasa lega, karena suamiku datang menyelamatkanku di waktu yang tepat.
"Mas Giora." Dengan sangat manja, aku memeluk Mas Giora dengan erat. Aku tidak menyangka kalau Mas Giora rupanya jago bela diri seperti tadi.
"Kamu tidak terluka Lisa?" tanya Giora sambil mengelus pipiku dengan tatapan khawatir.
Aku hanya menggelengkan kepala, tersenyum kecil ke arah Mas Giora yang kini ada di hadapanku. "Aku tidak apa-apa, Mas Giora sendiri, apa ada yang terluka?"
"Mas baik-baik saja, bukannya tadi kamu melihat sendiri kalau aku memang melawan para preman itu? Tidak usah pikirkan aku, ayo kita pulang sekarang," saran Mas Giora.
Aku terdiam sambil melirik ke arah Mas Giora yang ada di hadapanku dengan sekilas.
"Tunggu dulu, sejak kapan Mas Giora jago bela diri kaya tadi?" tanyaku dengan penasaran.
Mendengar pertanyaanku, Mas Giora hanya tertawa, lalu mengelus-elus rambutku. "Sebenernya sudah lama, hanya saja jarang memperlihatkan sama orang. Ini kan bukan untuk ajang pamer. Digunakan ketika ada yang darurat seperti tadi saja," kata Mas Giora.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum, benar juga memang yang dikatakan oleh Mas Giora tersebut.
"Iya juga sih Mas. Eh, tadi Mas ngobrol dengan orang pake kemeja rapi itu, sekarang dia ke mana?" tanyaku kembali.
"Tidak ada, dia sudah pulang lagi."
"Pulang lagi?" tanyaku dengan heran. Aku kira orang tersebut akan memberikan pekerjaan pada suamiku.
"Iya, udah jangan membahas dia, lebih baik sekarang kita pulang," ajak Mas Giora sambil merangkul bahuku dengan hangat.
***
Ketika aku dan Mas Giora sudah sampai di rumah gubuk kami, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang datang menghampiri kami berdua. Aku menaikan sebelah alisku heran ketika melihat orang asing tersebut datang menghampiri kami berdua.
"Maaf, anda siapa, kok bisa datang ke rumah kita?" tanyaku dengan heran.
Orang itu bukannya menjawab, justru malah menatap kearah diriku dengan pandangan aneh. Laki-laki itu melihat dari atas sampai bawah, terlihat tidak sopan sekali. Apa yang diinginkan dia sebenarnya?
"Ternyata kamu yang namanya Lisa, lumayan cantik juga, tinggal dipoles sedikit saja menggunakan baju yang bagus, pasti akan terlihat cantik," kata orang tersebut.
Aku menoleh kearah Mas Giora, seolah bertanya dengan maksud orang yang ada di hadapannya itu.
"Maaf, Anda siapa, ya?" kata Mas Giora dengan nada yang sedikit tegas. Bisa aku simpulkan kalau Mas Giora juga tidak kenal dengan orang itu.
"Oh iya, aku lupa memperkenalkan diri pada kalian berdua. Aku adalah Martin, kebetulan sekali aku adalah calon suaminya Lisa," ujar orang tersebut yang membuatku melotot tajam. Bagaimana bisa orang tersebut dengan berani mengaku calon suamiku, di depan suamikuu sendiri!?
"Apa maksudnya ini? Aku sudah punya suami dan aku tidak minat untuk menambah suami lagi," ujarku dengan kesal.
Namun, bukannya mundur, pria itu justru tersenyum menjijikkan ke arahku.
"Oh iya? Sebentar lagi kamu akan berpisah dengan suami miskin itu. Ibumu sudah menyerahkan kamu padaku," ujar Martin dengan nada yang angkuh.
Lagi-lagi tentang ibu, apa ini yang dia rencanakan sebenarnya? Membuat orang menjadi calon suamiku dan Mas Giora akhirnya menyerah dengan pernikahan kami.
Tidak, aku jelas tak ikhlas. Ibuku sudah keterlaluan.
"Dasar pria gila! Aku gak akan menikah sama kamu!" kataku dengan tegas, menatap nyalang pria itu.
"Apa kamu yakin? Ibumu mempunyai hutang banyak sekali padaku." Martin mengatakan itu dengan nada yang angkuh.
Tetapi, apa yang dia katakan tadi? Hutang? Sial! aku curiga ini semua sudah direncanakan oleh ibuku.
"Berapa hutang ibuku?" tanyaku penasaran. Aku akan berusaha untuk bekerja keras untuk melunasinya. Walaupun aku tahu pekerjaan suamiku tidak akan bisa membayar semuanya, aku lebih memilih jalan itu dibandingkan berpisah dengan Mas Giora.
"Seratus juta. Emangnya kamu sanggup untuk membayarnya?" sindirnya dengan nada yang merendahkan.
Seketika, manikku membulat. Aku tak pernah menyangka, ibuku punya hutang sebanyak itu. Apa yang dilakukan oleh ibuku sehingga mempunyai hutang begitu banyak?
"Melihat kamu menganga seperti itu saja sudah bisa ditebak. Kamu tidak bisa membayarnya, kan? Apalagi suami kamu itu miskin, kalian pasti tidak akan bisa membayarnya!" hina Martin kembali.
Aku hanya bisa meringis, namun tiba-tiba, terdengar suara tegas yang aku kenal.
"Saya bisa membayarnya."
Mataku langsung tertuju kepada Mas Giora. Apa aku tidak salah dengar barusan? Mas Giora akan membayar hutang ibuku, pakai apa dia bayarnya?
"Saya bisa membayarnya." Mas Giora mengatakan itu di depan Martin. Dia terlihat sedikit serius sambil mengepalkan tangannya. Sepertinya dia marah dan tidak suka dengan Martin. Martin malah tertawa ketika mendengar penuturan dari Mas Giora barusan. Dia terlihat sangat meremehkan, bahkan aku tidak yakin sama sekali dengan hal ini. "Apa aku tidak salah dengar? Kamu mau membayar hutang? Laki-laki miskin seperti kamu yang hanya jualan ikan saja memangnya gajinya berapa?" sindirnya sambil mendorong Mas Giora. "Saya akan membayar semua hutang tersebut, jadi lebih baik kamu pergi dari sini," usir Mas Giora yang sepertinya sudah dibuat kesal sekarang. Aku hanya melihat Mas Giora dengan sekilas saja. Dia benar-benar berani ketika melawan Martin sekarang. "Kamu mau jadi seorang gigolo untuk membayar hutangmu itu, Giora. Tapi bagus sih, biar istrimu merasa jijik ketika melihatmu nanti," sindir Martin. Bugh Mas Giora memukul Martin dengan sedikit keras. Aku langsung menahan tangan M
Pagi hari yang begitu cerah. Aku masih memeluk Mas Giora dengan hangat, laki-laki itu masih pulas dalam tidurnya dan seketika aku ingin menggodanya. "Mas bangun." Aku membisikan sesuatu di telinganya agar dia bangun. Terdengar suara serak yang seperti candu itu, dia memeluk diriku dengan erat. "Mas pagi Lisa." "Iya, Mas Giora biasanya selalu bangun pagi. Kenapa sekarang terlihat susah bangun," ujarku heran dengan suamiku. Seketika Mas Giora langsung bangun, dia menatap kearah diriku. "Maaf Lisa." Aku akhirnya memutuskan untuk ikut bangun juga. "Mas Giora tidak usah meminta maaf seperti itu. Memangnya Mas Giora punya salah denganku?" tanyaku dengan heran. "Ah tidak, aku akan bekerja mencari uang untuk melunasi hutangku," ujar Mas Giora. Aku jadi merasa bersalah karena sudah membebankan semuanya pada Mas Giora. Lagian semuanya juga bukan sepenuhnya salahku. "Maafkan ibuku yah Mas. Kita jadi semakin susah," ujarku sambil menundukkan kepalanya. Mas Giora malah m
Pipiku memerah setelah selesai mandi bersama dengan Mas Giora. Sekarang suamiku sudah berangkat kerja. Aku bahkan lupa membuat sarapan untuk suamiku karena tadi kami berdua main di kamar mandi. Tidak usah aku ceritakan semuanya, kalian semuanya sudah tahu. Aku merasa malu ketika mengingat hal tersebut. Sampai terdengar suara ketukan dari arah pintu. Tok tok tok Aku mendengus kesal ketika mendengar suara yang begitu gaduh, aku yang kesal pun akhirnya memutuskan untuk ke sana. Baru juga membuka pintu, mataku langsung membulat ketika melihat siapa orang yang masuk ke rumah. "Ibu," panggilku. Ibuku langsung menatapku dengan sekilas. Sebelum dia memamerkan sebuah kalung emas yang begitu sangat berat, tidak tahu berapa karat tetapi aku malah membencinya. "Liat kalung yang aku pakai ini Lisa? Suami kamu tidak akan sanggup membelikan ini untuk kamu," ujarnya sedikit pamer. Aku tahu kalau Mas Giora tidak bisa membelikan kalung yang begitu bagus seperti yang dipakai ol
Aku yang penasaran pun akhirnya mengambil foto tersebut dan melihat Mas Giora dengan seseorang yang tidak asing. Aku teringat kalau orang tersebut adalah orang yang datang ke pasar waktu itu. "Apa ini?" tanyaku karena penasaran. "Masih mau bertanya lagi, ini suamimu bersama dengan seseorang yang mencurigakan. Laki-laki itu juga jago berkelahi kamu tahu." Aku menaikan sebelah alisku dengan erat. Tidak paham dengan maksud dari Martin barusan. "Memangnya kenapa kalau dia jago berkelahi?" kataku. Hani yang ada di sana pun ikut menimbrung pembicaraan antara aku dengan Martin barusan. "Lisa, kamu ini memang wanita bodoh yah. Maksud Martin adalah laki-laki yang bersama dengan suamimu itu adalah seorang preman. Pasti dia yang bekerjasama dengan suami kamu untuk melakukan kejahatan." Martin tersenyum ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Hani barusan. "Nah, Hani saja paham dengan yang aku maksud. Masa kamu tidak paham." Aku menggelengkan kepala, tidak mungkin kalau Mas Giora mel
"Mas Giora aku datang."Aku menghampiri Mas Giora yang tengah meladeni para pembeli, dia tengah sibuk karena aku tahu kalau dia tengah bekerja keras untuk melunasi hutang ibu. Andai saja ibu tidak meminjam uang kepada Martin, mungkin saja suaminya tidak akan sibuk seperti sekarang. "Mas," panggilku. Mas Giora menoleh ke arahku dengan sekilas. Dia masih meladeni para pembeli yang memang sangat antri sekali. Syukurlah karena tempat ini sedikit rame pengunjung sekarang. "Sebentar sayang, masih banyak pembeli."Aku hanya duduk di tempat tunggu sambil menunggu Mas Giora yang memang tengah meladeni orang-orang yang ada di sana. Ketika aku tengah duduk sambil menunggu. Tiba-tiba aku memikirkan sesuatu. Ada hal yang membuat aku merasa penasaran sekarang. Aku melihat sebuah amplop coklat yang ada di bawah. Akhirnya aku yang penasaran pun memutuskan untuk membukanya. Mataku langsung membulat ketika melihat uang yang ada di sana. Ada banyak uang yang tidak bisa aku hitung, Mas Giora tidak
Aku panik datang ke rumah sakit untuk memastikan keadaan ayah sekarang. Ada rasa khawatir dalam hatiku ketika mengetahui kalau ayah sakit. Sampai mataku melihat kearah ibu yang tengah duduk sambil menangis. "Kenapa ayah bisa dikeroyok?" tanyaku dengan khawatir. "Dia berusaha untuk menolong ibu. Tadi ada pencuri yang hampir akan membawa emas ibu." Aku malah terlihat kesal dan ingin mengumpat sekarang. Salah sendiri selalu pamer barang berharga. Sudah lihat banyak orang yang iri dan menginginkan benda tersebut. Tetapi aku masih menahan untuk tidak memaki di sini. Terlebih aku ingin melihat kondisi ayah sekarang. Ada rasa yang membuat aku merasa penasaran. "Lagian kenapa Ibu malah pamer kalung emas segala. Tidak sadar ada orang yang iri dan menginginkan itu," umpatku. "Kamu menyalahkan ibu? Anak tidak tahu diri!" "Sudahlah, Bu. Lain kali jangan pamer lagi," kataku sambil menghela napas. Ibu malah menatap kearah diriku dengan pandangan tidak sukanya. "Kenapa kamu malah melarang i
Mas Giora datang ke rumah sakit, aku melihat raut wajah khawatir dalam dirinya. Aku langsung memeluknya dengan erat. Jujur saja aku sendiri merasa sedih dengan kondisi ayahku sekarang. "Mas."Aku bisa menangis di pelukan suamiku sendiri. Rasanya memang nyaman ketika aku memeluk suamiku sendiri seperti ini. dMas Giora mengelus kepalaku dengan lembut. Dia membelai rambutku, seolah dia tahu apa yang tengah aku rasakan sekarang. "Bagaimana keadaan ayah?" tanya Mas Giora. "Dia cidera kaki, untuk sementara ayah harus pakai kursi roda.""Yaudah. Kalau begitu, aku ingin melihat kondisinya di dalam," kata Mas Giora. Aku mencegah Mas Giora untuk masuk ke dalam sekarang. Tentu saja karena aku tahu di dalam ruangan ayah ada ibu. Aku tidak mau kalau Mas Giora nanti malah akan dimaki oleh ibu. Apalagi Ibu adalah orang yang selalu menghina harga diri Mas Giora. Aku tidak mau kalau sampai hal itu terjadi pada suamiku. "Kenapa, Lisa?" tanya Mas Giora ketika tangannya aku cegah. Aku tidak mau ka
Aku bersama dengan ibu tengah menunggu Mas Giora datang. Dia sedikit lama sekali kembali ke sini. Aku merasa sedikit khawatir sekarang. "Mana suami kamu? Kenapa belum kembali?" tanya Ibu. "Iya sabar dong Bu." "Paling juga ditahan dia, karena uangnya kurang," ledek ibuku. Aku terdiam karena khawatir dengan perkataan ibu barusan. Bagaimana kalau Mas Giora kurang uangnya? Lagian dia juga tidak pernah cerita kalau punya uang lebih. Jadi sekarang aku yang malah dibuat kebingungan sekarang. "Maafkan ayah nak. Giora jadi harus membayar semua biaya rumah sakit," kata Ayah yang kini meminta maaf padaku. Rasanya tidak enak setelah mendengar apa yang ayah katakan barusan. "Tidak usah meminta maaf ayah. Mas Giora ada uangnya kok."Aku hanya tidak ingin membuat ayah khawatir. Sambil menggenggam tangannya dan aku mengupas jeruk untuk ayah. "Suami kamu memang tidak berguna.""Sudah ibu, jangan menghina Mas Giora terus!" Aku sedikit kesal ketika ibu yang terus menghina Mas Giora terus. Aku ju
Setelah acara pesta yang panjang, aku merasa lega dan sedikit lelah. Mas Giora menggenggam tanganku dengan lembut, mengajakku menuju kamar. Tidak ada kata-kata yang terucap antara kami, hanya tatapan penuh makna yang saling bertukar. Rasanya seperti dunia ini hanya milik kami berdua, jauh dari hiruk-pikuk pesta dan keramaian yang baru saja berlalu.Saat pintu kamar terbuka, mataku langsung tertuju pada sebuah kejutan. Bunga mawar merah muda, yang harum semerbak, terhampar dengan indah di atas ranjang. Kelopak-kelopak bunga itu tersebar rapi, memberi nuansa romantis yang begitu memukau. Aku terdiam sejenak, tak percaya dengan apa yang kulihat. Seluruh ruangan dipenuhi dengan cahaya lembut dari lampu kamar, menciptakan atmosfer yang begitu intim dan penuh kehangatan."Apa kamu yang menyiapkan ini semuanya?" tanyaku dengan nada tak percaya, mataku memandang ke arah Mas Giora yang berdiri di sampingku.Mas Giora hanya tersenyum tipis, mengangguk dengan penuh kepastian. "Tentu saja," jawab
Aku dan Mas Giora akhirnya memutuskan untuk berdansa. Musik mengalun lembut, mengisi ruang dengan suasana yang penuh kegembiraan. Rasa senang yang sudah lama tertahan akhirnya bisa terlepaskan. Nia sudah tertangkap, dan kini semuanya terasa lebih ringan."Kamu senang?" tanya Mas Giora, matanya menatapku dengan lembut, seolah ingin memastikan perasaanku."Iya, aku senang," jawabku, tidak bisa menyembunyikan senyum yang mengembang di wajahku. Semua yang telah terjadi akhirnya membuahkan hasil yang memuaskan.Mas Giora menoleh sekilas ke arahku, matanya menunjukkan rasa puas yang sama. "Kamu lihat sekarang? Tomas dan Serin terlihat mesra," bisiknya, matanya tertuju pada pasangan yang sedang berdansa di seberang. Serin dan Tomas tampak begitu dekat, seakan semuanya menjadi lebih indah. Aku tidak menyangka, setelah semua yang terjadi, akhirnya mereka bisa menemukan kedamaian dalam diri mereka masing-masing.Aku menoleh, melihat mereka berdua yang sedang tertawa dan menikmati momen itu. Ras
Aku terkejut saat melihat Serin datang mendekati kami dengan langkah cepat, matanya tajam menatap setiap orang di sekitar. Suasana jadi tegang seketika."Siapa dia?" tanya Raya, jelas kebingungannya.Sedangkan Nia, yang tadinya tenang, kini mematung. Aku bisa melihat ketakutan di wajahnya, seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya."Gak tahu dia siapa," jawab Ina, tampak sedikit ragu."Dia orang yang tadi bersama kamu kan?" tanya Yuna pelan, bisikannya hampir tak terdengar di tengah keheningan yang tiba-tiba menyelimuti.Aku hanya mengangguk, memberikan jawaban singkat. Memang, itu Serin. Wanita itu datang tepat pada waktunya, seperti tahu kapan harus muncul."Iya, dia temanku. Namanya Serin," kataku, menjelaskan kepada Yuna.Namun, suasana semakin aneh. Serin berdiri di sana, tak bergerak, menatap kami dengan tatapan yang sulit dibaca."Ayo cepat, Bu Nia. Buka isinya, kami penasaran," kata Raya, berusaha mencairkan suasana dengan ceria, meskipun ada ketegangan yang tak bisa dihi
Orang yang dihubungi oleh Ina akhirnya muncul. Dia adalah orang yang ahli dalam bidang perhiasan. Semua orang kini menatap kearah orang tersebut. "Selamat malam, Pak Ben.""Ada apa memanggilku?" tanya Ben pada Ina. "Sebenernya saya hanya ingin Pak Ben membuktikan sebuah kalung yang dipakai oleh Lisa. Itu kalung yang asli atau bukan," ujar Ina sambil menunjuk kearah kalung yang aku pakai. Raya langsung menatap kearah diriku dengan sinis. "Pasti itu adalah kalung yang palsu.""Boleh saya melihat kalung tersebut?" pintanya padaku dengan sopan. Pak Ben langsung menatap kearah diriku, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk melepaskan kalung ini dan memperlihatkan pada mereka semuanya. Semoga kali ini akan percaya. "Ini kalungnya," kataku sambil memperlihatkan dengan seksama. Ina yang melihat itu pun tersenyum dengan puas. Dia terlihat senang karena aku tahu niatnya untuk mempermalukan diriku. "Sebentar lagi kamu tidak akan bisa sombong," kata Ina. "Iya, Lisa. Kamu pasti akan menangg
Acara pesta yang diselenggarakan oleh Perusahaan keluarga Mas Giora. Semuanya digelar di salah satu gedung yang mewah yang terletak di pusat ibukota. Aku sudah bersiap dengan gaun yang memang sudah di pesan oleh Mas Giora. Aku memakainya dengan seksama. "Kamu terlihat cantik sayang."Mas Giora malah memelukku dari belakang, membuat aku sedikit gugup sekarang. Terlebih deru nafasnya masih bisa aku rasakan. Sangat nikmat sekali dan aku menikmati semuanya dengan baik. "Mas, kok belum berangkat?" kataku pada Mas Giora. Kita sudah merencanakan semuanya. Jadi nanti Mas Giora akan berangkat lebih dulu, sedangkan aku akan menyusul nanti. "Rasanya tidak rela ketika meninggalkan istriku berangkat sendirian. Aku ingin bareng bersama dengan kamu saja.""Sudah Mas, jangan manja seperti itu, ayo kita masih punya misi," kataku pada Mas Giora. "Baiklah, aku memang masih punya misi.""Makanya, kamu berangkat duluan. Nanti aku bersama dengan Serin datang ke sana. Kamu bersama dengan Tomas," saran
Aku kembali ke kantor dan semuanya terasa sangat aneh. Karyawan yang ada di sini malah justru terlihat heboh sekali. Diam-diam aku mendengar percakapan mereka karena memang penasaran. "Pak Bos mengupload foto bersama dengan istrinya.""Iya, tetapi sayang gak bisa melihatnya.""Pasti istrinya sangat cantik."Aku mendengar percakapan heboh mereka, rupanya mereka tengah tengah membicarakan tentang Mas Giora. Aku seketika yang mendengarnya pun merasa sedikit penasaran. "Jangan-jangan benar lagi fakta itu, kalau Pak Andreas punya hubungan gelap dengan Bu Nia," ujar karyawan yang lainnya. "Maksud kamu, ini adalah Bu Nia," ujar karyawan yang suka bergosip. Aku kesal mendengarnya, sudah jelas kalau memang itu adalah aku. Tetapi aku tidak bisa mengungkap semuanya sekarang. Bisa jadi masalah kalau aku mengungkap semuanya. "Wah, aku dengar juga Pak Andreas pernah dipenjara karena kasus ini, tetapi dia bebas dan tidak terbukti bersalah.""Iya namanya juga orang kaya, sudah jelas kalau punya
Nina menatap Hani dengan pandangan tajam, "Kamu masih belum paham dengan situasi ini rupanya. ingat yah Mas Irwan adalah suami saya.""Ah tidak mungkin," kata Hani. Aku dan Mas Giora hanya diam di sudut ruangan, menyaksikan drama yang sedang terjadi di depan mata kami. Kami berdua seperti menonton pertunjukan teater yang penuh ketegangan dan kejutan. Terlebih lagi, melihat Hani yang kini tengah dilabrak oleh istri sah Irawan, Nina. Aku tak pernah membayangkan akan berada di tengah-tengah situasi seperti ini.Irawan yang terpojok, berusaha membela dirinya, berkata dengan nada putus asa, "Sayang, kamu harus percaya, wanita itu yang menggodaku duluan," suaranya terdengar lemah, seolah ingin meyakinkan Nina agar tidak meninggalkannya.Nina, yang tampaknya sudah terlalu banyak menahan amarah, hanya menyeringai sinis. "Cih, kamu pikir aku bodoh, hah?" kata Nina, dengan nada yang tajam dan penuh penghinaan. "Kamu sengaja berselingkuh dengan wanita murahan ini. Mulai sekarang, kamu aku pecat
Aku membisikan sesuatu pada telinga Mas Giora setelah melihat Hani dan kekasih barunya, Irawan, berdiri dengan angkuh di tengah butik mewah itu."Sudah Mas, kita berikan saja. Biarkan mereka merasa menang.""Tidak, Lisa, kamu tenang saja." Mas Giora seolah menenangkan aku, suaranya lembut namun tegas. Meski tengah dikelilingi situasi yang memanas, dia terlihat begitu tenang, bahkan seperti tidak terpengaruh sedikit pun. Aku pun mulai merasa cemas, tak tahu apa yang sebenarnya sedang direncanakan oleh Mas Giora.Hani, yang masih dengan tatapan penuh kecemasan namun berusaha menunjukkan keberaniannya, kini berkata, "Lebih baik kalian menyerah saja. Tidak ada yang bisa kalian lakukan."Tiba-tiba Mas Giora mengangkat dagu, tersenyum tipis, dan dengan nada penuh tantangan menjawab, "Memangnya kalian bisa membayar baju ini?" suaranya mengalir begitu sinis, menantang.Hani, yang merasa tersinggung, segera berbalik menghasut Irawan. "Wah, dia merendahkan kamu, Mas Irawan," ujar Hani, berusaha
Mas Giora menatapku dengan pandangan aneh, memangnya kenapa dengan dirinya? Kebetulan Serin dan Tomas sudah pulang sekarang. Jadi hanya tinggal kami berdua saja di sini, aku sendiri pun merasa heran dengan Mas Giora sekarang, tidak biasanya dia seperti ini. "Besok aku akan mengajak kamu ke mall dan kita akan beli baju untuk kamu," kata Mas Giora. Aku hanya tersenyum tipis ketika mendengar hal itu, ada rasa senang dalam diriku ketika mendengar usulan dari dirinya. "Benar yah, aku ingin datang ke sana.""Tentu saja, kamu boleh beli apapun yang kamu inginkan, semuanya pokonya."Mas Giora mengatakan itu dengan baik, aku hanya tersenyum tipis. Mungkin memang benar kalau pada akhirnya akan jadi seperti ini. Aku pun tidak tahu harus berbuat apalagi sekarang. "Mas Giora," ujarnya sambil tersenyum tipis. "Iya, kenapa?" tanya Mas Giora sambil melirik kearah diriku dengan sekilas. "Aku kepikiran dengan ibuku, dia tidak datang ke sini untuk menjenguk ayah," kataku. Mas Giora menatapku den