'Mengapa pria itu menyebut Giora Tuan?'
Aku hanya bisa membatin, lalu mengarahkan tatapanku ke Mas Giora yang sedang membersihkan limbah ikan. Bisa jadi, pria di hadapanku adalah temannya yang memang sedang mencari Mas Giora.
Atau jangan-jangan ... dia adalah rentenir yang ingin menagih hutang?
Pikiranku seketika membuat diriku sendiri panik, aku pun langsung menghampiri Mas Giora dan berbisik pelan, "Mas, Mas tidak pinjam uang pada rentenir, kan?" "Kamu ngomong apa, Lisa? Tentu saja tidak," ujar Mas Giora santai. Jawaban Mas Giora membuatku menghela napas lega. Lagipula, tak mungkin orang yang segan seperti suamiku mencari-cari pinjaman. "Itu ... Mas. Ada yang nyariin kamu, dia bukan rentenir, kan?" bisikku lagi, sembari menunjuk-nunjuk ke arah pria tak dikenal tadi. "Ah, bukan kok."Setelah melihat pria itu, Mas Giora membereskan pekerjaanya, dan mengeringkan tangannya dengan lap. Tak lama, dia langsung menghampiri pria tak dikenal itu.
"Saya bukan rentenir kok, Bu," jawab orang tersebut dengan sopan sembari tersenyumAh, jadi malu aku. Ternyata ucapanku didengar oleh pria tak dikenal itu.
"Eh Pak, jangan panggil Bu, panggil Lisa saja," jawabku pelan, membalas senyumannya. Dari tampilan dan tutur bicaranya, sepertinya orang ini adalah orang baik. Namun, di dalam pikiranku, aku tetap tak terpikir siapa pria ini sebenarnya? Pria ini terlalu rapi untuk dicap sebagai teman Mas Giora. Bagaimana pria ini bisa kenal dengan Mas Giora? Padahal, aku selalu mengira kalau Mas Giora tidak punya teman, karena selama ini dia terlihat sendiri dan jarang dekat dengan orang lain. "Baik, Lisa," ujarnya sedikit gugup tapi arah matanya malah melirik kearah Mas Giora. Aku otomatis melirik ke arah Mas Giora juga, tetapi dia tampak biasa saja sambil tiba-tiba merangkul diriku dengan sedikit mesra. "Katakan apa yang ingin kamu bicarakan, Tomas?" ujar Giora, wajahnya tiba-tiba berubah serius. Aku baru tahu kalau nama orang tersebut adalah Tomas, dia sepertinya dekat dengan Mas Giora. Mungkin saja orang itu adalah temannya. "Anu, Tuan..." Giora seketika melihat ke arah diriku dengan sekilas, sebelum akhirnya dia memotong pembicaraan Tomas dan menatapku mesra. "Lisa, bisa kamu pergi sebentar?" pinta Mas Giora. Diam-diam, aku merasa heran sendiri, kenapa juga Mas Giora malah menyuruh aku untuk pergi sebentar. Memangnya, apa yang akan dibicarakan oleh Mas Giora dengan orang tak dikenal itu? Tetapi, jika aku tidak mau pergi, maka Mas Giora tidak akan mengatakan apapun juga. Padahal, dalam hati aku masih bertanya-tanya siapa dan apa pekerjaan pria bernama Tomas yang berpakaian rapi itu."Baik, Mas. Kalau begitu aku izin pergi beli sayur di depan," ujarku sembari menjauh dari mereka berdua.
Lebih baik aku menuruti keinginan dari suamiku saja, tapi diam-diam aku akan mendengarkan pembicaraan mereka. Setelah aku berjalan sedikit menjauh, aku mengendap-endap agar bisa mengintip dan juga mendengarkan topik pembicaraan antara Mas Giora dengan pria itu. Namun, entah mengapa, ketika aku melihat dari jauh, sosok Mas Giora dengan Tomas tidak terlihat sama sekali. "Ke mana mereka?" Bisa-bisanya aku malah kehilangan jejak mereka. Memangnya seberapa penting sih, isi pembicaraan Mas Giora dengan si Tomas Tomas itu? Kenapa mereka harus pergi begitu aja, bahkan sampai tak terlihat dari mataku. Masih tak ingin menyerah, aku pun berjalan mengelilingi pasar demi mencari keberadaan suamiku. Namun naas, aku malah bertemu dengan preman pasar dengan tato dan tindik yang menyeramkan. "Hai cantik," sapa orang tersebut yang berusaha untuk mencolek. Segan, aku pun menepis tangannya. \"Jangan mencoba untuk menyentuhku!" ancamku. Tanganku sudah mengepal dengan kuat, ancang-ancang jika pria-pria menjijikkan itu benar-benar berani menyentuhku.
"Kamu galak juga rupanya cantik, tetapi kita suka," ujar dua orang preman tersebut yang tiba-tiba menarik tangan aku. "Lepaskan!"Seketika, aku sangat panik, pria-pria itu menahan pergelangan tanganku sampai aku benar-benar tak bisa bergerak.
"Temani kita bersenang-senang, yuk!" ujar preman tersebut yang memojokkan di tembok dan berusaha meraba tubuhku. "Tolong!" Aku berteriak sekencang mungkin. Namun, tetap saja, pasar ini sudah hening karena sudah bukan jam operasionalnya. Aku hanya bisa menangis, dan menanyakan keberadaan suamiku. Di mana dia sebenarnya!?Berteriak ketika orang-orang tersebut berusaha untuk melakukan kejahatan terhadap diriku.
"Hentikan!"Sebuah suara familiar tiba-tiba datang dari belakang. Itu dia, penyelamatku yang kerap dihina manusia lain.
Beberapa pukulan dilayangkan oleh Mas Giora dan membuat orang jahat itu melepaskan tanganku. "Jangan berani-beraninya kalian menyentuh istri saya.""Hah, kau tidak usah ikut campur," ujar orang jahat tersebut yang kini menatap kami dengan pandangan yang begitu sangat tajam.
Jujur saja, aku merasa amat ketakutan ketika melihat dua orang jahat itu ancang-ancang untuk menyerang Mas Giora secara bersamaan.
Bugh!
Tiba-tiba, terdegar suara tonjokan yang amat keras, membuatku menutup mata. Suara tersebut membuat jantungku seakan ingin jatuh. Apakah itu Mas Giora yang akhirnya tumbang?
Namun, suara berikutnya seketika membuatku sangat lega, dan aku pun membuka mata. Mas Giora kini sudah di depanku, menyentuhku dengan lembut, dan memelukku untuk menenangkan aku.
"Pergi kalian dari sini, jangan pernah menganggu lagi," usir Mas Giora.
Aku hanya bisa bersorak ria di dalam hati. Akhirnya Mas Giora bisa mengusir para bedebah yang berusaha untuk membuat aku celaka seperti itu. Aku merasa lega, karena suamiku datang menyelamatkanku di waktu yang tepat.
"Mas Giora." Dengan sangat manja, aku memeluk Mas Giora dengan erat. Aku tidak menyangka kalau Mas Giora rupanya jago bela diri seperti tadi.
"Kamu tidak terluka Lisa?" tanya Giora sambil mengelus pipiku dengan tatapan khawatir.
Aku hanya menggelengkan kepala, tersenyum kecil ke arah Mas Giora yang kini ada di hadapanku. "Aku tidak apa-apa, Mas Giora sendiri, apa ada yang terluka?"
"Mas baik-baik saja, bukannya tadi kamu melihat sendiri kalau aku memang melawan para preman itu? Tidak usah pikirkan aku, ayo kita pulang sekarang," saran Mas Giora.
Aku terdiam sambil melirik ke arah Mas Giora yang ada di hadapanku dengan sekilas.
"Tunggu dulu, sejak kapan Mas Giora jago bela diri kaya tadi?" tanyaku dengan penasaran.
Mendengar pertanyaanku, Mas Giora hanya tertawa, lalu mengelus-elus rambutku. "Sebenernya sudah lama, hanya saja jarang memperlihatkan sama orang. Ini kan bukan untuk ajang pamer. Digunakan ketika ada yang darurat seperti tadi saja," kata Mas Giora.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum, benar juga memang yang dikatakan oleh Mas Giora tersebut.
"Iya juga sih Mas. Eh, tadi Mas ngobrol dengan orang pake kemeja rapi itu, sekarang dia ke mana?" tanyaku kembali.
"Tidak ada, dia sudah pulang lagi."
"Pulang lagi?" tanyaku dengan heran. Aku kira orang tersebut akan memberikan pekerjaan pada suamiku.
"Iya, udah jangan membahas dia, lebih baik sekarang kita pulang," ajak Mas Giora sambil merangkul bahuku dengan hangat.
***
Ketika aku dan Mas Giora sudah sampai di rumah gubuk kami, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang datang menghampiri kami berdua. Aku menaikan sebelah alisku heran ketika melihat orang asing tersebut datang menghampiri kami berdua.
"Maaf, anda siapa, kok bisa datang ke rumah kita?" tanyaku dengan heran.
Orang itu bukannya menjawab, justru malah menatap kearah diriku dengan pandangan aneh. Laki-laki itu melihat dari atas sampai bawah, terlihat tidak sopan sekali. Apa yang diinginkan dia sebenarnya?
"Ternyata kamu yang namanya Lisa, lumayan cantik juga, tinggal dipoles sedikit saja menggunakan baju yang bagus, pasti akan terlihat cantik," kata orang tersebut.
Aku menoleh kearah Mas Giora, seolah bertanya dengan maksud orang yang ada di hadapannya itu.
"Maaf, Anda siapa, ya?" kata Mas Giora dengan nada yang sedikit tegas. Bisa aku simpulkan kalau Mas Giora juga tidak kenal dengan orang itu.
"Oh iya, aku lupa memperkenalkan diri pada kalian berdua. Aku adalah Martin, kebetulan sekali aku adalah calon suaminya Lisa," ujar orang tersebut yang membuatku melotot tajam. Bagaimana bisa orang tersebut dengan berani mengaku calon suamiku, di depan suamikuu sendiri!?
"Apa maksudnya ini? Aku sudah punya suami dan aku tidak minat untuk menambah suami lagi," ujarku dengan kesal.
Namun, bukannya mundur, pria itu justru tersenyum menjijikkan ke arahku.
"Oh iya? Sebentar lagi kamu akan berpisah dengan suami miskin itu. Ibumu sudah menyerahkan kamu padaku," ujar Martin dengan nada yang angkuh.
Lagi-lagi tentang ibu, apa ini yang dia rencanakan sebenarnya? Membuat orang menjadi calon suamiku dan Mas Giora akhirnya menyerah dengan pernikahan kami.
Tidak, aku jelas tak ikhlas. Ibuku sudah keterlaluan.
"Dasar pria gila! Aku gak akan menikah sama kamu!" kataku dengan tegas, menatap nyalang pria itu.
"Apa kamu yakin? Ibumu mempunyai hutang banyak sekali padaku." Martin mengatakan itu dengan nada yang angkuh.
Tetapi, apa yang dia katakan tadi? Hutang? Sial! aku curiga ini semua sudah direncanakan oleh ibuku.
"Berapa hutang ibuku?" tanyaku penasaran. Aku akan berusaha untuk bekerja keras untuk melunasinya. Walaupun aku tahu pekerjaan suamiku tidak akan bisa membayar semuanya, aku lebih memilih jalan itu dibandingkan berpisah dengan Mas Giora.
"Seratus juta. Emangnya kamu sanggup untuk membayarnya?" sindirnya dengan nada yang merendahkan.
Seketika, manikku membulat. Aku tak pernah menyangka, ibuku punya hutang sebanyak itu. Apa yang dilakukan oleh ibuku sehingga mempunyai hutang begitu banyak?
"Melihat kamu menganga seperti itu saja sudah bisa ditebak. Kamu tidak bisa membayarnya, kan? Apalagi suami kamu itu miskin, kalian pasti tidak akan bisa membayarnya!" hina Martin kembali.
Aku hanya bisa meringis, namun tiba-tiba, terdengar suara tegas yang aku kenal.
"Saya bisa membayarnya."
Mataku langsung tertuju kepada Mas Giora. Apa aku tidak salah dengar barusan? Mas Giora akan membayar hutang ibuku, pakai apa dia bayarnya?
"Saya bisa membayarnya." Mas Giora mengatakan itu di depan Martin. Dia terlihat sedikit serius sambil mengepalkan tangannya. Sepertinya dia marah dan tidak suka dengan Martin. Martin malah tertawa ketika mendengar penuturan dari Mas Giora barusan. Dia terlihat sangat meremehkan, bahkan aku tidak yakin sama sekali dengan hal ini. "Apa aku tidak salah dengar? Kamu mau membayar hutang? Laki-laki miskin seperti kamu yang hanya jualan ikan saja memangnya gajinya berapa?" sindirnya sambil mendorong Mas Giora. "Saya akan membayar semua hutang tersebut, jadi lebih baik kamu pergi dari sini," usir Mas Giora yang sepertinya sudah dibuat kesal sekarang. Aku hanya melihat Mas Giora dengan sekilas saja. Dia benar-benar berani ketika melawan Martin sekarang. "Kamu mau jadi seorang gigolo untuk membayar hutangmu itu, Giora. Tapi bagus sih, biar istrimu merasa jijik ketika melihatmu nanti," sindir Martin. Bugh Mas Giora memukul Martin dengan sedikit keras. Aku langsung menahan tangan M
Pagi hari yang begitu cerah. Aku masih memeluk Mas Giora dengan hangat, laki-laki itu masih pulas dalam tidurnya dan seketika aku ingin menggodanya. "Mas bangun." Aku membisikan sesuatu di telinganya agar dia bangun. Terdengar suara serak yang seperti candu itu, dia memeluk diriku dengan erat. "Mas pagi Lisa." "Iya, Mas Giora biasanya selalu bangun pagi. Kenapa sekarang terlihat susah bangun," ujarku heran dengan suamiku. Seketika Mas Giora langsung bangun, dia menatap kearah diriku. "Maaf Lisa." Aku akhirnya memutuskan untuk ikut bangun juga. "Mas Giora tidak usah meminta maaf seperti itu. Memangnya Mas Giora punya salah denganku?" tanyaku dengan heran. "Ah tidak, aku akan bekerja mencari uang untuk melunasi hutangku," ujar Mas Giora. Aku jadi merasa bersalah karena sudah membebankan semuanya pada Mas Giora. Lagian semuanya juga bukan sepenuhnya salahku. "Maafkan ibuku yah Mas. Kita jadi semakin susah," ujarku sambil menundukkan kepalanya. Mas Giora malah m
Pipiku memerah setelah selesai mandi bersama dengan Mas Giora. Sekarang suamiku sudah berangkat kerja. Aku bahkan lupa membuat sarapan untuk suamiku karena tadi kami berdua main di kamar mandi. Tidak usah aku ceritakan semuanya, kalian semuanya sudah tahu. Aku merasa malu ketika mengingat hal tersebut. Sampai terdengar suara ketukan dari arah pintu. Tok tok tok Aku mendengus kesal ketika mendengar suara yang begitu gaduh, aku yang kesal pun akhirnya memutuskan untuk ke sana. Baru juga membuka pintu, mataku langsung membulat ketika melihat siapa orang yang masuk ke rumah. "Ibu," panggilku. Ibuku langsung menatapku dengan sekilas. Sebelum dia memamerkan sebuah kalung emas yang begitu sangat berat, tidak tahu berapa karat tetapi aku malah membencinya. "Liat kalung yang aku pakai ini Lisa? Suami kamu tidak akan sanggup membelikan ini untuk kamu," ujarnya sedikit pamer. Aku tahu kalau Mas Giora tidak bisa membelikan kalung yang begitu bagus seperti yang dipakai ol
Aku yang penasaran pun akhirnya mengambil foto tersebut dan melihat Mas Giora dengan seseorang yang tidak asing. Aku teringat kalau orang tersebut adalah orang yang datang ke pasar waktu itu. "Apa ini?" tanyaku karena penasaran. "Masih mau bertanya lagi, ini suamimu bersama dengan seseorang yang mencurigakan. Laki-laki itu juga jago berkelahi kamu tahu." Aku menaikan sebelah alisku dengan erat. Tidak paham dengan maksud dari Martin barusan. "Memangnya kenapa kalau dia jago berkelahi?" kataku. Hani yang ada di sana pun ikut menimbrung pembicaraan antara aku dengan Martin barusan. "Lisa, kamu ini memang wanita bodoh yah. Maksud Martin adalah laki-laki yang bersama dengan suamimu itu adalah seorang preman. Pasti dia yang bekerjasama dengan suami kamu untuk melakukan kejahatan." Martin tersenyum ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Hani barusan. "Nah, Hani saja paham dengan yang aku maksud. Masa kamu tidak paham." Aku menggelengkan kepala, tidak mungkin kalau Mas Giora mel
"Mas Giora aku datang."Aku menghampiri Mas Giora yang tengah meladeni para pembeli, dia tengah sibuk karena aku tahu kalau dia tengah bekerja keras untuk melunasi hutang ibu. Andai saja ibu tidak meminjam uang kepada Martin, mungkin saja suaminya tidak akan sibuk seperti sekarang. "Mas," panggilku. Mas Giora menoleh ke arahku dengan sekilas. Dia masih meladeni para pembeli yang memang sangat antri sekali. Syukurlah karena tempat ini sedikit rame pengunjung sekarang. "Sebentar sayang, masih banyak pembeli."Aku hanya duduk di tempat tunggu sambil menunggu Mas Giora yang memang tengah meladeni orang-orang yang ada di sana. Ketika aku tengah duduk sambil menunggu. Tiba-tiba aku memikirkan sesuatu. Ada hal yang membuat aku merasa penasaran sekarang. Aku melihat sebuah amplop coklat yang ada di bawah. Akhirnya aku yang penasaran pun memutuskan untuk membukanya. Mataku langsung membulat ketika melihat uang yang ada di sana. Ada banyak uang yang tidak bisa aku hitung, Mas Giora tidak
Aku panik datang ke rumah sakit untuk memastikan keadaan ayah sekarang. Ada rasa khawatir dalam hatiku ketika mengetahui kalau ayah sakit. Sampai mataku melihat kearah ibu yang tengah duduk sambil menangis. "Kenapa ayah bisa dikeroyok?" tanyaku dengan khawatir. "Dia berusaha untuk menolong ibu. Tadi ada pencuri yang hampir akan membawa emas ibu." Aku malah terlihat kesal dan ingin mengumpat sekarang. Salah sendiri selalu pamer barang berharga. Sudah lihat banyak orang yang iri dan menginginkan benda tersebut. Tetapi aku masih menahan untuk tidak memaki di sini. Terlebih aku ingin melihat kondisi ayah sekarang. Ada rasa yang membuat aku merasa penasaran. "Lagian kenapa Ibu malah pamer kalung emas segala. Tidak sadar ada orang yang iri dan menginginkan itu," umpatku. "Kamu menyalahkan ibu? Anak tidak tahu diri!" "Sudahlah, Bu. Lain kali jangan pamer lagi," kataku sambil menghela napas. Ibu malah menatap kearah diriku dengan pandangan tidak sukanya. "Kenapa kamu malah melarang i
Mas Giora datang ke rumah sakit, aku melihat raut wajah khawatir dalam dirinya. Aku langsung memeluknya dengan erat. Jujur saja aku sendiri merasa sedih dengan kondisi ayahku sekarang. "Mas."Aku bisa menangis di pelukan suamiku sendiri. Rasanya memang nyaman ketika aku memeluk suamiku sendiri seperti ini. dMas Giora mengelus kepalaku dengan lembut. Dia membelai rambutku, seolah dia tahu apa yang tengah aku rasakan sekarang. "Bagaimana keadaan ayah?" tanya Mas Giora. "Dia cidera kaki, untuk sementara ayah harus pakai kursi roda.""Yaudah. Kalau begitu, aku ingin melihat kondisinya di dalam," kata Mas Giora. Aku mencegah Mas Giora untuk masuk ke dalam sekarang. Tentu saja karena aku tahu di dalam ruangan ayah ada ibu. Aku tidak mau kalau Mas Giora nanti malah akan dimaki oleh ibu. Apalagi Ibu adalah orang yang selalu menghina harga diri Mas Giora. Aku tidak mau kalau sampai hal itu terjadi pada suamiku. "Kenapa, Lisa?" tanya Mas Giora ketika tangannya aku cegah. Aku tidak mau ka
Aku bersama dengan ibu tengah menunggu Mas Giora datang. Dia sedikit lama sekali kembali ke sini. Aku merasa sedikit khawatir sekarang. "Mana suami kamu? Kenapa belum kembali?" tanya Ibu. "Iya sabar dong Bu." "Paling juga ditahan dia, karena uangnya kurang," ledek ibuku. Aku terdiam karena khawatir dengan perkataan ibu barusan. Bagaimana kalau Mas Giora kurang uangnya? Lagian dia juga tidak pernah cerita kalau punya uang lebih. Jadi sekarang aku yang malah dibuat kebingungan sekarang. "Maafkan ayah nak. Giora jadi harus membayar semua biaya rumah sakit," kata Ayah yang kini meminta maaf padaku. Rasanya tidak enak setelah mendengar apa yang ayah katakan barusan. "Tidak usah meminta maaf ayah. Mas Giora ada uangnya kok."Aku hanya tidak ingin membuat ayah khawatir. Sambil menggenggam tangannya dan aku mengupas jeruk untuk ayah. "Suami kamu memang tidak berguna.""Sudah ibu, jangan menghina Mas Giora terus!" Aku sedikit kesal ketika ibu yang terus menghina Mas Giora terus. Aku ju
Aku sudah rapi dengan pakaian yang kukenakan, tetapi hatiku gelisah. Mas Giora belum juga kembali, dan aku merasa ada yang tidak beres. Ke mana dia pergi? Aku mencari-cari tanda keberadaannya, namun tidak menemukannya. Aku turun ke bawah, mencoba mencari jawaban.Dengan langkah yang cepat, aku mendekati salah satu pelayan yang sedang sibuk di ruang tamu. "Apa ada yang melihat Mas Giora?" tanyaku, berusaha tetap tenang meski kecemasan mulai merayapi pikiranku.Pelayan itu berhenti sejenak, lalu menjawab, "Tadi beliau keluar bersama Tomas, Nyonya."Aku menahan napas sejenak, mencoba mencerna kata-katanya. "Apa dia bilang akan pergi ke mana?" tanyaku, rasa penasaran yang tak terelakkan membuatku bertanya lebih lanjut.Pelayan itu menggelengkan kepala dengan raut wajah kebingungan. "Tidak, Nyonya. Beliau tidak bilang akan ke mana."Aku menunduk, merasa sedikit lega sekaligus khawatir. Tidak ada petunjuk, hanya ketidakpastian. Mengapa dia tidak memberi tahu ke mana tujuannya? Apakah itu ha
Aku menatap Mas Giora sekilas, bingung dan tercengang dengan pernyataan yang baru saja keluar dari mulutnya. Tidak pernah aku bayangkan bahwa dia akan berpikir sejauh ini. Bahkan, aku sendiri masih merasa seperti ada yang salah dan sulit untuk memahaminya."Tomas, coba kamu jelaskan!" kataku, suaraku sedikit meninggi, tak bisa menyembunyikan kekesalan yang mulai mengalir dalam darahku.Namun, sebelum Tomas bisa merespon, Mas Giora mendekat dan menarik tanganku dengan lembut. Aku terdiam sejenak, merasa hangatnya pelukan yang tiba-tiba menyelimuti tubuhku."Maafkan aku, Lisa. Sebenernya semuanya ini adalah permintaanku. Aku tidak mau kalau sampai Tomas ketahuan kaki tanganku selama ini," ujar Mas Giora. "Jadi kamu juga ikut adil," kataku mendengus. Tomas juga ikut menjelaskan semuanya padaku. "sebenernya ini permintaan suamimu."Mas Giora melihat ke arah diriku kembali, dia terlihat meminta maaf padaku dengan sekilas. "Maafkan aku Lisa. Aku tidak bermaksud untuk berbohong padamu.""B
Mobil yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti di depan sebuah gerbang besar yang terbuat dari besi tempa. Di balik gerbang itu, terbentang perumahan yang begitu sangat mewah, setiap rumah tampak seperti istana dengan halaman yang luas, tertata rapi, dan pepohonan tinggi yang menambah kesan anggun. Suasana begitu tenang, seolah-olah waktu berhenti di sini. Aku terkejut, tak bisa menahan mata yang melirik ke segala arah."Ini rumah siapa?" tanyaku, suaraku terdengar sedikit tergetar saat melihat sebuah rumah megah di ujung jalan, berdiri tegak dengan desain modern yang dipadu dengan elemen klasik. Sekilas, rumah itu memancarkan kekayaan dan kemewahan yang luar biasa.Aku menoleh ke arah Mas Giora yang duduk di sampingku, sedikit bingung. Tidak mungkin ini rumah Mas Giora, kan? Aku selalu mengenalnya sebagai sosok yang sederhana, tidak pernah berbicara tentang rumah seperti ini. Hati aku berdebar-debar, perasaan ingin tahu menggebu.Mas Giora tersenyum tipis, tidak banyak bicara. Dia kemud
Aku tersenyum puas melihat Mas Giora berjalan mendekat. Rasanya seperti beban berat yang telah lama aku pikul akhirnya terlepas. Dia datang tepat pada waktunya, menyelamatkanku dari pernikahan yang tak pernah aku inginkan. Setidaknya kini aku bisa merasa sedikit lega. "Mas Giora..." aku menyebut namanya dengan suara yang bergetar, penuh harapan. Namun, sebelum Mas Giora bisa menjawab, suara keras Martin menyela. "Lisa dan keluarganya masih memiliki hutang padaku! Aku tidak akan membebaskan dia begitu saja!" Tangannya mencekal erat pergelangan tanganku, membuatku sedikit terkejut dan merasa terjebak kembali dalam jaringnya. Dengan wajah tenang dan penuh keyakinan, Mas Giora berdiri di hadapanku. Tanpa ragu, dia menatap Martin dan berkata, "Aku akan membayarnya." Nada suaranya tegas, tanpa ada keraguan sedikit pun. Pernyataan itu bukan hanya tentang uang atau kewajiban. Ada sesuatu yang lebih, sebuah janji untuk membebaskan aku dari belenggu yang tak terlihat, dan aku bisa merasakan
Hari berikutnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa di dalam sebuah kamar. Berusaha untuk kabur pun tidak bisa. Aku hanya berharap Serin akan segara menemukan aku. Sampai tiba-tiba pintu terbuka dan muncul dua orang wanita yang datang bersama dengan ibu. "Ibu."Aku terbangun dalam keadaan bingung, melihat pintu yang terbuka lebar. Kecemasan dan harapan bercampur aduk dalam diriku. Tanpa berpikir panjang, aku berusaha untuk melarikan diri. Namun, saat aku melangkah, tanganku tiba-tiba ditarik dengan kasar oleh ibuku."Jangan berusaha untuk kabur, di luar akan banyak orang," katanya dengan nada tegas.Pernyataan itu membuatku tertegun. "Apa maksudnya?" tanyaku, rasa ingin tahuku semakin membara. Aku menatapnya, mencari jawaban di wajahnya yang tampak cemas.Namun, ibuku hanya terdiam, matanya menghindar dari pandanganku. Dia tidak memberi penjelasan, dan semakin lama aku semakin bingung. Apa yang sebenarnya terjadi di luar? Kenapa ia begitu takut? Perasaan terjebak menghimpitku, membuat
Aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah ibu, pikiran melayang ke kenangan-kenangan masa lalu. Angin berhembus lembut, namun suasana hatiku terasa berat. Tiba-tiba, dari kejauhan, aku melihat sosok yang membuatku terhenti sejenak. Martin, teman lama yang selalu bisa mengusik ketenanganku."Lisa, kamu masih ingat yah dengan ibuku?" tanyanya, nada suaranya mengandung kepalsuan yang kutangkap dengan cepat."Bukan urusan kamu, Martin!" balasku, berusaha menahan nada sinis yang tak bisa kuhindari. Keberadaannya selalu mengingatkanku pada masa-masa sulit, saat hubungan keluargaku masih rumit. Dia terus mendekat, ekspresi wajahnya menunjukkan rasa ingin tahu yang berlebihan.Martin tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema di sepanjang jalan sepi itu. Tawa itu bukan hanya konyol, tetapi penuh penghinaan. "Hahaha, kamu masih saja sombong. Suamimu sudah masuk penjara sekarang. Jadi aku bisa bebas mendekati," katanya, dengan senyum yang semakin memperlihatkan niat jahatnya.Ketika dia
Setelah pertemuan yang menegangkan dengan Mas Giora, aku dan Serin memutuskan untuk kembali ke apartemen. Dalam perjalanan, suasana terasa canggung, banyak pikiran mengganggu benak kami. Sesampainya di apartemen, Serin membuka pintu. “Ayo masuk,” ujarnya, tetapi ada nada cemas dalam suaranya. Aku melangkah masuk, merasakan hawa dingin yang aneh. Begitu pintu tertutup, kami segera menyadari sesuatu yang tidak beres. Lampu di ruang tamu menyala terang, padahal kami yakin sudah mematikannya sebelum pergi. Kami saling pandang, bingung. “Apakah kamu menghidupkannya?” tanyaku, suara bergetar. Serin menggelengkan kepala, wajahnya pucat. “Tidak. Kita pasti sudah mematikannya.” Kami melangkah perlahan ke ruang tamu, perasaan tegang menjalari setiap langkah. Bayangan-bayangan di dinding tampak bergerak, dan suara berisik dari dalam apartemen seolah memanggil kami. “Apa yang terjadi?” Serin berbisik, suaranya hampir tak terdengar. Di antara keraguan dan rasa takut, kami tahu kami harus me
Aku sudah melaporkan semua kejahatan beserta bukti tentang suaminya Hani yang membakar rumahku. Sejujurnya aku sama sekali tidak menyangka dengan hal ini. Bahkan aku tidak habis pikir kalau semuanya akan jadi seperti ini. Aku juga awalnya tidak menyangka sama sekali. "Sudah selesai?" ujar Serin menghampiri aku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, aku senang karena semuanya sudah selesai. Tidak ada yang dikhawatirkan lagi untuk sekarang.""Syukurlah kalau begitu.""Sekarang kita temui suami kamu," ajak Serin. Aku tersenyum ketika mendengar hal tersebut. Terlebih semuanya sudah berjalan dengan baik. Leon tidak tahu harus berbuat apalagi setelah ini. Dia memang melakukan semuanya dengan baik. Sampai tak lama kemudian, dia teringat akan sesuatu sekarang. "Tunggu dulu.""Kenapa?" tanya Serin sambil melirik kearah diriku. "Semua laporan tentang suaminya Hani tengah di proses. Tapi bagaimana aku memberitahu Mas Giora.""Kamu takut memberitahu Mas Giora kalau rumah kamu t
Aku berkeliling melihat bekas kebakaran ini, beruntung aku dan Mas Giora sedang tidak ada di rumah, jadi tidak ada korban. "Aduh kasian sekali gubuknya terbakar." Hani mengatakan itu sambil tertawa dengan puas. Dia paling senang kalau melihat aku yang menderita seperti ini. "Diam kamu," balasku. "Sekarang kamu tidak punya rumah lagi," hina Hani sambil melihat kearahku. Memang aku sudah tidak punya tempat tinggal lagi sekarang. Apa yang dikatakan oleh Hani memang benar, sebelum akhirnya Serin merangkulku. "Kata siapa Lisa tidak punya rumah lagi? Giora punya rumah banyak asal kamu tahu," ujar Serin. Hani yang mendengar itu pun malah tertawa. "Memangnya aku tidak tahu kalau dia hanya penjual ikan saja. Mana mungkin kalau dia punya rumah banyak. Jangan mimpi!" Benar juga yang dikatakan oleh Hani, Serin sampai mau berbohong hanya untuk membelaku. "Terserah kalau tidak percaya, ayo Lisa kita pergi dari sini," ajak Serin. Aku hanya mengangguk saja, kita berdua akhir