"Lisa! Suamimu cuma tukang ikan di pasar! Dia tidak berguna sama sekali, lebih baik mulai sekarang kamu tinggalkan saja dia!"
"Iya benar. Laki-laki seperti itu lebih baik tidak usah diurus." Aku memutar bola mataku jengah ketika banyak orang yang bergosip tentang suamiku. Dalam hati, aku jelas tidak terima dengan hinaan-hinaan untuk suamiku dari mereka. Namun, aku tidak bisa membalasnya, karena bagaimanapun, itu adalah pekerjaan suamiku. Selain itu, aku segan memberi makan ego orang-orang di sekitarku, sehingga aku tetap memilih untuk diam. "Kenapa diam, Lisa? Jangan anggap ucapan kami ini angin lalu, lho!" teriak salah satu tetanggaku mendekat.Lelah dengan ucapan mereka, aku pun mengepalkan tanganku dengan kuat. "Diam kalian semuanya, jangan membahas tentang suamiku! Kalian bicara kayak gitu ke suamiku, kayak suami kalian konglomerat saja!" umpatku dengan kesal.
"Lah? Meskipun suamiku bukan konglomerat, dia sudah membelikan aku kalung emas ini lho, Lisa. Dia sangat baik dan perhatian pada aku," kata Wita yang sekilas langsung memamerkan kalung emas yang dia punya. Hani yang ada di sana pun langsung tersenyum dengan penuh arti. "Kamu lihat sendiri Lisa, suaminya Wita bisa membelikan kalung emas untuknya. Sedangkan kamu, jangankan kalung emas, cincin nikah pun kayanya sudah dijual kan?" ledek Hani sambil tertawa. Wita yang melihat itu pun ikut menertawakan dengan puas, membuatku semakin emosi dengan perilaku mereka. Sebenernya aku merasa kesal, lalu aku menahan diri dan melihat ke arah Hani yang menertawakan aku."Kamu sendiri Hani, suamimu memberikan apa?" tanyaku pada Hani.
Aku bertanya demikian, karena aku tahu kalau suami Hani hanyalah seorang pedagang buah, tapi, mengapa wanita itu berlagak seperti sang suami punya sawah berhektar-hektar? Hani terdiam sejenak, sebelum dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Dia memperhatikan sesuatu kepada kami semuanya. "Kamu pasti akan merasa iri dengan melihat ini," kata Hani yang mengeluarkan uang lembaran sekitar 10 lembar berwarna merah. "Uang belanjaku sekitar 1 juta, suamimu yang penjual ikan itu pasti tidak akan sanggup memberikan uang segitu," hinanya. Aku langsung terdiam, meringis dalam hati. Aku sadar, Mas Giora tidak pernah memberiku uang sebanyak itu. Bahkan, terkadang beliau suka tak makan demi memberikan jatahnya untukku.Detik itu juga, aku langsung menelan air ludah, berusaha menahan air mata yang mulai terbendung di mataku. Kini aku sadar, bahwa apa yang mereka katakan benar, dan hidupku memang menyedihkan.
Aku terus menahan air mataku hingga muncul sosok yang aku pikirkan. Menyebalkannya, pria itu masih bisa tersenyum dengan tenang, membuatku seketika benci melihat ekspresi wajahnya.
"Kalian berdua temannya Lisa?" tanya Mas Giora kepada Wita dan Hani. Bukannya menjawab pertanyaan dari suamiku, Wita malah menertawakan penampilan suamiku, dan menatapnya dari atas hingga bawah. Wanita itu semakin terbahak kala melihat bahwa suamiku hanya mengenakan kaus oblong lusuh dan juga celana pendek yang sedikit bolong dengan sendal murahan. "Hahah, dasar laki-laki miskin, tidak berguna sama sekali! Kok bisa sih, Lisa tertarik sama pria berpenampilan kayak kamu? Lisa, lisa!" Menambah kegaduhan, Hani ikut tertawa setelah melihat penampilan dari suamiku. Dengan tubuhnya yang sedikit bongsor, wanita itu bahkan mendorong bahu suamiku dengan keras hingga ia terjatuh. "Dasar, jelek dan miskin! Harusnya kamu bersyukur karena Lisa mau dengan laki-laki tidak berguna seperti kamu!"Tidak, itu sudah keterlaluan. Bagaimanapun, Mas Giora tetap suamiku, dan dia mencintaiku. Aku seharusnya sakit hati jika orang lain menghina suamiku sendiri.
Aku pun berlari ke Mas Giora, menanyakan apakah ia baik-baik saja, lalu mengalihkan pandanganku ke Hani. "Heh Hani! Asal kamu tahu aja, suamimu ngasih kamu uang belanja segitu hasil gestun!"
Aku menyaksikan wajah Hani yang berubah menjadi masam, namun, bukannya Hani yang marah, justru Wita yang berteriak padaku.
"Heh, Lisa! Jangan sok tahu kamu! Kami itu harusnya bersyukur karena kami masih anggap kamu sebagai teman, dan juga mengingatkan kamu!" "Kalau mau mengingatkan, ya jangan hina suamiku, dong!" dengusku kesal. Mas Giora yang tadi diam saja akhirnya ikut angkat bicara. Dia mencekal tanganku, membuat aku merasa lebih tenang dalam menghadapi semuanya. "Sudah, Lisa, gak perlu berkelahi." ucap Mas Giora dengan tenang. "Cih, dasar pria yang tidak berguna. Udah miskin, masih bisa belagu dan santai-santai. Ayo, Wita, lebih baik kita pergi dari sini!" kata Hani sambil meludah kearah kami. "Kamu benar, males datang ke rumah gubuk kaya gini. Udah reyot, gerah, penghuninya pada belagu pula," balas Wita sambil menatap sinis kearah kami berdua. Aku merasa kesal dan mengepalkan tanganku, apakah mereka pantas dianggap teman jika mereka berdua menghinaku habis-habisan karena pekerjaan suamiku? "Aku juga tidak berharap kalian datang ke sini lagi!" Kesal karena ucapan mereka, aku menutup pintu rapat-rapat. Aku berjanji, tak akan berteman dengan mereka lagi. Seusai drama tadi, aku pun mengarahkan manikku ke arah suamiku. "Kamu lihat sendiri bukan, Mas? Teman-temanku bahkan sudah menghinaku sekarang. Apa tidak lebih baik kalau kamu mencari pekerjaan baru selain tukang ikan?"Sebetulnya, aku sudah ingin membicarakan hal ini pada Mas Giora. Pasalnya, aku tahu, Mas Giora memiliki wajah yang tak jelek, dan juga kemampuan yang mumpuni. Jika dirapikan sedikit saja, Mas Giora pasti bisa mencari pekerjaan yang lebih baik.
"Aku lebih suka jualan ikan." Suamiku menjawab dengan acuh, bahkan tak ada nada tinggi di suaranya. "Kesal aku bicara denganmu, bahkan kedua orangtuaku selalu merendahkan pekerjaan kamu juga. Kapan kamu akan cari pekerjaan lain? Setidaknya pekerjaan kantor biar tidak dihina seperti itu." Namun, belum sempat aku menjelaskan panjang lebar, Mas Giora justru pergi begitu saja, membuat aku merasa semakin emosi. "Mas tunggu dulu, aku belum selesai bicara. Mas Giora!" aku berteriak dengan kesal.Usai permasalahan kemarin, aku hanya bisa bersabar. Jika aku terlalu memaksakan Mas Giora, percuma, pria itu tak akan melakukan sesuatu yang tak ia suka.Untuk menenangkan diri, aku pun berjalan ke dapur, mencoba memasak sayur yang kubeli kemarin. Namun, aku lupa jika bahan-bahan dapur ternyata sudah habis. "Mas Giora!" Aku berteriak memanggil nama suamiku, memintanya untuk membeli garam dan lada. Tetapi, meskipun sudah kupanggil berkali-kali, dia tetap tidak muncul. Aku mendengus kesal ketika tidak menemukan siapapun. "Mas!"Aku melirik kearah jam yang ada di dinding dan tersadar jika ini sudah terlalu sore. Ke mana laki-laki itu sebenarnya? Apa dia belum pulang juga dari pasar? Jangan bilang kalau jualannya belum laku. Siapa suruh hanya menjual ikan lele dan emas saja. Aku akhirnya memutuskan untuk datang ke pasar, karena kebetulan letak pasar dengan rumah kami memang hanya berjarak satu kilometer.Aku sangat terkejut kala menapakkan kakiku di pasar. Pasar yang biasanya te
Pasca kejadian di pasar beberapa hari yang lalu, Mas Giora tetap memegang pendiriannya untuk berjualan ikan. Memang, suamiku terkadang keras kepala, tak peduli betapa banyak penghinaan dari keluargaku dan juga orang lain, tetap saja dia hanya membalasnya dengan senyum dan tenang. Akhirnya, pagi itu, aku menemani Mas Giora untuk berjualan ikan di pasar, karena kebetulan aku bosan di rumah saja. "Mas Giora, saya mau beli ikan lele dong." ucap seorang wanita yang suaranya sangat familiar di telingaku. "Mau berapa?" tanya Giora. Benar dugaanku, rupanya itu adalah Wita, 'temanku' yang tempo hari menghina suamiku. Cih, katanya segan, tapi sekarang malah datang membeli ikan di lapak suamiku. Tidak tahu malu sekali wanita itu datang ke sini, bahkan dia juga sudah memutuskan pertemanan denganku hanya karena kami miskin. "Ini, ikannya." Mas Giora dengan ramah mengatakan itu sambil memberikan ikan yang sudah dibungkus dengan plastik berwarna hitam. Aku yang kesal melihat Wita pun l
'Mengapa pria itu menyebut Giora Tuan?'Aku hanya bisa membatin, lalu mengarahkan tatapanku ke Mas Giora yang sedang membersihkan limbah ikan. Bisa jadi, pria di hadapanku adalah temannya yang memang sedang mencari Mas Giora. Atau jangan-jangan ... dia adalah rentenir yang ingin menagih hutang? Pikiranku seketika membuat diriku sendiri panik, aku pun langsung menghampiri Mas Giora dan berbisik pelan, "Mas, Mas tidak pinjam uang pada rentenir, kan?" "Kamu ngomong apa, Lisa? Tentu saja tidak," ujar Mas Giora santai. Jawaban Mas Giora membuatku menghela napas lega. Lagipula, tak mungkin orang yang segan seperti suamiku mencari-cari pinjaman. "Itu ... Mas. Ada yang nyariin kamu, dia bukan rentenir, kan?" bisikku lagi, sembari menunjuk-nunjuk ke arah pria tak dikenal tadi. "Ah, bukan kok." Setelah melihat pria itu, Mas Giora membereskan pekerjaanya, dan mengeringkan tangannya dengan lap. Tak lama, dia langsung menghampiri pria tak dikenal itu. "Saya bukan rentenir kok, B
"Saya bisa membayarnya." Mas Giora mengatakan itu di depan Martin. Dia terlihat sedikit serius sambil mengepalkan tangannya. Sepertinya dia marah dan tidak suka dengan Martin. Martin malah tertawa ketika mendengar penuturan dari Mas Giora barusan. Dia terlihat sangat meremehkan, bahkan aku tidak yakin sama sekali dengan hal ini. "Apa aku tidak salah dengar? Kamu mau membayar hutang? Laki-laki miskin seperti kamu yang hanya jualan ikan saja memangnya gajinya berapa?" sindirnya sambil mendorong Mas Giora. "Saya akan membayar semua hutang tersebut, jadi lebih baik kamu pergi dari sini," usir Mas Giora yang sepertinya sudah dibuat kesal sekarang. Aku hanya melihat Mas Giora dengan sekilas saja. Dia benar-benar berani ketika melawan Martin sekarang. "Kamu mau jadi seorang gigolo untuk membayar hutangmu itu, Giora. Tapi bagus sih, biar istrimu merasa jijik ketika melihatmu nanti," sindir Martin. Bugh Mas Giora memukul Martin dengan sedikit keras. Aku langsung menahan tangan M
Pagi hari yang begitu cerah. Aku masih memeluk Mas Giora dengan hangat, laki-laki itu masih pulas dalam tidurnya dan seketika aku ingin menggodanya. "Mas bangun." Aku membisikan sesuatu di telinganya agar dia bangun. Terdengar suara serak yang seperti candu itu, dia memeluk diriku dengan erat. "Mas pagi Lisa." "Iya, Mas Giora biasanya selalu bangun pagi. Kenapa sekarang terlihat susah bangun," ujarku heran dengan suamiku. Seketika Mas Giora langsung bangun, dia menatap kearah diriku. "Maaf Lisa." Aku akhirnya memutuskan untuk ikut bangun juga. "Mas Giora tidak usah meminta maaf seperti itu. Memangnya Mas Giora punya salah denganku?" tanyaku dengan heran. "Ah tidak, aku akan bekerja mencari uang untuk melunasi hutangku," ujar Mas Giora. Aku jadi merasa bersalah karena sudah membebankan semuanya pada Mas Giora. Lagian semuanya juga bukan sepenuhnya salahku. "Maafkan ibuku yah Mas. Kita jadi semakin susah," ujarku sambil menundukkan kepalanya. Mas Giora malah m
Pipiku memerah setelah selesai mandi bersama dengan Mas Giora. Sekarang suamiku sudah berangkat kerja. Aku bahkan lupa membuat sarapan untuk suamiku karena tadi kami berdua main di kamar mandi. Tidak usah aku ceritakan semuanya, kalian semuanya sudah tahu. Aku merasa malu ketika mengingat hal tersebut. Sampai terdengar suara ketukan dari arah pintu. Tok tok tok Aku mendengus kesal ketika mendengar suara yang begitu gaduh, aku yang kesal pun akhirnya memutuskan untuk ke sana. Baru juga membuka pintu, mataku langsung membulat ketika melihat siapa orang yang masuk ke rumah. "Ibu," panggilku. Ibuku langsung menatapku dengan sekilas. Sebelum dia memamerkan sebuah kalung emas yang begitu sangat berat, tidak tahu berapa karat tetapi aku malah membencinya. "Liat kalung yang aku pakai ini Lisa? Suami kamu tidak akan sanggup membelikan ini untuk kamu," ujarnya sedikit pamer. Aku tahu kalau Mas Giora tidak bisa membelikan kalung yang begitu bagus seperti yang dipakai ol
Aku yang penasaran pun akhirnya mengambil foto tersebut dan melihat Mas Giora dengan seseorang yang tidak asing. Aku teringat kalau orang tersebut adalah orang yang datang ke pasar waktu itu. "Apa ini?" tanyaku karena penasaran. "Masih mau bertanya lagi, ini suamimu bersama dengan seseorang yang mencurigakan. Laki-laki itu juga jago berkelahi kamu tahu." Aku menaikan sebelah alisku dengan erat. Tidak paham dengan maksud dari Martin barusan. "Memangnya kenapa kalau dia jago berkelahi?" kataku. Hani yang ada di sana pun ikut menimbrung pembicaraan antara aku dengan Martin barusan. "Lisa, kamu ini memang wanita bodoh yah. Maksud Martin adalah laki-laki yang bersama dengan suamimu itu adalah seorang preman. Pasti dia yang bekerjasama dengan suami kamu untuk melakukan kejahatan." Martin tersenyum ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Hani barusan. "Nah, Hani saja paham dengan yang aku maksud. Masa kamu tidak paham." Aku menggelengkan kepala, tidak mungkin kalau Mas Giora mel
"Mas Giora aku datang."Aku menghampiri Mas Giora yang tengah meladeni para pembeli, dia tengah sibuk karena aku tahu kalau dia tengah bekerja keras untuk melunasi hutang ibu. Andai saja ibu tidak meminjam uang kepada Martin, mungkin saja suaminya tidak akan sibuk seperti sekarang. "Mas," panggilku. Mas Giora menoleh ke arahku dengan sekilas. Dia masih meladeni para pembeli yang memang sangat antri sekali. Syukurlah karena tempat ini sedikit rame pengunjung sekarang. "Sebentar sayang, masih banyak pembeli."Aku hanya duduk di tempat tunggu sambil menunggu Mas Giora yang memang tengah meladeni orang-orang yang ada di sana. Ketika aku tengah duduk sambil menunggu. Tiba-tiba aku memikirkan sesuatu. Ada hal yang membuat aku merasa penasaran sekarang. Aku melihat sebuah amplop coklat yang ada di bawah. Akhirnya aku yang penasaran pun memutuskan untuk membukanya. Mataku langsung membulat ketika melihat uang yang ada di sana. Ada banyak uang yang tidak bisa aku hitung, Mas Giora tidak