Setelah bel pulang berbunyi, aku bergegas ke parkiran. Namun, begitu mendekati bekas motor kesayangan Kak Alina yang sudah aku modifikasi sedikit, biar terlihat keren, tiba-tiba perasaan tidak enak langsung muncul.
Ternyata ban belakang kempes. Mataku menyipit, mengingat tadi pagi bannya masih baik-baik saja. Tidak mungkin ada paku bertebaran di parkiran sekolah elit ini, ‘kan? Sebab, yang biasanya bertebaran itu janji manis pemilik kumis tipis. Kecuali, ada yang sengaja iseng. Ah, aku tahu! Pasti ini ulah si Zavier. Siapa lagi yang punya niat buruk padaku sejak tadi pagi kalau bukan dia? Memang resek itu orang. Aku menghela napas, mencoba meredam amarah, hingga terdengar tawa keras dari belakang. “Wah, kasian banget, bannya kempes, ya?” Suara Zavier terdengar jelas. Dia datang bersama dua orang temannya, mereka tertawa mengejek. Zavier menatapku dengan senyum puas di wajahnya. “Kayaknya ada yang gak bakal bisa pulang, nih?” Aku menggertakkan gigi, menahan diri agar tidak langsung mematahkan tangannya yang kurang ajar. “Puas lo sekarang?” tanyaku dengan ekspresi datar. Zavier mengangkat bahu, tertawa kecil lalu berbalik pergi sambil melambai-lambaikan tangannya padaku. “Bye-bye, Alina! Jangan nangis dan selamat mencari tumpangan,” ucapnya disusul tawa sebelum dia naik ke mobil mewahnya. Rasanya panas di dada. Aku mengepalkan tangan begitu mobil BMW putih miliknya berlalu. “Awas lo, Zavier! Gue bakal balas lo!” batinku menjerit. Aku masih berdiri dengan tangan yang terkepal karena geram dengan ulah Zavier ketika cewek-cewek yang sok akrab denganku tadi datang menghampiri. “Lin, ada apa?” tanya perempuan berhijab itu dengan ramah. “Ban motor gue kempes ulah si Zavier,” jawabku kesal. Sekilas sempat kulihat mereka saling berpandangan, ada raut cemas di wajah keduanya begitu mendengar aku menyebut nama ‘Zavier’. “Ya ampun, Lin. Lu kayak gak kenal si Zavier aja. Lagipula ini salah lu, kenapa nekat parkir motor di tempatnya dia? Sekelas sohibnya aja gak ada yang berani parkir motor di situ.” “Loh, memangnya kenapa? Gue juga punya hak di sekolah ini kali,” ketusku. “Lin, lo lupa ya kalau si Zavier itu siswa yang paling ditakuti di sini? Kalau ada yang berani macam-macam pada dia and the gang, tamatlah .... Siap-siap aja kena masalah.” Aku mengernyitkan kening mendengar perkataan wanita berkacamata bening itu. Memangnya Zavier siapa sampai harus ditakuti begitu? Lagipula dia bukan Tuhan. Amit-amit aku takut sama dia. Kagak bakalan! “Gini, deh ... lo butuh bantuan, gak?” tanyanya lagi saat aku tak kunjung berbicara. Aku tersenyum kecil, meskipun dalam hati masih sangat kesal. “Gak! Gue bisa urus diri gue sendiri, tapi makasih, ya.” Setelah mereka berlalu, aku mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang. Tak lama, suara dari seberang pun terdengar. “Jemput gue sekarang! Gak pake lama dan gak usah banyak tanya dulu!” titahku. *** Saat perjalanan pulang, aku yang duduk di kursi belakang dengan tangan bersilang dada sambil mengerucutkan bibir kesal dengan kejadian tadi. Untungnya, aku punya kakak dan sepupu yang sigap menolongku yang lagi ketiban apes gara-gara Zavier sialan. Bisa-bisanya dia licik sekali membuat ban motorku kempes? Kini mobil bergerak membelah jalanan perkotaan. Suasana di mobil hening, sampai akhirnya Aidan--kakakku membuka suara. “Lain kali kalau mau berangkat sekolah, itu ban motor dicek, dong, Dek. Biar gak kejadian kek tadi. Masih mending kalau gue da—” “Gak usah ngomel!” potongku cepat. “Itu kempes bukan tanpa sebab, tapi emang ada tangan iseng pengen gue patahin rasanya!” Kak Aidan memutar tubuh menatapku penuh tanya, sementara Tama--sepupuku dia melirik lewat spion tengah. Tampak jelas dia seperti sedang menahan diri agar tak tertawa. “Siapa yang melakukannya?” tanya Kak Aidan. “Cowok sok paling berkuasa di sekolah. Gue cuma parkir doang di tempat yang katanya itu tempat dia karena gak ada tempat kosong, eh ... malah ban motor gue dikempesin. Sialan banget emang tuh orang.” Seketika itu, Kak Aidan dan Tama sontak tertawa seolah-olah aku baru saja menyampaikan lelucon yang sangat lucu. “Kenapa gak lo pindah waktu dia bilang kalau itu tempatnya?” tanya Tama. “Loh, emang dia siapa yang ngatur-ngatur?” “Astaga, Lun.” Tama memijat kening sambil menggeleng pelan. “Baru sehari lo sekolah di sana, tapi udah bikin masalah.” Kali ini, Kak Aidan kembali menyemburkan tawanya. Aku menatap mereka berdua dengan tajam. “Lo pikir ini lucu? Dia seenaknya begitu, terus gue diam aja kayak babu nurutin mau dia gitu? Gak bakal! Setelah apa yang dia lakukan tadi, artinya api peperangan dinyalakan. Gue akan membalasnya!” Kak Aidan dan Raka malah tertawa lebih keras mendengar omelanku. Bikin makin kesal saja. “Dek, jangan terlalu cepat panas gara-gara hal sepele seperti itu. Lo masih baru di sana, jangan sampai kena SP.” Kak Aidan memperingati. Aku mendengus. “Ini bukan hal sepele, Kak. Cowok itu sok berkuasa, kayak itu tanah parkiran warisan dia aja!” Tama melirikku lagi lewat spion, senyum lebar masih terpasang di wajahnya. “Wah, berarti tujuan lo sekarang udah belok ke balas dendam pada si Zavier?” Aku terdiam sejenak, menatap keluar jendela sebelum kembali menoleh ke mereka berdua yang seperti sepasang sepatu, ke mana-mana selalu bersama. “Enggak!” jawabku tegas. “Dendam gue sama Zavier hanya sedikit memberi pelajaran dengan kelakuan dia yang ngeselin, tapi gue nggak lupa tujuan awal gue pindah sekolah ke sini!” Tama menurunkan nada tawanya, mendengar keseriusanku, sedangkan Kak Aidan ia kembali menoleh padaku. “Dek, kita semua kehilangan Alina, tapi Kakak gak mau gara-gara rencana lo itu akan membuat lo dalam masalah. Ini terlalu berbahaya, apalagi lo perempuan.” Aku tersenyum kecil. Bagiku, tak ada yang berbahaya, yang penting bisa membalas kontan pelaku pembunuhan kakak kembarku. “Jadi, kita harus diam aja gitu? Nunggu polisi menyelidiki, tapi gak kelar-kelar. Gue ngerasa ada yang gak beres di sini. Makanya, kalau pelaku gak mendapat hukum sesuai aturan negara maka mereka juga harus merasakan apa yang Kak Alina rasakan. Mata ganti mata, gigi ganti gigi!” “Gue suka lo yang anti pesimis,” ujar Tama. “Iya, karena di belakang gue ada ahli IT. Percuma dong, gue punya sepupu yang ahli IT kalau gak bisa cari bukti doang. Minimal bobol CCTV,” sindirku. “Waduh, adek lo ngeri, Dan!” Tama tertawa lagi sambil geleng-geleng kepala. Kak Aidan mendesah, menatapku dengan penuh perhatian. Aku tahu dia masih berat membiarkan melakukan ini. Toh, dari awal sebenarnya dia melarang niatku, tetapi tak spontan menyetujui juga. “Kita semua sayang Alina, Dek. Tetap hati-hati. Ini bukan urusan kecil.” Aku menatap keluar jendela, tekadku semakin kuat. “Gue tau, tapi gue gak akan berhenti sampai gue balas semua orang yang pernah gangguin Kak Alina.”Begitu malam tiba, aku duduk sambil memandangi laptop di meja belajarku. Memikirkan seseorang yang mungkin bisa membantuku mencari tahu lebih banyak tentang Alina, seperti saran Tama--sepupuku tadi siang. “Coba cari teman yang paling dekat dengan Alina dulu. Lo bisa dapat setidaknya informasi penting dari situ.” “Astaga, gue baru di sini. Mana gue tau siapa yang paling dekat dengan Kak Alina?” Aku memijat-mijat kepala lalu mengusap-usap dagu. Sambil berpikir keras, aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Dan, seketika itu aku mengingat dua orang yang tadi mengaku sebagai sahabat Kak Alina. Sesaat, aku merasa senang, tetapi detik berikutnya, aku kembali cemberut. “Tapi, bagaimana kalau mereka cuma ngaku-ngaku?” Di tengah lamunanku itu, tiba-tiba ada ketukan dari pintu kamarku. Tanpa perlu mendapat izin dariku, pintu terbuka dan Bunda masuk sambil membawa segelas susu. “Aluna Sayang, kamu lagi apa?” tanyanya. “Eh, nggak ngapa-ngapain kok, Bun. Cuma lagi ... browsin
Aku fokus mengikuti pelajaran meskipun sesekali mendapat gangguan dari setan di sebelahku. Zavier kerap diam-diam melemparku menggunakan gulungan kertas kecil. Dan, itu tak hanya dilakukan sekali dua kali, tetapi berlanjut di hari-hari berikutnya. Entah kenapa orang yang sangat menyebalkan seperti Zavier bisa-bisanya menjadi ketua kelas? Konyol sekali! Ketika jam istirahat tiba, aku memilih istirahat di belakang sekolah. Lumayan, di sana ada pohon jambu air yang buahnya banyak dan sudah matang. Maling sedikit, tidak apa-apa. Lagipula, kalau dibiarkan begitu saja nanti buahnya busuk. Jadi, mending aku makan saja, biar lebih berkah buat yang tanam. Kini, aku duduk pada salah satu cabang pohon sambil menggoyang-goyangkan kaki, memetik beberapa buahnya untuk kudiamkan di pangkuan. Sembari menikmati kedamaian ini, mataku tiba-tiba menangkap gerakan di bawah. Ada Zavier dan teman-temannya sedang berjalan melewati area itu. Tanpa pikir panjang, ide iseng langsung muncul di benakku
Aku menarik napas sambil berjalan menuju bangku kayu di belakang sekolah yang sepi. Larissa dan Maya masih mengikuti dari belakang, tatapan bingung mereka seperti dua anak hilang yang tidak tahu arah tujuannya? Aku duduk bersama Larissa, sementara Maya masih mondar-mandir di hadapan kami sambil mengusap-usap dagu. Sudah seperti Bu RT yang memikirkan cara agar kampungnya dapat bantuan pemerintah. Aku menatap mereka dengan serius sambil berpikir sejenak. Menurut pengamatanku kurang lebih sepekan sekolah di sini, sepertinya mereka berdua orang baik-baik. Tidak seperti si Zavier yang sangat mengesalkan. Maksudku, tidak ada salahnya menjadikan Maya dan Larissa sebagai teman. Mana tahu dengan begitu, aku bisa mendapatkan informasi lebih banyak lagi tentang Kak Alina seperti saran Tama. Dan, itu akan mempermudah misi pertamaku untuk mengetahui siapa-siapa saja yang pernah terlibat mengganggu saudara kembarku? “Bagaimana mungkin lo bukan Alina?” tanya Maya tak bisa menyembunyik
Wanita bertubuh sintal itu berjalan menghampiri kami membuat Zavier buru-buru berdiri, hendak kabur, tetapi tanganku lebih sigap bergerak menarik tasnya agar ia tak pergi begitu saja. Enak saja, setelah ada upaya bolos dari jam pelajaran, dia mau kabur seenaknya ketika ketahuan. Jangan mimpi! Dia mendengus sebal, dengan terpaksa berdiri menunduk begitu Bu Mila--guru BK sudah berada di hadapan kami. “Ngapain kalian di sini?” tanya wanita berhijab itu tegas. “Ini, Bu. Zavier mau bolos dari pelajaran Fisika,” kataku tanpa menyembunyikan apa pun. Biar tahu rasa si Zavier dihukum. Aku tak sabar ingin melihatnya hormat pada tiang bendera di bawah teriknya mentari di jam 9 pagi ini. Hahaha. Bu Mila mengembuskan napas berat. “Apa benar begitu, Zavier?” tanyanya ingin memastikan. Zavier menggeleng cepat. Berusaha membela dirinya. “Sebenarnya, e ... anu, saya, itu cuma ... eh, lagi ngetes Hukum Newton I, Bu. Katanya benda diam akan tetap diam kalau nggak ada yang ganggu, tapi
Aku memilih duduk di tangga taman sekolah sekitar lapangan futsal sambil merenggangkan otot-otot kaki yang ternyata pegal juga dihukum berdiri sampai jam istirahat. Ngeri sekali Bu Mila, tuh! Untung fisik aku kuat meskipun tak suka makan semen tiga roda, jadi tak sampai pingsan. “Kok bisa, sih, lo dihukum bareng Zavier? Bikin masalah apa lo, Lun?” tanya Maya yang kini sudah duduk di sebelahku. “Bukan suatu masalah sebenarnya. Bu Mila aja yang nggak paham sisi kreatif seseorang. Harusnya bersyukur, ada yang mau bikin sketsa cetar membahana di tembok sekolah tanpa digaji.” “Jangan bilang lo coret-coret tembok?” “Emang iya,” jawabku entang. “Astaga Aluna!” Maya menepuk jidat frustrasi. Kupilih tak memperpanjang pembahasan yang membuatku kesal sampai ubun-ubun itu. Ingat saja, aku akan membalas Zavier! Gara-gara dia mengadu ke Bu Mila, aku harus membuang malu pada tiang bendera. Sebab merasa bosan, aku mengambil novel dari tas dan membukanya perlahan sesekali mendengarkan Maya d
Aku menunduk diam sambil meremas jari-jari mendengarkan Bu Mila yang sedang menceramahiku habis-habisan. Ya, tadi setelah mengakui kepemilikan ular mainan itu pada Bu Sri yang menjadi korban keganasan benda tersebut, guru Fisika itu langsung membawaku ke ruang BK untuk di-konseling, padahal aku sudah setengah mati minta maaf, tetapi tidak termaafkan. Belum juga sebulan sekolah di sini, tetapi entah yang ke berapa kalinya aku keluar masuk ruang BK? “Aluna ... Aluna, kamu lagi. Kamu ini sebenarnya nge-fans sama Ibu atau gimana? Doyan sekali masuk ruang BK.” Bu Mila menggeleng berulang kali. Dia lalu bangkit dan berdiri di hadapanku. “Coba kamu jelaskan, apa motivasi kamu membawa ular mainan ke sekolah? Kamu merasa masih anak TK yang lagi lucu-lucunya segala mainan dikoleksi semua?” Suara Bu Mila terdengar tegas membuat suasana di ruangan yang sepi ini terasa cukup mencekam. Aku menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Nyatanya, aku tidak punya motivasi apa-apa. Tadinya, aku mem
Gara-gara kemarin pulang dari sekolah hujan-hujanan, akhirnya sepanjang malam aku terkena demam tinggi. Badanku nyaris seperti dipanggang. Bunda sampai turun tangan untuk mengompres demamku walaupun dibarengi dengan omelan karena aku pulang dalam keadaan basah kunyup.Belum lagi dengan semua sendi dan otot terasa pegal-pegal sekarang, terutama di bagian punggung dan bokong, mungkin akibat insiden terjungkal ditabrak Zavier juga kemarin. Ditambah sebelum itu, bersih-bersih 4 WC sekolah sampai menjelang petang, lengkap sudah penderitaan hari itu.Untungnya pagi ini, demamku sudah sedikit turun meskipun masih terbaring lemas di tempat tidur, meringkuk sambil menarik selimut sampai dagu. Selang beberapa saat, suara langkah kaki terdengar dari luar, diikuti ketukan pelan di pintu kamar.“Masuk aja .…” Suaraku hampir tak terdengar, lemah.Kak Aidan dan Tama, yang sudah kubilang mereka itu seperti sepasang sepatu, ke mana-mana selalu
Aku menghentikan laju motor matic-ku dengan sekali rem halus, menatap lapangan parkir yang ternyata sudah penuh sesak. Mencari-cari tempat kosong hingga aku melihat satu ruang yang cukup luas. Tanpa pikir panjang, aku mengarah ke sana dan memarkirkan motor di tempat yang menurutku cukup nyaman untuk parkir. Helm kulepas lalu menyimpannya di spion sambil memperhatikan suasana sekitar. Tidak lama, deru mesin mobil berhenti tak jauh dari tempatku berdiri. Aku mendengar suara pintu mobil dibuka sedikit kasar, disusul langkah kaki yang makin mendekat. Begitu menoleh, seorang cowok tinggi sedang berjalan ke arahku dengan wajah merah padam. “Heh!” bentaknya, “ini tempat parkir gue!” “Kenapa lo parkir di situ, hah?” tanyanya penuh emosi. Aku berbalik, menatapnya dengan tenang, sama sekali tidak merasa terintimidasi oleh gertakannya dan gerak tubuh yang seolah-olah mengisyaratkan kalau ia paling berkuasa di sini. Aku belum mengatakan apa pun ketika dia yang justru tampak sedikit tersen