Share

Bab 2

Setelah bel pulang berbunyi, aku bergegas ke parkiran. Namun, begitu mendekati bekas motor kesayangan Kak Alina yang sudah aku modifikasi sedikit, biar terlihat keren, tiba-tiba perasaan tidak enak langsung muncul.

Ternyata ban belakang kempes.

Mataku menyipit, mengingat tadi pagi bannya masih baik-baik saja. Tidak mungkin ada paku bertebaran di parkiran sekolah elit ini, ‘kan? Sebab, yang biasanya bertebaran itu janji manis pemilik kumis tipis.

Kecuali, ada yang sengaja iseng.

Ah, aku tahu! Pasti ini ulah si Zavier. Siapa lagi yang punya niat buruk padaku sejak tadi pagi kalau bukan dia? Memang resek itu orang.

Aku menghela napas, mencoba meredam amarah, hingga terdengar tawa keras dari belakang.

“Wah, kasian banget, bannya kempes, ya?” Suara Zavier terdengar jelas.

Dia datang bersama dua orang temannya, mereka tertawa mengejek. Zavier menatapku dengan senyum puas di wajahnya. “Kayaknya ada yang gak bakal bisa pulang, nih?”

Aku menggertakkan gigi, menahan diri agar tidak langsung mematahkan tangannya yang kurang ajar.

“Puas lo sekarang?” tanyaku dengan ekspresi datar.

Zavier mengangkat bahu, tertawa kecil lalu berbalik pergi sambil melambai-lambaikan tangannya padaku.

“Bye-bye, Alina! Jangan nangis dan selamat mencari tumpangan,” ucapnya disusul tawa sebelum dia naik ke mobil mewahnya.

Rasanya panas di dada. Aku mengepalkan tangan begitu mobil BMW putih miliknya berlalu.

“Awas lo, Zavier! Gue bakal balas lo!” batinku menjerit.

Aku masih berdiri dengan tangan yang terkepal karena geram dengan ulah Zavier ketika cewek-cewek yang sok akrab denganku tadi datang menghampiri.

“Lin, ada apa?” tanya perempuan berhijab itu dengan ramah.

“Ban motor gue kempes ulah si Zavier,” jawabku kesal.

Sekilas sempat kulihat mereka saling berpandangan, ada raut cemas di wajah keduanya begitu mendengar aku menyebut nama ‘Zavier’.

“Ya ampun, Lin. Lu kayak gak kenal si Zavier aja. Lagipula ini salah lu, kenapa nekat parkir motor di tempatnya dia? Sekelas sohibnya aja gak ada yang berani parkir motor di situ.”

“Loh, memangnya kenapa? Gue juga punya hak di sekolah ini kali,” ketusku.

“Lin, lo lupa ya kalau si Zavier itu siswa yang paling ditakuti di sini? Kalau ada yang berani macam-macam pada dia and the gang, tamatlah .... Siap-siap aja kena masalah.”

Aku mengernyitkan kening mendengar perkataan wanita berkacamata bening itu. Memangnya Zavier siapa sampai harus ditakuti begitu? Lagipula dia bukan Tuhan. Amit-amit aku takut sama dia. Kagak bakalan!

“Gini, deh ... lo butuh bantuan, gak?” tanyanya lagi saat aku tak kunjung berbicara.

Aku tersenyum kecil, meskipun dalam hati masih sangat kesal. “Gak! Gue bisa urus diri gue sendiri, tapi makasih, ya.”

Setelah mereka berlalu, aku mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang. Tak lama, suara dari seberang pun terdengar.

“Jemput gue sekarang! Gak pake lama dan gak usah banyak tanya dulu!” titahku.

***

Saat perjalanan pulang, aku yang duduk di kursi belakang dengan tangan bersilang dada sambil mengerucutkan bibir kesal dengan kejadian tadi.

Untungnya, aku punya kakak dan sepupu yang sigap menolongku yang lagi ketiban apes gara-gara Zavier sialan. Bisa-bisanya dia licik sekali membuat ban motorku kempes?

Kini mobil bergerak membelah jalanan perkotaan. Suasana di mobil hening, sampai akhirnya Aidan--kakakku membuka suara.

“Lain kali kalau mau berangkat sekolah, itu ban motor dicek, dong, Dek. Biar gak kejadian kek tadi. Masih mending kalau gue da—”

“Gak usah ngomel!” potongku cepat. “Itu kempes bukan tanpa sebab, tapi emang ada tangan iseng pengen gue patahin rasanya!”

Kak Aidan memutar tubuh menatapku penuh tanya, sementara Tama--sepupuku dia melirik lewat spion tengah. Tampak jelas dia seperti sedang menahan diri agar tak tertawa.

“Siapa yang melakukannya?” tanya Kak Aidan.

“Cowok sok paling berkuasa di sekolah. Gue cuma parkir doang di tempat yang katanya itu tempat dia karena gak ada tempat kosong, eh ... malah ban motor gue dikempesin. Sialan banget emang tuh orang.”

Seketika itu, Kak Aidan dan Tama sontak tertawa seolah-olah aku baru saja menyampaikan lelucon yang sangat lucu.

“Kenapa gak lo pindah waktu dia bilang kalau itu tempatnya?” tanya Tama.

“Loh, emang dia siapa yang ngatur-ngatur?”

“Astaga, Lun.” Tama memijat kening sambil menggeleng pelan. “Baru sehari lo sekolah di sana, tapi udah bikin masalah.”

Kali ini, Kak Aidan kembali menyemburkan tawanya.

Aku menatap mereka berdua dengan tajam. “Lo pikir ini lucu? Dia seenaknya begitu, terus gue diam aja kayak babu nurutin mau dia gitu? Gak bakal! Setelah apa yang dia lakukan tadi, artinya api peperangan dinyalakan. Gue akan membalasnya!”

Kak Aidan dan Raka malah tertawa lebih keras mendengar omelanku. Bikin makin kesal saja.

“Dek, jangan terlalu cepat panas gara-gara hal sepele seperti itu. Lo masih baru di sana, jangan sampai kena SP.” Kak Aidan memperingati.

Aku mendengus. “Ini bukan hal sepele, Kak. Cowok itu sok berkuasa, kayak itu tanah parkiran warisan dia aja!”

Tama melirikku lagi lewat spion, senyum lebar masih terpasang di wajahnya. “Wah, berarti tujuan lo sekarang udah belok ke balas dendam pada si Zavier?”

Aku terdiam sejenak, menatap keluar jendela sebelum kembali menoleh ke mereka berdua yang seperti sepasang sepatu, ke mana-mana selalu bersama.

“Enggak!” jawabku tegas. “Dendam gue sama Zavier hanya sedikit memberi pelajaran dengan kelakuan dia yang ngeselin, tapi gue nggak lupa tujuan awal gue pindah sekolah ke sini!”

Tama menurunkan nada tawanya, mendengar keseriusanku, sedangkan Kak Aidan ia kembali menoleh padaku.

“Dek, kita semua kehilangan Alina, tapi Kakak gak mau gara-gara rencana lo itu akan membuat lo dalam masalah. Ini terlalu berbahaya, apalagi lo perempuan.”

Aku tersenyum kecil. Bagiku, tak ada yang berbahaya, yang penting bisa membalas kontan pelaku pembunuhan kakak kembarku.

“Jadi, kita harus diam aja gitu? Nunggu polisi menyelidiki, tapi gak kelar-kelar. Gue ngerasa ada yang gak beres di sini. Makanya, kalau pelaku gak mendapat hukum sesuai aturan negara maka mereka juga harus merasakan apa yang Kak Alina rasakan. Mata ganti mata, gigi ganti gigi!”

“Gue suka lo yang anti pesimis,” ujar Tama.

“Iya, karena di belakang gue ada ahli IT. Percuma dong, gue punya sepupu yang ahli IT kalau gak bisa cari bukti doang. Minimal bobol CCTV,” sindirku.

“Waduh, adek lo ngeri, Dan!” Tama tertawa lagi sambil geleng-geleng kepala.

Kak Aidan mendesah, menatapku dengan penuh perhatian. Aku tahu dia masih berat membiarkan melakukan ini. Toh, dari awal sebenarnya dia melarang niatku, tetapi tak spontan menyetujui juga. “Kita semua sayang Alina, Dek. Tetap hati-hati. Ini bukan urusan kecil.”

Aku menatap keluar jendela, tekadku semakin kuat. “Gue tau, tapi gue gak akan berhenti sampai gue balas semua orang yang pernah gangguin Kak Alina.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status