Gara-gara kemarin pulang dari sekolah hujan-hujanan, akhirnya sepanjang malam aku terkena demam tinggi. Badanku nyaris seperti dipanggang. Bunda harus turun tangan untuk mengompres demamku walaupun diikuti dengan omelan karena aku pulang dalam keadaan basah kuyup. Belum lagi dengan semua sendi dan otot terasa pegal-pegal sekarang, terutama di bagian punggung dan bokong, mungkin akibat insiden terjungkal ditabrak Zavier juga kemarin. Ditambah sebelum itu, bersih-bersih 4 WC sekolah hingga menjelang petang, lengkap sudah penderitaan hari itu. Untungnya pagi ini, demamku sudah sedikit turun meskipun masih terbaring lemas di tempat tidur, meringkuk sambil menarik selimut sampai dagu. Selang beberapa saat, suara langkah kaki terdengar dari luar, diikuti ketukan pelan di pintu kamar. “Masuk aja .…” Suaraku hampir tak terdengar, lemah. Kak Aidan dan Tama, yang sudah kubilang mereka itu seperti sepasang sepatu, ke mana-mana selalu bersama. Lihatlah, mereka bersama lagi. Keduanya
Aku mendengus, menepis tangan Zavier dengan kasar. “Punya mata, kan? Liat sendiri keadaan gue!”Bukannya iba, Zavier malah tertawa terkesan mengejekku. “Nggak nyangka aja gadis tengil, resek, kayak lo bisa sakit juga.”“Gue manusia, bukan robot!” ketusku.“Gue pikir energi lo itu nggak abis-abis. Ngeselin, sih, makanya kena karma.”“Banyak omong lo! Cepat katakan, ada perlu apa ke rumah gue?” tanyaku disambut Zavier dengan senyum tipis sebelum akhirnya beralih duduk di sofa. Lagi-lagi, sebelum aku memintanya, membuatku makin jengkel. Datang-datang belagak tuan rumah saja dia.“Sekolah sepi gak ada lo yang bikin rusuh.”Sontak, aku menganga mendengar perkataan pria yang masih berseragam sekolah itu. Serius, dia jauh-jauh datang ke sini cuma mau bilang itu?“Oh, jadi maksudnya lo ke sini buat nyariin gue? Rindu lo sama gue? Atau jangan-jangan, lo jatuh cinta sama gue, gitu?” Aku memicing tajam ke arahnya. Mencari tahu bara
Aku duduk bersisian dengan Zavier di ruang tamu, menunduk dalam-dalam sambil meremas jari-jariku.Suasana tegang.Papa berdiri sambil berkacak pinggang, sesekali kulihat ia menatap kami seperti menimbang seribu kata yang tak kunjung keluar. Beliau menarik napas panjang, berkali-kali lalu memijat keningnya. Bulu kudukku sampai meremang memikirkan nasibku setelah ini.Ya, setelah melihatku berduaan dengan Zavier di kamar tadi, Bunda langsung menghubungi Papa dan memintanya pulang tanpa mau mendengarkan pembelaan diriku.“Anak muda ....” Suara Papa akhirnya terdengar. Nada tegasnya membuat aku menelan ludah. “Bisa kau hubungi orang tuamu? Minta mereka datang ke sini, sekarang juga.”Sebelum Zavier sempat mengeluarkan ponsel, aku buru-buru angkat bicara, panik, dan tak ingin suasana semakin runyam. Apalagi tadi Papa sempat menyinggung pernikahan. Tidak mungkin aku menikah di usia sekarang yang bahkan SMA saja belum lulus.“Papa … dengerin Luna dulu. Semua ini gak seperti yang Papa duga.
Setelah Zavier dan keluarganya pulang--sudah jadi keluargaku juga--aku diminta Bunda kembali ke kamar untuk istirahat karena tubuh ini masih lemas. Orang tuaku itu menyusul sesaat kemudian. Keduanya sempat kulihat sama-sama menghela napas begitu melihatku berbaring menatap langit-langit kamar, mencoba mencerna semua yang terjadi barusan. Bunda mengambil tempat di tepi ranjang, perlahan mengusap lembut kepalaku tanpa kata. “Papa melakukan ini bukan karena tega atau tidak sayang sama Aluna. Justru karena Papa sayang makanya selalu ingin yang terbaik untuk Aluna. Apa yang terjadi barusan itu semata-mata untuk kebaikan Aluna sendiri dan juga keluarga kita.” Papa memecah keheningan. Suaranya cukup menenangkan kali ini. Tak seperti tadi yang bahkan dari ekspresinya sudah membuat batinku bergidik ngeri. Aku mengangkat sedikit kepala, menatap sosok yang konon adalah cinta pertama anak perempuan itu. Benar, sama sekali tidak kutemukan sorot yang menandakan kalau Papa tidak sayang padak
“Gue udah bobol CCTV sekolah sesuai permintaan Tuan Putri, tetapi gue belum menemukan bukti pembunuhan Aluna. Kemungkinan pelaku melancarkan aksinya di luar sekolah.”Aku baru membaca pesan Tama ketika berada di garasi rumah, hendak berangkat ke sekolah karena tak ingin Bunda curiga kalau aku memiliki misi rahasia yang tidak boleh diketahui olehnya.Kulirik jam tangan, waktu masuk kelas masih lama. Jadi, aku membuka kembali video itu untuk memastikan sesuatu.Sengaja, aku memperbesar layarnya biar lebih jelas. Dari rekaman CCTV itu memperlihatkan Kak Alina--kakak kembarku sedang berjalan memeluk buku di lorong sekolah yang sepi. Tiba-tiba 3 cowok dan 4 cewek, berseragam SMA Pelita Nusantara muncul dari ujung lorong. Kak Alina tampak berusaha menghindari, tetapi salah satu dari cewek itu menarik tasnya membuat Kak Alina terdorong ke belakang.Video itu berlanjut, memperlihatkan Kak Alina dikelilingi oleh 7 orang. Tak lama, dia didorong k
Perlahan, aku membuka mata. Langit-langit ruangan yang tampak asing menyambut pandanganku, refleks kupegang kepala saat masih merasakan nyeri. Entah aku di mana? Intinya aku tidak sedang berada di kelas. Aku mengedarkan pandangan hingga melihat lemari kaca yang tampak di dalamnya terdapat perlengkapan P3K. Artinya, aku sedang berada di UKS. Siapa yang membawaku ke sini? Terakhir tadi, aku mendengar suara Zavier. Jangan-jangan .... Segera kutepis praduga itu dan melihat kalau di sebelahku Maya dan Larissa berdiri dan sontak melempar senyum ke arahku dengan raut berbinarnya. “Akhirnya lo sadar, Lun.” Maya berseru antusias. Aku tak menjawab, tetapi berusaha duduk, menahan nyeri yang masih sedikit terasa di kepala. Sepertinya, tadi bola itu terlalu kencang menghadang. “Memangnya gue kenapa?” “Lo pingsan kena bola tadi,” jawab Larissa membuatku melongo. Seakan-akan tak percaya dengan kenyataan itu. Bisa-bisanya aku yang dulunya pernah hantam cowok sampai masuk ruang BK
Aku terkejut sesaat setelah menutup gerbang karena tiba-tiba terdengar bunyi klakson motor yang sontak membuatku berbalik melihat pada sebuah motor sport yang berhenti di luar gerbang. Alisku terangkat begitu melihatnya membuka helm. Ternyata Zavier. Ah, pria resek itu, mau apa dia ke sini? Tidak capek apa hidupnya membuatku kena sial mulu bertemu dia? Terakhir, kemarin sialnya paling parah karena sampai nikah. Entah kesialan apa lagi setelah ini? Kembali kubuka gerbang dan menghampirinya dengan tatapan kesal. “Ada apa lo ke rumah gue? Ingat, ya, kalau nggak ada hal yang terlalu mendesak, jadwal kita ketemu itu hanya akhir pekan.” Zavier menyangga wajah dengan kedua tangan sambil senyum-senyum menatapku. Agaknya sengaja mengimut-imutkan wajahnya. Bukannya imut, malah menjijikan. “Gue ke sini karena ada yang penting tau,” katanya pada akhirnya. “Apa?” Dia tersenyum tipis, belagak tak punya beban saja. “Gue mau ngundang lo nonton gue tanding futsal hari Sabtu nanti.” A
“Zavier! Semangat, Zavier!” teriak beberapa cewek yang berada tak jauh dariku itu ketika Zavier kembali bangkit.Keningku mengernyit melihat antusiasnya mendukung Zavier. Dilihat-lihat, sepertinya sebagian besar dari cewek-cewek di sini, datang bukan untuk mengamati permainan futsal, tetapi hanya untuk melihat aksi Zavier. Zavier, tok!Teriakan menggelegar dari para penonton ketika skor berubah menjadi satu kosong untuk tim sekolah kami. Anak-anak di tribun sampai berdiri, berteriak, dan memanggil namanya. Semua girang menyebut nama Zavier yang mencetak gol.Aku? Diam. Tidak ikut heboh seperti mereka meskipun jujur, aksi gol dari Zavier barusan itu cukup keren. Akan tetapi, aku sama sekali tidak terpesona dengannya. Begitu peluit berbunyi tanda istirahat, kedua tim berjalan keluar lapangan untuk mengambil napas dan minum. Aku menarik pandanganku darinya sebentar, tetapi begitu mata kembali fokus, terlihat cewek yang kemarin me
Hari demi hari berganti tanpa henti, seperti angin yang berlalu begitu saja tanpa pernah kembali ke tempat asalnya. Dedaunan di halaman dekat jendela kamarku yang dulu hijau segar kini mulai berguguran, sebagai tanda pergantian musim yang telah tiba. Rutinitas sekolah, ujian-ujian kecil juga terus terjadi, serta proses belajar tambahan untuk persiapan ujian pun sudah dilakukan. Dan, yang paling penting status pernikahanku dengan Zavier, sejauh ini masih terpantau aman.Kini, aku duduk di dekat jendela kamarku sambil menatap layar ponsel, di mana ada foto bersamaku dengan Kak Alina di sana.Foto itu diambil saat ia mengunjungiku di Aussie beberapa bulan lalu. Aku tak menduga kalau pertemuan itu menjadi pertemuan terakhirku dengannya.“Selalu jaga diri, ya, Lun. Meskipun kami jauh di sana, kamu tetap kesayangan kami semua.” Aku ingat betul dia mengatakan itu saat akan pulang ke Indonesia.“Belajar baik-baik, biar nanti jadi arsitek terkenal. Kakak akan doakan yang terbaik,” katanya la
“Yang lain boleh bubar. Aluna dan Zavier tetap tinggal di sini. Ibu mau bicara sama kalian,” ujar Bu Mila membuatku melirik Zavier. Entah apa yang akan dibicarakan Bu Mila pada kami berdua? Apa jangan-jangan beliau sudah melaporkan pada pihak sekolah kalau aku dan Zavier sudah menikah? Kalau begitu, itu artinya sebentar lagi, kami akan dikeluarkan dari sekolah.Aku menunduk sambil meremas ujung bajuku erat-erat. Rasa cemas membuat dadaku sesak, tetapi tiba-tiba Zavier mengulurkan tangan dan menggenggam jemariku lembut.Aku meliriknya sekilas. Dia tersenyum kecil, senyum yang seolah-olah mengatakan kalau semua akan baik-baik saja.Bu Mila mukai menghela napas panjang, memecah keheningan di antara kami. Beliau melipat tangannya di atas meja, menatap kami bergantian. “Ibu to the point saja, ya. Kalian sungguh-sungguh sudah menikah?” Bu Mila memicing, mencari tahu.Pertanyaan itu membuatku dan Zavier saling melirik, seakan bertanya siapa yan
“Gue tau lo yang ngelakuin ini! Buat apa, Mira? Buat ngejelekin nama gue di depan Zavier? Buat ngerendahin gue di depan anak-anak? Atau buat cari perhatian gue? Hah?!”Makin keras cengkeramanku, semakin Mira meronta.Zavier yang sedari tadi diam sedikit tersentak, mungkin tak percaya kalau aku akan melawan dengan brutal. Malah sebenarnya, aku bisa lebih kejam dari ini.Dari sudut mataku, terlihat dia bergegas cepat ke arahku. Menarik tanganku untuk melepas cengkeraman dari Mira yang sudah histeris. Aku tahu dia kesakitan, tapi aku tidak peduli. Biar dia sedikit merasakan, apa yang dirasakan Kak Alina dulu karena ulahnya.“Lepasin dia,” ujar Zavier. Tatapannya lembut, tetapi tak berhasil melembutkan hatiku yang telanjur penuh emosi.“Luna, Sayang! Lo ....”“Enggak mau, Zav-Zav! Gue akan kasih dia pelajaran. Dari awal, ini orang enggak pernah jera mengusik hidup gue. Apa emang lo enggak pernah puas gangguin orang? Sebelumnya, lo ga
Hening. Tidak ada respons. Kutekan gagang pintu lagi dengan lebih keras, tetapi hasilnya nihil.Sial!BRAK! BRAK! BRAK!“Ada orang di luar, enggak?” Aku kembali berseru, kali ini lebih keras sambil sesekali menggedor pintu dengan frustrasi. Napasku mulai tak beraturan, panik karena tak ada yang merespons.Hingga beberapa saat kemudian, gagang pintu bergerak disertai suara dari luar. “Siapa di dalam?”“Aluna,” jawabku cepat, setidaknya juga merasa lega. Akhirnya ada yang mendengar. Kalau tidak, aku mungkin akan terkunci di kamar mandi ini, entah sampai kapan?“Astaga, Lun! Pintunya terkunci dari luar. Tunggu sebentar, ya!” teriak suara itu, suara yang langsung kukenali pemiliknya adalah Adnan.Beberapa detik kemudian, terdengar suara kunci diputar. Namun, begitu pintu terbuka, Adnan yang berdiri di sana tiba-tiba terhuyung masuk.Tanpa sempat menghindar, tubuhnya menabrakku hingga kami berdua terjatuh k
“Bu ... Bu Mila?” Suaraku nyaris tak keluar. Bagaimana ini?Aku bahkan hampir tak percaya wanita itu benar-benar berdiri di hadapan kami sekarang.Bu Mila, guru BK yang dari awal sekolah di SMA Pelita Nusantara sudah menjadi langgananku menerima hukuman. Guru yang konon masih jomblo di usia 35 tahun itu menatap kami tajam. Tatapan yang selalu bisa membuat nyali siswa-siswi SMA Pelita Nusantara menciut.“Bu ....” Aku bangkit, hendak menghampirinya untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Hanya saja, wanita berhijab itu bahkan enggak untuk sekadar mendengarkan penjelasanku. “Apa? Mau membela diri?” Dia berkata sambil menyeringai sinis. “Jelas-jelas tadi kalian mengatakannya sendiri. Ibu di belakang kalian. Jadi, jangan pikir Ibu tidak mendengar apa yang kalian bicarakan!”Zavier ikut berdiri. Menghampiri Bu Mila. “Bu, kami bisa jelaskan.”“Diam!” bentak Bu Mila membuatku sedikit tersentak. “Kalian tidak perlu jelaskan
Pulang dari rumah Lila, kami mampir di sebuah kafe yang konon jadi favoritnya Zavier. Tempatnya memang lumayan tenang. Aku mengaduk-aduk es kopi susu di depanku sesekali melihat keluar jendela. Rasanya bisa bernapas lega karena berhasil menolong Lila meskipun sebelumnya orang tuaku sempat ragu untuk memberi uang. Bukan terlalu sayang pada uangnya, tetapi takut Lila akan memanfaatkanku di kemudian hari. Namun, pada akhirnya mereka luluh setelah aku mencoba menyakinkannya.“Gue salut sama lo.” Zavier membuka suara, membuatku spontan menoleh padanya yang berada di sebelahku.“Salut kenapa?”“Karena lo suka menolong. Enggak nyangka aja, kalau lo sampai punya pikiran buat bantu Lila keluar dari masalahnya. Jujur, Lila beruntung ketemu orang kayak lo saat dia sedang kesulitan. Bayangin, kalo dia ketemu sama gue, mungkin cuma bakal nyuruh dia sabar.”Aku tertawa kecil. Tidak sepenuhnya menyalahkan pikiran Zavier. Sebelumnya, aku juga
Dia didorong hingga tersungkur ke tanah. Ibunya menangis histeris, hendak menolong tetapi seorang pria bertubuh kekar dengan rokok terselip di bibirnya menahan dengan kasar.Aku tebak, dia ayahnya Lila.Helm kulepas begitu motor Zavier berhenti. Beberapa saat, semua orang melihat kedatangan kami penuh tanya. Namun, seolah tak peduli, mereka tetap melanjutkan kekacauan yang terjadi itu.Wanita yang tak lain ibunya Lila terlihat lelah berusaha melepaskan diri dari cengkeraman suaminya. “Bagaimana bisa kau mengorbankan anak kita sendiri demi utang-utangmu? Dia masih sekolah! Dia masih anak-anak! Dia tidak boleh menikah dengan siapa pun!”Perlindungan itu justru mendapat balasan berupa makian dari suaminya. “Diam! Dia hanya anak perempuan! Tidak penting sekolah tinggi-tinggi, ngabisin uang saja. Daripada aku dipenjara, biarkan dia mengerahkan dirinya untuk berbakti padaku sebagai ayahnya! Itu lebih bermanfaat daripada dia sekolah!”Kata-kata
Aku menelan ludah. Memijat tengkuk sambil tertawa cengengesan sebelum akhirnya memberanikan diri berkata, “Kak, gue butuh bantuan. Uang, tepatnya.” Pria 28 tahun itu langsung menoleh padaku dengan alis terangkat, tatapannya jangan ditanya. Dia seperti hendak menelanku hidup-hidup. Tajam, bahkan bisa dibilang lebih tajam dari omongan tetangga. Ih, hus! “Uang? Buat apa? Bunda enggak ngasih lo jajan?” Kak Aidan bertanya seperti itu karena pasti dia tahu kalau Bunda selalu rutin memberiku jajan setiap bulan, tidak pernah telat. Jadi, agak aneh jika tiba-tiba meminta uang padanya. “Ada, kok. Ta—tapi, gue ada keperluan mendesak, Kak. Uang jajan gue enggak cukup buat itu.” Tatapan Kak Aidan makin curiga, terlebih melihatku yang tersenyum terpaksa dan refleks menggaruk pelipis yang sebenarnya tak gatal. “Keperluan apa?” “Ada, Kak. Penting banget pokoknya.” Semoga Kak Aidan tak terlalu banyak tanya setelah ini. So, aku ragu jika mengatakan yang sebenarnya, Kak Aidan tak akan membe
“Gue rasa, dia dan gengnya dibiarin makin ngelunjak. Kayaknya emang perlu dikasi pelajaran!” tegas Zavier sambil mengepalkan tangan. Raut wajahnya, tampak sangat emosi.Aku menghela napas pelan, tanpa berpikir panjang, menyentuh tangan Zavier yang masih mengepal di atas meja. Maksudku untuk menenangkannya, dia sedang salah paham. “Hei, lo enggak usah marah-marah begitu juga. Gue ngajak ngobrol buat minta bantuan, bukan ngajakin tawuran,” ujarku tersenyum geli, “lagipula, Lila enggak gangguin gue.”Zavier menoleh padaku. Ekspresinya terlihat tenang, meskipun keningnya masih mengerut, seakan-akan menuntut penjelasan.“Lalu, ada apa?”Aku menarik napas panjang, sebelum akhirnya berkata jujur. “Lila sedang dalam masalah. Jadi ....”Mulai kuceritakan masalah Lila secara detail, tajam, terpercaya, tanpa digoreng sampai kriuk-kriuk. Semua ceritaku sesuai dengan fakta yang ada. Tentunya, yang kudengar dari Lila tadi malam.Tata