Aku mendengus, menepis tangan Zavier dengan kasar. “Punya mata, kan? Liat sendiri keadaan gue!”
Bukannya iba, Zavier malah tertawa terkesan mengejekku. “Nggak nyangka aja gadis tengil, resek, kayak lo bisa sakit juga.”“Gue manusia, bukan robot!” ketusku.“Gue pikir energi lo itu nggak abis-abis. Ngeselin, sih, makanya kena karma.”“Banyak omong lo! Cepat katakan, ada perlu apa ke rumah gue?” tanyaku disambut Zavier dengan senyum tipis sebelum akhirnya beralih duduk di sofa. Lagi-lagi, sebelum aku memintanya, membuatku makin jengkel. Datang-datang belagak tuan rumah saja dia.“Sekolah sepi gak ada lo yang bikin rusuh.”Sontak, aku menganga mendengar perkataan pria yang masih berseragam sekolah itu. Serius, dia jauh-jauh datang ke sini cuma mau bilang itu?“Oh, jadi maksudnya lo ke sini buat nyariin gue? Rindu lo sama gue? Atau jangan-jangan, lo jatuh cinta sama gue, gitu?” Aku memicing tajam ke arahnya. Mencari tahu baraAku duduk bersisian dengan Zavier di ruang tamu, menunduk dalam-dalam sambil meremas jari-jariku.Suasana tegang.Papa berdiri sambil berkacak pinggang, sesekali kulihat ia menatap kami seperti menimbang seribu kata yang tak kunjung keluar. Beliau menarik napas panjang, berkali-kali lalu memijat keningnya. Bulu kudukku sampai meremang memikirkan nasibku setelah ini.Ya, setelah melihatku berduaan dengan Zavier di kamar tadi, Bunda langsung menghubungi Papa dan memintanya pulang tanpa mau mendengarkan pembelaan diriku.“Anak muda ....” Suara Papa akhirnya terdengar. Nada tegasnya membuat aku menelan ludah. “Bisa kau hubungi orang tuamu? Minta mereka datang ke sini, sekarang juga.”Sebelum Zavier sempat mengeluarkan ponsel, aku buru-buru angkat bicara, panik, dan tak ingin suasana semakin runyam. Apalagi tadi Papa sempat menyinggung pernikahan. Tidak mungkin aku menikah di usia sekarang yang bahkan SMA saja belum lulus.“Papa … dengerin Luna dulu. Semua ini gak seperti yang Papa duga.
Setelah Zavier dan keluarganya pulang--sudah jadi keluargaku juga--aku diminta Bunda kembali ke kamar untuk istirahat karena tubuh ini masih lemas. Orang tuaku itu menyusul sesaat kemudian. Keduanya sempat kulihat sama-sama menghela napas begitu melihatku berbaring menatap langit-langit kamar, mencoba mencerna semua yang terjadi barusan. Bunda mengambil tempat di tepi ranjang, perlahan mengusap lembut kepalaku tanpa kata. “Papa melakukan ini bukan karena tega atau tidak sayang sama Aluna. Justru karena Papa sayang makanya selalu ingin yang terbaik untuk Aluna. Apa yang terjadi barusan itu semata-mata untuk kebaikan Aluna sendiri dan juga keluarga kita.” Papa memecah keheningan. Suaranya cukup menenangkan kali ini. Tak seperti tadi yang bahkan dari ekspresinya sudah membuat batinku bergidik ngeri. Aku mengangkat sedikit kepala, menatap sosok yang konon adalah cinta pertama anak perempuan itu. Benar, sama sekali tidak kutemukan sorot yang menandakan kalau Papa tidak sayang padak
“Gue udah bobol CCTV sekolah sesuai permintaan Tuan Putri, tetapi gue belum menemukan bukti pembunuhan Aluna. Kemungkinan pelaku melancarkan aksinya di luar sekolah.”Aku baru membaca pesan Tama ketika berada di garasi rumah, hendak berangkat ke sekolah karena tak ingin Bunda curiga kalau aku memiliki misi rahasia yang tidak boleh diketahui olehnya.Kulirik jam tangan, waktu masuk kelas masih lama. Jadi, aku membuka kembali video itu untuk memastikan sesuatu.Sengaja, aku memperbesar layarnya biar lebih jelas. Dari rekaman CCTV itu memperlihatkan Kak Alina--kakak kembarku sedang berjalan memeluk buku di lorong sekolah yang sepi. Tiba-tiba 3 cowok dan 4 cewek, berseragam SMA Pelita Nusantara muncul dari ujung lorong. Kak Alina tampak berusaha menghindari, tetapi salah satu dari cewek itu menarik tasnya membuat Kak Alina terdorong ke belakang.Video itu berlanjut, memperlihatkan Kak Alina dikelilingi oleh 7 orang. Tak lama, dia didorong k
Perlahan, aku membuka mata. Langit-langit ruangan yang tampak asing menyambut pandanganku, refleks kupegang kepala saat masih merasakan nyeri. Entah aku di mana? Intinya aku tidak sedang berada di kelas. Aku mengedarkan pandangan hingga melihat lemari kaca yang tampak di dalamnya terdapat perlengkapan P3K. Artinya, aku sedang berada di UKS. Siapa yang membawaku ke sini? Terakhir tadi, aku mendengar suara Zavier. Jangan-jangan .... Segera kutepis praduga itu dan melihat kalau di sebelahku Maya dan Larissa berdiri dan sontak melempar senyum ke arahku dengan raut berbinarnya. “Akhirnya lo sadar, Lun.” Maya berseru antusias. Aku tak menjawab, tetapi berusaha duduk, menahan nyeri yang masih sedikit terasa di kepala. Sepertinya, tadi bola itu terlalu kencang menghadang. “Memangnya gue kenapa?” “Lo pingsan kena bola tadi,” jawab Larissa membuatku melongo. Seakan-akan tak percaya dengan kenyataan itu. Bisa-bisanya aku yang dulunya pernah hantam cowok sampai masuk ruang BK
Aku terkejut sesaat setelah menutup gerbang karena tiba-tiba terdengar bunyi klakson motor yang sontak membuatku berbalik melihat pada sebuah motor sport yang berhenti di luar gerbang. Alisku terangkat begitu melihatnya membuka helm. Ternyata Zavier. Ah, pria resek itu, mau apa dia ke sini? Tidak capek apa hidupnya membuatku kena sial mulu bertemu dia? Terakhir, kemarin sialnya paling parah karena sampai nikah. Entah kesialan apa lagi setelah ini? Kembali kubuka gerbang dan menghampirinya dengan tatapan kesal. “Ada apa lo ke rumah gue? Ingat, ya, kalau nggak ada hal yang terlalu mendesak, jadwal kita ketemu itu hanya akhir pekan.” Zavier menyangga wajah dengan kedua tangan sambil senyum-senyum menatapku. Agaknya sengaja mengimut-imutkan wajahnya. Bukannya imut, malah menjijikan. “Gue ke sini karena ada yang penting tau,” katanya pada akhirnya. “Apa?” Dia tersenyum tipis, belagak tak punya beban saja. “Gue mau ngundang lo nonton gue tanding futsal hari Sabtu nanti.” A
“Zavier! Semangat, Zavier!” teriak beberapa cewek yang berada tak jauh dariku itu ketika Zavier kembali bangkit.Keningku mengernyit melihat antusiasnya mendukung Zavier. Dilihat-lihat, sepertinya sebagian besar dari cewek-cewek di sini, datang bukan untuk mengamati permainan futsal, tetapi hanya untuk melihat aksi Zavier. Zavier, tok!Teriakan menggelegar dari para penonton ketika skor berubah menjadi satu kosong untuk tim sekolah kami. Anak-anak di tribun sampai berdiri, berteriak, dan memanggil namanya. Semua girang menyebut nama Zavier yang mencetak gol.Aku? Diam. Tidak ikut heboh seperti mereka meskipun jujur, aksi gol dari Zavier barusan itu cukup keren. Akan tetapi, aku sama sekali tidak terpesona dengannya. Begitu peluit berbunyi tanda istirahat, kedua tim berjalan keluar lapangan untuk mengambil napas dan minum. Aku menarik pandanganku darinya sebentar, tetapi begitu mata kembali fokus, terlihat cewek yang kemarin me
Jantungku yang tadinya mulai tenang, kembali berdetak tak karuan seakan-akan ingin bertukar peran dengan paru-paru. Dari dalam mobil, aku tak hentinya merutuki diri sendiri. “Dasar ceroboh!” Aku makin kepalang bingung harus berbuat apa kala melihat Maya sepertinya menyadari dering ponselku. Terbukti, saat ia menatap curiga pada mobil Zavier dan perlahan melangkah mendekat. “Aduh, Maya mendekat lagi. Gimana ini? Akan jadi masalah kalau dia sampai tau gue di mobilnya Zavier.” Aku menggigit bibir sambil terus memikirkan solusi untuk melindungi diriku sendiri. Untungnya, kaca mobil Zavier tidak tembus pandang dari luar. Jadi, aku tidak langsung terlihat dari jarak jauh. Walaupun begitu, tetap saja akan terlihat ketika ada orang yang mengintip dari luar. Begitu Maya makin dekat dan mulai menempelkan wajah di kaca mobil, mengintip keadaan di dalam, aku refleks membungkuk secepat mungkin, bahkan turun ke kolong depan kursi yang gelap agar ia tak melihatku. Aku menutup mulut, beru
“Zavier, antar Aluna ke kamar kamu,” titah Ibu mertua menoleh pada Zavier lalu ganti menatapku sambil tersenyum hangat. “Kamu istirahat dulu, ya, Sayang. Besok baru kita ngobrol-ngobrol. Soalnya sudah malam.” Aku mengangguk pelan. Namun, seketika terkejut kala mengingat sesuatu. Bukankah Ibu mertua meminta Zavier mengantarku ke kamarnya? Jadi, apa maksudnya, malam ini aku tidur di sana? Berdua dengan pria itu? Astaga! Tidak, tidak! Tidak mungkin aku berbagi kasur dengannya. Bagaimana kalau dia macam-macam padaku? Aku tahu tabiatnya Zavier yang resek. Bukankah, dia juga tidak suka miliknya disentuh orang lain? Aku tak bisa membayangkan kalau tidur di kasurnya, terus dia kesal, besok aku tinggal nama. Hanya saja, mau menolak, tetapi tak ada daya. Apalagi masih baru di rumah mertua, bahkan untuk sekadar bernapas saja sungkan. “Ayo, gue temani,” ajak Zavier. “Loh, kok, ngomongnya lo gue, sih? Aku kamu, dong. Biar kedengarannya sopan,” protes Ibu mertua. “Hehe, belum
Aku terus mencari sepatuku dengan panik. Sisa waktu makin menipis dan aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana? Sepatu yang hilang itu bukan cuma masalah penampilan, tetapi juga bagian dari kostum yang harus sesuai tema.Curiga ada yang sengaja menyembunyikan sepatuku. Aku menyeru frustrasi. “Siapa yang ngumpetin sepatu gue?!”Tak ada yang menjawab, meskipun semua tampak menoleh padaku.Kecuali, satu orang. Zavier, dia langsung menghampiriku. Wajahnya yang biasanya terlihat santai, berubah serius.“Kenapa teriak-teriak?” tanyanya.“Sepatu gue hilang.”“Taro di mana tadi?”“Di sini.” Aku menunjuk tempatku menyimpan sepatu. “Harusnya ada di sini, tapi enggak ada.”Zavier menyentuh bahuku pelan sambil berkata, “Kamu tenang dulu, ya.” Dia berdiri tegap,menatap tajam yang lainnya satu per satu.“Siapa yang nyembunyiin sepatunya Aluna?” Suaranya rendah, tetapi penuh tekanan. “Jawab!” Kal
Aku melepas tangan Mira dengan kasar begitu Bu Erna---guru Seni makin mendekat. Dia mengusap-usap lengannya, sudah pasti kesakitan karena tadi aku mencengkeramnya sangat kuat. “Ada apa ini?” Suara tegas Bu Erna memecah ketegangan. Kami semua menoleh, sekilas dapat kulihat Mira masih mengusap lengan. Bu Erna menatapku seakan-akan menaruh curiga. “Aluna, bajumu kenapa?” Aku menunduk melihat bajuku yang basah dan terlihat ada noda bekas tumpahan minuman ulah si Mira. Kualihkan pandangan ke arah Mira dan teman-temannya yang mulai terlihat gelisah. Mungkin takut kalau aku mengadu. “Enggak apa-apa, Bu. Tadi, ketumpahan minuman aja,” kataku berbohong. Hanya tidak ingin memperpanjang masalah. Bukan takut pada Mira, tetapi biar dia senang sedikit karena aku tak mengadukan perbuatannya. Setelah ini, baru akan kubalas pelan-pelan. “Oh, ya sudah. Kalau begitu, bubar. Jangan bikin keributan di sini.” Saat semua orang mulai berpencar, Mira mendekatkan wajah padaku, berbisik agar
Aku masih memandangi kertas ulangan Zavier di tanganku. Bukan karena takjub, tetapi tak bisa berkata-kata. Mataku terpaku pada angka besar yang tertulis di sana. Persis seperti nilaiku. 100. Namun, untuk nilainya Zavier, angka nolnya ditendang satu. Astaga. Rupanya tadi, dia memandangi lembar soal cuma memandangi saja, bukan serius mengerjakan. Lebih tepatnya, dia pura-pura serius. Lihatlah, nilainya bahkan sukar dipercaya untuk ukuran seorang siswa yang konon populer di kalangan para gadis di sekolah ini. Aku mengalihkan pandangan ke arahnya, sedikitnya menuntut penjelasannya yang masih terlihat santai seperti biasa, seolah-olah nilai itu adalah hal yang paling biasa baginya. “Zav-Zav.” Aku memanggilnya pelan. Dia menoleh dengan alis terangkat. Saat matanya menangkap kertas ulangannya di tanganku, dia langsung merebutnya dengan sedikit kasar. “Eh, kembalikan!” Aku memelototinya. “Seriusan, nilai lo segitu? Lo enggak belajar tadi malam?” “Belajar, tapi pas liat soal m
Setelah semua orang pulang untuk beristirahat, kini tinggal aku dan Zavier yang menjaga Oma, sesuai permintaannya tadi yang ingin ditemani kami berdua. Aku pun pasrah saja meskipun harus menginap di rumah sakit malam ini, bersama Zavier, karena memang tidak memiliki pilihan lain. “Jadi ....” Zavier yang bersandar di sofa sambil melipat tangan di dadanya memecah keheningan ketika Oma sudah tidur. Dia menatapku yang duduk di sebelahnya dengan senyum setengah mengejek agaknya. “Kenapa lo tiba-tiba telepon Ibu tadi? Khawatir sama gue, ya?” Memicing, tampak penasaran. Aku memutar bola mata, mencoba menyembunyikan rasa panas di wajahku. “Heh, enggak usah kepedean. Gue tadi nyari lo cuma buat bilang kalau pekan depan kita ada ulangan Fisika.” Zavier terkekeh pelan, mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat padaku. “Oh, ya? Lo bela-belain nelpon Ibu cuma buat ngasih tau gue soal ulangan? Perhatian amat istriku, ya ampun.” Dia malah mengusap-usap kepalaku. Aku mendesis dan langsun
Aku mendorong pintu di sebuah ruang rawat VIP dengan perlahan, mencoba mengatur napas yang tiba-tiba terasa berat. Begitu pintu terbuka dan menimbulkan bunyi, semua kepala yang ada di dalam langsung menoleh ke arahku.Di samping ranjang, Tante Sofia sedang duduk dengan seorang wanita cantik berdiri anggun di sisinya. Aku menebak kalau dia pasti kakaknya Zavier---kakak iparku.Dan tentu saja, Papa mertua yang duduk di sofa dekat jendela, satu kakinya berada di atas kaki lainnya.Sementara itu, di sisi lain hospital bad, Zavier juga duduk seraya mengelus tangan Oma yang terbaring lemah. Ya, setelah mendapat informasi dari Ibu mertuaku kalau Oma dirawat karena pingsan akibat terjatuh dan hingga kini belum sadar, aku langsung menuju ke rumah sakit.Melihatku berdiri gamang di ambang pintu, Zavier langsung berdiri dan melangkah mendekat. Ekspresinya tampak bingung sekaligus heran. Mungkin dalam hatinya bertanya-tanya, kena
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling begitu jam istirahat kedua sudah tiba. Mencari-cari sosok Zavier yang menghilang bagai ditelan bumi. Tadinya, dia bilang padaku mau ke kantin. Ia lapar gara-gara tak sarapan sebelum ke sekolah. Namun, hingga mata pelajaran di jam kedua usai, dia tak kunjung kembali ke kelas. Mustahil, kalau lupa jalan pulang ke kelas, kan? Entah dapat dorongan dari mana sehingga aku melangkah menuju kantin untuk mencarinya. Namun, tak kutemukan sosoknya. Di perpustakaan, tidak ada juga. Di lapangan, sama saja. Ke mana rupanya cowok resek itu? Apa jangan-jangan, dia ... bolos? Ah, tidak salah lagi, dia pasti bolos. Apalagi, jam kedua tadi Fisika. Aku ingat, dia tidak begitu suka dengan pelajaran yang berbau perhitungan, apalagi materi kami sudah masuk rumus-rumusnya. Akan tetapi, masa iya dia bolos? Sudah beberapa pertemuan semenjak aku memergokinya manjat pagar, dia sudah tak pernah bolos lagi. Semenjak saat itu, dia jadi rajin ikut mata pela
Pagi ini, udara di sekolah terasa agak lebih cerah dari biasanya. Aku baru saja sampai di parkiran dan menyimpan helm ketika Zavier tiba-tiba menghampiriku. Dia tersenyum lebar menyambutku, tetapi hanya kubalas dengan senyum seadanya. Tadinya mau mengomel padanya, tetapi ingat kalau kemarin kami baru saja berpacaran ceritanya. Jadi, kudu lembut sedikit, biar terkesan manis. Huek .... “Selamat pagi, Pacar,” ucap Zavier dengan nada manis justru membuatku merinding geli. Aku mendesis kecil sambil berjalan mendahului Zavier. “Geli tau lo ngomong gitu.” Zavier tertawa kecil, terus mengikuti langkahku. Kami berjalan beriringan menuju kelas. Jujur saja, aku merasa sedikit canggung. Namun, berbeda dengan Zavier, dia justru terlihat sangat santai bak tak ada beban. Entahlah, mungkin pembawaan dia memang seperti itu. Santai, meskipun dalam situasi yang rumit. Kami terus melangkah, Zavier sesekali menarik tasku, membuatku yang berada di depannya terpaksa mundur sedikit karena dia ba
Zavier kini tidak menjawab, hanya memutar bola matanya kesal. Akan tetapi, kemudian dia berkata dengan suara yang terdengar lebih tenang. “Mulai sekarang, lo jangan terlalu dekat sama Adnan.” Aku mengernyit. Tentu saja tak mengerti maksud Zavier. Kenapa dia melarangku untuk dekat-dekat Adnan? Bukankah temannya itu sangat baik mau melindungiku? “Kok gitu?” tanyaku. Dia menatap lurus ke jalan, ekspresinya tak dapat kubaca. “Enggak usah banyak tanya, intinya lo enggak boleh dekat-dekat Adnan.” Aku melongo, bingung sedikit kesal. Apakah sebenarnya dia jealous pada Adnan? Sungguh, tak terkira kalau sampai itu terjadi. “Lo cemburu?” tanyaku memicing, ingin memastikan saja. Tak ada jawaban dari Zavier, tetapi aku sempat melihat sudut bibirnya terangkat samar. Apa-apaan cowok ini? Satu detik dia bikin aku kesal, detik berikutnya malah bikin aku mikir setengah mati. “Zav-Zav, gue tanya tau.” Dia menoleh, menatapku sebentar, kemudian kembali fokus menyetir. “Iya, gue cembur
Aku meringis kecil saat Adnan membantuku duduk di pinggir jalan. Lututku perih dan telapak tangan ini juga terasa panas akibat terbentur dengan aspal tadi. Adnan menatapku khawatir. Dan, entah mengapa seketika aku merasa canggung berada dalam situasi ini. “Benar-benar, ya, si Mira udah kelewatan sampai bikin lo kayak gini,” cecarnya, “lo bisa tunggu gue? Di dekat sini ada apotik. Gue perlu beli obat untuk luka lo ini.” Aku menggeleng cepat. Tentu saja, tak ingin merepotkan Adnan. Lagipula, menurutku ini hanya luka kecil meskipun memang sedikit perih. Akan tetapi, besok juga paling sudah kering. “Terima kasih, Adnan, tapi kurasa enggak perlu. Ini hanya luka kecil. Gue enggak apa-apa, kok.” “Luka kecil gimana? Benturan lo tadi keras dan ini lukanya perlu diobati, Lun.” Belum sempat kembali menolak, sebuah mobil yang cukup kukenali pun tiba-tiba berhenti. Zavier datang. Begitu keluar dari mobil, dia berlari menghampiri kami. Namun, kini wajahnya terlihat tegang, bahkan dia