“Gue udah bobol CCTV sekolah sesuai permintaan Tuan Putri, tetapi gue belum menemukan bukti pembunuhan Aluna. Kemungkinan pelaku melancarkan aksinya di luar sekolah.”
Aku baru membaca pesan Tama ketika berada di garasi rumah, hendak berangkat ke sekolah karena tak ingin Bunda curiga kalau aku memiliki misi rahasia yang tidak boleh diketahui olehnya.Kulirik jam tangan, waktu masuk kelas masih lama. Jadi, aku membuka kembali video itu untuk memastikan sesuatu.Sengaja, aku memperbesar layarnya biar lebih jelas. Dari rekaman CCTV itu memperlihatkan Kak Alina--kakak kembarku sedang berjalan memeluk buku di lorong sekolah yang sepi.Tiba-tiba 3 cowok dan 4 cewek, berseragam SMA Pelita Nusantara muncul dari ujung lorong. Kak Alina tampak berusaha menghindari, tetapi salah satu dari cewek itu menarik tasnya membuat Kak Alina terdorong ke belakang.Video itu berlanjut, memperlihatkan Kak Alina dikelilingi oleh 7 orang. Tak lama, dia didorong kPerlahan, aku membuka mata. Langit-langit ruangan yang tampak asing menyambut pandanganku, refleks kupegang kepala saat masih merasakan nyeri. Entah aku di mana? Intinya aku tidak sedang berada di kelas. Aku mengedarkan pandangan hingga melihat lemari kaca yang tampak di dalamnya terdapat perlengkapan P3K. Artinya, aku sedang berada di UKS. Siapa yang membawaku ke sini? Terakhir tadi, aku mendengar suara Zavier. Jangan-jangan .... Segera kutepis praduga itu dan melihat kalau di sebelahku Maya dan Larissa berdiri dan sontak melempar senyum ke arahku dengan raut berbinarnya. “Akhirnya lo sadar, Lun.” Maya berseru antusias. Aku tak menjawab, tetapi berusaha duduk, menahan nyeri yang masih sedikit terasa di kepala. Sepertinya, tadi bola itu terlalu kencang menghadang. “Memangnya gue kenapa?” “Lo pingsan kena bola tadi,” jawab Larissa membuatku melongo. Seakan-akan tak percaya dengan kenyataan itu. Bisa-bisanya aku yang dulunya pernah hantam cowok sampai masuk ruang BK
Aku terkejut sesaat setelah menutup gerbang karena tiba-tiba terdengar bunyi klakson motor yang sontak membuatku berbalik melihat pada sebuah motor sport yang berhenti di luar gerbang. Alisku terangkat begitu melihatnya membuka helm. Ternyata Zavier. Ah, pria resek itu, mau apa dia ke sini? Tidak capek apa hidupnya membuatku kena sial mulu bertemu dia? Terakhir, kemarin sialnya paling parah karena sampai nikah. Entah kesialan apa lagi setelah ini? Kembali kubuka gerbang dan menghampirinya dengan tatapan kesal. “Ada apa lo ke rumah gue? Ingat, ya, kalau nggak ada hal yang terlalu mendesak, jadwal kita ketemu itu hanya akhir pekan.” Zavier menyangga wajah dengan kedua tangan sambil senyum-senyum menatapku. Agaknya sengaja mengimut-imutkan wajahnya. Bukannya imut, malah menjijikan. “Gue ke sini karena ada yang penting tau,” katanya pada akhirnya. “Apa?” Dia tersenyum tipis, belagak tak punya beban saja. “Gue mau ngundang lo nonton gue tanding futsal hari Sabtu nanti.” A
“Zavier! Semangat, Zavier!” teriak beberapa cewek yang berada tak jauh dariku itu ketika Zavier kembali bangkit.Keningku mengernyit melihat antusiasnya mendukung Zavier. Dilihat-lihat, sepertinya sebagian besar dari cewek-cewek di sini, datang bukan untuk mengamati permainan futsal, tetapi hanya untuk melihat aksi Zavier. Zavier, tok!Teriakan menggelegar dari para penonton ketika skor berubah menjadi satu kosong untuk tim sekolah kami. Anak-anak di tribun sampai berdiri, berteriak, dan memanggil namanya. Semua girang menyebut nama Zavier yang mencetak gol.Aku? Diam. Tidak ikut heboh seperti mereka meskipun jujur, aksi gol dari Zavier barusan itu cukup keren. Akan tetapi, aku sama sekali tidak terpesona dengannya. Begitu peluit berbunyi tanda istirahat, kedua tim berjalan keluar lapangan untuk mengambil napas dan minum. Aku menarik pandanganku darinya sebentar, tetapi begitu mata kembali fokus, terlihat cewek yang kemarin me
Jantungku yang tadinya mulai tenang, kembali berdetak tak karuan seakan-akan ingin bertukar peran dengan paru-paru. Dari dalam mobil, aku tak hentinya merutuki diri sendiri. “Dasar ceroboh!” Aku makin kepalang bingung harus berbuat apa kala melihat Maya sepertinya menyadari dering ponselku. Terbukti, saat ia menatap curiga pada mobil Zavier dan perlahan melangkah mendekat. “Aduh, Maya mendekat lagi. Gimana ini? Akan jadi masalah kalau dia sampai tau gue di mobilnya Zavier.” Aku menggigit bibir sambil terus memikirkan solusi untuk melindungi diriku sendiri. Untungnya, kaca mobil Zavier tidak tembus pandang dari luar. Jadi, aku tidak langsung terlihat dari jarak jauh. Walaupun begitu, tetap saja akan terlihat ketika ada orang yang mengintip dari luar. Begitu Maya makin dekat dan mulai menempelkan wajah di kaca mobil, mengintip keadaan di dalam, aku refleks membungkuk secepat mungkin, bahkan turun ke kolong depan kursi yang gelap agar ia tak melihatku. Aku menutup mulut, beru
“Zavier, antar Aluna ke kamar kamu,” titah Ibu mertua menoleh pada Zavier lalu ganti menatapku sambil tersenyum hangat. “Kamu istirahat dulu, ya, Sayang. Besok baru kita ngobrol-ngobrol. Soalnya sudah malam.” Aku mengangguk pelan. Namun, seketika terkejut kala mengingat sesuatu. Bukankah Ibu mertua meminta Zavier mengantarku ke kamarnya? Jadi, apa maksudnya, malam ini aku tidur di sana? Berdua dengan pria itu? Astaga! Tidak, tidak! Tidak mungkin aku berbagi kasur dengannya. Bagaimana kalau dia macam-macam padaku? Aku tahu tabiatnya Zavier yang resek. Bukankah, dia juga tidak suka miliknya disentuh orang lain? Aku tak bisa membayangkan kalau tidur di kasurnya, terus dia kesal, besok aku tinggal nama. Hanya saja, mau menolak, tetapi tak ada daya. Apalagi masih baru di rumah mertua, bahkan untuk sekadar bernapas saja sungkan. “Ayo, gue temani,” ajak Zavier. “Loh, kok, ngomongnya lo gue, sih? Aku kamu, dong. Biar kedengarannya sopan,” protes Ibu mertua. “Hehe, belum
Aku menoleh pada Zavier di sebelahku dengan tatapan meminta tolong, tetapi rupanya dia juga dilanda bingung dengan pertanyaan Oma yang begitu tiba-tiba. Untungnya, di tengah ketegangan pagi ini, Papa mertuaku membuka suara. “Bu, sarapan dulu. Nanti baru bicara lagi dengan Aluna.” “Loh, Ibu hanya bertanya pada Aluna. Memangnya tidak boleh?” tanya wanita tua itu sedikit ketus. Sepertinya, tadi malam aku salah menduga kalau Ibu mertua pemegang tahta tertinggi di rumah ini, melainkan Oma. Buktinya, Ibu tinggal diam saja sekarang. “Boleh, kok, Oma,” kataku tersenyum semanis mungkin, ngalah-ngalahin manisnya janji mantan saat awal berjumpa. Eya! “Tuh, Aluna aja boleh. Masa kamu nggak boleh?” Papa Kusuma hanya menghela napas pasrah. “Sebenarnya ....” Aku meremas ujung bajuku di bawah sana, sambil memikirkan jawaban yang paling tepat untuk men
Kami masih bersembunyi di balik patung display di toko baju yang tak jauh dari toko buku ini, berdiri berhimpitan di antara deretan etalase dan pajangan yang cukup sempit. Untungnya, karena pengunjung toko tak terlalu ramai, jadi kami bisa bebas bersembunyi. Bodoh amat dengan CCTV yang mungkin akan menangkap kegiatan kami yang kayak sedang main petak umpet dari kenyataan. Sekarang, yang paling penting adalah Mira and the gang tidak melihatku dan Zavier sedang bersama. Begitu napasku mulai terasa sesak dalam persembunyian ini, aku hendak menoleh pada Zavier yang berdiri tepat di belakangku. Hanya saja, ketika menolah, entah ada angin dari mana yang membuat pelipisku bertabrakan dengan bibirnya. Aku syok! Hampir saja berteriak memakinya, seandainya dia tak sigap menutup mulutku dengan telapak tangannya lalu menggeleng mengisyaratkan agar aku tak boleh berbicara. “Astaga, hampir l
Aku berbaring di atas kasur dengan posisi telentang sesaat setelah pulang dari toko buku diantar Zavier.Sesekali memejamkan mata, masih tak percaya kalau sekarang aku sudah memiliki suami di usia yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Takdir semesta benar-benar tak bisa ditebak.Beberapa saat kemudian, aku berganti posisi menjadi tengkurap. Mulai menyalakan laptop dan membuka pesan dari Tama di sana. Dengan tangan sedikit bergetar, aku membuka pesan itu dan mendapati dua video yang baru saja diunduh. Napasku terasa berat saat mulai memutar video tersebut. Gambar demi gambar memenuhi layar, memperlihatkan Mira dan teman-temannya menganiaya Kak Alina di belakang sekolah. Mereka mendorong, bahkan sampai menampar Kak Alina seolah-olah kakakku tak lebih dari boneka yang bisa mereka permainkan. Aku bisa melihat ketakutan di gerak-geriknya—ketakutan yang kini membuat dadaku terasa sesak.Rasa marah menumpu
Tiba di rumah, Bunda yang duduk di sofa sambil menangis ditenangkan oleh Ibu mertua beranjak begitu melihatku dan Zavier memasuki rumah. Berlari, memelukku membuatku nyaris ambruk karena terdorong ke belakang. Aku bisa rasakan, pelukannya adalah pelukan takut kehilangan. “Kamu selamat, Nak. Bunda syok banget lihat berita pesawatmu kecelakaan,” ucap Bunda di tengah isakannya. “Aku terlambat kena macet ada kecelakaan waktu ke bandara. Jadi, tidak bisa ikut penerbangan itu, Bunda,” jelasku. Bunda melepas pelukannya. Dengan mata yang masih berkaca-kaca, menangkup wajahku. “Ke depannya, kalau orang tua melarang pergi, kamu harus dengerin, ya. Biar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Untung baik, Tuhan masih berpihak padamu sehingga terhindar dari marabahaya.” “Iya, Bunda. Maafkan Aluna.” “Bunda itu sangat takut kehilangan kamu, Nak. Bunda sudah pernah merasakan kehilangan anak, dan sekarang
Aku sempat tertegun dengan perbuatan Zavier. Namun, detik kemudian, aku sontak mendorong wajahnya dengan telapak tangan.“Ih, jangan genit di sini. Banyak orang,” bisikku cepat.Akan tetapi, bukannya menjauh, dia malah tetap melingkarkan kedua tangan di pinggangku, seolah dunia milik berdua, yang lain cuma ngontrak.“Ayolah, satu icip aja, Sayang,” bisiknya memohon dengan gaya manjanya yang nyebelin itu. “Kan, gue suami lo. Dosa tau nolak suami.”Aku mendecak pelan. “Enggak bisa, Zav-Zav. Ini tempat umum. Lo mau kita dihakimi massa karena dikira pasangan mesum?”Zavier cemberut, tapi tidak melepas pelukannya. “Hm, baiklah! Ke depannya, jangan main pergi lagi, ya,” katanya, kali ini menatapku serius. “Gue enggak suka lo main pergi gitu aja, mana enggak bilang-bilang dulu. Bikin panik. Itu namanya istri enggak sopan sama suami.”Aku menunduk, menyembunyikan senyum melihat raut wajahnya yang tampak sedikit kesal. Meski begitu, aku j
POV ALUNA Sebab kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan kemacetan panjang membuat perjalananku menuju bandara subuh tadi terhambat. Sempat kuminta supir agar putar balik dan mencari jalan pintas agar cepat tiba di tujuan, tetapi tidak bisa karena di belakang dan damping kami sudah penuh dengan mobil lain. Dan, kemacetan itu berlangsung cukup lama. Akhirnya, tiba di bandara, aku tergesa-gesa menuju counter check-in. Saking buru-burunya, aku sampai menabrak orang. Untungnya, orang itu tak mempersalahkan setelah aku meminta maaf. Entah, ini yang namanya sial atau bukan, tetapi bagiku tidak ada keberuntungan hari ini. “Maaf, Bu. Penerbangan Anda sudah boarding. Kami tidak bisa mengizinkan penumpang masuk setelah boarding gate ditutup.” Begitu kata petugas maskapai tadi, menambah daftar ketidakberuntunganku hari ini. Aku mengernyit. Masih mencoba bernegosiasi. “Tolong, Pak. Saya benar-benar harus n
Aku tidak peduli dengan apa pun lagi sekarang. Tidak dengan nyeri di perutku bekas hantaman kemarin. Pun tidak dengan teriakan supir yang meminta agar aku bisa tenang dulu, yang kupikirkan hanya satu hal—Aluna.Setelah mendapat kabar buruk itu, aku langsung memutuskan ke bandara untuk mencari informasi terbaru, berharap kabar itu tidak benar dan Aluna masih baik-baik saja.Setibanya di bandara, aku l berlari melewati orang-orang yang berkerumun. Suara isak tangis memenuhi area, wajah-wajah putus asa bertebaran di mana-mana. Aku bukan satu-satunya yang kehilangan seseorang hari ini. Aku berlari menghampiri petugas dengan napas tersengal. “Korban kecelakaan pesawat … tujuan Indonesia–Australia .…” Aku nyaris tidak bisa menyelesaikan kalimatku. “Aluna … istriku salah satu penumpang pesawat itu! Apa … apa ada kabar tentang korban yang selamat?”Petugas itu menatapku dengan raut muram. “Saat ini, tim penyelamat masih dalam proses pencarian,
POV ZAVIERPulang dari rumah sakit, aku hanya duduk termenung di tepi ranjang, istirahat agar cepat pulih. Sesekali, menatap foto di ponselku dengan senyum miris. Foto Aluna. Gadis itu tersenyum lebar ke arah kamera.Tiba-tiba, perasaan bersalah mencekam di dadaku. Sembari mengusap wajahnya di dalam layar itu, aku berkata, “Maaf, harusnya gue jujur aja dari awal soal Alina. Tidak perlu menyembunyikan kalau gue mengenalnya. Harusnya, gue enggak perlu takut lo membenci gue dan keluarga gue jika tau apa yang sebenarnya terjadi?”Aku menghela napas berat. Tahu diri kalau salah. Sengaja berbohong bukan karena ingin menyembunyikan darinya, tapi karena aku takut. Takut dia semakin membenciku. Takut dia menjauhiku. Dan, takut kehilangan Aluna, karena sejak awal aku sudah menyukainya. Mungkin, ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama.Aku menggeser layar, berganti melihat foto Kak Zavran. Wajahnya memang sangat mirip denganku, wajar
Kini, aku berjalan perlahan, menuntun Zavier yang baru keluar dari ruang rawatnya. Dia memegang perut. Raut wajahnya sedikit tertekuk, mungkin menahan sakit yang masih terasa bekas pukulan di tubuhnya. Aku menggenggam tangan kirinya, mencoba membantu agar langkahnya tak terlalu berat. Meskipun dokter sudah mengizinkan pulang, tetapi aku tahu bahwa tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih.Tiba di lobby rumah sakit, terlihat sudah ada mobil yang sedang menunggu. Ada orang tua Zavier juga Oma di sana. Mereka tersenyum, tampak lega begitu melihat kami.“Aku hanya bisa mengantarmu sampai sini,” ujarku pelan, berusaha berbicara menggunakan bahasa yang sedikit lebih sopan, karena di depan orang tua. Takut mereka mengomel panjang lebar.Zavier tampak terkejut, langsung menoleh padaku dengan tatapan menuntut penjelasan. “Kenapa?” Dia bertanya dengan suara yang terdengar sedikit tertahan.Aku menghela napas, mencoba tetap tenang, meskipun hati ini s
“Mengapa kamu kekeh membela pembawa sial ini, Zavier?!” Kak Zeny masih tak terima Zavier membelaku. Tatapannya tajam, seakan ingin menelanku hidup-hidup.Aku tertunduk dengan mata yang mulai memanas. Lagi-lagi batin ini merasa sangat terluka mendengar perkataan Kak Zeny. Namun, aku tak bisa melawan, walau sebenarnya mampu. Tak ingin makin memperkeruh suasana.Seraya menggigit bibir, aku menahan air mata yang hendak menerobos keluar. Namun, semakin kutahan, semakin deras butiran-butiran itu jatuh tanpa bisa kucegah.“Heh! Tidak usah menangis! Palingan itu air mata palsu untuk cari perhatian atau pembelaan Zavier!” Kak Zeny mendengus sinis. “Dasar munafik!”Sebuah tamparan keras seperti menghantamku. Namun, bukan di pipi, melainkan di hatiku.Aku tertegun. Tak bisa berkata-kata. Hanya bisa menelan mentah-mentah perkataan Kak Zeny yang terus memojokkanku.“Pergi dari sini cewek sialan! Kamu tid—”“Kak, cukup!” seru Zavier.
Aku masih berdiri, mengerjap beberapa kali, memastikan kalau tidak salah dengar. Namun, tatapan Zavier padaku tidak berubah, tetap serius. Sesaat, tetap bergeming ketika Zavier menepuk kasur di sampingnya, seolah ingin memastikan aku mengerti maksudnya.“Kalau lo tidur di sofa yang ada besok tubuh lo sakit semua. Jadi, tidur di sini. Gue enggak bakal macem-macem,” katanya dengan nada santai. Namun, aku tetap melihat kilatan nakal di sana. “Yang benar aja? Nanti lo sempit kalau gue tidur di situ.”“Enggak. Ini luas, kok. Bisa nampung kita berdua.”Aku memutar bola mata. Berusaha mencari alasan agar tidak sampai tidur bersamanya. Ngadi-ngadi saja Zavier itu. “Gue tidur di sofa aja, deh, Zav. Biar lo lebih leluasa.”Dia mendengus, tampak kesal. Sebelum benar-benar berbalik, tangannya terulur menarikku mendekat. Kali ini, genggamannya lebih erat dari tadi. Jarak kami tinggal beberapa senti sekarang, bahkan aku bisa menciu
POV AlunaAku membuka pintu ruang rawat VIP di mana Zavier berada dengan sangat hati-hati setelah meminta izin pada dua pria yang berjaga di depan ruangan.Aku mendapat kabar dari Adnan kalau Zavier terus mencariku. Pesannya masuk begitu ponselku aktif, membuatku kepikiran. Tak bisa tenang jika belum melihat keadaannya secara langsung. Sebab itu, aku nekat datang ke rumah sakit untuk menemuinya. Meminta maaf padanya lagi dan lagi, walaupun mungkin ia sulit untuk membuka pintu maaf untukku. Aku sadar, kesalahanku cukup fatal. Wajar jika aku tak bisa mendapatkan maafnya. Namun, setidaknya aku bisa menemuinya sebelum benar-benar kembali ke Melbourne.Pandanganku menyapu sekeliling. Ruangan cukup sepi. Orang tua Zavier tak ada. Kak Zeny pun tak ada sesuai dengan perkataan Adnan saat mengirimkan pesan padaku tadi.Zavier hanya sendirian. Hanya dijaga dua orang penjaga. Itu pun di luar ruangannya.Napasku sedikit tercekat sa