“Kenapa harus satu kelompok sama si Zavier and the gang, sih?” Maya menggerutu sambil melipat tangannya di depan dada. Wajahnya terlihat sangat kesal sesekali menghentakkan kaki ke tanah ketika kami tengah berjalan menuju kantin. “Ya, mending kalau Adnan dan Raka, masih bisa diajak kerja sama, tapi Zavier? Dia itu sombong banget, sok berkuasa pula. Dari kelas 1 siapa pun yang jadi teman kelompoknya pasti pada ngeluh karena dia gak ada kontribusinya sama sekali. Sok penting banget jadi orang,” imbuhnya lantas mendaratkan bokong di kursi kantin dengan sedikit kasar. Larissa yang kini duduk di sebelahnya hanya bisa menghela napas dan mencoba menenangkan. “May, nggak boleh begitu tau. Kita harus menerima siapa pun teman kelompok kita seperti arahan Pak Jeff tadi. Nanti Ibu Ketua kita coba deh obrolin dengan Zavier supaya mau ngerjain tugas kita bareng-bareng. Nggak cuma numpang nama doang.” “Masih mending malau mau dengerin. Orang dari dulu dia nggak pernah mau dibilangin,” ketus
“Kalau gue yang nyingkirin lo gimana?” tanyaku balik menantangnya. Tawa yang tadinya meremehkanku seketika hening. Dapat kulihat mereka saling bertatapan satu sama lain seolah-olah tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. Barangkali, mereka merasa herman karena aku berani melawan ketidakadilan. Kutatap mereka satu persatu sambil tersenyum sinis. Giliranku tertawa mengejek begitu melihat raut wajah mereka mulai kesal. “Berani lo nyingkirin gue? Punya nyali dari mana lo?” Mira memandangku sengit bak ingin menelanku hidup-hidup. Cengkeramannya pada kerah bajuku makin kuat, tetapi aku sama sekali tak merasa terintimidasi dengan perbuatannya. Aku hanya tertawa pelan sambil membalas tatapannya yang tajam itu. Dalam beberapa saat kami saling berbalas tatapan sengit seakan-akan ingin saling menerkam. “Berani,” jawabku pada akhirnya. Tanpa sedikit pun merasa takut ataupun gentar. Raut wajah Mira makin terlihat murka. Dengan percaya dirinya berkata, “Berani lo bilang? Be
Tiba di rumah, aku melempar tas ke tempat tidur, lalu mengganti pakaian yang basah ini lebih dulu karena dinginnya masih terasa menyusup ke kulitku.Setelah itu, menghempaskan tubuh di tempat tidur. Pikiranku berkecamuk, memutar ulang perbuatan Mira dan teman-temannya yang membuat amarahku makin berkobar.Kurang ajar sekali mereka. Sepertinya, mereka belum tahu siapa Aluna sebenarnya?Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha meredakan sedikit amarah yang terasa membakar di dada. “Oke, agaknya mereka memang perlu diberi sedikit pelajaran,” gumamku sambil menggigit bibir, menatap kosong ke langit-langit kamar. Dalam pikiranku, nama pertama yang muncul adalah Lila yang tampaknya paling lemah di antara mereka. Apalagi, kami satu kelas. Jadi, mudah saja untuk kugoyahkan.Dia juga tadi yang berani-beraninya membawa nama guru untuk menipuku. Lihat saja nanti, apa yang akan kulakukan padanya?Ah, memikirkan cara halu
Di rumah Zavier, kami memulai diskusi untuk tugas kelompok yang diberikan Pak Jeff. Di mana setiap kelompok diminta untuk menanam tanaman dari benih biji-bijian yang nantinya bakal diamati setiap hari dan diukur tingginya dari mulai kecambah. Ya, begitulah risiko masik jurusan exact yang katanya ilmu pasti, kadang mengukur tumbuhan, mengukur setetes air, hingga mengukur kecepatan jatuhnya buah. Sayangnya, tidak bisa mengukur berapa lama yang dibutuhkan seseorang untuk bisa melupakan mantannya. Eya! “Jadi, sore ini, kita nyiapin tanahnya saja untuk bibit. Besok harus dibawa ke sekolah sekaligus bibitnya juga akan ditanam saat pelajaran Biologi.” Sambil memegang catatan, aku mulai menjelaskan rencana dengan serius. Hanya saja, ada seseorang yang terus mengalihkan perhatianku. Tepat di sofa lain, kulihat Zavier menatapku dengan pandangan yang tidak kutahu apa artinya? Bibirnya sesekali tersenyum tipis tiap kali aku berbicara. Rasanya seperti ada api yang membakar wajahku kerap k
Aku yang terkejut langsung menarik tanganku yang berada di bawah tangan Zavier. Sontak, pura-pura menggaruk tengkuk dan melihat sekeliling. Untungnya, teman-teman yang lain pada fokus dengan aktivitasnya masing-masing. Jadi, sepertinya insiden yang terjadi barusan tak dilihat oleh mereka. Anehnya, Zavier justru tak terlihat panik sama sekali. Malah tersenyum santai sambil menaik-turunkan alis seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Agaknya, dia memang sengaja memanfaatkan kesempitan yang penting ada kesempatan. Aku memilih bergabung dengan Maya dan Larissa. Zavier pun menyusul. Kami mulai memasukkan tanah ke dalam kantong bibit. “Lun, lo takut sama ulat, enggak?” Suara Zavier yang tak jauh dariku membuatku menoleh padanya sekilas. “Enggak,” jawabku singkat dan tentunya berbohong. Nyatanya, aku takut sama ulat. Geli. Hanya saja, tidak ingin menunjukkan kelemahanku padanya. “Kalau ini lo takut enggak?” Zavier mengangkat tangan berisi cacing hidup tepat di dekat wajahku. A
Keesokan harinya--di jam pelajaran Biologi, semua siswa di kelasku berkumpul di belakang sekolah untuk tawuran. Eh, bukan ... bukan, maksudku untuk menanam bibit yang sudah kami persiapkan sebelumnya. Semua siswa pada sibuk mencari tempat yang pas untuk menyimpan kantong bibitnya masing-masing.Aku dan kelompokku memilih tempat di dekat pagar. Adnan dan Raka sudah sibuk menata kantong bibit menjadi 3 bagian.Untungnya, karena mereka berdua tak banyak protes ketika diminta melakukan sesuatu. Tidak seperti Zavier yang terkadang protes dulu baru mengerjakannya, itu pun terpaksa setelah diancam namanya akan kucoret dari kelompok.“Sa, tanamnya jangan terlalu dalam, nanti tumbuhnya kelamaan,” seruku tatkala melihat Larissa menggali tanah pada kantong bibit dengan sangat dalam. Aktivitas Larissa sontak terhenti. Dengan raut polosnya ia menoleh padanya dan bertanya, “Loh, emang ngaruh?”“Ngaruh, dong,” sahut Maya, “sesuatu yang dilaku
Begitu jam istirahat tiba, aku, Maya dan Larissa langsung menuju warung yang di sebelah sekolah kami. Sebenarnya, bisa saja kami makan di kantin yang berada di dalam area sekolah. Hanya saja, kami butuh menu berbeda kali ini. Kami mengambil meja di sudut yang setidaknya sedikit menghindari dari keramaian dan tempatnya juga lumayan nyaman di sini. “Apa cuma gue yang ngerasa materi Biologi tadi lebih seru belajarnya langsung praktek daripada teori?” Larissa membuka pembicaraan sambil menaruh dagunya di atas tangan. “Biasanya, praktek emang lebih seru. Apalagi Biologi yang sedikit banyaknya berhubungan dengan alam. Asalkan jangan bagian bab reproduksi aja yang lo minta praktek,” kekeh Maya. Aku yang hendak menyeruput es teh yang baru saja kubeli, lantas menyemburkan tawa mendengar perkataan Maya. Bisa-bisanya sampai berpikir ke sana? Namun, sebelum sempat berkomentar, suara langkah beberapa orang mendekat. Aku mendongak dan langsung melihat Zavier dan teman-temannya berdiri d
Aku menatap Maya dan Larissa bergantian, menuntut penjelasan. Namun, bukannya penjelasan yang kudapati, Maya justru menggeleng pelan. “Kita enggak tau, Lun. Pas datang tadi, udah kayak gini.”Larissa mengangguk dan menambahkan. “Iya, padahal kemarin masih baik-baik aja. Masalahnya, cuma tanaman kita aja yang rusak begini, yang lain aman-aman aja, tuh.”“Enggak mungkin ada sapi atau babi yang masuk sini. Bekasnya aja enggak ada. Jujur, ini aneh,” imbuh Maya tanpa bisa menyembunyikan kesedihannya. Aku menggigit bibir bawah, menahan emosi yang mulai membakar. Ketika aku memandang sekeliling, mata ini seketika menangkap Lila dan Diana yang berdiri di dekat tanaman mereka di dekat tembok. Keduanya tampak cekikikan, berbisik satu sama lain sesekali melihat ke arah kami, seolah-olah menertawakan sebuah lelucon rahasia.Darahku mendidih. Tanpa pikir panjang, aku mengepalkan tangan, melangkah cepat menghampiri mereka, hingga jarak di antara kami
Aku menelan ludah. Memijat tengkuk sambil tertawa cengengesan sebelum akhirnya memberanikan diri berkata, “Kak, gue butuh bantuan. Uang, tepatnya.”Pria 28 tahun itu langsung menoleh padaku dengan alis terangkat, tatapannya jangan ditanya. Dia seperti hendak menelanku hidup-hidup. Tajam, bahkan bisa dibilang lebih tajam dari omongan tetangga. Ih, hus! “Uang? Buat apa? Bunda enggak ngasih lo jajan?” Kak Aidan bertanya seperti itu karena pasti dia berpikir Bunda selalu rutin memberiku jajan setiap bulan, tidak pernah telat.“Ada, kok. Ta—tapi, gue ada keperluan mendesak, Kak. Uang jajan gue enggak cukup buat itu.” Tatapan Kak Aidan makin curiga, terlebih melihatku yang tersenyum terpaksa dan refleks menggaruk pelipis yang sebenarnya tak gatal.“Keperluan apa?”“Ada, Kak. Penting banget pokoknya.” Semoga Kak Aidan tak terlalu banyak tanya setelah ini. So, aku ragu jika mengatakan yang sebenarnya, Kak Aidan tak akan memberikannya.
“Gue rasa, dia dan gengnya dibiarin makin ngelunjak. Kayaknya emang perlu dikasi pelajaran!” tegas Zavier sambil mengepalkan tangan. Raut wajahnya, tampak sangat emosi.Aku menghela napas pelan, tanpa berpikir panjang, menyentuh tangan Zavier yang masih mengepal di atas meja. Maksudku untuk menenangkannya, dia sedang salah paham. “Hei, lo enggak usah marah-marah begitu juga. Gue ngajak ngobrol buat minta bantuan, bukan ngajakin tawuran,” ujarku tersenyum geli, “lagipula, Lila enggak gangguin gue.”Zavier menoleh padaku. Ekspresinya terlihat tenang, meskipun keningnya masih mengerut, seakan-akan menuntut penjelasan.“Lalu, ada apa?”Aku menarik napas panjang, sebelum akhirnya berkata jujur. “Lila sedang dalam masalah. Jadi ....”Mulai kuceritakan masalah Lila secara detail, tajam, terpercaya, tanpa digoreng sampai kriuk-kriuk. Semua ceritaku sesuai dengan fakta yang ada. Tentunya, yang kudengar dari Lila tadi malam.Tata
Aku berdiri terpaku di ruang tamu, tangan terkepal erat di sisi tubuhku. Kata-kata dari dalam kamar itu terus terngiang di telingaku. “Mau sampai kapan, kamu nyembunyiin kebenaran soal kematian kakaknya Aluna, Zavier? Dia harus tau itu.”Napasku tiba-tiba terasa sesak. Jantungku berdegup kencang, seolah-olah hendak meledak. Tentang kematian Kak Alina? Jadi, benar dugaanku kalau mereka sebenarnya mengetahui semuanya, tetapi sengaja menyembunyikan. Dan, kebaikan yang diperlihatkan di depanku, semua hanya ... palsu, demi menutupi kebobrokan keluarga mereka.“Lihat saja, apa yang akan kulakukan nanti untuk membalas perbuatan kalian?” geramku dalam hati, penuh dengan emosi yang membara.Aku ingin langsung menerobos pintu kamar yang sedikit terbuka itu, menuntut penjelasan mereka sekarang juga. Akan tetapi, tubuhku hanya terpaku di tempat seolah-olah sulit untuk sekadar melangkah.Sisi lain diriku ingin mendengar lebih banyak, mencari kepastia
“Oh, pantesan enggak mau gabung kita lagi karena udah punya teman lain. Penghianat lo!” murka Mira sambil menunjuk Lila.Suaranya yang melengking keras itu membuat beberapa orang di sekitar mulai melirik ke arah kami.Kulihat Lila tampak ingin menjelaskan, bibirnya terbuka seolah mencari kata-kata yang tepat untuk membela diri. “Enggak ... bukan gitu, Mir. Gue ....”“Apa?!” Mira memotong kasar. Tangannya terangkat, siap memukul Lila yang menunduk ketakutan.Hanya saja, aku yang melihatnya, refleks meraih pergelangan tangan Mira sebelum tangannya menyentuh Lila. “Lo mau ngapain?” tanyaku ketus.Tatapan tajam kami bertemu seakan-akan ingin saling menelan hidup-hidup. Mira mendengus, mencoba menarik tangannya, tetapi aku tidak melepaskannya begitu saja, justru makin mencengkeram dengan sekuat tenaga. Hitung-hitung untuk memberinya peringatan agar tak seenaknya jadi orang.“Emang ada aturan Lila enggak boleh berte
“Lila?!”Aku dan Lila kompak menoleh ke sumber suara. Tampak Larissa dan Maya melangkah mendekat. Jangan ditanya ekspresinya bagaimana? Mereka tampak terkejut, mungkin karena melihatku bersama dengan Lila, padahal selama ini, Lila termasuk salah satu orang yang selalu menggangguku.“Ngapain lo di sini sama Aluna?” Maya langsung menyerang Lila dengan tatapan mengintimidasi.Kulihat Lila menunduk. Tangannya tanpa sadar memainkan ujung seragamnya seolah-olah itu bisa mengurangi kegugupannya. “Gue cuma ... cuma ....”“Cuma apa?” Larissa memotong dengan suara tajam. Sorot matanya seperti menuntut jawaban yang lebih jelas. “Mau gangguin Aluna lagi lo?” Maya menyeringai sinis, seakan-akan menyakini kalau Lila hanya akan membuat masalah di sini.Aku mendengus pelan, menarik Larissa dan Maya agar menjauh dari Lila yang tampak tertekan dengan tatapan kedua temanku itu. “Udah-udah, Lila enggak ganggu gue,” ujarku, membuat mereka
Tak butuh waktu lama, suara dari seberang pun terdengar. “Halo,” katanya dengan nada yang terdengar kesal.“Ada apa, sih, sampai missed call dan pesan lo banyak banget?” tanyaku to the point.“Lo dari mana aja?” Zavier langsung menyemprotku tanpa basa-basi. “Ditelpon enggak diangkat, di-chat enggak dibalas. Gue bahkan udah mau nyusul ke rumah lo, tapi untung lo nelepon duluan. Kebiasaan banget ngilang kayak punya jurus menghilang aja lo!”Aku memutar bola mata, mendesah pelan mendengar omelannya. “Gue cuma keluar sebentar cari udara segar. Ponsel enggak gue bawa. Kenapa emang? Ada yang penting?"“Iya, ada,” jawabnya, tiba-tiba nada suaranya lebih pelan dari sebelumnya, tetapi tetap terdengar tegas.Aku mengernyit, kemudian bertanya lagi. “Apa?”Dia terdiam cukup lama, membuatku sedikit heran. Kenapa dia?“Halo, Zav-Zav. Kenapa?” tanyaku sedikit mendesaknya. Akhirnya, setelah beberapa saat, dia pun bersuara, te
Lila terdiam, menunduk sambil memainkan ujung jaketnya. Aku memperhatikan raut wajahnya yang mendadak muram, tak seperti biasa yang selalu menunjukkan wajah angkuhnya ketika di hadapanku. Kali ini, ia tampak seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. “Bokap gue mana peduli, Lun,” katanya, tersenyum masam. Membuatku terdiam, menunggunya mengatakan sesuatu yang mungkin bisa memperjelas kalimatnya itu.Dia menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Dia pulang ketika lapar, ngantuk, atau mau marah-marah doang.” Suara Lila hampir tak terdengar.Aku mengernyit, mencoba memahami kata-katanya lebih dalam. “Maksud lo gimana?” tanyaku hati-hati.Lila hanya menggeleng pelan. Buru-buru mengalihkan tatapan matanya yang mulai berkaca. “Maaf, enggak seharusnya gue ceritain masalah keluarga gue sama lo. Kita enggak begitu dekat, Lun.”“Setidaknya, gue bisa jadi pendengar yang baik. Lo butuh tempat cerita, mungkin,” kataku, berusaha menebak keingina
Para pria itu menoleh ke arahku. Salah satu di antara mereka yang tubuhnya paling besar, tertawa keras sambil berjalan mendekat. “Cewek kayak lo memang bisa apa? Mending lo balik sana, sebelum lo kami bawa juga!” Bukannya takut, aku justru turun dari motor tanpa melepas helm. Kudekati mereka seolah-olah sengaja menantangnya. “Lo bisa bawa gue ....” Aku sengaja menggantung ucapan, biar mereka senang. Ternyata benar, pria tak tahu malu itu menyeringai menyebalkan, bahkan menyebalkannya Zavier, lebih menyebalkan mereka. “Itu pun kalau bisa," lanjutkan disertai senyum licik. “Lagian, apa lo-lo pada, enggak malu beraninya sama cewek. Badang doang gede, tapi dalamnya banci!” Aku sengaja menyindir yang tampaknya langsung tepat sasaran, terlihat dari gelagat mereka yang mulai kesal. “Wah, nyolot ini cewek!” Pria lain yang tubuhnya lebih kurus mendekatiku dengan langkah cepat. “Denger, ya, kalau lo enggak tau apa-apa, enggak usah ikut campur, sebelum lo terima akibatnya!” Aku tak ge
“Tetap aja kurang ajar. Mau sampai kapan lo nikah sama cowok modelan begitu?”Aku menghela napas berat, sungguh sebenarnya sangat malas untuk membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan masalah tadi malam karena lelah, butuh istirahat. Namun, aku yang hendak menjawab, seketika terdiam saat mendengar suara Bunda tiba-tiba menengahi. “Aidan.” Nada suaranya lembut, tetapi masih terdengar tegas. “Kamu enggak boleh bicara seperti itu pada adikmu.”“Kamu sudah dewasa, seharusnya tau apa yang baik atau tidak. Dengan kata-katamu tadi, itu seolah-olah kamu meminta adikmu mempermainkan pernikahan.”Kak Aidan menghela napas panjang, wajahnya tak berubah dari ekspresi kesalnya. “Bun, aku enggak bermaksud begitu, tap—”“Mau bagaimanapun juga, adikmu sudah terikat hubungan pernikahan, walaupun belum tercatat secara sipil, tapi itu resmi secara agama. Kita harus menghormati aturan agama dan tidak boleh mempermainkannya,” potong Bunda, menatap Kak Aidan