Tiba di rumah, aku melempar tas ke tempat tidur, lalu mengganti pakaian yang basah ini lebih dulu karena dinginnya masih terasa menyusup ke kulitku.
Setelah itu, menghempaskan tubuh di tempat tidur. Pikiranku berkecamuk, memutar ulang perbuatan Mira dan teman-temannya yang membuat amarahku makin berkobar.Kurang ajar sekali mereka. Sepertinya, mereka belum tahu siapa Aluna sebenarnya?Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha meredakan sedikit amarah yang terasa membakar di dada.“Oke, agaknya mereka memang perlu diberi sedikit pelajaran,” gumamku sambil menggigit bibir, menatap kosong ke langit-langit kamar.Dalam pikiranku, nama pertama yang muncul adalah Lila yang tampaknya paling lemah di antara mereka. Apalagi, kami satu kelas. Jadi, mudah saja untuk kugoyahkan.Dia juga tadi yang berani-beraninya membawa nama guru untuk menipuku.Lihat saja nanti, apa yang akan kulakukan padanya?Ah, memikirkan cara haluDi rumah Zavier, kami memulai diskusi untuk tugas kelompok yang diberikan Pak Jeff. Di mana setiap kelompok diminta untuk menanam tanaman dari benih biji-bijian yang nantinya bakal diamati setiap hari dan diukur tingginya dari mulai kecambah. Ya, begitulah risiko masik jurusan exact yang katanya ilmu pasti, kadang mengukur tumbuhan, mengukur setetes air, hingga mengukur kecepatan jatuhnya buah. Sayangnya, tidak bisa mengukur berapa lama yang dibutuhkan seseorang untuk bisa melupakan mantannya. Eya! “Jadi, sore ini, kita nyiapin tanahnya saja untuk bibit. Besok harus dibawa ke sekolah sekaligus bibitnya juga akan ditanam saat pelajaran Biologi.” Sambil memegang catatan, aku mulai menjelaskan rencana dengan serius. Hanya saja, ada seseorang yang terus mengalihkan perhatianku. Tepat di sofa lain, kulihat Zavier menatapku dengan pandangan yang tidak kutahu apa artinya? Bibirnya sesekali tersenyum tipis tiap kali aku berbicara. Rasanya seperti ada api yang membakar wajahku kerap k
Aku yang terkejut langsung menarik tanganku yang berada di bawah tangan Zavier. Sontak, pura-pura menggaruk tengkuk dan melihat sekeliling. Untungnya, teman-teman yang lain pada fokus dengan aktivitasnya masing-masing. Jadi, sepertinya insiden yang terjadi barusan tak dilihat oleh mereka. Anehnya, Zavier justru tak terlihat panik sama sekali. Malah tersenyum santai sambil menaik-turunkan alis seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Agaknya, dia memang sengaja memanfaatkan kesempitan yang penting ada kesempatan. Aku memilih bergabung dengan Maya dan Larissa. Zavier pun menyusul. Kami mulai memasukkan tanah ke dalam kantong bibit. “Lun, lo takut sama ulat, enggak?” Suara Zavier yang tak jauh dariku membuatku menoleh padanya sekilas. “Enggak,” jawabku singkat dan tentunya berbohong. Nyatanya, aku takut sama ulat. Geli. Hanya saja, tidak ingin menunjukkan kelemahanku padanya. “Kalau ini lo takut enggak?” Zavier mengangkat tangan berisi cacing hidup tepat di dekat wajahku. A
Keesokan harinya--di jam pelajaran Biologi, semua siswa di kelasku berkumpul di belakang sekolah untuk tawuran. Eh, bukan ... bukan, maksudku untuk menanam bibit yang sudah kami persiapkan sebelumnya. Semua siswa pada sibuk mencari tempat yang pas untuk menyimpan kantong bibitnya masing-masing.Aku dan kelompokku memilih tempat di dekat pagar. Adnan dan Raka sudah sibuk menata kantong bibit menjadi 3 bagian.Untungnya, karena mereka berdua tak banyak protes ketika diminta melakukan sesuatu. Tidak seperti Zavier yang terkadang protes dulu baru mengerjakannya, itu pun terpaksa setelah diancam namanya akan kucoret dari kelompok.“Sa, tanamnya jangan terlalu dalam, nanti tumbuhnya kelamaan,” seruku tatkala melihat Larissa menggali tanah pada kantong bibit dengan sangat dalam. Aktivitas Larissa sontak terhenti. Dengan raut polosnya ia menoleh padanya dan bertanya, “Loh, emang ngaruh?”“Ngaruh, dong,” sahut Maya, “sesuatu yang dilaku
Begitu jam istirahat tiba, aku, Maya dan Larissa langsung menuju warung yang di sebelah sekolah kami. Sebenarnya, bisa saja kami makan di kantin yang berada di dalam area sekolah. Hanya saja, kami butuh menu berbeda kali ini. Kami mengambil meja di sudut yang setidaknya sedikit menghindari dari keramaian dan tempatnya juga lumayan nyaman di sini. “Apa cuma gue yang ngerasa materi Biologi tadi lebih seru belajarnya langsung praktek daripada teori?” Larissa membuka pembicaraan sambil menaruh dagunya di atas tangan. “Biasanya, praktek emang lebih seru. Apalagi Biologi yang sedikit banyaknya berhubungan dengan alam. Asalkan jangan bagian bab reproduksi aja yang lo minta praktek,” kekeh Maya. Aku yang hendak menyeruput es teh yang baru saja kubeli, lantas menyemburkan tawa mendengar perkataan Maya. Bisa-bisanya sampai berpikir ke sana? Namun, sebelum sempat berkomentar, suara langkah beberapa orang mendekat. Aku mendongak dan langsung melihat Zavier dan teman-temannya berdiri d
Aku menatap Maya dan Larissa bergantian, menuntut penjelasan. Namun, bukannya penjelasan yang kudapati, Maya justru menggeleng pelan. “Kita enggak tau, Lun. Pas datang tadi, udah kayak gini.”Larissa mengangguk dan menambahkan. “Iya, padahal kemarin masih baik-baik aja. Masalahnya, cuma tanaman kita aja yang rusak begini, yang lain aman-aman aja, tuh.”“Enggak mungkin ada sapi atau babi yang masuk sini. Bekasnya aja enggak ada. Jujur, ini aneh,” imbuh Maya tanpa bisa menyembunyikan kesedihannya. Aku menggigit bibir bawah, menahan emosi yang mulai membakar. Ketika aku memandang sekeliling, mata ini seketika menangkap Lila dan Diana yang berdiri di dekat tanaman mereka di dekat tembok. Keduanya tampak cekikikan, berbisik satu sama lain sesekali melihat ke arah kami, seolah-olah menertawakan sebuah lelucon rahasia.Darahku mendidih. Tanpa pikir panjang, aku mengepalkan tangan, melangkah cepat menghampiri mereka, hingga jarak di antara kami
Jalanan sore itu sangat sepi, hanya suara angin yang berisik menemani perjalanan pulangku dari sekolah. Aku melaju santai dengan motor berknalpot suara besar, tetapi tak terlalu bising, menikmati embusan angin yang sesekali menerpa wajah, membuat rambutku hilir mudik. Namun, seketika ketenanganku sirna saat sebuah mobil sedan hitam yang sepertinya tak asing dalam pandangan melaju cepat dan berhenti mendadak di depanku, memblokir jalan.Aku menekan rem kuat-kuat. Motor berhenti dengan suara mendecit, nyaris saja aku kehilangan keseimbangan dan menabrak pembatas jalan.Di depan sana, pintu mobil terbuka dan seperti yang sudah kuduga, Mira dan teman-temannya keluar dengan ekspresi marahnya.“Sini lo!” bentak Mira sambil menunjuk wajahku. Aku melepas helm, mencoba tetap tenang meskipun dadaku mulai terasa panas. Bertanya dalam hati. “Mau apa lagi dia?”Belum juga turun dari motor, Mira dan Nadia menghampiriku, menarik kasar lengan
Aku meringis kecil saat Adnan membantuku duduk di pinggir jalan. Lututku perih dan telapak tangan ini juga terasa panas akibat terbentur dengan aspal tadi. Adnan menatapku khawatir. Dan, entah mengapa seketika aku merasa canggung berada dalam situasi ini. “Benar-benar, ya, si Mira udah kelewatan sampai bikin lo kayak gini,” cecarnya, “lo bisa tunggu gue? Di dekat sini ada apotik. Gue perlu beli obat untuk luka lo ini.” Aku menggeleng cepat. Tentu saja, tak ingin merepotkan Adnan. Lagipula, menurutku ini hanya luka kecil meskipun memang sedikit perih. Akan tetapi, besok juga paling sudah kering. “Terima kasih, Adnan, tapi kurasa enggak perlu. Ini hanya luka kecil. Gue enggak apa-apa, kok.” “Luka kecil gimana? Benturan lo tadi keras dan ini lukanya perlu diobati, Lun.” Belum sempat kembali menolak, sebuah mobil yang cukup kukenali pun tiba-tiba berhenti. Zavier datang. Begitu keluar dari mobil, dia berlari menghampiri kami. Namun, kini wajahnya terlihat tegang, bahkan dia
Zavier kini tidak menjawab, hanya memutar bola matanya kesal. Akan tetapi, kemudian dia berkata dengan suara yang terdengar lebih tenang. “Mulai sekarang, lo jangan terlalu dekat sama Adnan.” Aku mengernyit. Tentu saja tak mengerti maksud Zavier. Kenapa dia melarangku untuk dekat-dekat Adnan? Bukankah temannya itu sangat baik mau melindungiku? “Kok gitu?” tanyaku. Dia menatap lurus ke jalan, ekspresinya tak dapat kubaca. “Enggak usah banyak tanya, intinya lo enggak boleh dekat-dekat Adnan.” Aku melongo, bingung sedikit kesal. Apakah sebenarnya dia jealous pada Adnan? Sungguh, tak terkira kalau sampai itu terjadi. “Lo cemburu?” tanyaku memicing, ingin memastikan saja. Tak ada jawaban dari Zavier, tetapi aku sempat melihat sudut bibirnya terangkat samar. Apa-apaan cowok ini? Satu detik dia bikin aku kesal, detik berikutnya malah bikin aku mikir setengah mati. “Zav-Zav, gue tanya tau.” Dia menoleh, menatapku sebentar, kemudian kembali fokus menyetir. “Iya, gue cembur
Aku masih duduk di tangga bawah pohon besar ketika tiba-tiba Maya dan Larissa datang.Larissa langsung mengambil tempat di antara aku dan Zavier.“Dilarang berdua-duaan karena orang ketiganya setan,” katanya membuat pria bergelar suamiku itu terpaksa bergeser sambil mencebikkan bibirnya. Sementara itu, Maya menangkup wajahku seakan-akan memastikan organ-organnya tak ada yang hilang. “Lun, Lo kenapa, sih, tadi datang-datang langsung dihukum. Terus juga, tumbenan lo telat datang?” Dia berdiri dengan tangan bertolak pinggang, menunggu jawabanku.Belum sempat aku menjawab, Zavier yang mungkin merasa tersisih lantas bangkit. Menatapku, lalu berkata, “Gue pamit dulu, Lun. Mau main futsal.”Aku hanya mengangguk kecil, menatap punggungnya yang perlahan menjauh.Larissa menatapku dengan mata menyipit seakan-akan mencari tahu. “Nah, sekarang jelasin. Kenapa lo bisa dihukum lagi? Kangen dihukum Bu Mila apa gimana? Terus, lo enggak biasanya
Aku berdiri di tengah lapangan dengan kepala tertunduk begitu Bu Mila mengoceh panjang lebar, tentu saja memarahiku habis-habisan. Katanya, aku siswi yang tidak ada jeranya dihukum.Di sisi lain, para siswa yang belum masuk kelas pada menatapku, sesekali tampak berbisik-bisik satu sama lain seolah-olah sedang melihat pelaku kriminal baru saja ditangkap.Sempat kulihat juga, Mira dan teman-temannya tampak puas dari kejauhan. Senyum licik mereka yang sambil mengacungkan jari tengah ke arahku, jujur membuatku sangat kesal. Awas saja, setelah ini aku akan membalas kalian satu per satu! Tanpa sadar, tanganku mengepal kuat, mencoba menahan amarah.Sepertinya, aku memang tidak bisa tinggal diam saja melihat mereka yang makin ke sini, makin ngelunjak. Beberapa saat berdiri, teriknya matahari pagi juga sudah mulai terasa menyengat, menerpa wajahku yang seketika memanas. Hanya saja, tak lama kemudian, seseorang tiba-tiba mendekat. Dia berjalan ce
Aku terus meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman dua pria yang entah ada maksud apa sehingga menyeretku ke belakang gudang?Hingga tak lama kemudian, Mira dan teman-temannya muncul dari balik dinding gudang. Tangannya terlipat, ekspresi mereka sama angkuhnya, tampak puas melihatku seperti ini. Sekarang, aku bisa menyimpulkan kalau yang terjadi padaku pagi ini karena ulahnya.Dia menghampiriku dengan mata menyipit tajam seakan-akan penuh dengan kebencian. “Ketemu juga lo!”Kubalas tatapannya tak kalah sengit, lalu bertanya, “Oh, jadi ini kerjaan lo?”“Emang iya. Kenapa?”Aku tertawa miris. “Ngapain lo repot-repot, sih, nyuruh antek-antek lo buat culik gue ke sini? Kan, lo bisa hubungin gue buat nyuruh datang ke sini.”Mendengar perkataanku, mata Mira seketika melotot marah. “Lo jangan banyak bacot!” Bentakannya sama sekali tak membuatku takut.Tangannya yang ramping meraih rambutku dan menariknya dengan kasar. Aku meringis, berusaha menepis tangannya, tetapi cengkeraman pria
“Astaga, lo di sini ternyata,” kata Kak Aidan. Dia sambil melangkah santai ke arahku, diikuti dengan Tama. Astaga, mereka bersama lagi? Benar-benar bestie yang sulit untuk dipisahkan. Sebelum Kak Aidan benar-benar tiba di hadapanku, aku melirik ke belakang sofa, memastikan Zavier sudah aman dalam persembunyiannya.Hanya saja, bayangan puncak rambutnya yang sedikit terlihat membuatku langsung panik sehingga harus pura-pura merapikan bantal sofa untuk menutupinya. Diam-diam, aku menarik rambutnya dengan maksud memberikan kode agar ia lebih membungkuk lagi. Entah bagaimana ekspresi Zavier sekarang, mungkin kesal dengan perbuatanku. Biarin aja, masa bodoh dengan ekspresi. “Kakak dari tadi manggil-manggil lo, tapi lo enggak nyahut. Sejak kapan lo jadi budeg begitu?” tanya Kak Aidan dengan nada suaranya yang ketus sambil meletakkan beberapa kantong belanja di meja. Aku tebak itu oleh-oleh. Soalnya aku suka nagih sampai ngambek eng
Aku menggeliat pelan, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih menggelayuti. Ternyata, aku tertidur di sofa saat menunggu Zavier menyelesaikan tugas dariku. “Kelamaan dia, gue sampai ketiduran!” gumamku dalam hati. Sambil mengumpulkan kesadaran, mataku yang setengah terbuka menangkap bayangan samar seseorang di depanku. Wajah itu tampak menatapku dengan senyum lebar yang mendadak bikin jantungku nyaris melompat dari tempatnya. Astaga, dia ngapain?Panik, aku langsung menyambar buku pelajaran tebal yang tergeletak di atas dadaku, lalu melemparkannya tanpa pikir panjang.BRAK!Buku itu mendarat telak di dahi Zavier, disertai erangan kesakitan yang langsung keluar dari mulutnya. “Argh! Aluna!”Aku buru-buru duduk tegak, mataku membulat panik.“Lo ngapain, sih?!” Aku terperangah, menatapnya yang kini memegangi dahi dengan ekspresi yang tampak menahan sakit.“Lo yang ngapain pake lempar gue segala? Hampir aja g
“Bukan buat kuliah gue, tapi biar bisa nafkahin lo. Lo kan enggak mau nerima kalau gue kasih uang yang bukan hasil jerih payah gue.”Deg!Kata-katanya sukses membuat wajahku memanas seketika. Aku langsung menunduk, sibuk pura-pura membolak-balik halaman buku. Entah semerah apa wajahku sekarang karena pernyataan Zavier yang benar-benar di luar dugaanku?Ternyata, dia masih menyimpan kata-kataku di kepalanya. Ya ampun, dasar pria, susah ditebak.“Pikirkan lagi,” gumamku pelan, mencoba mengalihkan perhatian, “itu bukan solusi yang bagus buat lo.”Zavier hanya tersenyum tipis, tetapi aku bisa merasakan pandangannya masih tertuju padaku. “Gue udah pikirkan dan memang ini solusi terbaik. Kita udah nikah, jadi enggak mungkin enggak mikirin tentang ke depan,” katanya lagi. Suasana jadi canggung, tetapi aku tidak berani mengangkat wajah ataupun merespons ucapannya. Kenapa dia selalu berhasil membuatku salah tingkah seperti ini? Astaga! Jangan sampai berlarut.“Udah, nanti dibahas lebih lanju
Aku berjalan ke dapur dengan langkah malas, mata masih berat, dan otak belum sepenuhnya bekerja. Tanganku langsung meraih gelas, mengisi air dari dispenser, dan menenggaknya tanpa pikir panjang. Namun, ketenanganku pagi ini langsung buyar oleh suara Bunda yang memekakkan telinga.“Astaga, anak gadis baru bangun jam segini? Malu sama Nak Zavier. Dia udah bangun dari tadi!”Aku hampir tersedak mendengar itu. Gelas di tanganku hampir jatuh, tetapi aku buru-buru memasang ekspresi datar. “Hm,” gumamku pendek sambil mendengus sebal, memilih untuk tidak merespons lebih jauh. Percuma, kalau melawan, ujung-ujungnya nanti Bunda akan mengomel tiada henti.Aku melangkah ke ruang makan dengan gelas di tangan. Tentu saja, pemandangan yang kulihat membuat mood-ku makin buruk.Zavier duduk di kursi makan, terlihat santai, bahkan mengobrol ringan dengan Papa. Entah kenapa mereka terlihat sangat akrab, sudah persis ayah dan anak.“Setengah 8 baru
Aku tertawa kecil melihat raut wajah Zavier yang tampak jelas sedang cemas. Alisnya berkerut, sesekali melirik pintu rumahku seperti berjaga-jaga kalau musuhnya akan keluar dari sana. “Takut, ya?”Dia mendengus kecil, langsung memalingkan wajah ke arah lain. Untuk pertama kalinya, aku tidak melihat raut percaya dirinya itu. “Siapa juga yang takut? Gue cuma enggak mau mati dihantam aja,” gerutunya pelan.Aku terkekeh, lalu melipat tangan di dada. “Santai aja, Kak Aidan lagi enggak di rumah. Dia ke luar kota tadi pagi.”Mendengar jawabanku, Zavier mendadak seperti balon yang kehilangan udara. Wajah tegangnya langsung mencair dan dia menarik napas lega. “Oh, syukurlah. Kalau dia ada, mungkin gue lebih baik pulang ke rumah orang tua gue demi keselamatan,” katanya sambil mengusap tengkuk.Aku memutar bola mata sambil menyeringai sinis. “Dasar pengecut!”Jujur saja, kalau Kak Aidan ada di rumah, aku juga mana beran
Zavier malah tertawa kecil, menatapku seolah-olah aku sedang melontarkan lelucon paling lucu di dunia. “Loh?”“Ya, kalau lo niat, pasti bawa dua helm. Bukannya cuma satu.”“Kirain tadi lo bakal bawa motor sendiri ke sini.” Dia masih dengan ekspresi santainya, menyodorkan helm itu ke arahku. “Gini, deh. Lo aja yang pake. Gue enggak usah.”Aku menatapnya, setengah tak percaya dengan ucapannya. “Biar apa yang dibonceng pake helm? Aneh banget tau.”“Biar lo aman,” jawabnya ringan, seolah-olah jawabannya itu sangat masuk akal.“Terus lo rela enggak aman cuma biar gue aman?”Dia tersenyum, kali ini ekspresi wajahnya terlihat lebih serius. “Kalau itu buat lo, gue rela ngelakuin apa aja. Udah, enggak usah debat. Nih, gue pasangin.”Tubuhku langsung membeku ketika dia meraih helm itu dan mulai memasangkannya di kepalaku, nyaris tanpa memberiku kesempatan untuk protes. Sentuhan tangannya terasa lembut, tetapi tegas, memb