Zavier kini tidak menjawab, hanya memutar bola matanya kesal. Akan tetapi, kemudian dia berkata dengan suara yang terdengar lebih tenang. “Mulai sekarang, lo jangan terlalu dekat sama Adnan.” Aku mengernyit. Tentu saja tak mengerti maksud Zavier. Kenapa dia melarangku untuk dekat-dekat Adnan? Bukankah temannya itu sangat baik mau melindungiku? “Kok gitu?” tanyaku. Dia menatap lurus ke jalan, ekspresinya tak dapat kubaca. “Enggak usah banyak tanya, intinya lo enggak boleh dekat-dekat Adnan.” Aku melongo, bingung sedikit kesal. Apakah sebenarnya dia jealous pada Adnan? Sungguh, tak terkira kalau sampai itu terjadi. “Lo cemburu?” tanyaku memicing, ingin memastikan saja. Tak ada jawaban dari Zavier, tetapi aku sempat melihat sudut bibirnya terangkat samar. Apa-apaan cowok ini? Satu detik dia bikin aku kesal, detik berikutnya malah bikin aku mikir setengah mati. “Zav-Zav, gue tanya tau.” Dia menoleh, menatapku sebentar, kemudian kembali fokus menyetir. “Iya, gue cembur
Pagi ini, udara di sekolah terasa agak lebih cerah dari biasanya. Aku baru saja sampai di parkiran dan menyimpan helm ketika Zavier tiba-tiba menghampiriku. Dia tersenyum lebar menyambutku, tetapi hanya kubalas dengan senyum seadanya. Tadinya mau mengomel padanya, tetapi ingat kalau kemarin kami baru saja berpacaran ceritanya. Jadi, kudu lembut sedikit, biar terkesan manis. Huek .... “Selamat pagi, Pacar,” ucap Zavier dengan nada manis justru membuatku merinding geli. Aku mendesis kecil sambil berjalan mendahului Zavier. “Geli tau lo ngomong gitu.” Zavier tertawa kecil, terus mengikuti langkahku. Kami berjalan beriringan menuju kelas. Jujur saja, aku merasa sedikit canggung. Namun, berbeda dengan Zavier, dia justru terlihat sangat santai bak tak ada beban. Entahlah, mungkin pembawaan dia memang seperti itu. Santai, meskipun dalam situasi yang rumit. Kami terus melangkah, Zavier sesekali menarik tasku, membuatku yang berada di depannya terpaksa mundur sedikit karena dia ba
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling begitu jam istirahat kedua sudah tiba. Mencari-cari sosok Zavier yang menghilang bagai ditelan bumi. Tadinya, dia bilang padaku mau ke kantin. Ia lapar gara-gara tak sarapan sebelum ke sekolah. Namun, hingga mata pelajaran di jam kedua usai, dia tak kunjung kembali ke kelas. Mustahil, kalau lupa jalan pulang ke kelas, kan? Entah dapat dorongan dari mana sehingga aku melangkah menuju kantin untuk mencarinya. Namun, tak kutemukan sosoknya. Di perpustakaan, tidak ada juga. Di lapangan, sama saja. Ke mana rupanya cowok resek itu? Apa jangan-jangan, dia ... bolos? Ah, tidak salah lagi, dia pasti bolos. Apalagi, jam kedua tadi Fisika. Aku ingat, dia tidak begitu suka dengan pelajaran yang berbau perhitungan, apalagi materi kami sudah masuk rumus-rumusnya. Akan tetapi, masa iya dia bolos? Sudah beberapa pertemuan semenjak aku memergokinya manjat pagar, dia sudah tak pernah bolos lagi. Semenjak saat itu, dia jadi rajin ikut mata pela
Aku mendorong pintu di sebuah ruang rawat VIP dengan perlahan, mencoba mengatur napas yang tiba-tiba terasa berat. Begitu pintu terbuka dan menimbulkan bunyi, semua kepala yang ada di dalam langsung menoleh ke arahku.Di samping ranjang, Tante Sofia sedang duduk dengan seorang wanita cantik berdiri anggun di sisinya. Aku menebak kalau dia pasti kakaknya Zavier---kakak iparku.Dan tentu saja, Papa mertua yang duduk di sofa dekat jendela, satu kakinya berada di atas kaki lainnya.Sementara itu, di sisi lain hospital bad, Zavier juga duduk seraya mengelus tangan Oma yang terbaring lemah. Ya, setelah mendapat informasi dari Ibu mertuaku kalau Oma dirawat karena pingsan akibat terjatuh dan hingga kini belum sadar, aku langsung menuju ke rumah sakit.Melihatku berdiri gamang di ambang pintu, Zavier langsung berdiri dan melangkah mendekat. Ekspresinya tampak bingung sekaligus heran. Mungkin dalam hatinya bertanya-tanya, kena
Setelah semua orang pulang untuk beristirahat, kini tinggal aku dan Zavier yang menjaga Oma, sesuai permintaannya tadi yang ingin ditemani kami berdua. Aku pun pasrah saja meskipun harus menginap di rumah sakit malam ini, bersama Zavier, karena memang tidak memiliki pilihan lain. “Jadi ....” Zavier yang bersandar di sofa sambil melipat tangan di dadanya memecah keheningan ketika Oma sudah tidur. Dia menatapku yang duduk di sebelahnya dengan senyum setengah mengejek agaknya. “Kenapa lo tiba-tiba telepon Ibu tadi? Khawatir sama gue, ya?” Memicing, tampak penasaran. Aku memutar bola mata, mencoba menyembunyikan rasa panas di wajahku. “Heh, enggak usah kepedean. Gue tadi nyari lo cuma buat bilang kalau pekan depan kita ada ulangan Fisika.” Zavier terkekeh pelan, mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat padaku. “Oh, ya? Lo bela-belain nelpon Ibu cuma buat ngasih tau gue soal ulangan? Perhatian amat istriku, ya ampun.” Dia malah mengusap-usap kepalaku. Aku mendesis dan langsun
Aku masih memandangi kertas ulangan Zavier di tanganku. Bukan karena takjub, tetapi tak bisa berkata-kata. Mataku terpaku pada angka besar yang tertulis di sana. Persis seperti nilaiku. 100. Namun, untuk nilainya Zavier, angka nolnya ditendang satu. Astaga. Rupanya tadi, dia memandangi lembar soal cuma memandangi saja, bukan serius mengerjakan. Lebih tepatnya, dia pura-pura serius. Lihatlah, nilainya bahkan sukar dipercaya untuk ukuran seorang siswa yang konon populer di kalangan para gadis di sekolah ini. Aku mengalihkan pandangan ke arahnya, sedikitnya menuntut penjelasannya yang masih terlihat santai seperti biasa, seolah-olah nilai itu adalah hal yang paling biasa baginya. “Zav-Zav.” Aku memanggilnya pelan. Dia menoleh dengan alis terangkat. Saat matanya menangkap kertas ulangannya di tanganku, dia langsung merebutnya dengan sedikit kasar. “Eh, kembalikan!” Aku memelototinya. “Seriusan, nilai lo segitu? Lo enggak belajar tadi malam?” “Belajar, tapi pas liat soal m
Aku melepas tangan Mira dengan kasar begitu Bu Erna---guru Seni makin mendekat. Dia mengusap-usap lengannya, sudah pasti kesakitan karena tadi aku mencengkeramnya sangat kuat. “Ada apa ini?” Suara tegas Bu Erna memecah ketegangan. Kami semua menoleh, sekilas dapat kulihat Mira masih mengusap lengan. Bu Erna menatapku seakan-akan menaruh curiga. “Aluna, bajumu kenapa?” Aku menunduk melihat bajuku yang basah dan terlihat ada noda bekas tumpahan minuman ulah si Mira. Kualihkan pandangan ke arah Mira dan teman-temannya yang mulai terlihat gelisah. Mungkin takut kalau aku mengadu. “Enggak apa-apa, Bu. Tadi, ketumpahan minuman aja,” kataku berbohong. Hanya tidak ingin memperpanjang masalah. Bukan takut pada Mira, tetapi biar dia senang sedikit karena aku tak mengadukan perbuatannya. Setelah ini, baru akan kubalas pelan-pelan. “Oh, ya sudah. Kalau begitu, bubar. Jangan bikin keributan di sini.” Saat semua orang mulai berpencar, Mira mendekatkan wajah padaku, berbisik agar
Aku terus mencari sepatuku dengan panik. Sisa waktu makin menipis dan aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana? Sepatu yang hilang itu bukan cuma masalah penampilan, tetapi juga bagian dari kostum yang harus sesuai tema.Curiga ada yang sengaja menyembunyikan sepatuku. Aku menyeru frustrasi. “Siapa yang ngumpetin sepatu gue?!”Tak ada yang menjawab, meskipun semua tampak menoleh padaku.Kecuali, satu orang. Zavier, dia langsung menghampiriku. Wajahnya yang biasanya terlihat santai, berubah serius.“Kenapa teriak-teriak?” tanyanya.“Sepatu gue hilang.”“Taro di mana tadi?”“Di sini.” Aku menunjuk tempatku menyimpan sepatu. “Harusnya ada di sini, tapi enggak ada.”Zavier menyentuh bahuku pelan sambil berkata, “Kamu tenang dulu, ya.” Dia berdiri tegap,menatap tajam yang lainnya satu per satu.“Siapa yang nyembunyiin sepatunya Aluna?” Suaranya rendah, tetapi penuh tekanan. “Jawab!” Kal
Aku langsung melongo. Tiba-tiba pikiranku isinya kotor semua mendengar pertanyaan Maya yang agak gimana gitu? Untungnya, aku bisa menguasai diri dengan cepat. “Panjang apaan?” “Itu, masa depannya Zavier. Dia bilang panjang, tapi yang bisa memastikan kebenaran omongan dia cuma lo, Lun. Toh, cuma lo yang tau.”“Ih, Maya! Pembahasan lo udah ke mana-mana. Itu rahasia rumah tangga tau, tidak boleh diumbar-umbar,” celetuk Larissa. Pesona Mamah Dedeh-nya sudah keluar.“Tuh, dengerin Bu Ustazah ngomong, May,” cicit Lila sambil terkikik geli.“Jadi, waktu kalian mengaku pacaran, itu sudah nikah?” tanya Maya lagi.“Sudah. Kami ngaku pacaran biar bisa deket-deket tanpa ada yang curiga.” Zavier menjawab apa adanya.Namun, belum sempat ia berbicara lagi, aku meralat dengan tegas. “Dia doang yang mau dekat-dekat, gue tidak.”“Dih, gitu banget.” Zavier menjawil pipiku membuat teman-teman kami berteriak heboh. Astaga! Baru be
Tiba di rumah, Bunda yang duduk di sofa sambil menangis ditenangkan oleh Ibu mertua beranjak begitu melihatku dan Zavier memasuki rumah. Berlari, memelukku membuatku nyaris ambruk karena terdorong ke belakang. Aku bisa rasakan, pelukannya adalah pelukan takut kehilangan. “Kamu selamat, Nak. Bunda syok banget lihat berita pesawatmu kecelakaan,” ucap Bunda di tengah isakannya. “Aku terlambat kena macet ada kecelakaan waktu ke bandara. Jadi, tidak bisa ikut penerbangan itu, Bunda,” jelasku. Bunda melepas pelukannya. Dengan mata yang masih berkaca-kaca, menangkup wajahku. “Ke depannya, kalau orang tua melarang pergi, kamu harus dengerin, ya. Biar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Untung baik, Tuhan masih berpihak padamu sehingga terhindar dari marabahaya.” “Iya, Bunda. Maafkan Aluna.” “Bunda itu sangat takut kehilangan kamu, Nak. Bunda sudah pernah merasakan kehilangan anak, dan sekarang
Aku sempat tertegun dengan perbuatan Zavier. Namun, detik kemudian, aku sontak mendorong wajahnya dengan telapak tangan.“Ih, jangan genit di sini. Banyak orang,” bisikku cepat.Akan tetapi, bukannya menjauh, dia malah tetap melingkarkan kedua tangan di pinggangku, seolah dunia milik berdua, yang lain cuma ngontrak.“Ayolah, satu icip aja, Sayang,” bisiknya memohon dengan gaya manjanya yang nyebelin itu. “Kan, gue suami lo. Dosa tau nolak suami.”Aku mendecak pelan. “Enggak bisa, Zav-Zav. Ini tempat umum. Lo mau kita dihakimi massa karena dikira pasangan mesum?”Zavier cemberut, tapi tidak melepas pelukannya. “Hm, baiklah! Ke depannya, jangan main pergi lagi, ya,” katanya, kali ini menatapku serius. “Gue enggak suka lo main pergi gitu aja, mana enggak bilang-bilang dulu. Bikin panik. Itu namanya istri enggak sopan sama suami.”Aku menunduk, menyembunyikan senyum melihat raut wajahnya yang tampak sedikit kesal. Meski begitu, aku j
POV ALUNA Sebab kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan kemacetan panjang membuat perjalananku menuju bandara subuh tadi terhambat. Sempat kuminta supir agar putar balik dan mencari jalan pintas agar cepat tiba di tujuan, tetapi tidak bisa karena di belakang dan damping kami sudah penuh dengan mobil lain. Dan, kemacetan itu berlangsung cukup lama. Akhirnya, tiba di bandara, aku tergesa-gesa menuju counter check-in. Saking buru-burunya, aku sampai menabrak orang. Untungnya, orang itu tak mempersalahkan setelah aku meminta maaf. Entah, ini yang namanya sial atau bukan, tetapi bagiku tidak ada keberuntungan hari ini. “Maaf, Bu. Penerbangan Anda sudah boarding. Kami tidak bisa mengizinkan penumpang masuk setelah boarding gate ditutup.” Begitu kata petugas maskapai tadi, menambah daftar ketidakberuntunganku hari ini. Aku mengernyit. Masih mencoba bernegosiasi. “Tolong, Pak. Saya benar-benar harus n
Aku tidak peduli dengan apa pun lagi sekarang. Tidak dengan nyeri di perutku bekas hantaman kemarin. Pun tidak dengan teriakan supir yang meminta agar aku bisa tenang dulu, yang kupikirkan hanya satu hal—Aluna.Setelah mendapat kabar buruk itu, aku langsung memutuskan ke bandara untuk mencari informasi terbaru, berharap kabar itu tidak benar dan Aluna masih baik-baik saja.Setibanya di bandara, aku l berlari melewati orang-orang yang berkerumun. Suara isak tangis memenuhi area, wajah-wajah putus asa bertebaran di mana-mana. Aku bukan satu-satunya yang kehilangan seseorang hari ini. Aku berlari menghampiri petugas dengan napas tersengal. “Korban kecelakaan pesawat … tujuan Indonesia–Australia .…” Aku nyaris tidak bisa menyelesaikan kalimatku. “Aluna … istriku salah satu penumpang pesawat itu! Apa … apa ada kabar tentang korban yang selamat?”Petugas itu menatapku dengan raut muram. “Saat ini, tim penyelamat masih dalam proses pencarian,
POV ZAVIERPulang dari rumah sakit, aku hanya duduk termenung di tepi ranjang, istirahat agar cepat pulih. Sesekali, menatap foto di ponselku dengan senyum miris. Foto Aluna. Gadis itu tersenyum lebar ke arah kamera.Tiba-tiba, perasaan bersalah mencekam di dadaku. Sembari mengusap wajahnya di dalam layar itu, aku berkata, “Maaf, harusnya gue jujur aja dari awal soal Alina. Tidak perlu menyembunyikan kalau gue mengenalnya. Harusnya, gue enggak perlu takut lo membenci gue dan keluarga gue jika tau apa yang sebenarnya terjadi?”Aku menghela napas berat. Tahu diri kalau salah. Sengaja berbohong bukan karena ingin menyembunyikan darinya, tapi karena aku takut. Takut dia semakin membenciku. Takut dia menjauhiku. Dan, takut kehilangan Aluna, karena sejak awal aku sudah menyukainya. Mungkin, ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama.Aku menggeser layar, berganti melihat foto Kak Zavran. Wajahnya memang sangat mirip denganku, wajar
Kini, aku berjalan perlahan, menuntun Zavier yang baru keluar dari ruang rawatnya. Dia memegang perut. Raut wajahnya sedikit tertekuk, mungkin menahan sakit yang masih terasa bekas pukulan di tubuhnya. Aku menggenggam tangan kirinya, mencoba membantu agar langkahnya tak terlalu berat. Meskipun dokter sudah mengizinkan pulang, tetapi aku tahu bahwa tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih.Tiba di lobby rumah sakit, terlihat sudah ada mobil yang sedang menunggu. Ada orang tua Zavier juga Oma di sana. Mereka tersenyum, tampak lega begitu melihat kami.“Aku hanya bisa mengantarmu sampai sini,” ujarku pelan, berusaha berbicara menggunakan bahasa yang sedikit lebih sopan, karena di depan orang tua. Takut mereka mengomel panjang lebar.Zavier tampak terkejut, langsung menoleh padaku dengan tatapan menuntut penjelasan. “Kenapa?” Dia bertanya dengan suara yang terdengar sedikit tertahan.Aku menghela napas, mencoba tetap tenang, meskipun hati ini s
“Mengapa kamu kekeh membela pembawa sial ini, Zavier?!” Kak Zeny masih tak terima Zavier membelaku. Tatapannya tajam, seakan ingin menelanku hidup-hidup.Aku tertunduk dengan mata yang mulai memanas. Lagi-lagi batin ini merasa sangat terluka mendengar perkataan Kak Zeny. Namun, aku tak bisa melawan, walau sebenarnya mampu. Tak ingin makin memperkeruh suasana.Seraya menggigit bibir, aku menahan air mata yang hendak menerobos keluar. Namun, semakin kutahan, semakin deras butiran-butiran itu jatuh tanpa bisa kucegah.“Heh! Tidak usah menangis! Palingan itu air mata palsu untuk cari perhatian atau pembelaan Zavier!” Kak Zeny mendengus sinis. “Dasar munafik!”Sebuah tamparan keras seperti menghantamku. Namun, bukan di pipi, melainkan di hatiku.Aku tertegun. Tak bisa berkata-kata. Hanya bisa menelan mentah-mentah perkataan Kak Zeny yang terus memojokkanku.“Pergi dari sini cewek sialan! Kamu tid—”“Kak, cukup!” seru Zavier.
Aku masih berdiri, mengerjap beberapa kali, memastikan kalau tidak salah dengar. Namun, tatapan Zavier padaku tidak berubah, tetap serius. Sesaat, tetap bergeming ketika Zavier menepuk kasur di sampingnya, seolah ingin memastikan aku mengerti maksudnya.“Kalau lo tidur di sofa yang ada besok tubuh lo sakit semua. Jadi, tidur di sini. Gue enggak bakal macem-macem,” katanya dengan nada santai. Namun, aku tetap melihat kilatan nakal di sana. “Yang benar aja? Nanti lo sempit kalau gue tidur di situ.”“Enggak. Ini luas, kok. Bisa nampung kita berdua.”Aku memutar bola mata. Berusaha mencari alasan agar tidak sampai tidur bersamanya. Ngadi-ngadi saja Zavier itu. “Gue tidur di sofa aja, deh, Zav. Biar lo lebih leluasa.”Dia mendengus, tampak kesal. Sebelum benar-benar berbalik, tangannya terulur menarikku mendekat. Kali ini, genggamannya lebih erat dari tadi. Jarak kami tinggal beberapa senti sekarang, bahkan aku bisa menciu