Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling begitu jam istirahat kedua sudah tiba. Mencari-cari sosok Zavier yang menghilang bagai ditelan bumi. Tadinya, dia bilang padaku mau ke kantin. Ia lapar gara-gara tak sarapan sebelum ke sekolah. Namun, hingga mata pelajaran di jam kedua usai, dia tak kunjung kembali ke kelas. Mustahil, kalau lupa jalan pulang ke kelas, kan? Entah dapat dorongan dari mana sehingga aku melangkah menuju kantin untuk mencarinya. Namun, tak kutemukan sosoknya. Di perpustakaan, tidak ada juga. Di lapangan, sama saja. Ke mana rupanya cowok resek itu? Apa jangan-jangan, dia ... bolos? Ah, tidak salah lagi, dia pasti bolos. Apalagi, jam kedua tadi Fisika. Aku ingat, dia tidak begitu suka dengan pelajaran yang berbau perhitungan, apalagi materi kami sudah masuk rumus-rumusnya. Akan tetapi, masa iya dia bolos? Sudah beberapa pertemuan semenjak aku memergokinya manjat pagar, dia sudah tak pernah bolos lagi. Semenjak saat itu, dia jadi rajin ikut mata pela
Aku mendorong pintu di sebuah ruang rawat VIP dengan perlahan, mencoba mengatur napas yang tiba-tiba terasa berat. Begitu pintu terbuka dan menimbulkan bunyi, semua kepala yang ada di dalam langsung menoleh ke arahku.Di samping ranjang, Tante Sofia sedang duduk dengan seorang wanita cantik berdiri anggun di sisinya. Aku menebak kalau dia pasti kakaknya Zavier---kakak iparku.Dan tentu saja, Papa mertua yang duduk di sofa dekat jendela, satu kakinya berada di atas kaki lainnya.Sementara itu, di sisi lain hospital bad, Zavier juga duduk seraya mengelus tangan Oma yang terbaring lemah. Ya, setelah mendapat informasi dari Ibu mertuaku kalau Oma dirawat karena pingsan akibat terjatuh dan hingga kini belum sadar, aku langsung menuju ke rumah sakit.Melihatku berdiri gamang di ambang pintu, Zavier langsung berdiri dan melangkah mendekat. Ekspresinya tampak bingung sekaligus heran. Mungkin dalam hatinya bertanya-tanya, kena
Setelah semua orang pulang untuk beristirahat, kini tinggal aku dan Zavier yang menjaga Oma, sesuai permintaannya tadi yang ingin ditemani kami berdua. Aku pun pasrah saja meskipun harus menginap di rumah sakit malam ini, bersama Zavier, karena memang tidak memiliki pilihan lain. “Jadi ....” Zavier yang bersandar di sofa sambil melipat tangan di dadanya memecah keheningan ketika Oma sudah tidur. Dia menatapku yang duduk di sebelahnya dengan senyum setengah mengejek agaknya. “Kenapa lo tiba-tiba telepon Ibu tadi? Khawatir sama gue, ya?” Memicing, tampak penasaran. Aku memutar bola mata, mencoba menyembunyikan rasa panas di wajahku. “Heh, enggak usah kepedean. Gue tadi nyari lo cuma buat bilang kalau pekan depan kita ada ulangan Fisika.” Zavier terkekeh pelan, mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat padaku. “Oh, ya? Lo bela-belain nelpon Ibu cuma buat ngasih tau gue soal ulangan? Perhatian amat istriku, ya ampun.” Dia malah mengusap-usap kepalaku. Aku mendesis dan langsun
Aku masih memandangi kertas ulangan Zavier di tanganku. Bukan karena takjub, tetapi tak bisa berkata-kata. Mataku terpaku pada angka besar yang tertulis di sana. Persis seperti nilaiku. 100. Namun, untuk nilainya Zavier, angka nolnya ditendang satu. Astaga. Rupanya tadi, dia memandangi lembar soal cuma memandangi saja, bukan serius mengerjakan. Lebih tepatnya, dia pura-pura serius. Lihatlah, nilainya bahkan sukar dipercaya untuk ukuran seorang siswa yang konon populer di kalangan para gadis di sekolah ini. Aku mengalihkan pandangan ke arahnya, sedikitnya menuntut penjelasannya yang masih terlihat santai seperti biasa, seolah-olah nilai itu adalah hal yang paling biasa baginya. “Zav-Zav.” Aku memanggilnya pelan. Dia menoleh dengan alis terangkat. Saat matanya menangkap kertas ulangannya di tanganku, dia langsung merebutnya dengan sedikit kasar. “Eh, kembalikan!” Aku memelototinya. “Seriusan, nilai lo segitu? Lo enggak belajar tadi malam?” “Belajar, tapi pas liat soal m
Aku melepas tangan Mira dengan kasar begitu Bu Erna---guru Seni makin mendekat. Dia mengusap-usap lengannya, sudah pasti kesakitan karena tadi aku mencengkeramnya sangat kuat. “Ada apa ini?” Suara tegas Bu Erna memecah ketegangan. Kami semua menoleh, sekilas dapat kulihat Mira masih mengusap lengan. Bu Erna menatapku seakan-akan menaruh curiga. “Aluna, bajumu kenapa?” Aku menunduk melihat bajuku yang basah dan terlihat ada noda bekas tumpahan minuman ulah si Mira. Kualihkan pandangan ke arah Mira dan teman-temannya yang mulai terlihat gelisah. Mungkin takut kalau aku mengadu. “Enggak apa-apa, Bu. Tadi, ketumpahan minuman aja,” kataku berbohong. Hanya tidak ingin memperpanjang masalah. Bukan takut pada Mira, tetapi biar dia senang sedikit karena aku tak mengadukan perbuatannya. Setelah ini, baru akan kubalas pelan-pelan. “Oh, ya sudah. Kalau begitu, bubar. Jangan bikin keributan di sini.” Saat semua orang mulai berpencar, Mira mendekatkan wajah padaku, berbisik agar
Aku terus mencari sepatuku dengan panik. Sisa waktu makin menipis dan aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana? Sepatu yang hilang itu bukan cuma masalah penampilan, tetapi juga bagian dari kostum yang harus sesuai tema.Curiga ada yang sengaja menyembunyikan sepatuku. Aku menyeru frustrasi. “Siapa yang ngumpetin sepatu gue?!”Tak ada yang menjawab, meskipun semua tampak menoleh padaku.Kecuali, satu orang. Zavier, dia langsung menghampiriku. Wajahnya yang biasanya terlihat santai, berubah serius.“Kenapa teriak-teriak?” tanyanya.“Sepatu gue hilang.”“Taro di mana tadi?”“Di sini.” Aku menunjuk tempatku menyimpan sepatu. “Harusnya ada di sini, tapi enggak ada.”Zavier menyentuh bahuku pelan sambil berkata, “Kamu tenang dulu, ya.” Dia berdiri tegap,menatap tajam yang lainnya satu per satu.“Siapa yang nyembunyiin sepatunya Aluna?” Suaranya rendah, tetapi penuh tekanan. “Jawab!” Kal
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Bersama Zavier, kami melangkah menuju panggung, mengenakan busana adat yang telah ditentukan sebelumnya. “Santai, Lun. Kita cuma perlu jalan,” bisik Zavier dengan nada santai di dekatku. Dia ini sepertinya memiliki keahlian menebak isi hati. “Tunjukkan pesonamu, Istriku,” lanjutnya membuatku mengerucutkan bibir kesal dan mencuri kesempatan mencubit pinggangnya. “Diam enggak lo!” ucapku pelan, tetapi penuh penekanan. Waktu berlalu, kami mulai berjalan beriringan, langkah kami seolah-olah mengikuti irama musik tradisional yang dimainkan. Pada langkah kami di atas panggung ini juga langsung disambut teriakan riuh dari siswa-siswa di barisan penonton. Suasana begitu ramai, sampai beberapa celetukan yang jelas-jelas membicarakan aku dan Zavier terdengar hingga ke panggung.
Wajah Lila dan Diana mulai tampak sedikit tegang. Lila mencoba menjelaskan situasinya. “Mir, bukannya tadi malam lo yang nge-chat kita kalo kostumnya diubah?” “Iya, benar. Gue juga agak heran kenapa tiba-tiba diubah, padahal sebelumnya kita udah sepakat masalah kostum, tapi gue lebih baik dengerin lo!” “Alasan!” bentak Mira, “udah tau salah, pake nyalahin gue lagi!” “Mana ada Mira ngubah kostum kita? Gue aja enggak diberitahu, tuh,” sahut Nadia membuat Lila dan Diana saling berpandangan. Ruat bingungnya tampak dengan jelas. “Nah, loh! Kalian berdua, tuh, bikin malu, tau enggak?!” Mira mendelik tajam. Sementara itu, aku bersedekap sambil menyaksikan pemandangan langka itu dengan alis terangkat. Larissa di sebelahku menahan tawa sambil berbisik, “Menarik juga drama gratis mereka.” Di sebelahnya, Maya juga ikut menyemburkan tawa. “Iya. Bisa-bisa Lila dan Diana didepak dari geng-nya
POV ZAVIERHari-hari berlalu begitu cepat, dan tanpa terasa, ujian akhir kami sebagai siswa akhirnya tiba. Deg-degan? Sudah pasti.Aku duduk di bangkuku, sambil memutar bolpoin tanpa sadar. Sesekali, pandanganku melirik ke arah Aluna yang duduk beberapa baris di depan.Pandangannya fokus ke kertas ujian. Raut wajahnya begitu tenang—terlalu tenang, malah. Mungkin soal-soal ujian kami sangat mudah baginya, pasalnya dia pintar. Hanya saja, ada hal yang membuatku bertanya-tanya dalam hati ketika melihatnya. Mengapa beberapa hari terakhir ini sikapnya cukup aneh?Dia berubah. Dingin. Tidak seperti Aluna yang kukenal sebelumnya. Padahal, sebelum ujian, dia masih baik-baik saja dan kami sering belajar bersama.Dia dengan sabar mengajariku materi yang tidak kumengerti, meskipun sesekali sengaja membuatnya kesal. Aku senang membuatnya kesal karena dia makin kesal, makin menggemaskan.Aku masih ingat saat dia kesal padaku sampai ngambek karena dia sudah sibuk menjelaskan, tetapi aku malah tert
POV ZAVIERAku sengaja datang malam-malam ke rumah Aluna karena di rumah lagi sepi. Orang rumah pergi tanpa mengajakku.Untungnya, karena aku bisa menggunakan alasan mengembalikan buku catatan yang kupinjam dan juga membawakan martabak telur keju untuk Aluna jika ditanya ada kepentingan apa datang malam-malam?Sebenarnya, alasan paling pokoknya karena lagi kangen. Berat banget tahu nikah saat masih sekolah, apalagi jika tinggalnya harus terpisah. Kudu nahan rindu setengah mati, padahal tiap hari juga ketemu sebenarnya.Sengaja, aku mengajaknya mengobrol hingga larut, biar banyak alasan untuk menginap di rumahnya. Cemerlang banget, kan, ide Zavier? Hehe.Hanya saja, aku sempat-sempatnya dibikin salting saat Aluna menyuapiku martabak. Duh, rasanya kayak terbang ke bulan. Ini pertama kali dia menyuapiku selama kami nikah. Sebelumnya, hanya sebatas mengambilkan makanan. Itu pun sudah cukup membuatku sesak napas. Ikan hiu melayang-layang. Makin ke sini, makin sayang. Eyaa!Setelah dapat i
Aku menyuapinya lagi dalam keheningan, hingga beberapa saat kemudian, Zavier bertanya, “Gimana rencana lo ke depan?” Aku mengerjap pelan, menatapnya sedikit curiga. Rencana apa yang dia maksud? Jangan-jangan … dia tahu sesuatu, soal rencana balas dendamku, mungkin? Tidak … tidak! Itu mustahil! Orang yang tahu rencanaku cuma Kak Aidan dan Tama. Aku berusaha tenang agar tak terlihat seperti sedang menyembunyikan sesuatu. “Rencana apa?” tanyaku menatapnya seakan-akan mencari sesuatu dari bola matanya itu. Zavier mengunyah sebentar, lalu menelan makanannya sebelum menjawab, “Ya, rencana lo. Gue belum mutusin mau kuliah di mana. Terus lo juga belum bilang mau lanjut kuliah di mana?” Aku memutar bola mata sambil menarik napas lega dalam diam. Kupikir rencana apa? “Harus banget gue bilang ke lo?” tanyaku malas. Dia mengangguk santai sambil tersenyum tipis. “Menurut gue, ya, harus. Soalnya, setelah gue pikir-pikir, gue mending kuliah di tempat lo aja. Biar kita bisa berangkat ba
Hari demi hari berganti tanpa henti, seperti angin yang berlalu begitu saja tanpa pernah kembali ke tempat asalnya. Dedaunan di halaman dekat jendela kamarku yang dulu hijau segar kini mulai berguguran, sebagai tanda pergantian musim yang telah tiba. Rutinitas sekolah, ujian-ujian kecil juga terus terjadi, serta proses belajar tambahan untuk persiapan ujian pun sudah dilakukan. Dan, yang paling penting status pernikahanku dengan Zavier, sejauh ini masih terpantau aman. Kini, aku duduk di dekat jendela kamarku sambil menatap layar ponsel, di mana ada foto bersamaku dengan Kak Alina di sana. Foto itu diambil saat ia mengunjungiku di Aussie beberapa bulan lalu. Aku tak menduga kalau pertemuan itu menjadi pertemuan terakhirku dengannya. “Selalu jaga diri, ya, Lun. Meskipun kami jauh di sana, kamu tetap kesayangan kami semua.” Aku ingat betul dia mengatakan itu saat akan pulang ke Indonesia. “Belajar baik-baik, biar nanti jadi arsitek terkenal. Kakak akan doakan yang terbaik,” katan
“Yang lain boleh bubar. Aluna dan Zavier tetap tinggal di sini. Ibu mau bicara sama kalian,” ujar Bu Mila membuatku melirik Zavier. Entah apa yang akan dibicarakan Bu Mila pada kami berdua? Apa jangan-jangan beliau sudah melaporkan pada pihak sekolah kalau aku dan Zavier sudah menikah? Kalau begitu, itu artinya sebentar lagi, kami akan dikeluarkan dari sekolah.Aku menunduk sambil meremas ujung bajuku erat-erat. Rasa cemas membuat dadaku sesak, tetapi tiba-tiba Zavier mengulurkan tangan dan menggenggam jemariku lembut.Aku meliriknya sekilas. Dia tersenyum kecil, senyum yang seolah-olah mengatakan kalau semua akan baik-baik saja.Bu Mila mukai menghela napas panjang, memecah keheningan di antara kami. Beliau melipat tangannya di atas meja, menatap kami bergantian. “Ibu to the point saja, ya. Kalian sungguh-sungguh sudah menikah?” Bu Mila memicing, mencari tahu.Pertanyaan itu membuatku dan Zavier saling melirik, seakan bertanya siapa yan
“Gue tau lo yang ngelakuin ini! Buat apa, Mira? Buat ngejelekin nama gue di depan Zavier? Buat ngerendahin gue di depan anak-anak? Atau buat cari perhatian gue? Hah?!”Makin keras cengkeramanku, semakin Mira meronta.Zavier yang sedari tadi diam sedikit tersentak, mungkin tak percaya kalau aku akan melawan dengan brutal. Malah sebenarnya, aku bisa lebih kejam dari ini.Dari sudut mataku, terlihat dia bergegas cepat ke arahku. Menarik tanganku untuk melepas cengkeraman dari Mira yang sudah histeris. Aku tahu dia kesakitan, tapi aku tidak peduli. Biar dia sedikit merasakan, apa yang dirasakan Kak Alina dulu karena ulahnya.“Lepasin dia,” ujar Zavier. Tatapannya lembut, tetapi tak berhasil melembutkan hatiku yang telanjur penuh emosi.“Luna, Sayang! Lo ....”“Enggak mau, Zav-Zav! Gue akan kasih dia pelajaran. Dari awal, ini orang enggak pernah jera mengusik hidup gue. Apa emang lo enggak pernah puas gangguin orang? Sebelumnya, lo ga
Hening. Tidak ada respons. Kutekan gagang pintu lagi dengan lebih keras, tetapi hasilnya nihil.Sial!BRAK! BRAK! BRAK!“Ada orang di luar, enggak?” Aku kembali berseru, kali ini lebih keras sambil sesekali menggedor pintu dengan frustrasi. Napasku mulai tak beraturan, panik karena tak ada yang merespons.Hingga beberapa saat kemudian, gagang pintu bergerak disertai suara dari luar. “Siapa di dalam?”“Aluna,” jawabku cepat, setidaknya juga merasa lega. Akhirnya ada yang mendengar. Kalau tidak, aku mungkin akan terkunci di kamar mandi ini, entah sampai kapan?“Astaga, Lun! Pintunya terkunci dari luar. Tunggu sebentar, ya!” teriak suara itu, suara yang langsung kukenali pemiliknya adalah Adnan.Beberapa detik kemudian, terdengar suara kunci diputar. Namun, begitu pintu terbuka, Adnan yang berdiri di sana tiba-tiba terhuyung masuk.Tanpa sempat menghindar, tubuhnya menabrakku hingga kami berdua terjatuh k
“Bu ... Bu Mila?” Suaraku nyaris tak keluar. Bagaimana ini?Aku bahkan hampir tak percaya wanita itu benar-benar berdiri di hadapan kami sekarang.Bu Mila, guru BK yang dari awal sekolah di SMA Pelita Nusantara sudah menjadi langgananku menerima hukuman. Guru yang konon masih jomblo di usia 35 tahun itu menatap kami tajam. Tatapan yang selalu bisa membuat nyali siswa-siswi SMA Pelita Nusantara menciut.“Bu ....” Aku bangkit, hendak menghampirinya untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Hanya saja, wanita berhijab itu bahkan enggak untuk sekadar mendengarkan penjelasanku. “Apa? Mau membela diri?” Dia berkata sambil menyeringai sinis. “Jelas-jelas tadi kalian mengatakannya sendiri. Ibu di belakang kalian. Jadi, jangan pikir Ibu tidak mendengar apa yang kalian bicarakan!”Zavier ikut berdiri. Menghampiri Bu Mila. “Bu, kami bisa jelaskan.”“Diam!” bentak Bu Mila membuatku sedikit tersentak. “Kalian tidak perlu jelaskan
Pulang dari rumah Lila, kami mampir di sebuah kafe yang konon jadi favoritnya Zavier. Tempatnya memang lumayan tenang. Aku mengaduk-aduk es kopi susu di depanku sesekali melihat keluar jendela. Rasanya bisa bernapas lega karena berhasil menolong Lila meskipun sebelumnya orang tuaku sempat ragu untuk memberi uang. Bukan terlalu sayang pada uangnya, tetapi takut Lila akan memanfaatkanku di kemudian hari. Namun, pada akhirnya mereka luluh setelah aku mencoba menyakinkannya.“Gue salut sama lo.” Zavier membuka suara, membuatku spontan menoleh padanya yang berada di sebelahku.“Salut kenapa?”“Karena lo suka menolong. Enggak nyangka aja, kalau lo sampai punya pikiran buat bantu Lila keluar dari masalahnya. Jujur, Lila beruntung ketemu orang kayak lo saat dia sedang kesulitan. Bayangin, kalo dia ketemu sama gue, mungkin cuma bakal nyuruh dia sabar.”Aku tertawa kecil. Tidak sepenuhnya menyalahkan pikiran Zavier. Sebelumnya, aku juga