Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya.
Bersama Zavier, kami melangkah menuju panggung, mengenakan busana adat yang telah ditentukan sebelumnya. “Santai, Lun. Kita cuma perlu jalan,” bisik Zavier dengan nada santai di dekatku. Dia ini sepertinya memiliki keahlian menebak isi hati. “Tunjukkan pesonamu, Istriku,” lanjutnya membuatku mengerucutkan bibir kesal dan mencuri kesempatan mencubit pinggangnya. “Diam enggak lo!” ucapku pelan, tetapi penuh penekanan. Waktu berlalu, kami mulai berjalan beriringan, langkah kami seolah-olah mengikuti irama musik tradisional yang dimainkan. Pada langkah kami di atas panggung ini juga langsung disambut teriakan riuh dari siswa-siswa di barisan penonton. Suasana begitu ramai, sampai beberapa celetukan yang jelas-jelas membicarakan aku dan Zavier terdengar hingga ke panggung.Wajah Lila dan Diana mulai tampak sedikit tegang. Lila mencoba menjelaskan situasinya. “Mir, bukannya tadi malam lo yang nge-chat kita kalo kostumnya diubah?” “Iya, benar. Gue juga agak heran kenapa tiba-tiba diubah, padahal sebelumnya kita udah sepakat masalah kostum, tapi gue lebih baik dengerin lo!” “Alasan!” bentak Mira, “udah tau salah, pake nyalahin gue lagi!” “Mana ada Mira ngubah kostum kita? Gue aja enggak diberitahu, tuh,” sahut Nadia membuat Lila dan Diana saling berpandangan. Ruat bingungnya tampak dengan jelas. “Nah, loh! Kalian berdua, tuh, bikin malu, tau enggak?!” Mira mendelik tajam. Sementara itu, aku bersedekap sambil menyaksikan pemandangan langka itu dengan alis terangkat. Larissa di sebelahku menahan tawa sambil berbisik, “Menarik juga drama gratis mereka.” Di sebelahnya, Maya juga ikut menyemburkan tawa. “Iya. Bisa-bisa Lila dan Diana didepak dari geng-nya
Zavier malah tertawa kecil, menatapku seolah-olah aku sedang melontarkan lelucon paling lucu di dunia. “Loh?”“Ya, kalau lo niat, pasti bawa dua helm. Bukannya cuma satu.”“Kirain tadi lo bakal bawa motor sendiri ke sini.” Dia masih dengan ekspresi santainya, menyodorkan helm itu ke arahku. “Gini, deh. Lo aja yang pake. Gue enggak usah.”Aku menatapnya, setengah tak percaya dengan ucapannya. “Biar apa yang dibonceng pake helm? Aneh banget tau.”“Biar lo aman,” jawabnya ringan, seolah-olah jawabannya itu sangat masuk akal.“Terus lo rela enggak aman cuma biar gue aman?”Dia tersenyum, kali ini ekspresi wajahnya terlihat lebih serius. “Kalau itu buat lo, gue rela ngelakuin apa aja. Udah, enggak usah debat. Nih, gue pasangin.”Tubuhku langsung membeku ketika dia meraih helm itu dan mulai memasangkannya di kepalaku, nyaris tanpa memberiku kesempatan untuk protes. Sentuhan tangannya terasa lembut, tetapi tegas, memb
Aku tertawa kecil melihat raut wajah Zavier yang tampak jelas sedang cemas. Alisnya berkerut, sesekali melirik pintu rumahku seperti berjaga-jaga kalau musuhnya akan keluar dari sana. “Takut, ya?”Dia mendengus kecil, langsung memalingkan wajah ke arah lain. Untuk pertama kalinya, aku tidak melihat raut percaya dirinya itu. “Siapa juga yang takut? Gue cuma enggak mau mati dihantam aja,” gerutunya pelan.Aku terkekeh, lalu melipat tangan di dada. “Santai aja, Kak Aidan lagi enggak di rumah. Dia ke luar kota tadi pagi.”Mendengar jawabanku, Zavier mendadak seperti balon yang kehilangan udara. Wajah tegangnya langsung mencair dan dia menarik napas lega. “Oh, syukurlah. Kalau dia ada, mungkin gue lebih baik pulang ke rumah orang tua gue demi keselamatan,” katanya sambil mengusap tengkuk.Aku memutar bola mata sambil menyeringai sinis. “Dasar pengecut!”Jujur saja, kalau Kak Aidan ada di rumah, aku juga mana beran
Aku berjalan ke dapur dengan langkah malas, mata masih berat, dan otak belum sepenuhnya bekerja. Tanganku langsung meraih gelas, mengisi air dari dispenser, dan menenggaknya tanpa pikir panjang. Namun, ketenanganku pagi ini langsung buyar oleh suara Bunda yang memekakkan telinga.“Astaga, anak gadis baru bangun jam segini? Malu sama Nak Zavier. Dia udah bangun dari tadi!”Aku hampir tersedak mendengar itu. Gelas di tanganku hampir jatuh, tetapi aku buru-buru memasang ekspresi datar. “Hm,” gumamku pendek sambil mendengus sebal, memilih untuk tidak merespons lebih jauh. Percuma, kalau melawan, ujung-ujungnya nanti Bunda akan mengomel tiada henti.Aku melangkah ke ruang makan dengan gelas di tangan. Tentu saja, pemandangan yang kulihat membuat mood-ku makin buruk.Zavier duduk di kursi makan, terlihat santai, bahkan mengobrol ringan dengan Papa. Entah kenapa mereka terlihat sangat akrab, sudah persis ayah dan anak.“Setengah 8 baru
“Bukan buat kuliah gue, tapi biar bisa nafkahin lo. Lo kan enggak mau nerima kalau gue kasih uang yang bukan hasil jerih payah gue.”Deg!Kata-katanya sukses membuat wajahku memanas seketika. Aku langsung menunduk, sibuk pura-pura membolak-balik halaman buku. Entah semerah apa wajahku sekarang karena pernyataan Zavier yang benar-benar di luar dugaanku?Ternyata, dia masih menyimpan kata-kataku di kepalanya. Ya ampun, dasar pria, susah ditebak.“Pikirkan lagi,” gumamku pelan, mencoba mengalihkan perhatian, “itu bukan solusi yang bagus buat lo.”Zavier hanya tersenyum tipis, tetapi aku bisa merasakan pandangannya masih tertuju padaku. “Gue udah pikirkan dan memang ini solusi terbaik. Kita udah nikah, jadi enggak mungkin enggak mikirin tentang ke depan,” katanya lagi. Suasana jadi canggung, tetapi aku tidak berani mengangkat wajah ataupun merespons ucapannya. Kenapa dia selalu berhasil membuatku salah tingkah seperti ini? Astaga! Jangan sampai berlarut.“Udah, nanti dibahas lebih lanju
Aku menggeliat pelan, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih menggelayuti. Ternyata, aku tertidur di sofa saat menunggu Zavier menyelesaikan tugas dariku. “Kelamaan dia, gue sampai ketiduran!” gumamku dalam hati. Sambil mengumpulkan kesadaran, mataku yang setengah terbuka menangkap bayangan samar seseorang di depanku. Wajah itu tampak menatapku dengan senyum lebar yang mendadak bikin jantungku nyaris melompat dari tempatnya. Astaga, dia ngapain?Panik, aku langsung menyambar buku pelajaran tebal yang tergeletak di atas dadaku, lalu melemparkannya tanpa pikir panjang.BRAK!Buku itu mendarat telak di dahi Zavier, disertai erangan kesakitan yang langsung keluar dari mulutnya. “Argh! Aluna!”Aku buru-buru duduk tegak, mataku membulat panik.“Lo ngapain, sih?!” Aku terperangah, menatapnya yang kini memegangi dahi dengan ekspresi yang tampak menahan sakit.“Lo yang ngapain pake lempar gue segala? Hampir aja g
“Astaga, lo di sini ternyata,” kata Kak Aidan. Dia sambil melangkah santai ke arahku, diikuti dengan Tama. Astaga, mereka bersama lagi? Benar-benar bestie yang sulit untuk dipisahkan. Sebelum Kak Aidan benar-benar tiba di hadapanku, aku melirik ke belakang sofa, memastikan Zavier sudah aman dalam persembunyiannya.Hanya saja, bayangan puncak rambutnya yang sedikit terlihat membuatku langsung panik sehingga harus pura-pura merapikan bantal sofa untuk menutupinya. Diam-diam, aku menarik rambutnya dengan maksud memberikan kode agar ia lebih membungkuk lagi. Entah bagaimana ekspresi Zavier sekarang, mungkin kesal dengan perbuatanku. Biarin aja, masa bodoh dengan ekspresi. “Kakak dari tadi manggil-manggil lo, tapi lo enggak nyahut. Sejak kapan lo jadi budeg begitu?” tanya Kak Aidan dengan nada suaranya yang ketus sambil meletakkan beberapa kantong belanja di meja. Aku tebak itu oleh-oleh. Soalnya aku suka nagih sampai ngambek eng
Aku terus meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman dua pria yang entah ada maksud apa sehingga menyeretku ke belakang gudang?Hingga tak lama kemudian, Mira dan teman-temannya muncul dari balik dinding gudang. Tangannya terlipat, ekspresi mereka sama angkuhnya, tampak puas melihatku seperti ini. Sekarang, aku bisa menyimpulkan kalau yang terjadi padaku pagi ini karena ulahnya.Dia menghampiriku dengan mata menyipit tajam seakan-akan penuh dengan kebencian. “Ketemu juga lo!”Kubalas tatapannya tak kalah sengit, lalu bertanya, “Oh, jadi ini kerjaan lo?”“Emang iya. Kenapa?”Aku tertawa miris. “Ngapain lo repot-repot, sih, nyuruh antek-antek lo buat culik gue ke sini? Kan, lo bisa hubungin gue buat nyuruh datang ke sini.”Mendengar perkataanku, mata Mira seketika melotot marah. “Lo jangan banyak bacot!” Bentakannya sama sekali tak membuatku takut.Tangannya yang ramping meraih rambutku dan menariknya dengan kasar. Aku meringis, berusaha menepis tangannya, tetapi cengkeraman pria
Setelah orang suruhanku kembali dan melaporkan kalau sudah menyelesaikan misi, aku pun berjalan untuk memastikan.Kini, aku berdiri di balik pintu, mengamati dengan saksama. Mira dan teman-temannya terduduk di lantai yang penuh tumpukan debu itu. Mara mereka tertutup kain hitam, jelas tak bisa melihatku. Mulut ditutupi menggunakan plaster hitam agar tak berteriak. Tangan mereka diikat erat di belakang punggung. Ada semacam kelegaan mengalir dalam diriku saat melihat mereka terperangkap seperti ini. Aku senang, meskipun sisi lain hatiku merasa perbuatanku ini cukup jahat. Namun, perbuatan mereka lebih jahat pada kakakku. Dan, juga telah berniat ingin membuatku seperti Kak Alina. Jadi, biar aku saja yang membuatnya merasakan itu.Aku tersenyum tipis. Tidak kasihan sama sekali. Tidak juga menyesal. Mereka semua harus tahu seperti apa rasanya disiksa, seperti yang telah mereka lakukan pada Kak Alina.Aku berbalik dan tanpa berkata banyak, aku memerintahkan dengan suara yang tegas, “Bik
Aku langsung melempar tubuh ke sofa begitu tiba di apartemen Tama seolah-olah menghempas segala beban yang sejak tadi menumpuk di dada. Aku bisa merasakan Kak Aidan yang saat ini sedang fokus ke laptopnya, beralih menatapku. Sementara itu, Tama hanya berdiri di dekat dapur dengan tangan terlipat di depan dada.“Tumben kalian udah pulang kantor jam segini?” tanyaku sambil melirik jam tangan. Sudah menunjukkan pukul 4 lebih 30 menit.“Entah siapa yang nyuruh kami berdua pulang cepat?” cibir Tama yang membuatku tertawa cengengesan. Sebelumnya, aku memang meminta mereka pulang cepat karena ingin berbicara perihal investasi terselebungku malam ini. Paling tidak, aku akan meminta bantuan, meskipun sepertinya ini agak sulit. Soalnya, mereka pernah bilang tidak mau ikut campur, bahkan sudah memperingatiku berulang kali agar tak melanjutkan misiku.Tanpa basa-basi, aku pun berkata, “Malam ini, gue mau nyulik orang-orang yang udah nyakitin Kak Alina.”Kak Aidan langsung menatapku tajam. Ada r
POV ALUNA Hari yang mendebarkan itu sudah tiba, hal itu berarti sudah tiba saatnya juga aku mulai menjalankan misi terselebung yang sudah kurencanakan jauh-jauh hari, sebelum pindah ke sekolah ini. Soal Zavier, yang aku tahu terlibat penganiayaan Kak Alina, tetapi dia sepertinya tak berniat untuk menjelaskan padaku atau sekadar meminta maaf akan perbuatannya. Walau mulutnya berkata tidak tahu apa-apa, tetapi aku tahu kalau dia menyembunyikan sesuatu. Pembicaraan dengan ibunya saat itu menguatkan pradugaku. Sejauh ini, aku sudah cukup memberikan pria bergelar suamiku itu perhatian penuh. Puncaknya, saat hampir tiba waktu ujian. Aku setiap hari, mengajarinya pelajaran yang tidak dimengerti, mengulang materi yang dia malas pelajari, dan mengawasi dia agar tidak seenaknya sendiri. Meskipun semuanya tak berjalan mulus karena dia sangat menyebalkan. Masih jelas dalam ingatanku saat dia tiba-tiba merebut bukuku hanya karena dia bosan belajar. “Gue pusing banget, Lun. Kita ist
POV ZAVIERPintu ruangan tiba-tiba terbuka dengan keras dan saat itu juga, lampu yang temaram langsung menyala, menerangi seluruh ruangan.Hal yang membuatku lebih terkejut lagi saat 2 pria berbadan tinggi besar masuk dan langsung Mira dan teman-temannya hingga tersungkur di hadapan kami. Mereka tampak babak belur, dengan tangan terikat dan lakban yang menutupi mulut mereka.Salah satu pria itu melepas lakban dari mulut mereka membuat 3 gadis itu menjerit kesakitan.Mira menatap mereka emosi, napasnya memburu. “Brengsek kalian! Lepasin kami! Siapa yang nyuruh lo?!”Aku mengernyit bingung, menatap mereka satu per satu. Kalau Mira juga disekap … lantas, siapa yang sebenarnya melakukan semua ini?Perasaanku mulai tak nyaman. Aku berbalik ke arah Aluna, setidaknya mencari solusi darinya. Namun, Aluna yang seharusnya masih terikat di kursi, kini sudah berdiri. Dengan gerakan santai, melepas tali yang kukira mengikat erat tangannya tadi.Jantungku berdegup kencang. Merasa ada yang salah d
POV ZAVIER Pikiranku semakin kalut hingga memutuskan untuk pergi mencari Aluna ke tempat yang kemungkinan dia datangi. Namun, dalam perjalanan, tiba-tiba ponselku di saku celana bergetar, membuatku langsung menepikan motor dan berhenti, berharap ada kabar baik yang akan mempertemukan kami. Aku sempat ragu beberapa detik begitu melihat pesan dari nomor tak dikenal, tetapi karena penasaran akhirnya aku menggeser layar untuk membaca pesannya. “Halo, Zavier. Apa lo sedang mencari Aluna, pacar kesayangan lo?” Aku menelan ludah sambil berpikir kenapa orang ini tahu kalau aku sedang mencari Aluna? “Siapa lo?” balasku cepat. “Lo tidak perlu tau siapa gue. Tapi, lo harus tau tentang ini?” Ting! Pesan kembali masuk. Kali ini, beserta foto seorang perempuan yang duduk di kursi dengan tangan terikat. Mulutnya dilakban, terdapat beberapa luka di wajahnya. Deg! Aluna. Aku sontak melebarkan mata melihat istriku ternyata sedang dalam bahaya. “Pacar lo ada di tangan gue. Kalo ma
POV ZAVIERHari-hari berlalu begitu cepat, dan tanpa terasa, ujian akhir kami sebagai siswa akhirnya tiba. Deg-degan? Sudah pasti.Aku duduk di bangkuku, sambil memutar bolpoin tanpa sadar. Sesekali, pandanganku melirik ke arah Aluna yang duduk beberapa baris di depan.Pandangannya fokus ke kertas ujian. Raut wajahnya begitu tenang—terlalu tenang, malah. Mungkin soal-soal ujian kami sangat mudah baginya, pasalnya dia pintar. Hanya saja, ada hal yang membuatku bertanya-tanya dalam hati ketika melihatnya. Mengapa beberapa hari terakhir ini sikapnya cukup aneh?Dia berubah. Dingin. Tidak seperti Aluna yang kukenal sebelumnya. Padahal, sebelum ujian, dia masih baik-baik saja dan kami sering belajar bersama.Dia dengan sabar mengajariku materi yang tidak kumengerti, meskipun sesekali sengaja membuatnya kesal. Aku senang membuatnya kesal karena dia makin kesal, makin menggemaskan.Aku masih ingat saat dia kesal padaku sampai ngambek karena dia sudah sibuk menjelaskan, tetapi aku malah tert
POV ZAVIERAku sengaja datang malam-malam ke rumah Aluna karena di rumah lagi sepi. Orang rumah pergi tanpa mengajakku.Untungnya, karena aku bisa menggunakan alasan mengembalikan buku catatan yang kupinjam dan juga membawakan martabak telur keju untuk Aluna jika ditanya ada kepentingan apa datang malam-malam?Sebenarnya, alasan paling pokoknya karena lagi kangen. Berat banget tahu nikah saat masih sekolah, apalagi jika tinggalnya harus terpisah. Kudu nahan rindu setengah mati, padahal tiap hari juga ketemu sebenarnya.Sengaja, aku mengajaknya mengobrol hingga larut, biar banyak alasan untuk menginap di rumahnya. Cemerlang banget, kan, ide Zavier? Hehe.Hanya saja, aku sempat-sempatnya dibikin salting saat Aluna menyuapiku martabak. Duh, rasanya kayak terbang ke bulan. Ini pertama kali dia menyuapiku selama kami nikah. Sebelumnya, hanya sebatas mengambilkan makanan. Itu pun sudah cukup membuatku sesak napas. Ikan hiu melayang-layang. Makin ke sini, makin sayang. Eyaa!Setelah dapat i
Aku menyuapinya lagi dalam keheningan, hingga beberapa saat kemudian, Zavier bertanya, “Gimana rencana lo ke depan?” Aku mengerjap pelan, menatapnya sedikit curiga. Rencana apa yang dia maksud? Jangan-jangan … dia tahu sesuatu, soal rencana balas dendamku, mungkin? Tidak … tidak! Itu mustahil! Orang yang tahu rencanaku cuma Kak Aidan dan Tama. Aku berusaha tenang agar tak terlihat seperti sedang menyembunyikan sesuatu. “Rencana apa?” tanyaku menatapnya seakan-akan mencari sesuatu dari bola matanya itu. Zavier mengunyah sebentar, lalu menelan makanannya sebelum menjawab, “Ya, rencana lo. Gue belum mutusin mau kuliah di mana. Terus lo juga belum bilang mau lanjut kuliah di mana?” Aku memutar bola mata sambil menarik napas lega dalam diam. Kupikir rencana apa? “Harus banget gue bilang ke lo?” tanyaku malas. Dia mengangguk santai sambil tersenyum tipis. “Menurut gue, ya, harus. Soalnya, setelah gue pikir-pikir, gue mending kuliah di tempat lo aja. Biar kita bisa berangkat ba
Hari demi hari berganti tanpa henti, seperti angin yang berlalu begitu saja tanpa pernah kembali ke tempat asalnya. Dedaunan di halaman dekat jendela kamarku yang dulu hijau segar kini mulai berguguran, sebagai tanda pergantian musim yang telah tiba. Rutinitas sekolah, ujian-ujian kecil juga terus terjadi, serta proses belajar tambahan untuk persiapan ujian pun sudah dilakukan. Dan, yang paling penting status pernikahanku dengan Zavier, sejauh ini masih terpantau aman. Kini, aku duduk di dekat jendela kamarku sambil menatap layar ponsel, di mana ada foto bersamaku dengan Kak Alina di sana. Foto itu diambil saat ia mengunjungiku di Aussie beberapa bulan lalu. Aku tak menduga kalau pertemuan itu menjadi pertemuan terakhirku dengannya. “Selalu jaga diri, ya, Lun. Meskipun kami jauh di sana, kamu tetap kesayangan kami semua.” Aku ingat betul dia mengatakan itu saat akan pulang ke Indonesia. “Belajar baik-baik, biar nanti jadi arsitek terkenal. Kakak akan doakan yang terbaik,” katan