Aku menghentikan laju motor matic-ku dengan sekali rem halus, menatap lapangan parkir yang ternyata sudah penuh sesak. Mencari-cari tempat kosong hingga aku melihat satu ruang yang cukup luas. Tanpa pikir panjang, aku mengarah ke sana dan memarkirkan motor di tempat yang menurutku cukup nyaman untuk parkir. Helm kulepas lalu menyimpannya di spion sambil memperhatikan suasana sekitar. Tidak lama, deru mesin mobil berhenti tak jauh dari tempatku berdiri. Aku mendengar suara pintu mobil dibuka sedikit kasar, disusul langkah kaki yang makin mendekat. Begitu menoleh, seorang cowok tinggi sedang berjalan ke arahku dengan wajah merah padam. “Heh!” bentaknya, “ini tempat parkir gue!” “Kenapa lo parkir di situ, hah?” tanyanya penuh emosi. Aku berbalik, menatapnya dengan tenang, sama sekali tidak merasa terintimidasi oleh gertakannya dan gerak tubuh yang seolah-olah mengisyaratkan kalau ia paling berkuasa di sini. Aku belum mengatakan apa pun ketika dia yang justru tampak sedikit tersen
Setelah bel pulang berbunyi, aku bergegas ke parkiran. Namun, begitu mendekati bekas motor kesayangan Kak Alina yang sudah aku modifikasi sedikit, biar terlihat keren, tiba-tiba perasaan tidak enak langsung muncul. Ternyata ban belakang kempes. Mataku menyipit, mengingat tadi pagi bannya masih baik-baik saja. Tidak mungkin ada paku bertebaran di parkiran sekolah elit ini, ‘kan? Sebab, yang biasanya bertebaran itu janji manis pemilik kumis tipis. Kecuali, ada yang sengaja iseng. Ah, aku tahu! Pasti ini ulah si Zavier. Siapa lagi yang punya niat buruk padaku sejak tadi pagi kalau bukan dia? Memang resek itu orang. Aku menghela napas, mencoba meredam amarah, hingga terdengar tawa keras dari belakang. “Wah, kasian banget, bannya kempes, ya?” Suara Zavier terdengar jelas. Dia datang bersama dua orang temannya, mereka tertawa mengejek. Zavier menatapku dengan senyum puas di wajahnya. “Kayaknya ada yang gak bakal bisa pulang, nih?” Aku menggertakkan gigi, menahan diri agar
Begitu malam tiba, aku duduk sambil memandangi laptop di meja belajarku. Memikirkan seseorang yang mungkin bisa membantuku mencari tahu lebih banyak tentang Alina, seperti saran Tama--sepupuku tadi siang. “Coba cari teman yang paling dekat dengan Alina dulu. Lo bisa dapat setidaknya informasi penting dari situ.” “Astaga, gue baru di sini. Mana gue tau siapa yang paling dekat dengan Kak Alina?” Aku memijat-mijat kepala lalu mengusap-usap dagu. Sambil berpikir keras, aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Dan, seketika itu aku mengingat dua orang yang tadi mengaku sebagai sahabat Kak Alina. Sesaat, aku merasa senang, tetapi detik berikutnya, aku kembali cemberut. “Tapi, bagaimana kalau mereka cuma ngaku-ngaku?” Di tengah lamunanku itu, tiba-tiba ada ketukan dari pintu kamarku. Tanpa perlu mendapat izin dariku, pintu terbuka dan Bunda masuk sambil membawa segelas susu. “Aluna Sayang, kamu lagi apa?” tanyanya. “Eh, nggak ngapa-ngapain kok, Bun. Cuma lagi ... browsin
Aku fokus mengikuti pelajaran meskipun sesekali mendapat gangguan dari setan di sebelahku. Zavier kerap diam-diam melemparku menggunakan gulungan kertas kecil. Dan, itu tak hanya dilakukan sekali dua kali, tetapi berlanjut di hari-hari berikutnya. Entah kenapa orang yang sangat menyebalkan seperti Zavier bisa-bisanya menjadi ketua kelas? Konyol sekali! Ketika jam istirahat tiba, aku memilih istirahat di belakang sekolah. Lumayan, di sana ada pohon jambu air yang buahnya banyak dan sudah matang. Maling sedikit, tidak apa-apa. Lagipula, kalau dibiarkan begitu saja nanti buahnya busuk. Jadi, mending aku makan saja, biar lebih berkah buat yang tanam. Kini, aku duduk pada salah satu cabang pohon sambil menggoyang-goyangkan kaki, memetik beberapa buahnya untuk kudiamkan di pangkuan. Sembari menikmati kedamaian ini, mataku tiba-tiba menangkap gerakan di bawah. Ada Zavier dan teman-temannya sedang berjalan melewati area itu. Tanpa pikir panjang, ide iseng langsung muncul di benakku
Aku menarik napas sambil berjalan menuju bangku kayu di belakang sekolah yang sepi. Larissa dan Maya masih mengikuti dari belakang, tatapan bingung mereka seperti dua anak hilang yang tidak tahu arah tujuannya? Aku duduk bersama Larissa, sementara Maya masih mondar-mandir di hadapan kami sambil mengusap-usap dagu. Sudah seperti Bu RT yang memikirkan cara agar kampungnya dapat bantuan pemerintah. Aku menatap mereka dengan serius sambil berpikir sejenak. Menurut pengamatanku kurang lebih sepekan sekolah di sini, sepertinya mereka berdua orang baik-baik. Tidak seperti si Zavier yang sangat mengesalkan. Maksudku, tidak ada salahnya menjadikan Maya dan Larissa sebagai teman. Mana tahu dengan begitu, aku bisa mendapatkan informasi lebih banyak lagi tentang Kak Alina seperti saran Tama. Dan, itu akan mempermudah misi pertamaku untuk mengetahui siapa-siapa saja yang pernah terlibat mengganggu saudara kembarku? “Bagaimana mungkin lo bukan Alina?” tanya Maya tak bisa menyembunyik
Wanita bertubuh sintal itu berjalan menghampiri kami membuat Zavier buru-buru berdiri, hendak kabur, tetapi tanganku lebih sigap bergerak menarik tasnya agar ia tak pergi begitu saja. Enak saja, setelah ada upaya bolos dari jam pelajaran, dia mau kabur seenaknya ketika ketahuan. Jangan mimpi! Dia mendengus sebal, dengan terpaksa berdiri menunduk begitu Bu Mila--guru BK sudah berada di hadapan kami. “Ngapain kalian di sini?” tanya wanita berhijab itu tegas. “Ini, Bu. Zavier mau bolos dari pelajaran Fisika,” kataku tanpa menyembunyikan apa pun. Biar tahu rasa si Zavier dihukum. Aku tak sabar ingin melihatnya hormat pada tiang bendera di bawah teriknya mentari di jam 9 pagi ini. Hahaha. Bu Mila mengembuskan napas berat. “Apa benar begitu, Zavier?” tanyanya ingin memastikan. Zavier menggeleng cepat. Berusaha membela dirinya. “Sebenarnya, e ... anu, saya, itu cuma ... eh, lagi ngetes Hukum Newton I, Bu. Katanya benda diam akan tetap diam kalau nggak ada yang ganggu, tapi
Aku memilih duduk di tangga taman sekolah sekitar lapangan futsal sambil merenggangkan otot-otot kaki yang ternyata pegal juga dihukum berdiri sampai jam istirahat. Ngeri sekali Bu Mila, tuh! Untung fisik aku kuat meskipun tak suka makan semen tiga roda, jadi tak sampai pingsan. “Kok bisa, sih, lo dihukum bareng Zavier? Bikin masalah apa lo, Lun?” tanya Maya yang kini sudah duduk di sebelahku. “Bukan suatu masalah sebenarnya. Bu Mila aja yang nggak paham sisi kreatif seseorang. Harusnya bersyukur, ada yang mau bikin sketsa cetar membahana di tembok sekolah tanpa digaji.” “Jangan bilang lo coret-coret tembok?” “Emang iya,” jawabku entang. “Astaga Aluna!” Maya menepuk jidat frustrasi. Kupilih tak memperpanjang pembahasan yang membuatku kesal sampai ubun-ubun itu. Ingat saja, aku akan membalas Zavier! Gara-gara dia mengadu ke Bu Mila, aku harus membuang malu pada tiang bendera. Sebab merasa bosan, aku mengambil novel dari tas dan membukanya perlahan sesekali mendengarkan Maya d
Aku menunduk diam sambil meremas jari-jari mendengarkan Bu Mila yang sedang menceramahiku habis-habisan. Ya, tadi setelah mengakui kepemilikan ular mainan itu pada Bu Sri yang menjadi korban keganasan benda tersebut, guru Fisika itu langsung membawaku ke ruang BK untuk di-konseling, padahal aku sudah setengah mati minta maaf, tetapi tidak termaafkan. Belum juga sebulan sekolah di sini, tetapi entah yang ke berapa kalinya aku keluar masuk ruang BK? “Aluna ... Aluna, kamu lagi. Kamu ini sebenarnya nge-fans sama Ibu atau gimana? Doyan sekali masuk ruang BK.” Bu Mila menggeleng berulang kali. Dia lalu bangkit dan berdiri di hadapanku. “Coba kamu jelaskan, apa motivasi kamu membawa ular mainan ke sekolah? Kamu merasa masih anak TK yang lagi lucu-lucunya segala mainan dikoleksi semua?” Suara Bu Mila terdengar tegas membuat suasana di ruangan yang sepi ini terasa cukup mencekam. Aku menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Nyatanya, aku tidak punya motivasi apa-apa. Tadinya, aku mem
Aku terus meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman dua pria yang entah ada maksud apa sehingga menyeretku ke belakang gudang?Hingga tak lama kemudian, Mira dan teman-temannya muncul dari balik dinding gudang. Tangannya terlipat, ekspresi mereka sama angkuhnya, tampak puas melihatku seperti ini. Sekarang, aku bisa menyimpulkan kalau yang terjadi padaku pagi ini karena ulahnya.Dia menghampiriku dengan mata menyipit tajam seakan-akan penuh dengan kebencian. “Ketemu juga lo!”Kubalas tatapannya tak kalah sengit, lalu bertanya, “Oh, jadi ini kerjaan lo?”“Emang iya. Kenapa?”Aku tertawa miris. “Ngapain lo repot-repot, sih, nyuruh antek-antek lo buat culik gue ke sini? Kan, lo bisa hubungin gue buat nyuruh datang ke sini.”Mendengar perkataanku, mata Mira seketika melotot marah. “Lo jangan banyak bacot!” Bentakannya sama sekali tak membuatku takut.Tangannya yang ramping meraih rambutku dan menariknya dengan kasar. Aku meringis, berusaha menepis tangannya, tetapi cengkeraman pria
“Astaga, lo di sini ternyata,” kata Kak Aidan. Dia sambil melangkah santai ke arahku, diikuti dengan Tama. Astaga, mereka bersama lagi? Benar-benar bestie yang sulit untuk dipisahkan. Sebelum Kak Aidan benar-benar tiba di hadapanku, aku melirik ke belakang sofa, memastikan Zavier sudah aman dalam persembunyiannya.Hanya saja, bayangan puncak rambutnya yang sedikit terlihat membuatku langsung panik sehingga harus pura-pura merapikan bantal sofa untuk menutupinya. Diam-diam, aku menarik rambutnya dengan maksud memberikan kode agar ia lebih membungkuk lagi. Entah bagaimana ekspresi Zavier sekarang, mungkin kesal dengan perbuatanku. Biarin aja, masa bodoh dengan ekspresi. “Kakak dari tadi manggil-manggil lo, tapi lo enggak nyahut. Sejak kapan lo jadi budeg begitu?” tanya Kak Aidan dengan nada suaranya yang ketus sambil meletakkan beberapa kantong belanja di meja. Aku tebak itu oleh-oleh. Soalnya aku suka nagih sampai ngambek eng
Aku menggeliat pelan, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih menggelayuti. Ternyata, aku tertidur di sofa saat menunggu Zavier menyelesaikan tugas dariku. “Kelamaan dia, gue sampai ketiduran!” gumamku dalam hati. Sambil mengumpulkan kesadaran, mataku yang setengah terbuka menangkap bayangan samar seseorang di depanku. Wajah itu tampak menatapku dengan senyum lebar yang mendadak bikin jantungku nyaris melompat dari tempatnya. Astaga, dia ngapain?Panik, aku langsung menyambar buku pelajaran tebal yang tergeletak di atas dadaku, lalu melemparkannya tanpa pikir panjang.BRAK!Buku itu mendarat telak di dahi Zavier, disertai erangan kesakitan yang langsung keluar dari mulutnya. “Argh! Aluna!”Aku buru-buru duduk tegak, mataku membulat panik.“Lo ngapain, sih?!” Aku terperangah, menatapnya yang kini memegangi dahi dengan ekspresi yang tampak menahan sakit.“Lo yang ngapain pake lempar gue segala? Hampir aja g
“Bukan buat kuliah gue, tapi biar bisa nafkahin lo. Lo kan enggak mau nerima kalau gue kasih uang yang bukan hasil jerih payah gue.”Deg!Kata-katanya sukses membuat wajahku memanas seketika. Aku langsung menunduk, sibuk pura-pura membolak-balik halaman buku. Entah semerah apa wajahku sekarang karena pernyataan Zavier yang benar-benar di luar dugaanku?Ternyata, dia masih menyimpan kata-kataku di kepalanya. Ya ampun, dasar pria, susah ditebak.“Pikirkan lagi,” gumamku pelan, mencoba mengalihkan perhatian, “itu bukan solusi yang bagus buat lo.”Zavier hanya tersenyum tipis, tetapi aku bisa merasakan pandangannya masih tertuju padaku. “Gue udah pikirkan dan memang ini solusi terbaik. Kita udah nikah, jadi enggak mungkin enggak mikirin tentang ke depan,” katanya lagi. Suasana jadi canggung, tetapi aku tidak berani mengangkat wajah ataupun merespons ucapannya. Kenapa dia selalu berhasil membuatku salah tingkah seperti ini? Astaga! Jangan sampai berlarut.“Udah, nanti dibahas lebih lanju
Aku berjalan ke dapur dengan langkah malas, mata masih berat, dan otak belum sepenuhnya bekerja. Tanganku langsung meraih gelas, mengisi air dari dispenser, dan menenggaknya tanpa pikir panjang. Namun, ketenanganku pagi ini langsung buyar oleh suara Bunda yang memekakkan telinga.“Astaga, anak gadis baru bangun jam segini? Malu sama Nak Zavier. Dia udah bangun dari tadi!”Aku hampir tersedak mendengar itu. Gelas di tanganku hampir jatuh, tetapi aku buru-buru memasang ekspresi datar. “Hm,” gumamku pendek sambil mendengus sebal, memilih untuk tidak merespons lebih jauh. Percuma, kalau melawan, ujung-ujungnya nanti Bunda akan mengomel tiada henti.Aku melangkah ke ruang makan dengan gelas di tangan. Tentu saja, pemandangan yang kulihat membuat mood-ku makin buruk.Zavier duduk di kursi makan, terlihat santai, bahkan mengobrol ringan dengan Papa. Entah kenapa mereka terlihat sangat akrab, sudah persis ayah dan anak.“Setengah 8 baru
Aku tertawa kecil melihat raut wajah Zavier yang tampak jelas sedang cemas. Alisnya berkerut, sesekali melirik pintu rumahku seperti berjaga-jaga kalau musuhnya akan keluar dari sana. “Takut, ya?”Dia mendengus kecil, langsung memalingkan wajah ke arah lain. Untuk pertama kalinya, aku tidak melihat raut percaya dirinya itu. “Siapa juga yang takut? Gue cuma enggak mau mati dihantam aja,” gerutunya pelan.Aku terkekeh, lalu melipat tangan di dada. “Santai aja, Kak Aidan lagi enggak di rumah. Dia ke luar kota tadi pagi.”Mendengar jawabanku, Zavier mendadak seperti balon yang kehilangan udara. Wajah tegangnya langsung mencair dan dia menarik napas lega. “Oh, syukurlah. Kalau dia ada, mungkin gue lebih baik pulang ke rumah orang tua gue demi keselamatan,” katanya sambil mengusap tengkuk.Aku memutar bola mata sambil menyeringai sinis. “Dasar pengecut!”Jujur saja, kalau Kak Aidan ada di rumah, aku juga mana beran
Zavier malah tertawa kecil, menatapku seolah-olah aku sedang melontarkan lelucon paling lucu di dunia. “Loh?”“Ya, kalau lo niat, pasti bawa dua helm. Bukannya cuma satu.”“Kirain tadi lo bakal bawa motor sendiri ke sini.” Dia masih dengan ekspresi santainya, menyodorkan helm itu ke arahku. “Gini, deh. Lo aja yang pake. Gue enggak usah.”Aku menatapnya, setengah tak percaya dengan ucapannya. “Biar apa yang dibonceng pake helm? Aneh banget tau.”“Biar lo aman,” jawabnya ringan, seolah-olah jawabannya itu sangat masuk akal.“Terus lo rela enggak aman cuma biar gue aman?”Dia tersenyum, kali ini ekspresi wajahnya terlihat lebih serius. “Kalau itu buat lo, gue rela ngelakuin apa aja. Udah, enggak usah debat. Nih, gue pasangin.”Tubuhku langsung membeku ketika dia meraih helm itu dan mulai memasangkannya di kepalaku, nyaris tanpa memberiku kesempatan untuk protes. Sentuhan tangannya terasa lembut, tetapi tegas, memb
Wajah Lila dan Diana mulai tampak sedikit tegang. Lila mencoba menjelaskan situasinya. “Mir, bukannya tadi malam lo yang nge-chat kita kalo kostumnya diubah?” “Iya, benar. Gue juga agak heran kenapa tiba-tiba diubah, padahal sebelumnya kita udah sepakat masalah kostum, tapi gue lebih baik dengerin lo!” “Alasan!” bentak Mira, “udah tau salah, pake nyalahin gue lagi!” “Mana ada Mira ngubah kostum kita? Gue aja enggak diberitahu, tuh,” sahut Nadia membuat Lila dan Diana saling berpandangan. Ruat bingungnya tampak dengan jelas. “Nah, loh! Kalian berdua, tuh, bikin malu, tau enggak?!” Mira mendelik tajam. Sementara itu, aku bersedekap sambil menyaksikan pemandangan langka itu dengan alis terangkat. Larissa di sebelahku menahan tawa sambil berbisik, “Menarik juga drama gratis mereka.” Di sebelahnya, Maya juga ikut menyemburkan tawa. “Iya. Bisa-bisa Lila dan Diana didepak dari geng-nya
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Bersama Zavier, kami melangkah menuju panggung, mengenakan busana adat yang telah ditentukan sebelumnya. “Santai, Lun. Kita cuma perlu jalan,” bisik Zavier dengan nada santai di dekatku. Dia ini sepertinya memiliki keahlian menebak isi hati. “Tunjukkan pesonamu, Istriku,” lanjutnya membuatku mengerucutkan bibir kesal dan mencuri kesempatan mencubit pinggangnya. “Diam enggak lo!” ucapku pelan, tetapi penuh penekanan. Waktu berlalu, kami mulai berjalan beriringan, langkah kami seolah-olah mengikuti irama musik tradisional yang dimainkan. Pada langkah kami di atas panggung ini juga langsung disambut teriakan riuh dari siswa-siswa di barisan penonton. Suasana begitu ramai, sampai beberapa celetukan yang jelas-jelas membicarakan aku dan Zavier terdengar hingga ke panggung.