Aku tidak tahu sudah berapa lama memperhatikannya, tetapi satu hal yang pasti, aku tidak ingin kehilangan momen langka ini. “Lo selalu bikin gue gila, Lun,” gumamku pelan. “Entah sejak kapan, tapi ... gue harus akui kalau udah jatuh cinta sama lo, bahkan sebelum insiden yang mengharuskan kita harus terikat pernikahan dini,” kataku pelan, sangat menjaga suara agar tak sampai membuatnya terbangun, “gue tau, lo itu kadang ngeselin, tapi ... ada sisi lain dari lo yang bikin hati gue malah tertarik dan ingin selalu berada di dekat lo.” Tanganku perlahan terulur untuk sedikit merapikan rambutnya yang menutupi wajahnya. Tak ketinggalan jari-jariku perlahan mengusap pipinya, lembut. Sesaat, aku menatap wajahnya, ingin sekali dia tahu perasaanku yang sangat tulus mencintainya, walaupun aku bukan Tulus yang bisa bernyanyi. “Lun ...,” lanjutku, lebih pelan lagi, “soal Alina, Kakak kembar lo, gue ... minta maaf. Pasti lo sangat terluka kehilangan dia.” Setelah beberapa saat, aku bangkit
‘Duh, apa yang harus gue katakan pada Oma?’ Aku berdehem pelan mencoba bersikap tenang. “Eh, anu, Oma ... kami, eh ... iya, tidur sekamar, tapi kami enggak ngapa-ngapain, kok! Suer!” Aku mengangkat dua jari untuk menyakinkan Oma dan orang tuaku. “Enggak ngapa-ngapain, tapi suara teriakannya nyampe ke bawah tadi,” cibir Oma membuatku seketika meneguk ludah. Itu pasti teriakan Aluna saat kaget kami tidur bareng. Aku melirik Mama dan Papa yang hanya mesem-mesem, sedangkan Aluna, dia hanya menunduk, malu-malu kucing, terlihat dari pipinya yang makin memerah. “Ingat, ya, kalian berdua itu masih harus sangat hati-hati, jangan sampai terjadi hal-hal yang enggak diinginkan. Sederhananya, jangan sampai Aluna hamil. Kalian masih SMA. Kalau ketahuan menikah, kalian bisa dikeluarin dari sekolah,” tutur Mama menatapku dan Aluna bergantian, memberikan pengertian. “Kami enggak ngapa-ngapain, kok, Ma. Tadi malam, Zavier hanya minta ditemani karena takut butuh apa-apa,” kata Aluna membela dir
Sejak pembicaraan di meja makan itu, pikiranku jadi tak ada habisnya menerka-nerka. Ah, sudah kayak judul lagu saja.Keluarga mertuaku, semua tampak biasa saja, seolah-olah tidak ada yang terjadi, tetapi aku justru merasa ada yang tidak beres.Zavier yang meskipun aku sudah menikah dengannya, tetapi aku belum terlalu mengenal terlalu dalam seperti apa warna aslinya yang sebenarnya.Satu hal yang kutahu, dia adalah sosok yang sangat kejinya melenyapkan kakak kembarku. Dan, aku tentu tidak akan melupakan hal itu karena tujuan awalku masuk ke sekolah Kak Alina adalah untuk balas dendam atas kematiannya.Pikiranku masih tetap tertuju pada pembicaraan tadi, bahkan sampai kami berangkat ke sekolah. Zavier yang mengemudikan mobil sibuk berceloteh. Sesekali aku membalas celotehannya, tanpa benar-benar memperhatikan perkataannya.“Lun, lo kenapa, sih?” tanya Zavier begitu kami tiba di parkiran sekolah. Mungkin, dia baru menyadari perubahan sikapku
“Tetap aja kurang ajar. Mau sampai kapan lo nikah sama cowok modelan begitu?”Aku menghela napas berat, sungguh sebenarnya sangat malas untuk membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan masalah tadi malam karena lelah, butuh istirahat. Namun, aku yang hendak menjawab, seketika terdiam saat mendengar suara Bunda tiba-tiba menengahi. “Aidan.” Nada suaranya lembut, tetapi masih terdengar tegas. “Kamu enggak boleh bicara seperti itu pada adikmu.”“Kamu sudah dewasa, seharusnya tau apa yang baik atau tidak. Dengan kata-katamu tadi, itu seolah-olah kamu meminta adikmu mempermainkan pernikahan.”Kak Aidan menghela napas panjang, wajahnya tak berubah dari ekspresi kesalnya. “Bun, aku enggak bermaksud begitu, tap—”“Mau bagaimanapun juga, adikmu sudah terikat hubungan pernikahan, walaupun belum tercatat secara sipil, tapi itu resmi secara agama. Kita harus menghormati aturan agama dan tidak boleh mempermainkannya,” potong Bunda, menatap Kak Aidan
Para pria itu menoleh ke arahku. Salah satu di antara mereka yang tubuhnya paling besar, tertawa keras sambil berjalan mendekat. “Cewek kayak lo memang bisa apa? Mending lo balik sana, sebelum lo kami bawa juga!” Bukannya takut, aku justru turun dari motor tanpa melepas helm. Kudekati mereka seolah-olah sengaja menantangnya. “Lo bisa bawa gue ....” Aku sengaja menggantung ucapan, biar mereka senang. Ternyata benar, pria tak tahu malu itu menyeringai menyebalkan, bahkan menyebalkannya Zavier, lebih menyebalkan mereka. “Itu pun kalau bisa," lanjutkan disertai senyum licik. “Lagian, apa lo-lo pada, enggak malu beraninya sama cewek. Badang doang gede, tapi dalamnya banci!” Aku sengaja menyindir yang tampaknya langsung tepat sasaran, terlihat dari gelagat mereka yang mulai kesal. “Wah, nyolot ini cewek!” Pria lain yang tubuhnya lebih kurus mendekatiku dengan langkah cepat. “Denger, ya, kalau lo enggak tau apa-apa, enggak usah ikut campur, sebelum lo terima akibatnya!” Aku tak ge
Lila terdiam, menunduk sambil memainkan ujung jaketnya. Aku memperhatikan raut wajahnya yang mendadak muram, tak seperti biasa yang selalu menunjukkan wajah angkuhnya ketika di hadapanku. Kali ini, ia tampak seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. “Bokap gue mana peduli, Lun,” katanya, tersenyum masam. Membuatku terdiam, menunggunya mengatakan sesuatu yang mungkin bisa memperjelas kalimatnya itu.Dia menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Dia pulang ketika lapar, ngantuk, atau mau marah-marah doang.” Suara Lila hampir tak terdengar.Aku mengernyit, mencoba memahami kata-katanya lebih dalam. “Maksud lo gimana?” tanyaku hati-hati.Lila hanya menggeleng pelan. Buru-buru mengalihkan tatapan matanya yang mulai berkaca. “Maaf, enggak seharusnya gue ceritain masalah keluarga gue sama lo. Kita enggak begitu dekat, Lun.”“Setidaknya, gue bisa jadi pendengar yang baik. Lo butuh tempat cerita, mungkin,” kataku, berusaha menebak keingina
Tak butuh waktu lama, suara dari seberang pun terdengar. “Halo,” katanya dengan nada yang terdengar kesal.“Ada apa, sih, sampai missed call dan pesan lo banyak banget?” tanyaku to the point.“Lo dari mana aja?” Zavier langsung menyemprotku tanpa basa-basi. “Ditelpon enggak diangkat, di-chat enggak dibalas. Gue bahkan udah mau nyusul ke rumah lo, tapi untung lo nelepon duluan. Kebiasaan banget ngilang kayak punya jurus menghilang aja lo!”Aku memutar bola mata, mendesah pelan mendengar omelannya. “Gue cuma keluar sebentar cari udara segar. Ponsel enggak gue bawa. Kenapa emang? Ada yang penting?"“Iya, ada,” jawabnya, tiba-tiba nada suaranya lebih pelan dari sebelumnya, tetapi tetap terdengar tegas.Aku mengernyit, kemudian bertanya lagi. “Apa?”Dia terdiam cukup lama, membuatku sedikit heran. Kenapa dia?“Halo, Zav-Zav. Kenapa?” tanyaku sedikit mendesaknya. Akhirnya, setelah beberapa saat, dia pun bersuara, te
“Lila?!”Aku dan Lila kompak menoleh ke sumber suara. Tampak Larissa dan Maya melangkah mendekat. Jangan ditanya ekspresinya bagaimana? Mereka tampak terkejut, mungkin karena melihatku bersama dengan Lila, padahal selama ini, Lila termasuk salah satu orang yang selalu menggangguku.“Ngapain lo di sini sama Aluna?” Maya langsung menyerang Lila dengan tatapan mengintimidasi.Kulihat Lila menunduk. Tangannya tanpa sadar memainkan ujung seragamnya seolah-olah itu bisa mengurangi kegugupannya. “Gue cuma ... cuma ....”“Cuma apa?” Larissa memotong dengan suara tajam. Sorot matanya seperti menuntut jawaban yang lebih jelas. “Mau gangguin Aluna lagi lo?” Maya menyeringai sinis, seakan-akan menyakini kalau Lila hanya akan membuat masalah di sini.Aku mendengus pelan, menarik Larissa dan Maya agar menjauh dari Lila yang tampak tertekan dengan tatapan kedua temanku itu. “Udah-udah, Lila enggak ganggu gue,” ujarku, membuat mereka
Aku menelan ludah. Memijat tengkuk sambil tertawa cengengesan sebelum akhirnya memberanikan diri berkata, “Kak, gue butuh bantuan. Uang, tepatnya.”Pria 28 tahun itu langsung menoleh padaku dengan alis terangkat, tatapannya jangan ditanya. Dia seperti hendak menelanku hidup-hidup. Tajam, bahkan bisa dibilang lebih tajam dari omongan tetangga. Ih, hus! “Uang? Buat apa? Bunda enggak ngasih lo jajan?” Kak Aidan bertanya seperti itu karena pasti dia berpikir Bunda selalu rutin memberiku jajan setiap bulan, tidak pernah telat.“Ada, kok. Ta—tapi, gue ada keperluan mendesak, Kak. Uang jajan gue enggak cukup buat itu.” Tatapan Kak Aidan makin curiga, terlebih melihatku yang tersenyum terpaksa dan refleks menggaruk pelipis yang sebenarnya tak gatal.“Keperluan apa?”“Ada, Kak. Penting banget pokoknya.” Semoga Kak Aidan tak terlalu banyak tanya setelah ini. So, aku ragu jika mengatakan yang sebenarnya, Kak Aidan tak akan memberikannya.
“Gue rasa, dia dan gengnya dibiarin makin ngelunjak. Kayaknya emang perlu dikasi pelajaran!” tegas Zavier sambil mengepalkan tangan. Raut wajahnya, tampak sangat emosi.Aku menghela napas pelan, tanpa berpikir panjang, menyentuh tangan Zavier yang masih mengepal di atas meja. Maksudku untuk menenangkannya, dia sedang salah paham. “Hei, lo enggak usah marah-marah begitu juga. Gue ngajak ngobrol buat minta bantuan, bukan ngajakin tawuran,” ujarku tersenyum geli, “lagipula, Lila enggak gangguin gue.”Zavier menoleh padaku. Ekspresinya terlihat tenang, meskipun keningnya masih mengerut, seakan-akan menuntut penjelasan.“Lalu, ada apa?”Aku menarik napas panjang, sebelum akhirnya berkata jujur. “Lila sedang dalam masalah. Jadi ....”Mulai kuceritakan masalah Lila secara detail, tajam, terpercaya, tanpa digoreng sampai kriuk-kriuk. Semua ceritaku sesuai dengan fakta yang ada. Tentunya, yang kudengar dari Lila tadi malam.Tata
Aku berdiri terpaku di ruang tamu, tangan terkepal erat di sisi tubuhku. Kata-kata dari dalam kamar itu terus terngiang di telingaku. “Mau sampai kapan, kamu nyembunyiin kebenaran soal kematian kakaknya Aluna, Zavier? Dia harus tau itu.”Napasku tiba-tiba terasa sesak. Jantungku berdegup kencang, seolah-olah hendak meledak. Tentang kematian Kak Alina? Jadi, benar dugaanku kalau mereka sebenarnya mengetahui semuanya, tetapi sengaja menyembunyikan. Dan, kebaikan yang diperlihatkan di depanku, semua hanya ... palsu, demi menutupi kebobrokan keluarga mereka.“Lihat saja, apa yang akan kulakukan nanti untuk membalas perbuatan kalian?” geramku dalam hati, penuh dengan emosi yang membara.Aku ingin langsung menerobos pintu kamar yang sedikit terbuka itu, menuntut penjelasan mereka sekarang juga. Akan tetapi, tubuhku hanya terpaku di tempat seolah-olah sulit untuk sekadar melangkah.Sisi lain diriku ingin mendengar lebih banyak, mencari kepastia
“Oh, pantesan enggak mau gabung kita lagi karena udah punya teman lain. Penghianat lo!” murka Mira sambil menunjuk Lila.Suaranya yang melengking keras itu membuat beberapa orang di sekitar mulai melirik ke arah kami.Kulihat Lila tampak ingin menjelaskan, bibirnya terbuka seolah mencari kata-kata yang tepat untuk membela diri. “Enggak ... bukan gitu, Mir. Gue ....”“Apa?!” Mira memotong kasar. Tangannya terangkat, siap memukul Lila yang menunduk ketakutan.Hanya saja, aku yang melihatnya, refleks meraih pergelangan tangan Mira sebelum tangannya menyentuh Lila. “Lo mau ngapain?” tanyaku ketus.Tatapan tajam kami bertemu seakan-akan ingin saling menelan hidup-hidup. Mira mendengus, mencoba menarik tangannya, tetapi aku tidak melepaskannya begitu saja, justru makin mencengkeram dengan sekuat tenaga. Hitung-hitung untuk memberinya peringatan agar tak seenaknya jadi orang.“Emang ada aturan Lila enggak boleh berte
“Lila?!”Aku dan Lila kompak menoleh ke sumber suara. Tampak Larissa dan Maya melangkah mendekat. Jangan ditanya ekspresinya bagaimana? Mereka tampak terkejut, mungkin karena melihatku bersama dengan Lila, padahal selama ini, Lila termasuk salah satu orang yang selalu menggangguku.“Ngapain lo di sini sama Aluna?” Maya langsung menyerang Lila dengan tatapan mengintimidasi.Kulihat Lila menunduk. Tangannya tanpa sadar memainkan ujung seragamnya seolah-olah itu bisa mengurangi kegugupannya. “Gue cuma ... cuma ....”“Cuma apa?” Larissa memotong dengan suara tajam. Sorot matanya seperti menuntut jawaban yang lebih jelas. “Mau gangguin Aluna lagi lo?” Maya menyeringai sinis, seakan-akan menyakini kalau Lila hanya akan membuat masalah di sini.Aku mendengus pelan, menarik Larissa dan Maya agar menjauh dari Lila yang tampak tertekan dengan tatapan kedua temanku itu. “Udah-udah, Lila enggak ganggu gue,” ujarku, membuat mereka
Tak butuh waktu lama, suara dari seberang pun terdengar. “Halo,” katanya dengan nada yang terdengar kesal.“Ada apa, sih, sampai missed call dan pesan lo banyak banget?” tanyaku to the point.“Lo dari mana aja?” Zavier langsung menyemprotku tanpa basa-basi. “Ditelpon enggak diangkat, di-chat enggak dibalas. Gue bahkan udah mau nyusul ke rumah lo, tapi untung lo nelepon duluan. Kebiasaan banget ngilang kayak punya jurus menghilang aja lo!”Aku memutar bola mata, mendesah pelan mendengar omelannya. “Gue cuma keluar sebentar cari udara segar. Ponsel enggak gue bawa. Kenapa emang? Ada yang penting?"“Iya, ada,” jawabnya, tiba-tiba nada suaranya lebih pelan dari sebelumnya, tetapi tetap terdengar tegas.Aku mengernyit, kemudian bertanya lagi. “Apa?”Dia terdiam cukup lama, membuatku sedikit heran. Kenapa dia?“Halo, Zav-Zav. Kenapa?” tanyaku sedikit mendesaknya. Akhirnya, setelah beberapa saat, dia pun bersuara, te
Lila terdiam, menunduk sambil memainkan ujung jaketnya. Aku memperhatikan raut wajahnya yang mendadak muram, tak seperti biasa yang selalu menunjukkan wajah angkuhnya ketika di hadapanku. Kali ini, ia tampak seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. “Bokap gue mana peduli, Lun,” katanya, tersenyum masam. Membuatku terdiam, menunggunya mengatakan sesuatu yang mungkin bisa memperjelas kalimatnya itu.Dia menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Dia pulang ketika lapar, ngantuk, atau mau marah-marah doang.” Suara Lila hampir tak terdengar.Aku mengernyit, mencoba memahami kata-katanya lebih dalam. “Maksud lo gimana?” tanyaku hati-hati.Lila hanya menggeleng pelan. Buru-buru mengalihkan tatapan matanya yang mulai berkaca. “Maaf, enggak seharusnya gue ceritain masalah keluarga gue sama lo. Kita enggak begitu dekat, Lun.”“Setidaknya, gue bisa jadi pendengar yang baik. Lo butuh tempat cerita, mungkin,” kataku, berusaha menebak keingina
Para pria itu menoleh ke arahku. Salah satu di antara mereka yang tubuhnya paling besar, tertawa keras sambil berjalan mendekat. “Cewek kayak lo memang bisa apa? Mending lo balik sana, sebelum lo kami bawa juga!” Bukannya takut, aku justru turun dari motor tanpa melepas helm. Kudekati mereka seolah-olah sengaja menantangnya. “Lo bisa bawa gue ....” Aku sengaja menggantung ucapan, biar mereka senang. Ternyata benar, pria tak tahu malu itu menyeringai menyebalkan, bahkan menyebalkannya Zavier, lebih menyebalkan mereka. “Itu pun kalau bisa," lanjutkan disertai senyum licik. “Lagian, apa lo-lo pada, enggak malu beraninya sama cewek. Badang doang gede, tapi dalamnya banci!” Aku sengaja menyindir yang tampaknya langsung tepat sasaran, terlihat dari gelagat mereka yang mulai kesal. “Wah, nyolot ini cewek!” Pria lain yang tubuhnya lebih kurus mendekatiku dengan langkah cepat. “Denger, ya, kalau lo enggak tau apa-apa, enggak usah ikut campur, sebelum lo terima akibatnya!” Aku tak ge
“Tetap aja kurang ajar. Mau sampai kapan lo nikah sama cowok modelan begitu?”Aku menghela napas berat, sungguh sebenarnya sangat malas untuk membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan masalah tadi malam karena lelah, butuh istirahat. Namun, aku yang hendak menjawab, seketika terdiam saat mendengar suara Bunda tiba-tiba menengahi. “Aidan.” Nada suaranya lembut, tetapi masih terdengar tegas. “Kamu enggak boleh bicara seperti itu pada adikmu.”“Kamu sudah dewasa, seharusnya tau apa yang baik atau tidak. Dengan kata-katamu tadi, itu seolah-olah kamu meminta adikmu mempermainkan pernikahan.”Kak Aidan menghela napas panjang, wajahnya tak berubah dari ekspresi kesalnya. “Bun, aku enggak bermaksud begitu, tap—”“Mau bagaimanapun juga, adikmu sudah terikat hubungan pernikahan, walaupun belum tercatat secara sipil, tapi itu resmi secara agama. Kita harus menghormati aturan agama dan tidak boleh mempermainkannya,” potong Bunda, menatap Kak Aidan