Lila terdiam, menunduk sambil memainkan ujung jaketnya. Aku memperhatikan raut wajahnya yang mendadak muram, tak seperti biasa yang selalu menunjukkan wajah angkuhnya ketika di hadapanku. Kali ini, ia tampak seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.
“Bokap gue mana peduli, Lun,” katanya, tersenyum masam. Membuatku terdiam, menunggunya mengatakan sesuatu yang mungkin bisa memperjelas kalimatnya itu.Dia menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Dia pulang ketika lapar, ngantuk, atau mau marah-marah doang.” Suara Lila hampir tak terdengar.Aku mengernyit, mencoba memahami kata-katanya lebih dalam. “Maksud lo gimana?” tanyaku hati-hati.Lila hanya menggeleng pelan. Buru-buru mengalihkan tatapan matanya yang mulai berkaca. “Maaf, enggak seharusnya gue ceritain masalah keluarga gue sama lo. Kita enggak begitu dekat, Lun.”“Setidaknya, gue bisa jadi pendengar yang baik. Lo butuh tempat cerita, mungkin,” kataku, berusaha menebak keinginaTak butuh waktu lama, suara dari seberang pun terdengar. “Halo,” katanya dengan nada yang terdengar kesal.“Ada apa, sih, sampai missed call dan pesan lo banyak banget?” tanyaku to the point.“Lo dari mana aja?” Zavier langsung menyemprotku tanpa basa-basi. “Ditelpon enggak diangkat, di-chat enggak dibalas. Gue bahkan udah mau nyusul ke rumah lo, tapi untung lo nelepon duluan. Kebiasaan banget ngilang kayak punya jurus menghilang aja lo!”Aku memutar bola mata, mendesah pelan mendengar omelannya. “Gue cuma keluar sebentar cari udara segar. Ponsel enggak gue bawa. Kenapa emang? Ada yang penting?"“Iya, ada,” jawabnya, tiba-tiba nada suaranya lebih pelan dari sebelumnya, tetapi tetap terdengar tegas.Aku mengernyit, kemudian bertanya lagi. “Apa?”Dia terdiam cukup lama, membuatku sedikit heran. Kenapa dia?“Halo, Zav-Zav. Kenapa?” tanyaku sedikit mendesaknya. Akhirnya, setelah beberapa saat, dia pun bersuara, te
“Lila?!”Aku dan Lila kompak menoleh ke sumber suara. Tampak Larissa dan Maya melangkah mendekat. Jangan ditanya ekspresinya bagaimana? Mereka tampak terkejut, mungkin karena melihatku bersama dengan Lila, padahal selama ini, Lila termasuk salah satu orang yang selalu menggangguku.“Ngapain lo di sini sama Aluna?” Maya langsung menyerang Lila dengan tatapan mengintimidasi.Kulihat Lila menunduk. Tangannya tanpa sadar memainkan ujung seragamnya seolah-olah itu bisa mengurangi kegugupannya. “Gue cuma ... cuma ....”“Cuma apa?” Larissa memotong dengan suara tajam. Sorot matanya seperti menuntut jawaban yang lebih jelas. “Mau gangguin Aluna lagi lo?” Maya menyeringai sinis, seakan-akan menyakini kalau Lila hanya akan membuat masalah di sini.Aku mendengus pelan, menarik Larissa dan Maya agar menjauh dari Lila yang tampak tertekan dengan tatapan kedua temanku itu. “Udah-udah, Lila enggak ganggu gue,” ujarku, membuat mereka
“Oh, pantesan enggak mau gabung kita lagi karena udah punya teman lain. Penghianat lo!” murka Mira sambil menunjuk Lila.Suaranya yang melengking keras itu membuat beberapa orang di sekitar mulai melirik ke arah kami.Kulihat Lila tampak ingin menjelaskan, bibirnya terbuka seolah mencari kata-kata yang tepat untuk membela diri. “Enggak ... bukan gitu, Mir. Gue ....”“Apa?!” Mira memotong kasar. Tangannya terangkat, siap memukul Lila yang menunduk ketakutan.Hanya saja, aku yang melihatnya, refleks meraih pergelangan tangan Mira sebelum tangannya menyentuh Lila. “Lo mau ngapain?” tanyaku ketus.Tatapan tajam kami bertemu seakan-akan ingin saling menelan hidup-hidup. Mira mendengus, mencoba menarik tangannya, tetapi aku tidak melepaskannya begitu saja, justru makin mencengkeram dengan sekuat tenaga. Hitung-hitung untuk memberinya peringatan agar tak seenaknya jadi orang.“Emang ada aturan Lila enggak boleh berte
Aku berdiri terpaku di ruang tamu, tangan terkepal erat di sisi tubuhku. Kata-kata dari dalam kamar itu terus terngiang di telingaku. “Mau sampai kapan, kamu nyembunyiin kebenaran soal kematian kakaknya Aluna, Zavier? Dia harus tau itu.”Napasku tiba-tiba terasa sesak. Jantungku berdegup kencang, seolah-olah hendak meledak. Tentang kematian Kak Alina? Jadi, benar dugaanku kalau mereka sebenarnya mengetahui semuanya, tetapi sengaja menyembunyikan. Dan, kebaikan yang diperlihatkan di depanku, semua hanya ... palsu, demi menutupi kebobrokan keluarga mereka.“Lihat saja, apa yang akan kulakukan nanti untuk membalas perbuatan kalian?” geramku dalam hati, penuh dengan emosi yang membara.Aku ingin langsung menerobos pintu kamar yang sedikit terbuka itu, menuntut penjelasan mereka sekarang juga. Akan tetapi, tubuhku hanya terpaku di tempat seolah-olah sulit untuk sekadar melangkah.Sisi lain diriku ingin mendengar lebih banyak, mencari kepastia
“Gue rasa, dia dan gengnya dibiarin makin ngelunjak. Kayaknya emang perlu dikasi pelajaran!” tegas Zavier sambil mengepalkan tangan. Raut wajahnya, tampak sangat emosi.Aku menghela napas pelan, tanpa berpikir panjang, menyentuh tangan Zavier yang masih mengepal di atas meja. Maksudku untuk menenangkannya, dia sedang salah paham. “Hei, lo enggak usah marah-marah begitu juga. Gue ngajak ngobrol buat minta bantuan, bukan ngajakin tawuran,” ujarku tersenyum geli, “lagipula, Lila enggak gangguin gue.”Zavier menoleh padaku. Ekspresinya terlihat tenang, meskipun keningnya masih mengerut, seakan-akan menuntut penjelasan.“Lalu, ada apa?”Aku menarik napas panjang, sebelum akhirnya berkata jujur. “Lila sedang dalam masalah. Jadi ....”Mulai kuceritakan masalah Lila secara detail, tajam, terpercaya, tanpa digoreng sampai kriuk-kriuk. Semua ceritaku sesuai dengan fakta yang ada. Tentunya, yang kudengar dari Lila tadi malam.Tata
Aku menelan ludah. Memijat tengkuk sambil tertawa cengengesan sebelum akhirnya memberanikan diri berkata, “Kak, gue butuh bantuan. Uang, tepatnya.” Pria 28 tahun itu langsung menoleh padaku dengan alis terangkat, tatapannya jangan ditanya. Dia seperti hendak menelanku hidup-hidup. Tajam, bahkan bisa dibilang lebih tajam dari omongan tetangga. Ih, hus! “Uang? Buat apa? Bunda enggak ngasih lo jajan?” Kak Aidan bertanya seperti itu karena pasti dia tahu kalau Bunda selalu rutin memberiku jajan setiap bulan, tidak pernah telat. Jadi, agak aneh jika tiba-tiba meminta uang padanya. “Ada, kok. Ta—tapi, gue ada keperluan mendesak, Kak. Uang jajan gue enggak cukup buat itu.” Tatapan Kak Aidan makin curiga, terlebih melihatku yang tersenyum terpaksa dan refleks menggaruk pelipis yang sebenarnya tak gatal. “Keperluan apa?” “Ada, Kak. Penting banget pokoknya.” Semoga Kak Aidan tak terlalu banyak tanya setelah ini. So, aku ragu jika mengatakan yang sebenarnya, Kak Aidan tak akan membe
Dia didorong hingga tersungkur ke tanah. Ibunya menangis histeris, hendak menolong tetapi seorang pria bertubuh kekar dengan rokok terselip di bibirnya menahan dengan kasar.Aku tebak, dia ayahnya Lila.Helm kulepas begitu motor Zavier berhenti. Beberapa saat, semua orang melihat kedatangan kami penuh tanya. Namun, seolah tak peduli, mereka tetap melanjutkan kekacauan yang terjadi itu.Wanita yang tak lain ibunya Lila terlihat lelah berusaha melepaskan diri dari cengkeraman suaminya. “Bagaimana bisa kau mengorbankan anak kita sendiri demi utang-utangmu? Dia masih sekolah! Dia masih anak-anak! Dia tidak boleh menikah dengan siapa pun!”Perlindungan itu justru mendapat balasan berupa makian dari suaminya. “Diam! Dia hanya anak perempuan! Tidak penting sekolah tinggi-tinggi, ngabisin uang saja. Daripada aku dipenjara, biarkan dia mengerahkan dirinya untuk berbakti padaku sebagai ayahnya! Itu lebih bermanfaat daripada dia sekolah!”Kata-kata
Pulang dari rumah Lila, kami mampir di sebuah kafe yang konon jadi favoritnya Zavier. Tempatnya memang lumayan tenang. Aku mengaduk-aduk es kopi susu di depanku sesekali melihat keluar jendela. Rasanya bisa bernapas lega karena berhasil menolong Lila meskipun sebelumnya orang tuaku sempat ragu untuk memberi uang. Bukan terlalu sayang pada uangnya, tetapi takut Lila akan memanfaatkanku di kemudian hari. Namun, pada akhirnya mereka luluh setelah aku mencoba menyakinkannya.“Gue salut sama lo.” Zavier membuka suara, membuatku spontan menoleh padanya yang berada di sebelahku.“Salut kenapa?”“Karena lo suka menolong. Enggak nyangka aja, kalau lo sampai punya pikiran buat bantu Lila keluar dari masalahnya. Jujur, Lila beruntung ketemu orang kayak lo saat dia sedang kesulitan. Bayangin, kalo dia ketemu sama gue, mungkin cuma bakal nyuruh dia sabar.”Aku tertawa kecil. Tidak sepenuhnya menyalahkan pikiran Zavier. Sebelumnya, aku juga
Aku langsung melongo. Tiba-tiba pikiranku isinya kotor semua mendengar pertanyaan Maya yang agak gimana gitu? Untungnya, aku bisa menguasai diri dengan cepat. “Panjang apaan?” “Itu, masa depannya Zavier. Dia bilang panjang, tapi yang bisa memastikan kebenaran omongan dia cuma lo, Lun. Toh, cuma lo yang tau.”“Ih, Maya! Pembahasan lo udah ke mana-mana. Itu rahasia rumah tangga tau, tidak boleh diumbar-umbar,” celetuk Larissa. Pesona Mamah Dedeh-nya sudah keluar.“Tuh, dengerin Bu Ustazah ngomong, May,” cicit Lila sambil terkikik geli.“Jadi, waktu kalian mengaku pacaran, itu sudah nikah?” tanya Maya lagi.“Sudah. Kami ngaku pacaran biar bisa deket-deket tanpa ada yang curiga.” Zavier menjawab apa adanya.Namun, belum sempat ia berbicara lagi, aku meralat dengan tegas. “Dia doang yang mau dekat-dekat, gue tidak.”“Dih, gitu banget.” Zavier menjawil pipiku membuat teman-teman kami berteriak heboh. Astaga! Baru be
Tiba di rumah, Bunda yang duduk di sofa sambil menangis ditenangkan oleh Ibu mertua beranjak begitu melihatku dan Zavier memasuki rumah. Berlari, memelukku membuatku nyaris ambruk karena terdorong ke belakang. Aku bisa rasakan, pelukannya adalah pelukan takut kehilangan. “Kamu selamat, Nak. Bunda syok banget lihat berita pesawatmu kecelakaan,” ucap Bunda di tengah isakannya. “Aku terlambat kena macet ada kecelakaan waktu ke bandara. Jadi, tidak bisa ikut penerbangan itu, Bunda,” jelasku. Bunda melepas pelukannya. Dengan mata yang masih berkaca-kaca, menangkup wajahku. “Ke depannya, kalau orang tua melarang pergi, kamu harus dengerin, ya. Biar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Untung baik, Tuhan masih berpihak padamu sehingga terhindar dari marabahaya.” “Iya, Bunda. Maafkan Aluna.” “Bunda itu sangat takut kehilangan kamu, Nak. Bunda sudah pernah merasakan kehilangan anak, dan sekarang
Aku sempat tertegun dengan perbuatan Zavier. Namun, detik kemudian, aku sontak mendorong wajahnya dengan telapak tangan.“Ih, jangan genit di sini. Banyak orang,” bisikku cepat.Akan tetapi, bukannya menjauh, dia malah tetap melingkarkan kedua tangan di pinggangku, seolah dunia milik berdua, yang lain cuma ngontrak.“Ayolah, satu icip aja, Sayang,” bisiknya memohon dengan gaya manjanya yang nyebelin itu. “Kan, gue suami lo. Dosa tau nolak suami.”Aku mendecak pelan. “Enggak bisa, Zav-Zav. Ini tempat umum. Lo mau kita dihakimi massa karena dikira pasangan mesum?”Zavier cemberut, tapi tidak melepas pelukannya. “Hm, baiklah! Ke depannya, jangan main pergi lagi, ya,” katanya, kali ini menatapku serius. “Gue enggak suka lo main pergi gitu aja, mana enggak bilang-bilang dulu. Bikin panik. Itu namanya istri enggak sopan sama suami.”Aku menunduk, menyembunyikan senyum melihat raut wajahnya yang tampak sedikit kesal. Meski begitu, aku j
POV ALUNA Sebab kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan kemacetan panjang membuat perjalananku menuju bandara subuh tadi terhambat. Sempat kuminta supir agar putar balik dan mencari jalan pintas agar cepat tiba di tujuan, tetapi tidak bisa karena di belakang dan damping kami sudah penuh dengan mobil lain. Dan, kemacetan itu berlangsung cukup lama. Akhirnya, tiba di bandara, aku tergesa-gesa menuju counter check-in. Saking buru-burunya, aku sampai menabrak orang. Untungnya, orang itu tak mempersalahkan setelah aku meminta maaf. Entah, ini yang namanya sial atau bukan, tetapi bagiku tidak ada keberuntungan hari ini. “Maaf, Bu. Penerbangan Anda sudah boarding. Kami tidak bisa mengizinkan penumpang masuk setelah boarding gate ditutup.” Begitu kata petugas maskapai tadi, menambah daftar ketidakberuntunganku hari ini. Aku mengernyit. Masih mencoba bernegosiasi. “Tolong, Pak. Saya benar-benar harus n
Aku tidak peduli dengan apa pun lagi sekarang. Tidak dengan nyeri di perutku bekas hantaman kemarin. Pun tidak dengan teriakan supir yang meminta agar aku bisa tenang dulu, yang kupikirkan hanya satu hal—Aluna.Setelah mendapat kabar buruk itu, aku langsung memutuskan ke bandara untuk mencari informasi terbaru, berharap kabar itu tidak benar dan Aluna masih baik-baik saja.Setibanya di bandara, aku l berlari melewati orang-orang yang berkerumun. Suara isak tangis memenuhi area, wajah-wajah putus asa bertebaran di mana-mana. Aku bukan satu-satunya yang kehilangan seseorang hari ini. Aku berlari menghampiri petugas dengan napas tersengal. “Korban kecelakaan pesawat … tujuan Indonesia–Australia .…” Aku nyaris tidak bisa menyelesaikan kalimatku. “Aluna … istriku salah satu penumpang pesawat itu! Apa … apa ada kabar tentang korban yang selamat?”Petugas itu menatapku dengan raut muram. “Saat ini, tim penyelamat masih dalam proses pencarian,
POV ZAVIERPulang dari rumah sakit, aku hanya duduk termenung di tepi ranjang, istirahat agar cepat pulih. Sesekali, menatap foto di ponselku dengan senyum miris. Foto Aluna. Gadis itu tersenyum lebar ke arah kamera.Tiba-tiba, perasaan bersalah mencekam di dadaku. Sembari mengusap wajahnya di dalam layar itu, aku berkata, “Maaf, harusnya gue jujur aja dari awal soal Alina. Tidak perlu menyembunyikan kalau gue mengenalnya. Harusnya, gue enggak perlu takut lo membenci gue dan keluarga gue jika tau apa yang sebenarnya terjadi?”Aku menghela napas berat. Tahu diri kalau salah. Sengaja berbohong bukan karena ingin menyembunyikan darinya, tapi karena aku takut. Takut dia semakin membenciku. Takut dia menjauhiku. Dan, takut kehilangan Aluna, karena sejak awal aku sudah menyukainya. Mungkin, ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama.Aku menggeser layar, berganti melihat foto Kak Zavran. Wajahnya memang sangat mirip denganku, wajar
Kini, aku berjalan perlahan, menuntun Zavier yang baru keluar dari ruang rawatnya. Dia memegang perut. Raut wajahnya sedikit tertekuk, mungkin menahan sakit yang masih terasa bekas pukulan di tubuhnya. Aku menggenggam tangan kirinya, mencoba membantu agar langkahnya tak terlalu berat. Meskipun dokter sudah mengizinkan pulang, tetapi aku tahu bahwa tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih.Tiba di lobby rumah sakit, terlihat sudah ada mobil yang sedang menunggu. Ada orang tua Zavier juga Oma di sana. Mereka tersenyum, tampak lega begitu melihat kami.“Aku hanya bisa mengantarmu sampai sini,” ujarku pelan, berusaha berbicara menggunakan bahasa yang sedikit lebih sopan, karena di depan orang tua. Takut mereka mengomel panjang lebar.Zavier tampak terkejut, langsung menoleh padaku dengan tatapan menuntut penjelasan. “Kenapa?” Dia bertanya dengan suara yang terdengar sedikit tertahan.Aku menghela napas, mencoba tetap tenang, meskipun hati ini s
“Mengapa kamu kekeh membela pembawa sial ini, Zavier?!” Kak Zeny masih tak terima Zavier membelaku. Tatapannya tajam, seakan ingin menelanku hidup-hidup.Aku tertunduk dengan mata yang mulai memanas. Lagi-lagi batin ini merasa sangat terluka mendengar perkataan Kak Zeny. Namun, aku tak bisa melawan, walau sebenarnya mampu. Tak ingin makin memperkeruh suasana.Seraya menggigit bibir, aku menahan air mata yang hendak menerobos keluar. Namun, semakin kutahan, semakin deras butiran-butiran itu jatuh tanpa bisa kucegah.“Heh! Tidak usah menangis! Palingan itu air mata palsu untuk cari perhatian atau pembelaan Zavier!” Kak Zeny mendengus sinis. “Dasar munafik!”Sebuah tamparan keras seperti menghantamku. Namun, bukan di pipi, melainkan di hatiku.Aku tertegun. Tak bisa berkata-kata. Hanya bisa menelan mentah-mentah perkataan Kak Zeny yang terus memojokkanku.“Pergi dari sini cewek sialan! Kamu tid—”“Kak, cukup!” seru Zavier.
Aku masih berdiri, mengerjap beberapa kali, memastikan kalau tidak salah dengar. Namun, tatapan Zavier padaku tidak berubah, tetap serius. Sesaat, tetap bergeming ketika Zavier menepuk kasur di sampingnya, seolah ingin memastikan aku mengerti maksudnya.“Kalau lo tidur di sofa yang ada besok tubuh lo sakit semua. Jadi, tidur di sini. Gue enggak bakal macem-macem,” katanya dengan nada santai. Namun, aku tetap melihat kilatan nakal di sana. “Yang benar aja? Nanti lo sempit kalau gue tidur di situ.”“Enggak. Ini luas, kok. Bisa nampung kita berdua.”Aku memutar bola mata. Berusaha mencari alasan agar tidak sampai tidur bersamanya. Ngadi-ngadi saja Zavier itu. “Gue tidur di sofa aja, deh, Zav. Biar lo lebih leluasa.”Dia mendengus, tampak kesal. Sebelum benar-benar berbalik, tangannya terulur menarikku mendekat. Kali ini, genggamannya lebih erat dari tadi. Jarak kami tinggal beberapa senti sekarang, bahkan aku bisa menciu