“Oh, pantesan enggak mau gabung kita lagi karena udah punya teman lain. Penghianat lo!” murka Mira sambil menunjuk Lila.
Suaranya yang melengking keras itu membuat beberapa orang di sekitar mulai melirik ke arah kami.Kulihat Lila tampak ingin menjelaskan, bibirnya terbuka seolah mencari kata-kata yang tepat untuk membela diri. “Enggak ... bukan gitu, Mir. Gue ....”“Apa?!” Mira memotong kasar. Tangannya terangkat, siap memukul Lila yang menunduk ketakutan.Hanya saja, aku yang melihatnya, refleks meraih pergelangan tangan Mira sebelum tangannya menyentuh Lila.“Lo mau ngapain?” tanyaku ketus.Tatapan tajam kami bertemu seakan-akan ingin saling menelan hidup-hidup.Mira mendengus, mencoba menarik tangannya, tetapi aku tidak melepaskannya begitu saja, justru makin mencengkeram dengan sekuat tenaga. Hitung-hitung untuk memberinya peringatan agar tak seenaknya jadi orang.“Emang ada aturan Lila enggak boleh berteAku berdiri terpaku di ruang tamu, tangan terkepal erat di sisi tubuhku. Kata-kata dari dalam kamar itu terus terngiang di telingaku. “Mau sampai kapan, kamu nyembunyiin kebenaran soal kematian kakaknya Aluna, Zavier? Dia harus tau itu.”Napasku tiba-tiba terasa sesak. Jantungku berdegup kencang, seolah-olah hendak meledak. Tentang kematian Kak Alina? Jadi, benar dugaanku kalau mereka sebenarnya mengetahui semuanya, tetapi sengaja menyembunyikan. Dan, kebaikan yang diperlihatkan di depanku, semua hanya ... palsu, demi menutupi kebobrokan keluarga mereka.“Lihat saja, apa yang akan kulakukan nanti untuk membalas perbuatan kalian?” geramku dalam hati, penuh dengan emosi yang membara.Aku ingin langsung menerobos pintu kamar yang sedikit terbuka itu, menuntut penjelasan mereka sekarang juga. Akan tetapi, tubuhku hanya terpaku di tempat seolah-olah sulit untuk sekadar melangkah.Sisi lain diriku ingin mendengar lebih banyak, mencari kepastia
“Gue rasa, dia dan gengnya dibiarin makin ngelunjak. Kayaknya emang perlu dikasi pelajaran!” tegas Zavier sambil mengepalkan tangan. Raut wajahnya, tampak sangat emosi.Aku menghela napas pelan, tanpa berpikir panjang, menyentuh tangan Zavier yang masih mengepal di atas meja. Maksudku untuk menenangkannya, dia sedang salah paham. “Hei, lo enggak usah marah-marah begitu juga. Gue ngajak ngobrol buat minta bantuan, bukan ngajakin tawuran,” ujarku tersenyum geli, “lagipula, Lila enggak gangguin gue.”Zavier menoleh padaku. Ekspresinya terlihat tenang, meskipun keningnya masih mengerut, seakan-akan menuntut penjelasan.“Lalu, ada apa?”Aku menarik napas panjang, sebelum akhirnya berkata jujur. “Lila sedang dalam masalah. Jadi ....”Mulai kuceritakan masalah Lila secara detail, tajam, terpercaya, tanpa digoreng sampai kriuk-kriuk. Semua ceritaku sesuai dengan fakta yang ada. Tentunya, yang kudengar dari Lila tadi malam.Tata
Aku menelan ludah. Memijat tengkuk sambil tertawa cengengesan sebelum akhirnya memberanikan diri berkata, “Kak, gue butuh bantuan. Uang, tepatnya.” Pria 28 tahun itu langsung menoleh padaku dengan alis terangkat, tatapannya jangan ditanya. Dia seperti hendak menelanku hidup-hidup. Tajam, bahkan bisa dibilang lebih tajam dari omongan tetangga. Ih, hus! “Uang? Buat apa? Bunda enggak ngasih lo jajan?” Kak Aidan bertanya seperti itu karena pasti dia tahu kalau Bunda selalu rutin memberiku jajan setiap bulan, tidak pernah telat. Jadi, agak aneh jika tiba-tiba meminta uang padanya. “Ada, kok. Ta—tapi, gue ada keperluan mendesak, Kak. Uang jajan gue enggak cukup buat itu.” Tatapan Kak Aidan makin curiga, terlebih melihatku yang tersenyum terpaksa dan refleks menggaruk pelipis yang sebenarnya tak gatal. “Keperluan apa?” “Ada, Kak. Penting banget pokoknya.” Semoga Kak Aidan tak terlalu banyak tanya setelah ini. So, aku ragu jika mengatakan yang sebenarnya, Kak Aidan tak akan membe
Dia didorong hingga tersungkur ke tanah. Ibunya menangis histeris, hendak menolong tetapi seorang pria bertubuh kekar dengan rokok terselip di bibirnya menahan dengan kasar.Aku tebak, dia ayahnya Lila.Helm kulepas begitu motor Zavier berhenti. Beberapa saat, semua orang melihat kedatangan kami penuh tanya. Namun, seolah tak peduli, mereka tetap melanjutkan kekacauan yang terjadi itu.Wanita yang tak lain ibunya Lila terlihat lelah berusaha melepaskan diri dari cengkeraman suaminya. “Bagaimana bisa kau mengorbankan anak kita sendiri demi utang-utangmu? Dia masih sekolah! Dia masih anak-anak! Dia tidak boleh menikah dengan siapa pun!”Perlindungan itu justru mendapat balasan berupa makian dari suaminya. “Diam! Dia hanya anak perempuan! Tidak penting sekolah tinggi-tinggi, ngabisin uang saja. Daripada aku dipenjara, biarkan dia mengerahkan dirinya untuk berbakti padaku sebagai ayahnya! Itu lebih bermanfaat daripada dia sekolah!”Kata-kata
Pulang dari rumah Lila, kami mampir di sebuah kafe yang konon jadi favoritnya Zavier. Tempatnya memang lumayan tenang. Aku mengaduk-aduk es kopi susu di depanku sesekali melihat keluar jendela. Rasanya bisa bernapas lega karena berhasil menolong Lila meskipun sebelumnya orang tuaku sempat ragu untuk memberi uang. Bukan terlalu sayang pada uangnya, tetapi takut Lila akan memanfaatkanku di kemudian hari. Namun, pada akhirnya mereka luluh setelah aku mencoba menyakinkannya.“Gue salut sama lo.” Zavier membuka suara, membuatku spontan menoleh padanya yang berada di sebelahku.“Salut kenapa?”“Karena lo suka menolong. Enggak nyangka aja, kalau lo sampai punya pikiran buat bantu Lila keluar dari masalahnya. Jujur, Lila beruntung ketemu orang kayak lo saat dia sedang kesulitan. Bayangin, kalo dia ketemu sama gue, mungkin cuma bakal nyuruh dia sabar.”Aku tertawa kecil. Tidak sepenuhnya menyalahkan pikiran Zavier. Sebelumnya, aku juga
“Bu ... Bu Mila?” Suaraku nyaris tak keluar. Bagaimana ini?Aku bahkan hampir tak percaya wanita itu benar-benar berdiri di hadapan kami sekarang.Bu Mila, guru BK yang dari awal sekolah di SMA Pelita Nusantara sudah menjadi langgananku menerima hukuman. Guru yang konon masih jomblo di usia 35 tahun itu menatap kami tajam. Tatapan yang selalu bisa membuat nyali siswa-siswi SMA Pelita Nusantara menciut.“Bu ....” Aku bangkit, hendak menghampirinya untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Hanya saja, wanita berhijab itu bahkan enggak untuk sekadar mendengarkan penjelasanku. “Apa? Mau membela diri?” Dia berkata sambil menyeringai sinis. “Jelas-jelas tadi kalian mengatakannya sendiri. Ibu di belakang kalian. Jadi, jangan pikir Ibu tidak mendengar apa yang kalian bicarakan!”Zavier ikut berdiri. Menghampiri Bu Mila. “Bu, kami bisa jelaskan.”“Diam!” bentak Bu Mila membuatku sedikit tersentak. “Kalian tidak perlu jelaskan
Hening. Tidak ada respons. Kutekan gagang pintu lagi dengan lebih keras, tetapi hasilnya nihil.Sial!BRAK! BRAK! BRAK!“Ada orang di luar, enggak?” Aku kembali berseru, kali ini lebih keras sambil sesekali menggedor pintu dengan frustrasi. Napasku mulai tak beraturan, panik karena tak ada yang merespons.Hingga beberapa saat kemudian, gagang pintu bergerak disertai suara dari luar. “Siapa di dalam?”“Aluna,” jawabku cepat, setidaknya juga merasa lega. Akhirnya ada yang mendengar. Kalau tidak, aku mungkin akan terkunci di kamar mandi ini, entah sampai kapan?“Astaga, Lun! Pintunya terkunci dari luar. Tunggu sebentar, ya!” teriak suara itu, suara yang langsung kukenali pemiliknya adalah Adnan.Beberapa detik kemudian, terdengar suara kunci diputar. Namun, begitu pintu terbuka, Adnan yang berdiri di sana tiba-tiba terhuyung masuk.Tanpa sempat menghindar, tubuhnya menabrakku hingga kami berdua terjatuh k
“Gue tau lo yang ngelakuin ini! Buat apa, Mira? Buat ngejelekin nama gue di depan Zavier? Buat ngerendahin gue di depan anak-anak? Atau buat cari perhatian gue? Hah?!”Makin keras cengkeramanku, semakin Mira meronta.Zavier yang sedari tadi diam sedikit tersentak, mungkin tak percaya kalau aku akan melawan dengan brutal. Malah sebenarnya, aku bisa lebih kejam dari ini.Dari sudut mataku, terlihat dia bergegas cepat ke arahku. Menarik tanganku untuk melepas cengkeraman dari Mira yang sudah histeris. Aku tahu dia kesakitan, tapi aku tidak peduli. Biar dia sedikit merasakan, apa yang dirasakan Kak Alina dulu karena ulahnya.“Lepasin dia,” ujar Zavier. Tatapannya lembut, tetapi tak berhasil melembutkan hatiku yang telanjur penuh emosi.“Luna, Sayang! Lo ....”“Enggak mau, Zav-Zav! Gue akan kasih dia pelajaran. Dari awal, ini orang enggak pernah jera mengusik hidup gue. Apa emang lo enggak pernah puas gangguin orang? Sebelumnya, lo ga
“Mengapa kamu kekeh membela pembawa sial ini, Zavier?!” Kak Zeny masih tak terima Zavier membelaku. Tatapannya tajam, seakan ingin menelanku hidup-hidup.Aku tertunduk dengan mata yang mulai memanas. Lagi-lagi batin ini merasa sangat terluka mendengar perkataan Kak Zeny. Namun, aku tak bisa melawan, walau sebenarnya mampu. Tak ingin makin memperkeruh suasana.Seraya menggigit bibir, aku menahan air mata yang hendak menerobos keluar. Namun, semakin kutahan, semakin deras butiran-butiran itu jatuh tanpa bisa kucegah.“Heh! Tidak usah menangis! Palingan itu air mata palsu untuk cari perhatian atau pembelaan Zavier!” Kak Zeny mendengus sinis. “Dasar munafik!”Sebuah tamparan keras seperti menghantamku. Namun, bukan di pipi, melainkan di hatiku.Aku tertegun. Tak bisa berkata-kata. Hanya bisa menelan mentah-mentah perkataan Kak Zeny yang terus memojokkanku.“Pergi dari sini cewek sialan! Kamu tid—”“Kak, cukup!” seru Zavier.
Aku masih berdiri, mengerjap beberapa kali, memastikan kalau tidak salah dengar. Namun, tatapan Zavier padaku tidak berubah, tetap serius. Sesaat, tetap bergeming ketika Zavier menepuk kasur di sampingnya, seolah ingin memastikan aku mengerti maksudnya.“Kalau lo tidur di sofa yang ada besok tubuh lo sakit semua. Jadi, tidur di sini. Gue enggak bakal macem-macem,” katanya dengan nada santai. Namun, aku tetap melihat kilatan nakal di sana. “Yang benar aja? Nanti lo sempit kalau gue tidur di situ.”“Enggak. Ini luas, kok. Bisa nampung kita berdua.”Aku memutar bola mata. Berusaha mencari alasan agar tidak sampai tidur bersamanya. Ngadi-ngadi saja Zavier itu. “Gue tidur di sofa aja, deh, Zav. Biar lo lebih leluasa.”Dia mendengus, tampak kesal. Sebelum benar-benar berbalik, tangannya terulur menarikku mendekat. Kali ini, genggamannya lebih erat dari tadi. Jarak kami tinggal beberapa senti sekarang, bahkan aku bisa menciu
POV AlunaAku membuka pintu ruang rawat VIP di mana Zavier berada dengan sangat hati-hati setelah meminta izin pada dua pria yang berjaga di depan ruangan.Aku mendapat kabar dari Adnan kalau Zavier terus mencariku. Pesannya masuk begitu ponselku aktif, membuatku kepikiran. Tak bisa tenang jika belum melihat keadaannya secara langsung. Sebab itu, aku nekat datang ke rumah sakit untuk menemuinya. Meminta maaf padanya lagi dan lagi, walaupun mungkin ia sulit untuk membuka pintu maaf untukku. Aku sadar, kesalahanku cukup fatal. Wajar jika aku tak bisa mendapatkan maafnya. Namun, setidaknya aku bisa menemuinya sebelum benar-benar kembali ke Melbourne.Pandanganku menyapu sekeliling. Ruangan cukup sepi. Orang tua Zavier tak ada. Kak Zeny pun tak ada sesuai dengan perkataan Adnan saat mengirimkan pesan padaku tadi.Zavier hanya sendirian. Hanya dijaga dua orang penjaga. Itu pun di luar ruangannya.Napasku sedikit tercekat sa
POV ZavierAku menatap Bunda Amira dengan dahi berkerut. “Apa maksud Bunda?” tanyaku, berusaha memahami perkataan beliau.Bunda Amira menatapku dengan sorot mata lembut. Dia menepuk bahuku pelan. “Maksud Bunda, jika Nak Zavier ingin berpisah dari Aluna, itu hak Nak Zavier. Kami tidak akan ikut campur ataupun mencoba melarang Nak Zavier meninggalkan Aluna karena kami paham perbuatan Aluna kemarin sulit untuk dimaafkan,” tuturnya, “kami juga berencana akan mengirim Aluna kembali ke Melbourne.”Aku tersentak mendengarnya.Berpisah dari Aluna?Kutatap mertuaku bergantian, berharap mereka mengatakan bahwa ini hanya gurauan. Namun, tidak ada ada tanda-tanda sedang bercanda. Justru, keduanya menunjukkan raut serius.Aku menggeleng, mencoba menahan gemuruh emosi di dalam dadaku, meskipun tak bisa menahan mata yang kian memanas.“Tidak! Aku tidak ingin berpisah dari Aluna, Pa, Bun,” kataku mantap, “aku mencintainya dan ingin hidu
POV ZAVIERKelopak mataku terasa berat saat mencoba membukanya. Pandanganku masih buram, tetapi perlahan, aku bisa menangkap sosok-sosok yang berdiri di sekeliling tempat tidurku.Papa, Ibu, dan Kak Zeny.Di sudut lain, Adnan dan Raka juga tampak ada di sana, menatapku dengan raut khawatir.Aku menghela napas pelan, mencoba memahami keadaanku. Rasa nyeri menusuk di beberapa bagian tubuh, jelas itu akibat hantaman pria-pria berbadan besar tadi. Akan tetapi, bukan itu hal yang paling menggangguku sekarang. Aku merasa ada sesuatu yang kurang.Aku mengedarkan pandangan, menyapu seluruh ruangan. Mencari-cari seseorang. Namun, tak kutemukan sosoknya. Ke mana dia? Bukankah tadi, dia membawaku ke rumah sakit. Aku sempat sadar dan mendengar suara tangisnya saat kami di mobil, tetapi setelah itu, aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.“Aluna mana?” tanyaku dengan suara serak. Papa dan Ibu saling berpandangan, seakan saling bertanya satu sama lain. Kulihat, Ibu menoleh, seperti mencari-
Tiba di rumah, Bunda dan Papa sudah menyambut di ruang tamu. Mereka tak mengatakan apa pun, tetapi tatapan keduanya sangat tajam.Mungkin Kak Aidan sudah mengatakan semuanya pada mereka. Dan, sekarang aku sudah pasrah jika setelah ini akan dimarahi habis-habisan.“Kenapa kamu melakukan itu?” Bunda memberondong dengan pertanyaan begitu aku tiba di hadapan mereka.“Aku hanya ingin mereka yang udah nyiksa Kak Alina merasakan hal yang sama,” kataku tanpa sedikit pun berniat menutup-nutupi kebenaran.“Kamu meminta pindah sekolah ke sini untuk itu?” Bunda bertanya tegas, tetapi tetap saja tak dapat menyembunyikan nada kekecewaan pada suaranya. Aku jadi merasa bersalah karena membuatnya kecewa.“Kami sudah mengikhlaskan kepergian kakakmu, tapi kamu malah berbuat seperti ini. Mau jadi jagoan? Apa kamu puas dengan apa yang sudah kamu lakukan sekarang? Kamu mencelakai orang yang tidak bersalah, Aluna. Kamu melukai Zavier, suamimu sendiri.”Aku hanya diam, habis sudah kata-kataku untuk sekadar
Tubuhku nyaris merosot ke lantai begitu Zavier sudah dibawa ke ruangan untuk mendapatkan perawatan. Untungnya, Maya sigap menahan tubuhku dan membantuku duduk di kursi.Rasanya dadaku sangat sesak mengingat perbuatanku sebelumnya.“Semua ini salah gue ....” Suaraku bergetar, air mata mulai mengalir tanpa bisa kukendalikan lagi. Maya meremas bahuku lembut, lantas membawaku ke dalam pelukannya. “Zavier akan baik-baik saja. Lo harus tenang, Lun,” katanya berusaha menenangkanku. “Iya, Lun. Kita harus tetap doakan Zavier segera pulih,” sahut Larissa.“Gue yang bikin dia seperti ini. Gue yang salah.”“Lun, lo tenang, ya. Lo enggak boleh nyalahin diri sendiri terus,” ujar Lila.Tenang? Bagaimana bisa aku tenang setelah apa yang kulakukan padanya? Aku sudah menyiksanya. Aku sudah menuduhnya melakukan hal keji itu pada kakakku.Aku sudah memperlakukannya seperti penjahat, padahal dia tidak bersalah!Sial! Kenapa aku begitu bodoh?!Tak begitu lama, terdengar suara langkah tergesa-gesa dari a
Kedatangan mereka tak sedikit pun mengurungkan niatku. Balok kayu di tangan kuangkat tinggi-tinggi, siap untuk menghajar Mira lagi, tetapi sebelum benda itu dapat menyentuh Mira, tubuhku langsung tertarik menjauh.“Cukup, Aluna, cukup!” tegas Kak Aidan yang langsung menarikku ke dalam pelukannya.Aku meronta di pelukannya, berusaha melawan. “Lepasin, Kak! Gue belum selesai sama mereka!”Kak Aidan tetap memelukku erat, menekan kepalaku ke dadanya seakan enggan membiarkanku lepas. “Sudah cukup, Lun. Lo akan kena masalah kalau melakukan yang lebih dari ini.”“Gue enggak peduli, Kak! Mereka sudah nyiksa Kak Alina. Gue harus membalas lebih dari itu!” bentakku.“Tapi lo salah orang, Lun! Lo menyiksa Zavier dan teman-temannya. Mereka enggak bersalah!”Deg!Aku langsung terpaku. Diam, mendengar perkataan Kak Aidan. Kenapa dia tiba-tiba mengatakan itu? Dari mana dia tahu Zavier tidak bersalah?Saat aku mulai lengah, Kak Aidan menarik balok kayu dari tanganku dan membuangnya ke sisi ruangan. “
Mendengar perkataanku, Zavier langsung terpaku. Mungkin sibuk mencerna maksudku.Tatapannya yang tajam, lurus ke arahku, seakan-akan memintaku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.Suasana yang senyap ini makin terasa mencekam, Mira yang kini terduduk di lantai menatapku dengan tatapan beringas sambil menggerak-gerakkan tubuh dengan kesal berusaha melepaskan diri. “Lo gila, Aluna! Jadi, ini perbuatan lo. Brengsek lo?”Aku tersenyum bengis ke arahnya. Lantas berjalan mendekat dan mencengkeram wajah gadis yang membuatku sangat muak itu. “Gue sudah bilang, jangan macam-macam sama gue!” Plak! Aku menamparnya tanpa perasaan. Seperti yang pernah dilakukannya padaku, juga pada Kak Alina dulu.Aku bangkit, sempat menoleh ke arah Zavier yang menatapku seperti butuh penjelasan. Namun, aku tak peduli, hingga orang suruhanku kembali datang menyeret Adnan dan Raka masuk ke ruangan.Dengan satu dorongan keras, mereka be