“Lila?!”
Aku dan Lila kompak menoleh ke sumber suara. Tampak Larissa dan Maya melangkah mendekat. Jangan ditanya ekspresinya bagaimana? Mereka tampak terkejut, mungkin karena melihatku bersama dengan Lila, padahal selama ini, Lila termasuk salah satu orang yang selalu menggangguku.“Ngapain lo di sini sama Aluna?” Maya langsung menyerang Lila dengan tatapan mengintimidasi.Kulihat Lila menunduk. Tangannya tanpa sadar memainkan ujung seragamnya seolah-olah itu bisa mengurangi kegugupannya. “Gue cuma ... cuma ....”“Cuma apa?” Larissa memotong dengan suara tajam. Sorot matanya seperti menuntut jawaban yang lebih jelas.“Mau gangguin Aluna lagi lo?” Maya menyeringai sinis, seakan-akan menyakini kalau Lila hanya akan membuat masalah di sini.Aku mendengus pelan, menarik Larissa dan Maya agar menjauh dari Lila yang tampak tertekan dengan tatapan kedua temanku itu.“Udah-udah, Lila enggak ganggu gue,” ujarku, membuat mereka“Oh, pantesan enggak mau gabung kita lagi karena udah punya teman lain. Penghianat lo!” murka Mira sambil menunjuk Lila.Suaranya yang melengking keras itu membuat beberapa orang di sekitar mulai melirik ke arah kami.Kulihat Lila tampak ingin menjelaskan, bibirnya terbuka seolah mencari kata-kata yang tepat untuk membela diri. “Enggak ... bukan gitu, Mir. Gue ....”“Apa?!” Mira memotong kasar. Tangannya terangkat, siap memukul Lila yang menunduk ketakutan.Hanya saja, aku yang melihatnya, refleks meraih pergelangan tangan Mira sebelum tangannya menyentuh Lila. “Lo mau ngapain?” tanyaku ketus.Tatapan tajam kami bertemu seakan-akan ingin saling menelan hidup-hidup. Mira mendengus, mencoba menarik tangannya, tetapi aku tidak melepaskannya begitu saja, justru makin mencengkeram dengan sekuat tenaga. Hitung-hitung untuk memberinya peringatan agar tak seenaknya jadi orang.“Emang ada aturan Lila enggak boleh berte
Aku berdiri terpaku di ruang tamu, tangan terkepal erat di sisi tubuhku. Kata-kata dari dalam kamar itu terus terngiang di telingaku. “Mau sampai kapan, kamu nyembunyiin kebenaran soal kematian kakaknya Aluna, Zavier? Dia harus tau itu.”Napasku tiba-tiba terasa sesak. Jantungku berdegup kencang, seolah-olah hendak meledak. Tentang kematian Kak Alina? Jadi, benar dugaanku kalau mereka sebenarnya mengetahui semuanya, tetapi sengaja menyembunyikan. Dan, kebaikan yang diperlihatkan di depanku, semua hanya ... palsu, demi menutupi kebobrokan keluarga mereka.“Lihat saja, apa yang akan kulakukan nanti untuk membalas perbuatan kalian?” geramku dalam hati, penuh dengan emosi yang membara.Aku ingin langsung menerobos pintu kamar yang sedikit terbuka itu, menuntut penjelasan mereka sekarang juga. Akan tetapi, tubuhku hanya terpaku di tempat seolah-olah sulit untuk sekadar melangkah.Sisi lain diriku ingin mendengar lebih banyak, mencari kepastia
“Gue rasa, dia dan gengnya dibiarin makin ngelunjak. Kayaknya emang perlu dikasi pelajaran!” tegas Zavier sambil mengepalkan tangan. Raut wajahnya, tampak sangat emosi.Aku menghela napas pelan, tanpa berpikir panjang, menyentuh tangan Zavier yang masih mengepal di atas meja. Maksudku untuk menenangkannya, dia sedang salah paham. “Hei, lo enggak usah marah-marah begitu juga. Gue ngajak ngobrol buat minta bantuan, bukan ngajakin tawuran,” ujarku tersenyum geli, “lagipula, Lila enggak gangguin gue.”Zavier menoleh padaku. Ekspresinya terlihat tenang, meskipun keningnya masih mengerut, seakan-akan menuntut penjelasan.“Lalu, ada apa?”Aku menarik napas panjang, sebelum akhirnya berkata jujur. “Lila sedang dalam masalah. Jadi ....”Mulai kuceritakan masalah Lila secara detail, tajam, terpercaya, tanpa digoreng sampai kriuk-kriuk. Semua ceritaku sesuai dengan fakta yang ada. Tentunya, yang kudengar dari Lila tadi malam.Tata
Aku menelan ludah. Memijat tengkuk sambil tertawa cengengesan sebelum akhirnya memberanikan diri berkata, “Kak, gue butuh bantuan. Uang, tepatnya.” Pria 28 tahun itu langsung menoleh padaku dengan alis terangkat, tatapannya jangan ditanya. Dia seperti hendak menelanku hidup-hidup. Tajam, bahkan bisa dibilang lebih tajam dari omongan tetangga. Ih, hus! “Uang? Buat apa? Bunda enggak ngasih lo jajan?” Kak Aidan bertanya seperti itu karena pasti dia tahu kalau Bunda selalu rutin memberiku jajan setiap bulan, tidak pernah telat. Jadi, agak aneh jika tiba-tiba meminta uang padanya. “Ada, kok. Ta—tapi, gue ada keperluan mendesak, Kak. Uang jajan gue enggak cukup buat itu.” Tatapan Kak Aidan makin curiga, terlebih melihatku yang tersenyum terpaksa dan refleks menggaruk pelipis yang sebenarnya tak gatal. “Keperluan apa?” “Ada, Kak. Penting banget pokoknya.” Semoga Kak Aidan tak terlalu banyak tanya setelah ini. So, aku ragu jika mengatakan yang sebenarnya, Kak Aidan tak akan membe
Dia didorong hingga tersungkur ke tanah. Ibunya menangis histeris, hendak menolong tetapi seorang pria bertubuh kekar dengan rokok terselip di bibirnya menahan dengan kasar.Aku tebak, dia ayahnya Lila.Helm kulepas begitu motor Zavier berhenti. Beberapa saat, semua orang melihat kedatangan kami penuh tanya. Namun, seolah tak peduli, mereka tetap melanjutkan kekacauan yang terjadi itu.Wanita yang tak lain ibunya Lila terlihat lelah berusaha melepaskan diri dari cengkeraman suaminya. “Bagaimana bisa kau mengorbankan anak kita sendiri demi utang-utangmu? Dia masih sekolah! Dia masih anak-anak! Dia tidak boleh menikah dengan siapa pun!”Perlindungan itu justru mendapat balasan berupa makian dari suaminya. “Diam! Dia hanya anak perempuan! Tidak penting sekolah tinggi-tinggi, ngabisin uang saja. Daripada aku dipenjara, biarkan dia mengerahkan dirinya untuk berbakti padaku sebagai ayahnya! Itu lebih bermanfaat daripada dia sekolah!”Kata-kata
Pulang dari rumah Lila, kami mampir di sebuah kafe yang konon jadi favoritnya Zavier. Tempatnya memang lumayan tenang. Aku mengaduk-aduk es kopi susu di depanku sesekali melihat keluar jendela. Rasanya bisa bernapas lega karena berhasil menolong Lila meskipun sebelumnya orang tuaku sempat ragu untuk memberi uang. Bukan terlalu sayang pada uangnya, tetapi takut Lila akan memanfaatkanku di kemudian hari. Namun, pada akhirnya mereka luluh setelah aku mencoba menyakinkannya.“Gue salut sama lo.” Zavier membuka suara, membuatku spontan menoleh padanya yang berada di sebelahku.“Salut kenapa?”“Karena lo suka menolong. Enggak nyangka aja, kalau lo sampai punya pikiran buat bantu Lila keluar dari masalahnya. Jujur, Lila beruntung ketemu orang kayak lo saat dia sedang kesulitan. Bayangin, kalo dia ketemu sama gue, mungkin cuma bakal nyuruh dia sabar.”Aku tertawa kecil. Tidak sepenuhnya menyalahkan pikiran Zavier. Sebelumnya, aku juga
“Bu ... Bu Mila?” Suaraku nyaris tak keluar. Bagaimana ini?Aku bahkan hampir tak percaya wanita itu benar-benar berdiri di hadapan kami sekarang.Bu Mila, guru BK yang dari awal sekolah di SMA Pelita Nusantara sudah menjadi langgananku menerima hukuman. Guru yang konon masih jomblo di usia 35 tahun itu menatap kami tajam. Tatapan yang selalu bisa membuat nyali siswa-siswi SMA Pelita Nusantara menciut.“Bu ....” Aku bangkit, hendak menghampirinya untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Hanya saja, wanita berhijab itu bahkan enggak untuk sekadar mendengarkan penjelasanku. “Apa? Mau membela diri?” Dia berkata sambil menyeringai sinis. “Jelas-jelas tadi kalian mengatakannya sendiri. Ibu di belakang kalian. Jadi, jangan pikir Ibu tidak mendengar apa yang kalian bicarakan!”Zavier ikut berdiri. Menghampiri Bu Mila. “Bu, kami bisa jelaskan.”“Diam!” bentak Bu Mila membuatku sedikit tersentak. “Kalian tidak perlu jelaskan
Hening. Tidak ada respons. Kutekan gagang pintu lagi dengan lebih keras, tetapi hasilnya nihil.Sial!BRAK! BRAK! BRAK!“Ada orang di luar, enggak?” Aku kembali berseru, kali ini lebih keras sambil sesekali menggedor pintu dengan frustrasi. Napasku mulai tak beraturan, panik karena tak ada yang merespons.Hingga beberapa saat kemudian, gagang pintu bergerak disertai suara dari luar. “Siapa di dalam?”“Aluna,” jawabku cepat, setidaknya juga merasa lega. Akhirnya ada yang mendengar. Kalau tidak, aku mungkin akan terkunci di kamar mandi ini, entah sampai kapan?“Astaga, Lun! Pintunya terkunci dari luar. Tunggu sebentar, ya!” teriak suara itu, suara yang langsung kukenali pemiliknya adalah Adnan.Beberapa detik kemudian, terdengar suara kunci diputar. Namun, begitu pintu terbuka, Adnan yang berdiri di sana tiba-tiba terhuyung masuk.Tanpa sempat menghindar, tubuhnya menabrakku hingga kami berdua terjatuh k
Setelah orang suruhanku kembali dan melaporkan kalau sudah menyelesaikan misi, aku pun berjalan untuk memastikan.Kini, aku berdiri di balik pintu, mengamati dengan saksama. Mira dan teman-temannya terduduk di lantai yang penuh tumpukan debu itu. Mara mereka tertutup kain hitam, jelas tak bisa melihatku. Mulut ditutupi menggunakan plaster hitam agar tak berteriak. Tangan mereka diikat erat di belakang punggung. Ada semacam kelegaan mengalir dalam diriku saat melihat mereka terperangkap seperti ini. Aku senang, meskipun sisi lain hatiku merasa perbuatanku ini cukup jahat. Namun, perbuatan mereka lebih jahat pada kakakku. Dan, juga telah berniat ingin membuatku seperti Kak Alina. Jadi, biar aku saja yang membuatnya merasakan itu.Aku tersenyum tipis. Tidak kasihan sama sekali. Tidak juga menyesal. Mereka semua harus tahu seperti apa rasanya disiksa, seperti yang telah mereka lakukan pada Kak Alina.Aku berbalik dan tanpa berkata banyak, aku memerintahkan dengan suara yang tegas, “Bik
Aku langsung melempar tubuh ke sofa begitu tiba di apartemen Tama seolah-olah menghempas segala beban yang sejak tadi menumpuk di dada. Aku bisa merasakan Kak Aidan yang saat ini sedang fokus ke laptopnya, beralih menatapku. Sementara itu, Tama hanya berdiri di dekat dapur dengan tangan terlipat di depan dada.“Tumben kalian udah pulang kantor jam segini?” tanyaku sambil melirik jam tangan. Sudah menunjukkan pukul 4 lebih 30 menit.“Entah siapa yang nyuruh kami berdua pulang cepat?” cibir Tama yang membuatku tertawa cengengesan. Sebelumnya, aku memang meminta mereka pulang cepat karena ingin berbicara perihal investasi terselebungku malam ini. Paling tidak, aku akan meminta bantuan, meskipun sepertinya ini agak sulit. Soalnya, mereka pernah bilang tidak mau ikut campur, bahkan sudah memperingatiku berulang kali agar tak melanjutkan misiku.Tanpa basa-basi, aku pun berkata, “Malam ini, gue mau nyulik orang-orang yang udah nyakitin Kak Alina.”Kak Aidan langsung menatapku tajam. Ada r
POV ALUNA Hari yang mendebarkan itu sudah tiba, hal itu berarti sudah tiba saatnya juga aku mulai menjalankan misi terselebung yang sudah kurencanakan jauh-jauh hari, sebelum pindah ke sekolah ini. Soal Zavier, yang aku tahu terlibat penganiayaan Kak Alina, tetapi dia sepertinya tak berniat untuk menjelaskan padaku atau sekadar meminta maaf akan perbuatannya. Walau mulutnya berkata tidak tahu apa-apa, tetapi aku tahu kalau dia menyembunyikan sesuatu. Pembicaraan dengan ibunya saat itu menguatkan pradugaku. Sejauh ini, aku sudah cukup memberikan pria bergelar suamiku itu perhatian penuh. Puncaknya, saat hampir tiba waktu ujian. Aku setiap hari, mengajarinya pelajaran yang tidak dimengerti, mengulang materi yang dia malas pelajari, dan mengawasi dia agar tidak seenaknya sendiri. Meskipun semuanya tak berjalan mulus karena dia sangat menyebalkan. Masih jelas dalam ingatanku saat dia tiba-tiba merebut bukuku hanya karena dia bosan belajar. “Gue pusing banget, Lun. Kita ist
POV ZAVIERPintu ruangan tiba-tiba terbuka dengan keras dan saat itu juga, lampu yang temaram langsung menyala, menerangi seluruh ruangan.Hal yang membuatku lebih terkejut lagi saat 2 pria berbadan tinggi besar masuk dan langsung Mira dan teman-temannya hingga tersungkur di hadapan kami. Mereka tampak babak belur, dengan tangan terikat dan lakban yang menutupi mulut mereka.Salah satu pria itu melepas lakban dari mulut mereka membuat 3 gadis itu menjerit kesakitan.Mira menatap mereka emosi, napasnya memburu. “Brengsek kalian! Lepasin kami! Siapa yang nyuruh lo?!”Aku mengernyit bingung, menatap mereka satu per satu. Kalau Mira juga disekap … lantas, siapa yang sebenarnya melakukan semua ini?Perasaanku mulai tak nyaman. Aku berbalik ke arah Aluna, setidaknya mencari solusi darinya. Namun, Aluna yang seharusnya masih terikat di kursi, kini sudah berdiri. Dengan gerakan santai, melepas tali yang kukira mengikat erat tangannya tadi.Jantungku berdegup kencang. Merasa ada yang salah d
POV ZAVIER Pikiranku semakin kalut hingga memutuskan untuk pergi mencari Aluna ke tempat yang kemungkinan dia datangi. Namun, dalam perjalanan, tiba-tiba ponselku di saku celana bergetar, membuatku langsung menepikan motor dan berhenti, berharap ada kabar baik yang akan mempertemukan kami. Aku sempat ragu beberapa detik begitu melihat pesan dari nomor tak dikenal, tetapi karena penasaran akhirnya aku menggeser layar untuk membaca pesannya. “Halo, Zavier. Apa lo sedang mencari Aluna, pacar kesayangan lo?” Aku menelan ludah sambil berpikir kenapa orang ini tahu kalau aku sedang mencari Aluna? “Siapa lo?” balasku cepat. “Lo tidak perlu tau siapa gue. Tapi, lo harus tau tentang ini?” Ting! Pesan kembali masuk. Kali ini, beserta foto seorang perempuan yang duduk di kursi dengan tangan terikat. Mulutnya dilakban, terdapat beberapa luka di wajahnya. Deg! Aluna. Aku sontak melebarkan mata melihat istriku ternyata sedang dalam bahaya. “Pacar lo ada di tangan gue. Kalo ma
POV ZAVIERHari-hari berlalu begitu cepat, dan tanpa terasa, ujian akhir kami sebagai siswa akhirnya tiba. Deg-degan? Sudah pasti.Aku duduk di bangkuku, sambil memutar bolpoin tanpa sadar. Sesekali, pandanganku melirik ke arah Aluna yang duduk beberapa baris di depan.Pandangannya fokus ke kertas ujian. Raut wajahnya begitu tenang—terlalu tenang, malah. Mungkin soal-soal ujian kami sangat mudah baginya, pasalnya dia pintar. Hanya saja, ada hal yang membuatku bertanya-tanya dalam hati ketika melihatnya. Mengapa beberapa hari terakhir ini sikapnya cukup aneh?Dia berubah. Dingin. Tidak seperti Aluna yang kukenal sebelumnya. Padahal, sebelum ujian, dia masih baik-baik saja dan kami sering belajar bersama.Dia dengan sabar mengajariku materi yang tidak kumengerti, meskipun sesekali sengaja membuatnya kesal. Aku senang membuatnya kesal karena dia makin kesal, makin menggemaskan.Aku masih ingat saat dia kesal padaku sampai ngambek karena dia sudah sibuk menjelaskan, tetapi aku malah tert
POV ZAVIERAku sengaja datang malam-malam ke rumah Aluna karena di rumah lagi sepi. Orang rumah pergi tanpa mengajakku.Untungnya, karena aku bisa menggunakan alasan mengembalikan buku catatan yang kupinjam dan juga membawakan martabak telur keju untuk Aluna jika ditanya ada kepentingan apa datang malam-malam?Sebenarnya, alasan paling pokoknya karena lagi kangen. Berat banget tahu nikah saat masih sekolah, apalagi jika tinggalnya harus terpisah. Kudu nahan rindu setengah mati, padahal tiap hari juga ketemu sebenarnya.Sengaja, aku mengajaknya mengobrol hingga larut, biar banyak alasan untuk menginap di rumahnya. Cemerlang banget, kan, ide Zavier? Hehe.Hanya saja, aku sempat-sempatnya dibikin salting saat Aluna menyuapiku martabak. Duh, rasanya kayak terbang ke bulan. Ini pertama kali dia menyuapiku selama kami nikah. Sebelumnya, hanya sebatas mengambilkan makanan. Itu pun sudah cukup membuatku sesak napas. Ikan hiu melayang-layang. Makin ke sini, makin sayang. Eyaa!Setelah dapat i
Aku menyuapinya lagi dalam keheningan, hingga beberapa saat kemudian, Zavier bertanya, “Gimana rencana lo ke depan?” Aku mengerjap pelan, menatapnya sedikit curiga. Rencana apa yang dia maksud? Jangan-jangan … dia tahu sesuatu, soal rencana balas dendamku, mungkin? Tidak … tidak! Itu mustahil! Orang yang tahu rencanaku cuma Kak Aidan dan Tama. Aku berusaha tenang agar tak terlihat seperti sedang menyembunyikan sesuatu. “Rencana apa?” tanyaku menatapnya seakan-akan mencari sesuatu dari bola matanya itu. Zavier mengunyah sebentar, lalu menelan makanannya sebelum menjawab, “Ya, rencana lo. Gue belum mutusin mau kuliah di mana. Terus lo juga belum bilang mau lanjut kuliah di mana?” Aku memutar bola mata sambil menarik napas lega dalam diam. Kupikir rencana apa? “Harus banget gue bilang ke lo?” tanyaku malas. Dia mengangguk santai sambil tersenyum tipis. “Menurut gue, ya, harus. Soalnya, setelah gue pikir-pikir, gue mending kuliah di tempat lo aja. Biar kita bisa berangkat ba
Hari demi hari berganti tanpa henti, seperti angin yang berlalu begitu saja tanpa pernah kembali ke tempat asalnya. Dedaunan di halaman dekat jendela kamarku yang dulu hijau segar kini mulai berguguran, sebagai tanda pergantian musim yang telah tiba. Rutinitas sekolah, ujian-ujian kecil juga terus terjadi, serta proses belajar tambahan untuk persiapan ujian pun sudah dilakukan. Dan, yang paling penting status pernikahanku dengan Zavier, sejauh ini masih terpantau aman. Kini, aku duduk di dekat jendela kamarku sambil menatap layar ponsel, di mana ada foto bersamaku dengan Kak Alina di sana. Foto itu diambil saat ia mengunjungiku di Aussie beberapa bulan lalu. Aku tak menduga kalau pertemuan itu menjadi pertemuan terakhirku dengannya. “Selalu jaga diri, ya, Lun. Meskipun kami jauh di sana, kamu tetap kesayangan kami semua.” Aku ingat betul dia mengatakan itu saat akan pulang ke Indonesia. “Belajar baik-baik, biar nanti jadi arsitek terkenal. Kakak akan doakan yang terbaik,” katan